Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang adalah kerajaan yang didirikan oleh Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwidjaja pada abad ke-16 setelah berhasil merebut takhta kekuasaan Kerajaan Demak dari Arya Penangsang, yang sebelumnya telah berhasil membunuh Pangeran Mukmin (Sunan Prawata/Sunan Prawoto). Jaka Tingkir berhasil mengalahkan Arya Penangsang atas bantuan Sutawijaya (Panembahan Senapati). Masih sangat sedikit sumber-sumber yang menjelaskan tentang eksistensi Kerajaan Pajang, meskipun pengaruh dari Kerajaan Pajang pada abad ke-16 cukup besar dalam peta politik di Pulau Jawa.
Asal-Mula Nama Pajang
Pada abad ke-14 nama Pajang telah disebutkan dalam Kitab Negarakrtagama sebagai salah satu wilayah yang dikunjungi oleh Prabu Hayam Wuruk, raja Kerajaan Majapahit dalam perjalanannya memeriksa daerah bagian barat Kerajaan Majapahit. Dapat diperkirakan bahwa Pajang telah menjadi salah satu daerah yang mengakui kedaulatan Kerajaan Majapahit. Begitupula yang terjadi pada masa Kerajaan Demak, Pajang menjadi wilayah bagian Kerajaan Demak yang mengakui kedaulatan Kerajaan Demak.
Di dalam perjalanan Hayam Wuruk, raja Kerajaan Majapahit ke Pajang pada 1275 Saka atau sekitar tahun 1353-1354 M berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Negarakrtagama muncul dugaan mengenai peran dan arti Pajang bagi Kerajaan Majapahit, sehingga Hayam Wuruk memutuskan untuk melakukan kunjungan ke Pajang. Pada awal berdirinya Kerajaan Majapahit, Pajang tidak memiliki arti penting meskipun berstatus sebagai “tanah mahkota”, pun begitu juga hingga masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk nampaknya tidak begitu penting kedudukan Pajang bagi Majapahit.
Kedudukan Pajang baru dianggap penting setelah dikaitkan dengan tokoh Jaka Sangara, Jaka Bodo atau yang dikenal juga dengan Adipati Handayaningrat yang sebagai penguasa di Pengging-Pajang. Adipati Handayaningrat sendiri merupakan keturunan Raja Brawijaya V, raja Kerajaan Majapahit terakhir. Adipati Handayaningrat mendapat penghargaan dari Kerajaan Majapahit karena ia telah membantu ekspedisi Kerajaan Majapahit dalam menaklukan wilayah Blambangan. Adipati Handayaningrat inilah yang menurunkan para penguasa wilayah Pengging seperti Ki Ageng Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging, ayah dari Jaka Tingkir.
Berdasarkan sumber-sumber yang didapatkan berdasarkan naskah tutur, tokoh Ki Ageng Kebo Kenanga dan Ki Ageng Pengging adalah dua orang yang berbeda. Jaka Tingkir memanglah anak dari Ki Ageng Kebo Kenanga, sedangkan hubungan antara Jaka Tingkir dengan Ki Ageng Pengging hanyalah sebatas murid. Berdasarkan keterangan yang diberikan di dalam Babad Banten, setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit pada awal abad ke-16 dan berdirinya Kerajaan Demak, Pada tahun 1525 daerah Pengging tetap berdaulat hingga pertengahan abad ke-16.
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Babad Banten inilah diperkirakan Pengging (Pajang) adalah sebuah kerajaan yang telah berdiri sejak Kerajaan Majapahit masih eksis. Ketika Kerajaan Majapahit runtuh, Kerajaan Pengging tetap mempertahankan eksistensinya di bawah pimpinan Ki Ageng Kebo Kenanga. Oleh sebab itu, Kerajaan Pengging hendak ditaklukan oleh Kerajaan Demak. Kerajaan Demak mengirim Ki Wanapala dan Sunan Kudus untuk adu kekuatan dengan Ki Ageng Kebo Kenanga sebagai permulaan ekspedisi Kerajaan Demak.
Pada tahun 1527 tentara Kerajaan Demak menyerbu Kerajaan Pengging dan berhasil membunuh Ki Ageng Kebo Kenanga. Terbunuhnya Ki Ageng Kebo Kenanga menyebabkan Kerajaan Pengging berhasil dikuasai oleh Kerajaan Demak. Sedangkan anak Ki Ageng Kebo Kenanga, Jaka Tingkir mengabdi ke Kerajaan Demak dan menjadi menantu dari raja Demak, Sultan Trenggana. Setelah diangkat menjadi menantu, Jaka Tingkir diperintahkan untuk kembali ke Pengging (Pajang) sebagai bupati yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Demak.
Sejak wafatnya Pangeran Trenggana (Sultan Trenggana) pada tahun 1546, timbul perebutan kekuasaan di internal Kerajaan Demak. Terutama, setelah diangkatnya Raden Mukmin (Sunan Prawata) sebagai raja Kerajaan Demak menggantikan Sultan Trenggana. Setelah penobatan Raden Mukmin sebagai penguasa Kerajaan Demak yang baru, benih perselisihan kembali muncul terutama dari Arya Penangsang, Bupati Jipang.
Arya Penangsang sendiri bukanlah orang lain bagi Raden Mukmin. Arya Penangsang adalah putra dari Raden Kikin (Pangeran Seda Lepen) yang semestinya mendapatkan takhta Kerajaan Demak sepeninggal Pati Unus. Namun, oleh karena berdasarkan berita yang tersebar Raden Kikin dibunuh oleh Raden Mukmin yang menginginkan takhta Kerajaan Demak. Maka, yang menjadi raja pengganti Pati Unus ialah Pangeran Trenggana, ayah dari Raden Mukmin.
Setelah Sultan Trenggana meninggal pada 1546, maka secara langsung takhta Kerajaan Demak jatuh kepada Raden Mukmin dan bukan pada Arya Penangsang. Di sisi lain, Arya Penangsang merasa bahwa dirinya-lah yang berhak atas takhta Kerajaan Demak, sehingga mulai terjadi perselisihan antara Arya Penangsang dengan Raden Mukmin (Sunan Prawata) yang mengakibat perebutan kekuasaan di kalangan keluarga dan kerabat kerajaan.
Selain terjadi perselisihan diantara keluarga Kerajaan Demak, perselisihan juga terjadi di antara para Wali yang masing-masing menjadi pendukung untuk pengangkatan penguasa-penguasa di Kerajaan Demak. Kondisi ini diperburuk ketika Pangeran Trenggana diganti oleh Sunan Prawata pada tahun 1546. Arya Penangsang yang mengingkan takhta Kerajaan Demak atas pengaruh dari Sunan Kudus berupaya membunuh Sunan Prawoto. Sunan Prawoto pun akhirnya terbunuh oleh Arya Penangsang pada tahun 1549.
Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Pajang
Meninggalnya Sunan Prawoto oleh Arya Penangsang yang dihasut oleh Sunan Kudus untuk merebut takhta Kerajaan Demak pada 1549 menyebabkan berakhirnya kejayaan Kerajaan Demak. Meskipun Arya Penangsang telah berhasil merebut takhta Kerajaan Demak, Jaka Tingkir yang masih merupakan menantu dari Sultan Trenggana dan ipar dari Sunan Prawoto menyusun rencana untuk merebut kembali takhta Kerajaan Demak dari tangan Arya Penangsang.
Sebagaimana telah disinggung di atas, Jaka Tingkir adalah murid Ki Ageng Pengging yang semula menjadi seorang tamtama di Kerajaan Demak di bawah pemerintahan Pangeran Trenggana, karena keahliannya ia dijadikan menantu oleh Pangeran Trenggana. Ketika Sunan Prawoto dibunuh oleh Arya Penangsang dan merebut takhta Kerajaan Demak, Jaka Tingkir berupaya untuk merebutnya kembali dari tangan Arya Penangsang. Jaka Tingkir meminta bantuan terutama kepada Ki Ageng Pamanahan dan putra Ki Ageng Pamanahan yang bernama Sutawijaya untuk mengalahkan Arya Penangsang.
Setelah berhasil mengalahkan Arya Penangsang dengan bantuan Ki Ageng Pamanahan dan Sutawijaya, Jaka Tingkir memindahkan pusat kekuasaan dari Demak ke Pajang dan menobatkan diri sebagai Sultan dari Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Dengan penobatan diri Jaka Tingkir sebagai sultan, maka berdirilah Kerajaan Pajang sebagai pengganti Kerajaan Demak.
Struktur Birokrasi Kerajaan Pajang
Transformasi kerajaan-kerajaan di Jawa terutama pada masa Majapahit yang beralih ke Demak yang sudah merupakan kerajaan bercorak Islam merupakan “pemindahan” belaka pusat kerajaan dari keraton Majapahit ke Demak Bintara kemudian beralih ke tangan Jaka Tingkir, kemudian berpindah pula ke tangan Senapati ing Alaga, yang kemudian akan mengambangkan kerajaan Mataram menjadi kerajaan besar.
Seperti apa yang terjadi pada Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang memegang puncak kepemimpinan di Jawa setelah Sultan Adiwijaya (Jaka Tingkir) berhasil memindahkan pusat kekuasaan Demak ke Pajang. Apa yang dilakukan oleh Sultan Adiwijaya ini tidak terlepas dari apa yang telah dilakukan oleh mertuanya, Sultan Trenggana sebagai raja Demak. Di mana segala tanda kebaktian dari berbagai adipati dan tanda sangaji mengalir ke Kerajaan Pajang. Tanda kebaktian ini tidak hanya berupa barang tetapi juga putri cantik, binatang-binatang dan hasil-hasil alam yang sulit untuk didapatkan.
Di dalam mengkoordinasikan antara pemerintah daerah dengan pusat adalah melalui pertemuan yang dilaksanakan di seba. Dengan seba ini raja yang bersangkutan sekaligus dapat mengadakan kontrol terhadap kerajaan dan daerah-daerah yang berada di bawah naungan kekuasaannya. Barang siapa yang tidak hadir dalam seba ini mengundang pertanyaan bagi raja dan hadirin mengenai sebab ketidakhadirannya, dan jika ternyata ketidakhadirannya dalam seba dilakukan sengaja, maka sikap itu dapat ditafsirkan mengarah kepada pemberontakan atau ketidaksetiaan kepada raja yang bersangkutan.
Pertemuan di seba paling sedikit dilakukan setahun sekali, tetapi tiap-tiap kerajaan memiliki peraturan sendiri. Mengenai pertemuan di seba yang dilakukan oleh Kerajaan Pajang dapat terlihat dari keterangan yang diberikan oleh Babad Tanah Jawi.
Di dalam Babad Tanah Jawi diceritakan tentang kejadian di Kerajaan Mataram setelah Ki Ageng Pamanahan meninggal, Sultan Pajang mengangkat putra Ki Ageng yang juga masih menantunya bernama Ngabehi Loring Pasar menjadi penguasa di Kerajaan Mataram. Ia kemudian diberi gelar Senapati Alaga Sayidin Panatagama dengan syarat bahwa dalam setahun sekali ia harus seba ke Pajang dan tidak sekali-kali boleh terlambat. Ketika setahun sudah berlalu dan ternyata Senopati juga belum datang dalam seba yang diadakan oleh Sultan Pajang, sedangkan para bupati, rangga demang, dan yang lainnya sudah lengkap hadir, Sultan Pajang menanyakan kepada hadirin ketidakhadiran Senopati.
Para bupati lain sudah siap-siap mengadakan perhitungan kepada Senopati atas ketidakhadirannya itu, Sultan Pajang lalu mengutus Ngabehi Wuragil dan Ngabehi Marta ke Kerajaan Mataram. Dengan adanya petunjuk ini ternyata ketidakhadiran Kerajaan Mataram dalam seba ini dilakukan dengan sengaja, dan ternyata kemudian Kerajaan Mataram mengambil alih pimpinan kekuasaan atas Jawa dari tangan Pajang ketika Sultan pajang, Jaka Tingkir, meninggal.
Raja-Raja Kerajaan Pajang
Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) (1549-1582)
Sultan Hadiwijaya atau yang dikenal sebelumnya dengan nama Jaka Tingkir adalah pendiri Kerajaan Pajang yang telah berhasil menyelesaikan permasalahan di Kerajaan Demak dalam kasus Sunan Prawoto dan Arya Penangsang tahun 1549. Di bawah ini akan dijelaskan tentang siapa itu Sultan Hadiwijaya dan bagaimana pemerintahan Sultan Hadiwijaya dalam memerintah Kerajaan Pajang.
Mengenai asal-usul riwayat raja Pajang yang telah melanjutkan kekuasaan Dinasti Demak atas Jawa Tengah, Serat Kandha dan babad-babad memuat banyak cerita. Pada pokoknya, Sultan Hadiwijaya adalah putra dari Raja Pengging terakhir yang dibunuh oleh Sunan Kudus. Waktu masih kecil ia bernama Mas Karebet, karena pada saat lahirnya, wayang beber sedang dipertunjukkan di rumah ayahnya. Pada masa remaja ia bernama Jaka Tingkir, sesuai dengan nama Tingkir, tempat ia dibesarkan. Jaka Tingkir telah menjadi pahlawan dongeng di Jawa Tengah bagian selatan. Banyak cerita yang hebat-hebat tersebar luas. Ia dianggap mempunyai kekuasaan atas masyarakat buaya, demikian pula (yang diduga menjadi) kakeknya Jaka Sangara, yaitu Raja Handayaningrat.
Meskipun tidak berasal dari keluarga raja Pengging, maksud untuk mengangkat raja lagi bagi daerah Pengging, sesudah meninggalnya Kebo Kenanga, jelas terbukti dari putusan raja Demak untuk mengusahakan supaya Jaka Tingkir menetap di Pajang. Pejuang muda ini telah masuk keluarga raja (Demak) karena perkawinannya dengan putri Sultan Trenggana yang muda. Menurut cerita babad, kediaman raja di Pajang dibangun dengan mencontoh keraton di Demak.
Mengabdi Pada Kerajaan Demak
Waktu pada tahun 1546 Sultan Demak, Trenggana meninggal (dalam aksi militer – atau karena akibatnya – ke ujung timur Jawa) konon raja Pajang yang masih muda itu – menantu raja – selama kekacauan berkecamuk di ibu kota cepat mengambil alih kekuasaan. Menurut cerita tutur Mataram, Jaka Tingkir adalah cucu Sunan Kalijaga dari Kadilangu, yaitu orang suci yang di Jawa Tengah bagian selatan dianggap yang terpenting di antara Sembilan Wali.
![]() |
Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) saat mengabdi di Kerajaan Demak: Jaka Tingkir diilustrasikan sedang membunuh seekor kerbau |
Sunan Kalijaga rupa-rupanya telah menjadi penghulu masjid suci di Demak sesudah Sunan Kudus. Seorang anak perempuannya telah diambil oleh Sultan Trenggana sebagai permaisuri muda. Dari perkawinan ini lahir ratu muda di Pajang, permaisuri Jaka Tingkir, dan adiknya laki-laki, Raden Mas Timur, yang kelak menjadi Panembahan Mas di Madiun, apabila cerita tutur itu mengandung kebenaran, maka kiranya raja Pajang yang muda tersebut waktu bertindak di Demak telah dapat mengandalkan wibawa rohani kakeknya Sunan Kalijaga, yang juga menjadi gurunya.
Konflik di Kerajaan Demak
Menurut cerita tutur, putra sulung Sultan Trenggana, yang lahir dari perkawinan yang lebih dahulu, diberikan kedudukan sebagai ulama saja. Ia bergelar Susuhunan Prawata. Pada tahun 1549 Susuhunan Prawata dibunuh atas perintah dari saudaranya sendiri, Arya Penangsang dari Jipang yang merasa berhak atas takhta Kerajaan Demak. Arya Penangsang tidak lama kemudian dikalahkan dalam perang tanding oleh jaka Tingkir dari Pajang; Jaka Tingkir membalas dendam karena Iparnya, Susuhunan Prawata, telah dibunuh oleh Arya Penangsang.
Kekuasaan Kerajaan Jipang patah, dan kekuasan Kerajaan Pajang sejak saat itu diakui oleh sebagian besar pedalaman Jawa Tengah. Ratu Putri Kalinyamat, ipar perempuan raja Pajang yang lebih tua, memerintah di Jepara, dan dari situ ia memerintah juga pesisir Jawa sebelah barat. Ki Panjawi, raja Pati, teman seperjuangan Jaka Tingkir dalam pertempuran melawan Jipang, mengakui kekuasaan tertinggi Pajang.
Menurut cerita tutur Jawa, Arya Penangsang dari jipang, penuntut takhta Kerajaan Demak yang memberontak itu, adalah murid Sunan Kudus, pejuang yang gagah berani untuk perluasan “Bait’ul Islam”. Tetapi Jaka Tingkir, Ki Panjawi, dan Sunan Prawata dari Demak telah mendapat bimbingan agama dari Sunan Kalijaga dari Kadilangu.
Mengakhiri Kemelut di Kerajaan Demak
Dapat diperkirakan bahwa Jaka Tingkir dari Pajang makin bertambah kuat keinginannya untuk bertindak dengan kekerasan senjata terhadap Arya Penangsang, karena dengan demikian ia juga dapat membalas dendam terhadap Sunan Kudus atas pembunuhan yang telah dilakukan terhadap Ki Ageng Kebo Kenanga dari Pengging, yang digantikan Jaka Tingkir sebagai raja di Pajang yang dapat menimbulkan kemugkinan besar dan memastikan bahwa ia merupakan keturunan dari Ki Ageng Kebo Kenanga.
Terlepas dari penuturan serat dan babad lokal mengenai asal-usul Jaka Tingkir atau Mas Karebet atau Sultan Hadiwijaya, Sultan Hadiwijaya nyatanya telah berhasil mengakhiri kemelut dan pertikaian yang terjadi di dalam internal Kerajaan Demak. Selain itu juga terjadi peralihan pusat kekuasaan dari Demak kemudian ke Pajang sampai ke Mataram merupakan pergeseran pusat pemerintahan dari daerah pesisir ke daerah pedalaman sehingga terjadi perubahan sifat kerajaan maritim ke kerajaan Agraris.
Masa Pemerintahan Sultan Hadiwijaya di Kerajaan Pajang
Jaka Tingkir yang telah berhasil mengalahkan Arya Penangsang, kemudian melaksanakan janjinya yaitu untuk memberikan tanah mentaok (sekitar Kota Gede) kepada Sutawijaya (Panembahan Senapati) dan ayahnya Ki Ageng Pamanahan karena telah berhasil membantu Sultan Hadiwijaya menyingkirkan Arya Penangsang dari takhta Kerajaan Demak.
Setelah berhasil mengakhiri kemelut yang terjadi di Kerajaan Demak dan menjadi figur yang mampu membawa stabilitas bagi Kerajaan Demak, Jaka Tingkir tidak mengangkat dirinya sebagai raja di Demak. Jaka Tingkir memilih untuk tetap melanjutkan pemerintahannya dari Pajang yang menyebabkan Pajang menjadi kerajaan mandiri yang lepas dari pengaruh Kerajaan Demak. Keputusan Jaka Tingkir untuk memindahkan pusat kekuasaan Jawa berada di daerah pedalaman sebenarnya tidak mendapat dukungan dan bahkan ditentang oleh Sunan Kudus. Meskipun begitu, Jaka Tingkir yang kemudian menobatkan dirinya sebagai Sultan Hadiwijaya enggan menggubris tanggapan Sunan Kudus.
Hal terpenting dalam pemerintahan Sultan Hadiwijaya di Kerajaan pajang adalah keberhasilan Sultan Hadiwijaya untuk keluar dari pengaruh politik dan keagamaan Sunan Kudus yang sangat dominan pada masa kejayaan Kerajaan Demak dan memilih untuk hidup dalam tradisi keagamaan Sunan Kalijaga yang sarat dengan unsur kultural dan filosofis. Hal ini dapat dipahami melalui jejak ayah Sultan Hadiwijaya, Ki Ageng Kebo Kenanga dan gurunya, Ki Ageng Pengging yang pernah berguru dengan Sunan Bonang yang juga merupakan murid dari Syekh Siti Jenar.
Secara historis, Ki Ageng Kebo Kenanga, Ki Ageng Pengging dibunuh oleh Sunan Kudus begitu juga Syekh Siti Jenar yang juga “dibunuh” jarena pandangan keagamaan yang menyimpang mengenai eksistensi Tuhan, kebebasan, syariat, kehidupan dan kematian sehingga Syekh Siti Jenar dikenal juga oleh Sunan Kudus sebagai “Si bidah”. Di sisi lain, disebutkan pula bahwa Sultan Hadiwijaya sebenarnya adalah cucu tidak langsung dari Sunan Kalijaga, karena ia telah menikahi putri dari Sultan Trenggana (salah seorang istri dari Sultan Trenggana adalah putri dari Sunan Kalijaga).
Sebagai murid dari Sunan Kalijaga, Sultan Hadiwijaya merasa memiliki kewajiban untuk melanjutkan dakwah sesuai dengan cara yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga yakni kebudayaan Islam lokal dengan menyebarkan nilai-nilai religius yang sejalan dengan tradisi Jawa melalui proses asimilasi dan akulturasi yang panjang. Sunan Kalijaga sendiri dikenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif dalam menciptakan karangan cerita-cerita wayang yang masih bernuansa kepercayaan Hindu Jawa dengan corak kehidupan yang ada, namun telah dimasuki unsur-unsur ajaran agama Islam sebanyak mungkin. Hal inilah yang kiranya dijadikan oleh Sultan Hadiwijaya sebagai upaya melanjutkan dakwah yang telah dijalankan oleh Sunan Kalijaga.
Selain figur Sunan Kalijaga yang dijadikan panutan oleh Sultan Hadiwijaya, terdapat tokoh lain yang menjadi panutannya, yaitu Malang Sumirang. Karena amat kuatnya pengaruh dari Malang Sumirang, namanya diabadikan dalam Babad Jaka Tingkir. Dikisahkan bahwa Malang Sumirang kadang tidak sepaham dengan Dewan Walisongo. Kata-katanya yang terkenang yaitu;
“…tanpa melihat besar atau kecilnya dosa dan kesalahan, namun langsung mencap buruk terhadap suatu ajaran, cara pandang seperti ini tidaklah tepat dan benar.”
Pernyataan yang dilontarkan oleh Malang Sumirang ini menunjukkan ketidaksepahaman Malang Sumirang terhadap Dewan Walisongo yang mana Dewan Walisongo tidak menyukai dan menganggap salah pada cara dakwah Malang Sumirang yang menekankan aspek Tasawuf Ahlaki. Malang Sumirang dituduh bertentangan dengan syariat ajaran agama Islam dengan menjalankan dakwahnya.
Malang Sumirang menyangkal pendapat dari Dewan Walisongo, bahwa tasawuf tidak menentang syariat Islam, melainkan memperdalam penghayatan dalam beragama. Malang Sumirang menjelaskan:
“Orang yang sudah memahami hakikat dirinya sendiri, sembahyangnya tidak akan melihat waktu, ibarat air mengalir; berdoa selalu siang malam tanpa henti. Memuji Allah kapan saja dan di mana saja.”
Bagi Malang Sumirang, shalat merupakan representasi syariat merupakan ritual yang penting namun seharusnya tak terbatasi oleh lima waktu saja. Allah dapat dan harus senantiasa diingat di dalam hati setiap saat, setiap waktu dan di mana pun.
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Babad Jaka Tingkir, Malang Sumirang dengan ikhlas menerima usulan Sunan Bonang yang menghendaki dirinya menjalani hukuman mati dengan cara dibakar hidup-hidup di dalam api unggun. Berdasarkan keterangan tersebut, maka dapat dipahami bahwa hukuman mati terhadap Malang Sumirang menunjukkan bahwa pada saat itu tidaklah memungkinkan seseorang mengambil sikap bersebrangan dengan pemaham keagamaan yang diikuti oleh penguasa (penguasa Demak dalam hal ini pada saat itu).
Selain itu, Sultan Hadiwijaya juga merekrut seorang pujangga ke dalam lingkungan keratonnya. Pujangga itu adalah Pangeran Karanggayam, seorang penulis karya filosofis yang berjudul Serat Nitisruti yang berisikan tentang ajaran moral dan mistisme Islam Jawa. Salah satu ungkapan dari Pangeran Karanggayam yang menunjukkan representasi dari struktur nalar mistik adalah;
“…bersumpahlah atas nama mati dan mempraktikan bertapa ala leluhur. Tak henti melihat segala hal di muka bumi. Langit seisinya semuanya adalah hamba Allah….”
Di dalam istana Kerajaan Pajang, Sultan Hadiwijaya menciptakan atmosfer bernuansa Islam yang ditandai dengan adanya tata tertib, sensitifitas dan estetika dengan memanfaatkan adat budaya Jawa. Di dalam istana terdapat adat walon, yakni tata krama yang diberikan sejak kecil, semisal cara berpakaian, makan, bergaul dengan keluarga, tetangga, orang lain dan sebagainya. Sedangkan untuk memperhalus perasaan diberikan pelajaran kesenian dan sejumlah pendidikan seperti Pendidikan kasatupan. Pendidikan Kasatupan adalah pendidikan pembentukan karakter yang ditempuh dengan melalui laku atau cara tertentu.
Pendidikan Kasatupan sesuai dengan upacara ngelmu iku kelakone kanthi laku (ilmu pengetahuan itu dapat diperoleh dengan cara yang tidak mudah). Pendidikan itu bersifat lahiriah dan batiniah. Pendidikan ini meliputi;
1. Ngelmu jaya kawijayan (pendidikan bertujuan agar seseorang memiliki kesaktian). Untuk mendapatkan tujuan itu dapat ditempuh berbagai cara antara lain; bertapa, berpantang dan berpuasa);
2. Ngelmu pangawikan (pendidikan yang bertujuan agar seseorang menguasai berbagai ilmu, misalnya ilmu tentang menjinakkan kuda, harimau, buaya, burung, dan benda-benda pusaka); dan
3. Ngelmu kasantikan (pendidikan yang bertujuan agar seseorang memiliki kebijaksanaan dan kesempurnaan hidup).
Demikianlah pendidikan yang digelar oleh Sultan Hadiwijaya di Kerajaan Pajang sebagai bentuk kelanjutan dakwah ajaran agama Islam di Pulau Jawa.
Letak Kerajaan Pajang yang berada di daerah pedalaman dan keengganan Sultan Hadiwijaya untuk memerintah di Demak dan daerah pesisir utara Pulau Jawa rupanya memiliki alasan untuk dijadikan sebagai alat legitimasi bahwa mengingat dirinya adalah keturunan dari Kerajaan Majapahit. Di mana Kerajaan Majapahit sendiri adalah kerajaan yang terletak di daerah pedalaman, bukan di daerah pesisir. Letaknya yang berada di daerah pedalaman menjadikan fokus perekonomian Kerajaan Pajang bertumpu pada ekonomi agraris.
Ekonomi agraris yang menjadi orientasi Kerajaan Pajang tidak membuat Sultan Hadiwijaya merasa bahwa perekonomian Kerajaan Pajang hanya bertumpu pada sektor pertanian. Sultan Hadiwijaya yang memahami bahwa Demak sebagai pelabuhan di masa kejayaannya sangatlah memberikan keuntungan bagi perekonomian kerajaan terutama sekali adanya kerajinan-kerajinan yang bernilai tinggi. Sultan Hadiwijaya kemudian membuat sebuah inovasi dengan mendukung berdirinya kampung kerajinan seperti Kampung Batik Laweyan, Kampung Mutihan dan beberapa kampung kerajinan lainnya yang membuat Kerajaan Pajang sebagai kerajaan yang terkenal akan kerajianannya pada saat itu.
Sebagai upaya untuk menyebarkan ajaran agama Islam, Sultan Hadiwijaya membangun Masjid Laweyan pada tahun 1568. Masjid Laweyan adalah masjid pertama di Kerajaan Pajang. Masjid Laweyan ini awal mulanya adalah sebuah pura agama Hindu. Namun, dengan pendekatan Sultan Hadiwijaya secara damai dan seiring dengan bertambahnya rakyat yang memeluk agama Islam, maka fungsi bangunan berubah menjadi masjid. Di sisi lain, Sultan Hadiwijaya juga mendorong berdirinya pesantren dengan jumlah santri yang sangat banyak.
Pada masa pemerintahannya, Sultan Hadiwijaya mulai melakukan perluasan kekuasaan sehingga beberapa daerah sekitarnya antara lain Jipang dan Demak sendiri mengakui kekuasaan Kerajaan Pajang. Dengan demikian, maka Kerajaan Demak berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajang. Selain itu, Sultan Hadiwijaya juga meluaskan pengaruh ke daerah pesisir Pulau Jawa, seperti Jepara, Pati, dan Banyumas. Pada tahun 1578, Sultan Hadiwijaya berhasil meluaskan pengaruh Kerajaan Pajang dengan mengalahkan Wargautama dari Wirasaba (Banyumas).
Pada tahun 1581 melalui jalur diplomasi, Sultan Hadiwijaya berhasil meyakinkan raja-raja kecil di Jawa Timur untuk mengakui kedaulatannya. Beberapa kerajaan yang mengakui kedaulatannya antara lain Jipang, Wirasaba, Kediri, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem, Tuban, dan Pati. Para penguasa-penguasa di daerah Pulau Jawa bagian tengah dan timur ini kemudian menjadikan Sultan Hadiwijaya sebagai sultan utama dari kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Pulau Jawa. Setelah itu, eksistensi dari Kerajaan Demak mulai luntur dan digantikan oleh Kerajaan Pajang.
Sultan Hadiwijaya juga membuka hubungan dengan daerah Barat Pulau Jawa. Namun, sayangnya, Sultan Cirebon, Fatahilah menyatakan tidak mau tunduk kepada Sultan Pajang itu. Fatahilah yang bekas panglima Kerajaan Demak untuk menggantikan Sunan Gunung Jati sebagai raja di Kesultanan Cirebon sangat kecewa mendengar pembunuhan-pembunuhan di kalangan para keturunan Raden Patah. Meskipun terdapat penolakan dari Fatahilah terhadap kekuasaan Kerajaan Pajang, Kesultanan Cirebon keduanya tidak pernah terlibat konflik secara terbuka.
Pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya, Kerajaan Pajang dijadikan sebagai pusat pendidikan untuk keagamaan, pemerintahan dan ilmu perang. Beberapa bangsawan dari kerajaan-kerajaan di Jawa Barat pun pernah ada yang belajar di Pajang diantaranya adalah Putra Mahkota Kerajaan Sumedang, Pangeran Angkawijaya atau yang dikenal pula sebagai Prabu Geusan Ulun; selain itu, Panembahan Ratu yang menggantikan Fatahilah sebagai penguasa Kesultanan Cirebon pun pernah berguru kepada Sultan Hadiwijaya. Panembahan Ratu dititipkan ke Pajang oleh Sunan Gunung Jati dan bersahabat dekat dengan Pangeran Angkawijaya. Di Pajang, Panembahan Ratu dinikahkan pula dengan putri dari Sultan Hadiwijaya yang bernama Rara Pajang.
Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya wafat dan menyebabkan perselisihan antara Pangeran Benowo sebagai putra mahkota Kerajaan Pajang, dan Arya Pangiri, putra dari Sunan Prawoto.
Pangeran Benawa (Pangeran Benowo) (1582-1583)
Pada tahun 1582 Pangeran Benowo sebagai putra mahkota Kerajaan Pajang, menggantikan posisi Sultan Hadiwijaya sebagai raja Kerajaan Pajang. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Pajang kehilangan daerah Mataram yang masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya telah diberikan kepada Ki Ageng Pamanahan, anak Ki Ageng Ngenis atas jasanya dalam mengalahkan Arya Penangsang.
Selain kehilangan daerah Mataram, yang mulai menunjukkan eksistensinya, Pangeran Benowo yang dilantik pada tahun 1582 digoyang kedudukannya oleh Arya Pangiri, putra Sunan Prawoto, raja Kerajaan Demak keempat. Pangeran Benawa disingkirkan dari takhta atas Kerajaan Pajang oleh Arya Pangiri atas bantuan dari Panembahan Kudus. Alasan Panembahan Kudus menyingkirkan Pangeran Benawa adalah permasalahan usia Pangeran Benawa yang lebih muda dibandingkan dengan istri dari Arya Pangiri sehingga tidak pantas menjadi raja. Pangeran Benawa merelakan takhta Kerajaan Pajang kepada Arya Pangiri dan dirinya dijadikan sebagai bupati Jipang oleh Arya Pangiri.
Arya Pangiri (Sultan Ngawantipura) (1583-1586)
Arya Pangiri menjadi raja Kerajaan Pajang pada tahun 1583 setelah dengan berhasil menyingkirkan Pangeran Benawa untuk dijadikan sebagai Bupati Jipang. Pada masa pemerintahan Arya Pangiri, Arya Pangiri berusaha untuk menguasai Mataram yang jelas-jelas telah diwasiatkan untuk tidak diserang dan membenci Sutawijaya yang telah menjadi penguasa Kerajaan Mataram.
Arya Pangiri kemudian membentuk pasukan yang terdiri dari orang-orang bayaran berasal dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk melakukan penyerbuan terhadap Mataram. Usaha yang dilakukan oleh Arya Pangiri itu, rupanya tidak berhasil menaklukan Kerajaan Mataram dan justru menyebabkan kekalahan bagi Arya Pangiri.
Dibalik kekalahan atas Kerajaan Mataram, Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Arya Pangiri mendatangkan pejabat-pejabat dari Demak untuk menggantikan posisi para pejabat Pajang. Selain itu, Arya Pangiri juga mendatangkan para penduduk Demak untuk bermigrasi ke Pajang yang menyebabkan para penduduk Pajang berpindah ke Jipang dan mengabdi kepada Pangeran Benawa.
Pangeran Benawa (1586-1587)
Setelah berpindahnya penduduk asli Pajang ke Jipang untuk mengabdi kepada Pangeran Benawa akibat ulah dari Arya Pangiri, penduduk Pajang di Jipang beserta Pangeran Benawa berupaya untuk merebut kembali takhta Kerajaan Pajang dari tangan Arya Pangiri.
Pangeran Benawa pun menjalin hubungan dengan Sutawijaya, raja Kerajaan Mataram untuk menyingkirkan Arya Pangiri. Pada tahun 1586 pasukan gabungan Mataram dan Jipang menyerbu Pajang. Setelah dikalahkan, Arya Pangiri dikembalikan ke Demak, sedangkan Sutawijaya ditawarkan takhta Kerajaan Pajang oleh Pangeran Benawa, namun ditolaknya. Sutawijaya hanya meminta beberapa benda pusaka Kerajaan Pajang untuk dirawat dan disimpan di Kerajaan Mataram. Oleh sebab itu, Pangeran Benawa kembali menjadi raja di Kerajaan Pajang dengan gelar Sultan Prabuwijaya.
Sosial-Budaya Dan Ekonomi Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran rendah tempat bertemunya Sungai Pepe dan Sungai Dengkeng yang mana ke dua-duanya bermata air dari lereng Gunung Merapi. Irigasi berjalan lancar karena air tanah di sepanjang tahun cukup untuk mengairi sawah sehingga pertanian di Kerajaan Pajang maju dan sangat mendukung kehidupan masyarakatnya yang bercorak agraris.
![]() |
Istana Kerajaan Pajang |
Sejak Kerajaan Demak baru menunjukkan eksistensinya, daerah Pajang telah mengekspor beras dengan mengangkutnya melalui perniagaan yang berupa Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai negara maritim menginginkan dikuasainya lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu Pajang dan kemudian juga Mataram, supaya dengan cara demikian dapat berbentuk negara ideal agraris-maritim. Oleh karena letaknya yang dipedalaman, kehidupan ekonomi Kerajaan Pajang sangat terpusat pada aktivitas pertanian, meskipun perdagangan pun menjadi salah satu aktivitas yang tidak dapat disangkal, namun tidak begitu banyak memiliki peranan yang penting.
Namun, yang perlu dicatat adalah setelah runtuhnya Kerajaan Demak dan perpindahan pusat kekuasaan ke Pajang, telah memberikan dampak yang besar bagi pemerintahan dan juga ekonomi, terutama sekali telah beralihnya budaya ekonomi maritim menjadi ekonomi agraris. Pusat Kerajaan Pajang yang terletak di Desa Pengging (sekitar Boyolali) adalah wilayah yang dialiri oleh Kali Pepe, Kali Dengkeng dan Sungai Bengawan Solo. Kali Pepe dan Kali Dengkeng bersumber pada Gunung Merapi, sedangkan aliran Sungai Bengawan Solo berasal dari Gunung Lawu yang menjadikan daerah Pajang amat subur. Oleh sebab itulah, masyarakat Kerajaan Pajang sangat mengandalkan kehidupannya pada sumber daya agraris.
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Kerajaan Pajang adalah sebagai petani yang sekaligus pula menunjukkan tidak begitu pentingnya hasil laut dibandingkan dengan hasil beras. Dengan demikian menunjukkan bahwa masyarakat Jawa pada masa Kerajaan Pajang lebih besar memfokuskan orientasi ekonominya ke daratan dibandingkan ke lautan.
Kemunduran Kerajaan Pajang
Kemunduran Kerajaan Pajang disebabkan oleh perebutan kekuasaan setelah meninggalnya Sultan Hadiwijaya antara Pangeran Benawa dengan Arya Pangiri. Situasi internal Kerajaan Pajang semakin tidak menentu terlebih setelah kekalahan Kerajaan Pajang dalam menghadapi Kerajaan Mataram. Setelah dikembalikannya takhta Kerajaan Pajang ke tangan Pangeran Benawa atas bantuan Sutawijaya, secara tidak langsung Kerajaan Pajang menjadi negeri bawahan dari Kerajaan Mataram.
Daftar Bacaan
- Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
- de Graaf, H.J. dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. (Terj). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
- Hayati dkk. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI. Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional
- Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
- Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan Islam. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.