Kerajaan Mataram Islam 1588-1755
Kerajaan Mataram Islam (Kesultanan Mataram Islam) adalah kerajaan yang berkembang di tengah Pulau Jawa dengan menjadikan agama Islam sebagai agama resminya. Perkembangan awal Kerajaan Mataram Islam mulanya adalah sebagai daerah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajang dan dipimpin oleh Ki Ageng Pamanahan. Setelah Ki Ageng Pamanahan meninggal, Kerajaan Mataram Islam mulai memperlihatkan eksistensinya sebagai kerajaan yang mandiri di bawah pimpinan Sutawijaya (Panembahan Senapati), yang merupakan putra dari Ki Ageng Pamanahan.
Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Mataram Islam terletak di daerah yang subur, terletak antara Kali Opak dan Kali Praga yang mengalir ke Samudra Hindia dan memberikan kemungkinan pertumbuhan dan perkembangan pusat Kerajaan Mataram Islam sebagai suatu kekuatan politik. Pendirian Kerajaan Mataram Islam tidak terlepas dari peranan Ki Ageng Pamanahan (Ki Gede Pamanahan/ Ki Pamanahan) sebagai peletak dasar dan pembukaan daerah Mataram.
Peran Ki Ageng Pamanahan
Kerajaan Mataram Islam muncul mula-mula dari hadiah yang diberikan oleh Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) dari Kerajaan Pajang kepada Ki Ageng Pamanahan pada tahun 1558. Setelah kemenangan atas Jipang dan berdasarkan nasihat yang diberikan oleh Ki Juru Martani, tokoh-tokoh daerah Sela sengaja tidak memberitahukan kepada Jaka Tingkir bahwa Sutawijaya yang menewaskan Arya Penangsang, raja Jipang. Tokoh-tokoh Sela itu memberitahu kepada Jaka Tingkir bahwa yang membunuh Arya Penangsang adalah Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi.
Hal ini dilakukan oleh para tokoh-tokoh Sela agar Jaka Tingkir menepati janjinya yaitu dengan membagi wilayah Pati dan Mataram kepada Ki Panjawi dan Ki Ageng Pamanahan apabila berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Apabila Jaka Tingkir mengetahui yang mengalahkan Arya Penangsang adalah Sutawijaya, maka kemungkinan Jaka Tingkir hanya akan memberikan hadiah berupa pakaian yang bagus-bagus sekedar untuk menghibur saja. Sehingga yang disiarkan dihadapan umum adalah Ki Panjawi dan Ki Ageng Pamanahan.
Jaka Tingkir meyakini bahwa Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi-lah yang berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Sehingga, Jaka Tingkir meminta kepada Ki Ageng Pamanahan untuk memilih tanah Pati atau tanah Mataram. Ki Ageng Pamanahan kemudian memilih daerah Mataram yang masih hutan. Sedangkan, kakaknya, Ki Panjawi memperoleh daerah Pati yang sudah menjadi kota dengan banyak penduduk.
Setelah itu Ki Ageng Pamanahan pergi ke Jepara untuk memberi kabar kemenangan kepada Ratu Kalinyamat dan setelah itu, Ki Ageng Pamanahan menuju tanah Mataram. Ki Ageng Pamanahan meninggalkan Jepara dengan menolak seluruh hadiah termasuk takhta atas Kerajaan Prawata dan Kalinyamat, bahkan juga menolak harta-harta yang diberikan oleh Ratu Kalinyamat kecuali benda-benda pusaka. Maka dari itu Ki Ageng Pamanahan menerima dua buah cincin; Menjangan-Bang (dengan sebuah permata delima) dan Uluk (dengan sebuah mata berlian) yang harus disimpan dan sembunyikan dengan baik-baik!, selain itu dirinya diberikan semua janda Almarhum Pangeran Kalinyamat.
Di dalam perjalanan kembali Ki Ageng Pamanahan singgah di Sela. Dari Sela dibawanya serta 150 orang anggota keluarga dan kerabat yang mencintainya untuk tinggal bersama di Mataram. Di antara wanita-wanita yang dihadiahkan oleh Ratu Kalinyamat, Raja Pajang (Jaka Tingkir) hanya memilih seorang, yang kemudian dititipkannya kepada Ki Ageng Pamanahan sampai saat dapat dikawini. Tetapi penyerahan tanah Mataram sekali lagi ditunda.
Ki Ageng Pamanahan yang sangat kecewa karenanya memutuskan untuk pergi ke Kembang Lampir dan di sana pun ia melakukan tapa. Rupa-rupanya Jaka Tingkir yang menunda penyerahan tanah Mataram dengan dalih ingin memilih daerah yang lebih bagus bagi Ki Ageng Pamanahan, yang terpenting bukanlah wilayah Mataram. Sebab, Jaka Tingkir masih terganggu oleh ramalan Sunan Giri bahwa kelak di Mataram akan timbul seorang raja yang sama besarnya dengan raja Pajang. Berdasarkan ramalan itulah, Jaka Tingkir enggan menyerahkan wilayah Mataram kepada Ki Ageng Pamanahan. Meskipun pada akhirnya, wilayah itu diberikan juga dengan catatan Mataram berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajang.
Ki Ageng Pamanahan kemudian memohon kepada Jaka Tingkir, agar anaknya, Sutawijaya yang telah menjadi menantu Jaka Tingkir untuk membantunya di Mataram. Meskipun awalnya Jaka Tingkir bimbang, namun Sutawijaya diperbolehkan untuk membantu Ki Ageng Pamanahan di Mataram dengan pada waktu-waktu tertentu ia harus menghadap di istana Pajang.
Panembahan Senapati Dan Berdirinya Kerajaan Mataram Islam
Di tempat inilah (Mataram) Ki Ageng Pamanahan mendirikan keratonnya pada tahun 1577-1578 di Pasargede (Kotagede), tetapi setelah beberapa tahun mendiami keraton, Ki Ageng Pamanahan wafat pada tahun 1584. Ketika dirinya jatuh sakit, Ki Ageng Pamanahan telah menyerahkan segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan serta keturunannya kepada Ki Juru Martani.
Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan, Ki Juru Martani beserta kelima anak Ki Ageng Pamanahan menghadap pada Sultan Pajang mengabarkan meninggalnya Ki Ageng Pamanahan dan kemudian untuk meminta kebijaksanaannya menentukan siapa pengganti dari Ki Ageng Pamanahan sebagai penguasa Mataram. Meninggalnya Ki Ageng Pamanahan menyebabkan Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Pajang menunjuk pengganti Ki Ageng Pamanahan sebagai penguasa baru di Mataram adalah anak Ki Ageng Pamanahan yang sekaligus sebagai menantunya, yaitu Sutawijaya atau Senapati ing Alaga yang pada masa mudanya bergelar Ngabehi Loring Pasar.
Meskipun dikisahkan Panembahan, pada waktu Sultan Kerajaan Pajang wafat, Panembahan Senapati tetap datang menghadiri upacara pemakaman Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) pada tahun 1586. Setelah kematian Sultan Hadiwijaya, dengan memanfaatkan situasi politik yang runyam di Kerajaan Pajang antara Arya Pangiri dan Pangeran Benawa, Kerajaan Mataram Islam mulai memperlihatkan eksistensinya sebagai kerajaan yang mandiri terlepas dari pengaruh Kerajaan Pajang.
Pada tahun 1587 di bawah pimpinan Arya Pangiri yang berhasil merebut takhta Kerajaan Pajang, tentara Kerajaan Pajang menyerang Sutawijaya, namun serangan itu gagal oleh adanya letusan Gunung Merapi yang memporak-porandakan tentara Kerajaan Pajang, sedangkan di sisi lain, Sutawijaya dan tentara Kerajaan Mataram Islam berhasil selamat dari letusan itu. Setelah gagalnya penyerangan yang dilakukan oleh Arya Pangiri, Sutawijaya menganggap bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk melepaskan diri dari pengaruh Kerajaan Pajang. Sehingga pada tahun 1588 Sutawijaya mengangkat dirinya sebagai raja Kerajaan Mataram Islam dengan gelar Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama.
Pada masa pemerintahan Panembahan Senapati, Kerajaan Mataram Islam memperluas daerah kekuasaannya ke daerah sekitarnya termasuk daerah pesisir utara, kemudian ke daerah-daerah di Jawa bagian timur maupun ke daerah Jawa bagian barat. Keberhasilan manuver politik Panembahan Senapati ini menjadikan Kerajaan Mataram Islam sebagai kerajaan yang kini mulai menenggelamkan pengaruh dari Kerajaan Pajang di tanah Jawa yang sebelumnya Kerajaan Mataram Islam berada di bawah pengaruh dari Kerajaan Pajang.
Wilayah dan eksistensi Kerajaan Pajang kini pun berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam dan berubah menjadi kadipaten, dan diperintah Pangeran Benawa, putra Sultan Hadiwidjaja. Demak, Kedu dan Bagelen berhasil dikuasai oleh Panembahan Senapati. Sedangkan Gagelang tahun 1590 mengakui kekuasaan Kerajaan Mataram Islam, demikian pula Surabaya, selanjutnya Kerajaan Mataram Islam menaklukan Kediri.
Selain itu, Panembahan Senapati juga meluaskan wilayah ke daerah barat sampai ke Priangan Timur dan Kerajaan Cirebon. Hubungan antara Kerajaan Mataram Islam dan Kerajaan Cirebon pada masa Panembahan Senapati merupakan suatu hubungan persahabatan, dan bukan suatu penaklukan. Karena itu benteng di Cirebon dibangun atas bantuan dari Panembahan Senapati.
Wafatnya Panembahan Senapati menurut Babad Sangkala yang menceritakan tentang peristiwa Gerhana Matahari dan wafatnya Panembahan Senapati pada tahun 1601, dan juga diceritakan perpindahan Adipati Puger ke Demak. Pemerintahan Panembahan Senapati dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan Kerajaan Mataram Islam, sedang masa puncak Kerajaan Mataram Islam pemerintahan pada masa cucunya, Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Setelah Panembahan Senapati wafat, ia digantikan oleh Raden Jolang yang merupakan putra dari selir asal putri dari Pati. Sebagai raja Kerajaan Mataram Islam, Raden Jolang bergelar Panembahan Hanyakrawati. Pemerintahan Raden Jolang dari tahun 1601 sampai tahun 1613, menyempurnakan pembangunan kota yang dikenal sebagai Kota Gede dan termasuk pembuatan Taman Danalaya, Segaran, dan Kompleks pemakaman Kota Gede. Pada tahun 1613 Panembahan Hanyakrawati meninggal dunia saat berburu di hutan Krapyak. Karena ia meninggal di tempat perburuan (Krapyak) tahun Raden Jolan atau Panembahan Hanyakrawati juga terkenal pula dengan gelar Panembahan Seda Ing Krapyak. Penggantinya adalah cucu Panembahan Senapati, yaitu R. M. Jatmiko atau Pangeran Rangsang. Setelah menjadi Sultan Kerajaan Mataram Islam, ia dikenal dengan gelar Sultan Agung Senapati ing Alaga.
Puncak Kejayaan
Pada masa pemerintahan Sultan Agung beberapa daerah yang semula sudah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam mulai melepaskan dirinya. Akibatnya, Sultan Agung melakukan penyerangan-penyerangan terhadap Surabaya, Pati, Giri dan Blambangan tahun 1625.
Selain itu Kerajaan Mataram Islam juga telah mengadakan hubungan dengan VOC di Batavia yang sudah dirintis sebelumnya oleh Panembahan Seda ing Krapyak tahun 1613. VOC mengirimkan utusannya ke Kerajaan Mataram Islam, antara lain Hendrik de Haan, Yan Vos, dan Pieter Franssen. Akan tetapi, hubungan itu mulai memburuk sejak tahun 1624. Sultan Agung memperhatikan hal itu dan menganggap VOC mengancam eksistensi Kerajaan Mataram Islam. Memburuknya hubungan itu menyebabkan Sultan Agung menyerang VOC dengan mengirimkan prajuritnya menuju Batavia pada tahun 1628 namun mengalami kegagalan. Hal serupa juga dilakukan pada tahun 1629 yang juga mengalami kegagalan.
Selain melewati pertempuran-pertempuran, dalam menaklukan kembali daerah-daerah dan penyerangan besar-besaran mengepung Batavia dilakukan melalui daratan dan lautan. Kerajaan Mataram Islam meskipun menjadi kerajaan yang bersifat agraris, juga di bawah Sultan Agung kerajaan tersebut juga mengembangkan perdagangan ekspor dan impor komoditas-komoditas melalui pelabuhan di pesisir utara Jawa seperti Japara, Kendal, dan Tegal.
Ekspor dari Kerajaan Mataram Islam terutama beras melalui pelabuhan Japara, Kendal dan Tegal merupakan monopoli kerajaan yang ditangani oleh para Tumenggung. Sultan Agung melakukan pembangunan sebagai contoh ia mempersiapkan untuk pendirian kota yang akan dipusatkan di Plered, pembangunan kompleks pemakaman di Girilaya, kemudian mengadakan pembangunan makam di Bukit Merak yang dimulai tahun 1632 setelah selesai diberi nama Imogiri.
![]() |
Peta wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram pada tahun 1636 |
Dalam segi keagamaan masanya cenderung mengadakan perimbangan antara agama Islam dan agama Hindu. Sultan Agung membuat kalender Jawa dengan perhitungan antara tahun Hijriah dengan tahun Saka yang waktu tahun 1555 Saka dapat diterima oleh masyarakat Jawa dan sampai sekarang disebut penanggalan jawi. Sultan Agung yang terkenal itu kemudian sakit dan wafat di keraton Kota Gede pada tahun 1645 dan kemudian ia dimakamkan di Imogiri.
Kemunduran
Pengganti Sultan Agung adalah putranya yang bernama Amangkurat Senapati ing Alaga Ngabdur Rahman Sayidin Panatagama (Amangkurat I). Amangkurat I memindahkan Keraton Kota Gede ke Plered yang menurut Babad ing Sengkala terjadi pada tahun 1647.
Masa pemerintahan Amangkurat I dalam Babad Tanah Jawi memberikan gambaran beberapa pemberontakan yang terutama adalah pemberontakan Trunojoyo juga tindakan-tindakan tercela dari Amangkurat I yang memerintahkan pembunuhan terhadap siapa saja yang dianggap merongronrong kekuasaan Amangkurat I, bukan hanya para pejabat antara lain Tumenggung Wiraguna, tetapi juga adiknya sendiri dan para ulama.
Sunan Amangkurat I lebih dekat kepada VOC untuk mencari dukungannya daripada ke masyarakat kerajaannya sendiri. sebagai bukti melakukan perjanjian dengan VOC yang hakikatnya Kerajaan Mataram Islam harus mengakui kekuasaan politik VOC di Batavia dan disusul dengan pengiriman utusan-utusan tiap tahun dari VOC ke Kerajaan Mataram Islam. Kedekatan Kerajaan Mataram Islam dengan VOC menyebabkan semakin banyaknya tindakan mencampuri politik Kerajaan Mataram Islam, permusuhan Sunan Amangkurat I dengan Pangeran Adipati Anom juga menambah ketidaksenangan para pejabat dan masyarakat Kerajaan Mataram Islam.
Faktor-faktor itu ditambah lagi upaya pemberontakan Pangeran Trunojoyo yang dibantu oleh Pangeran Kajoran dan para pejabat dan masyarakat Kerajaan Mataram Islam yang sudah sangat tertekan. Dengan masuknya pasukan pemberontak Pangeran Trunojoyo, Sunan Amangkurat I terpaksa menyingkir ke luar kota dan menuju ke daerah Banyumas, dengan tujuan ke Cirebon untuk meminta bantuan juga kepada VOC.
Akan tetapi sesampainya di Wanayasa, Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada 10 Juli 1677 yang kemudian jenazahnya dibawa ke Tegalwangi di daerah Tegal untuk dimakamkan. Ia masih sempat mengangkat Pangeran Adipati Anom sebagai penggantinya dengan gelar Sunan Amangkurat II. Sejak pemerintahan Amangkurat I dan II serta seterusnya, Kerajaan Mataram Islam sampai Perang Giyanti 1755 terus menerus mengalami pengaruh politik VOC. Bahkan melalui perjanjian Giyanti itulah Kerajaan Mataram Islam dipecah menjadi kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta.
Sistem Pemerintahan
Transformasi kerajaan-kerajaan di Jawa terutama pada masa Majapahit yang beralih ke Demak yang sudah merupakan kerajaan bercorak Islam merupakan “pemindahan” belaka pusat kerajaan dari keraton Majapahit ke Demak Bintara kemudian beralih ke tangan Jaka Tingkir, kemudian berpindah pula ke tangan Senapati ing Alaga, yang kemudian akan mengambangkan kerajaan Mataram menjadi kerajaan besar.
Siapapun orangnya jika ia diberi wahyu oleh Tuhan berupa pulung keraton atau kekuatan suci, ia akan memimpin Tanah Jawa dan mewarisi pula kerajaan untuk dapat menguasai seluruh Tanah Jawa. Babad Tanah Jawi merupakan suatu kepercayaan umum masyarakat Jawa, setiap raja yang memperoleh “cahaya nurbuat” yang merupakan wahyu Illahi, yang mempunyai kekuatan magis dan mistis akan berhasil menguasai seluruh kerajaan dan menguasai seluruh Tanah Jawa. “Cahaya Nurbuat” ini adalah tidak lain seperti ndaru atau pulung keraton, merupakan kekuatan suci yang mempunyai nilai mistik.
Perlunya perlambang bagi raja yang membawa akibat memiliki kekuatan magis, Babad Tanah Jawi telah memberikan beberapa contoh. Raden Patah yang menjadi adipati Demak ketika itu mewarisi takhta kerajaan Majapahit dan untuk menolak “bala”, maka sebagai syaratnya ialah “kedaton” tersebut dilungguhi terlebih dahulu oleh Sunan Giri selama 40 hari. Setelah selesai perlungguhan itu barulah kedaton diserahkan kepada Raden Patah kemudian oleh para wali dinobatkan sebagai Sultan Demak. Kerajaan Mataram Islam pun masih memiliki lambang-lambang magis seperti pendahulunya seperti benda-benda yang telah diberikan berkat oleh para ulama ataupun hasil dari upaya yang dilakukan oleh para sultan melalui kegiatan-kegiatan spiritual tertentu.
Sistem pemerintahan yang dianut oleh Kerajaan Mataram Islam adalah sistem Dewa-Raja. Sebagaimana konsep dari sistem pemerintahan pada masa Kerajaan Hindu-Buddha, Konsep Dewa-Raja memiliki arti pusat kekuasaan tertinggi dan mutlak ada pada diri seorang raja atau sultan. Seorang sultan atau raja sering digambarkan memiliki sifat keramat, yang kebijaksanaannya terpancar dari kejernihan air muka dan kewibawannya yang tiada tara. Raja atau Sultan menampakkan diri pada rakyat sekali seminggu di alun-alun istana.
Kerajaan Mataram Islam sendiri masih menggunakan tradisi-tradisi lama yang telah berkembang sejak era Kerajaan Majapahit. Meskipun yang menjadi perbedaan antara Kerajaan Mataram Islam dengan Kerajaan Majapahit terletak di mana Kerajaan Mataram islam menjadikan agama Islam sebagai agama negara. Meskipun demikian, tradisi-tradisi Hindu dan lokal pun tidak dapat dipisahkan begitu saja di dalam kehidupan keraton pada masa hegemoni Islam. Hal ini disebabkan pula oleh karakteristik budaya masyarakat Mataram (Jawa) yang tidak dengan mudah menerima tradisi-tradisi baru dan menyingkirkan tradisi-tradisi yang lama.
Selain sultan sebagai puncak pimpinan dari Kerajaan Mataram Islam, jabatan penting lainnya adalah kaum priayi yang merupakan penghubung antara raja dan rakyat. Selain itu ada pula panglima perang yang bergelar Kusumadayu dan Tumenggung, serta perwira rendahan atau Yudanegara. Pejabat lainnya adalah Sasranegara, dan pejabat administrasi.
Raja-Raja Mataram Islam dalam mengkoordinasikan antara pemerintah daerah dengan pusat adalah melalui pertemuan yang dilaksanakan di seba. Dengan seba ini raja yang bersangkutan sekaligus dapat mengadakan kontrol terhadap kerajaan dan daerah-daerah yang berada di bawah naungan kekuasaannya. Barang siapa yang tidak hadir dalam seba ini mengundang pertanyaan bagi raja dan hadirin mengenai sebab ketidakhadirannya, dan jika ternyata ketidakhadirannya dalam seba dilakukan sengaja, maka sikap itu dapat ditafsirkan mengarah kepada pemberontakan atau ketidaksetiaan kepada raja yang bersangkutan.
Pertemuan di seba paling sedikit dilakukan setahun sekali, tetapi tiap-tiap kerajaan memiliki peraturan sendiri. Mengenai pertemuan di seba yang dilakukan oleh Kerajaan Mataram Islam dapat terlihat dari keterangan yang diberikan oleh Babad Tanah Jawi. Sebagaimana yang juga pernah dilakukan oleh Panembahan Senapati setelah meninggalnya Sultan Adiwijaya di mana ia tidak datang ke seba Pajang selama lebih dari satu tahun, maka para bupati lain sudah bersiap untuk mengadakan perhitungan kepada Panembahan Senopati atas ketidakhadirannya itu.
Sistem Ekonomi
Kerajaan Mataram Islam adalah kerajaan yang bercorak agraris. Hal itu disebabkan oleh pusat pemerintahan yang terletak di pedalaman. Sebagai negara yang bercorak agraris, Kerajaan Mataram Islam mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan beberapa sungai di Jawa sebagai saluran irigasi. Kerajaan Mataram Islam juga mengadakan pemindahan penduduk (transmigrasi) dari daerah yang kering ke daerah yang subur dengan difasilitasi oleh jaringan irigasi yang baik. Dengan usaha tersebut, menjadikan Kerajaan Mataram Islam berhasil mengekspor beras ke Malaka yang menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Kerajaan Mataram Islam telah berhasil melakukan penyatuan kerajaan-kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Pulau Jawa. Keberhasilan ini tidak hanya menambah kekuatan politik bagi Kerajaan Mataram Islam, melainkan juga berdampak pada tumbuhnya kekuatan ekonomi. Dengan demikian perekonomian Kerajaan Mataram Islam tidak hanya bergantung pada sektor ekonomi agraris, tetapi juga ditunjang oleh aktivitas pelayaran dan perdagangan.
Sistem Sosial
Kehidupan masyarakat di kerajaan Mataram, tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam tanpa meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah pejabat kerajaan. Di bidang keagamaan terdapat penghulu, khotib, naid, dan surantana yang bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan. Di bidang pengadilan,dalam istana terdapat jabatan jaksa yang bertugas menjalankan pengadilan istana. Untuk menciptakan ketertiban di seluruh kerajaan, diciptakan peraturan yang dinamakan anger-anger yang harus dipatuhi oleh seluruh penduduk.
Perkembangan Kebudayaan Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Mataram Islam berhasil melakukan perkembangan dalam bidang kebudayaan yang ditunjukkan dengan beberapa hal diantaranya;
Timbulnya Kebudayaan Kejawen
Kebudayaan Kejawen merupakan hasil akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan asli Jawa dengan ajaran agama Islam. Hal ini ditunjukkan semisal dengan adanya upacara Grebeg yang semula merupakan pemujaan roh nenek moyang. Kemudian, dilakukan dengan doa-doa agama Islam. Sampai kini tradisi tersebut tetap bertahan diantaranya adalah Grebeg Syawal, Grebeg Maulud dan sebagainya.
Perhitungan Tarikh Jawa
Sultan Agung berhasil menyusun tarikh Jawa. Sebelum tahun 1633, Kerajaan Mataram Islam masih menggunakan tarikh Hindu yang didasarkan peredaran matahari (tarikh syamsiyah). Sejak tahun 1633 (1555 S), tarikh Hindu diubah ke tarikh Islam berdasarkan peredaran bulan (tarikh komariah). Caranya, tahun 1555 diteruskan tetapi dengan perhitungan baru berdasarkan tarikh komariah. Tahun perhitungan Sultan Agung ini kemudian dikenal sebagai “tahun Jawa”.
Berkembangnya Kesusastraan Jawa
Pada zaman kejayaan Kerajaan Mataram Islam di bawah pimpinan Sultan Agung, ilmu pengetahuan dan seni berkembang pesat,termasuk di dalamnya kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang kitab yang berjudul Sastra Gending yang merupakan kitab filsafat kehidupan dan kenegaraan.Kitab-kitab yang lain adalah Nitisruti, Nitisastra, dan Astrabata. Kitab-kitab ini berisi tentang ajaran-ajaran budi pekerti yang baik.
Selain itu juga terdapat beberapa karya sastra peninggalan Kerajaan Mataram Islam seperti Babad Tanah Jawa, Babad Meinsma, Serat Kandha, Serat Centhini, Serat Cabolek, Serat Nitipraja, Babad Sangkala, Babad Sankalaniang Momana, Sadjarah Dalem.
Daftar Bacaan
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam. Jakarta: Balai Pustaka
- M.C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi
- Muljana, Slamet. 2005. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS.