Sejarah Kerajaan Tarumanegara (Abad 4-7 M)
Kerajaan Tarumanegara adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Kerajaan Tarumanegara merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Di dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.
Jika berdasarkan dari catatan sejarah atau pun peninggalan prasasti yang ada, tidak ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kali mendirikan Kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam sumber sejarah yang ada adalah Purnawarman. Pada tahun 417 M Raja Purnawarman memerintahkan untuk melakukan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi).
Menurut penelusuran yang dilakukan oleh Poerbatjaraka (seorang ahli bahasa Sansakerta dan bahasa Jawa Kuno), kata Bekasi secara filologis berasal dari kata Candrabhaga; Candra berarti bulan (sasi dalam bahasa Jawa Kuno) dan Bhaga berarti bagian. Jadi Candrabhaga berarti bagian dari bulan. Pelafalan kata Candrabhaga kadang berubah menjadi Sasibhaga atau Bhagasasi. Di dalam pengucapannya sering disingkat Bhagasi, dan karena pengaruh bahasa Belanda sering ditulis Bacassie (di Stasiun KA Lemahabang pernah ditemukan plang nama Bacassie). Kata Bacassie ini kemudian berubah menjadi Bekasi sampai dengan sekarang.
![]() |
Candrabhaga merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara, yang berdiri sejak abad ke 5 Masehi. Ada 7 (tujuh) prasasti yang menyebutkan adanya kerajaan Tarumanagara yang dipimpin oleh Maharaja Purnawarman, yakni Prasasti Tugu (Cilincing, Jakarta), Prasasti Ciaruteun, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Pasir Awi (ke enam prasasti ini ada di daerah Bogor), dan satu prasasti di daerah Bandung Selatan (Prasasti Cidanghiang). sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Bukti keberadaan Kerajaan Tarumanegara diketahui dengan ditemukannya tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasinghawarman pada tahun 358 M dan dia memerintah sampai tahun 382. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.
Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Tarumanegara
Latar belakang berdirinya Kerajaan Tarumanegara hingga saat ini belum dapat diketahui secara pasti apabila ditinjau dari peninggalan-peninggalan sejarah; baik berupa prasasti maupun naskah kuno sezaman. Sumber sejarah berupa prasasti yang berkaitan dengan Tarumanegara hampir semuanya diidentifikasi diterbitkan oleh Raja Purnawarman (395-434). Raja Purnawarman adalah satu-satunya raja yang tertulis di dalam prasasti-prasasti peninggalan Tarumanegara sehingga cukup sulit mengidentifikasi awal mula berdirinya kerajaan ini.
Keterangan-keterangan yang didapatkan tentang Kerajaan Tarumanegara sebelum periode pemerintahan Purnawarman sebagian besar diceritakan berdasarkan naskah-naskah kuno lokal seperti Naskah Wangsakerta. Akan tetapi, keterangan yang diberikan oleh naskah itu masih diragukan kebenarannya. TIdak ada satupun keterangan dari sumber primer sezaman, berupa prasasti maupun naskah-naskah kuno yang sezaman. Meskipun demikian, keterangan-keterangan itu setidaknya dapat mengisi kekosongan deskripsi sementara menunggu sumber-sumber yang lebih mutakhir ditemukan.
Migrasi Dari India
Perpindahan awal orang-orang India ke Indonesia sebenarnya terjadi setelah peperangan yang terjadi di negeri India antara Kerajaan Maurya dengan koalisi Kerajaan Calankayana dan Kerajaan Pallawa. Peperangan ini dimenangkan oleh Kerajaan Maurya, para bangsawan kedua kerajaan (Kerajaan Calankayana dan Kerajaan Pallawa) mengungsikan diri ke beberapa tempat, termasuk ke negeri-negeri diseberang laut, yaitu ke daerah Semenanjung Tanah Melayu, Pulau Jawa, Pulau Sumatra, Yawana dan sebagainya.
Setelah berakhirnya kekuasaan Maurya di India pada akhir abad ke-2 SM, Dinasti Pallawa dan Calankayana sempat bangkit kembali hingga memasuki abad ke-4 M. Eksistensi kedua kekuatan politik itu kembali terguncang ketika Dinasti Gupta mulai melakukan ekspansi militernya. Ekspansi militer Dinasti Gupta membuat Dinasti Pallawa dan Calankayana kembali mengalami kekalahan. Sehingga, membuat keluarga-keluarga dinasti tercerai-berai melarikan diri ke luar India. Perpindahan inilah yang menyebabkan migrasi kedua oleh Dinasti Pallawa dan Calankayana ke Kepulauan Nusantara.
Membangun Tarumadesya
![]() |
Sungai Citarum menjadi saksi berdirinya Kerajaan Tarumanegara |
Pada tahun 348 seorang Maharesi bernama Jayasingawarman yang berasal dari Kerajaan Calankayana beserta pengikutnya yang terdiri dari tentara, penduduk sipil tiba di Pulau Jawa dan mulai menetap. Jayasingawarman beserta para pengikutnya mendirikan pemukiman di sebelah barat Sungai Citarum yang diberinama Tarumadesya. Tarumadesya ini adalah wilayah yang menjadi daerah kekuasaan dari Dewawarman VIII, Raja Kerajaan Salakanagara. Oleh karena Kerajaan Calankayana adalah sekutu dari Kerajaan Pallawa, dan Kerajaan Pallawa sendiri banyak terdapat kerabat dari Kerajaan Salakanagara, maka Jayasingawarman diperkenankan untuk mendirikan perdukuhannya di sana.
Berdirinya Kerajaan Tarumanegara
Pada tahun 358 Tarumadesya telah berkembang menjadi sebuah desa yang cukup ramai. Hal ini disebabkan oleh banyaknya penduduk dari desa-desa lain yang menetap di Tarumadesya. Ramainya Tarumadesya disebabkan oleh letak geografis Tarumadesya yang terletak di daerah aliran Sungai Citarum yang memungkinkan berkembangnya aktivitas perdagangan. Berkembangnya aktivitas perdagangan ini tentu mendukung aktivitas kemaritiman Kerajaan Tarumanegara.
Aktivitas perdagangan di Sungai Citarum telah memberikan kesempatan bagi Tarumadesya untuk semakin berkembang menjadi kota pelabuhan yang memungkinkan kedatangan para pedagang dari luar negeri. Hal inilah yang menyebabkan Tarumadesya beranjak tidak hanya sebagai sebuah perdukuhan saja, melainkan menjadi sebuah kota besar yang kemudian secara bertahap membentuk kekuatan politik baru.
Perkembangan Tarumadesya inilah yang menyebabkan Jayasingawarman mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Tarumanegara pada tahun 358 M. Tarumadesya sendiri kemudian berubah nama menjadi Jayasinghapura. Dengan demikian secara resmi Tarumanegara telah menjadi sebuah kekuatan politik baru di Pulau Jawa bagian barat. Lantas bagaimana respon dari Kerajaan Salakanagara terhadap berdirinya Kerajaan Tarumanegara?
Kerajaan Salakanagara, dengan rajanya Dewawarman VII tidak merasa berdirinya Kerajaan Tarumanegara sebagai ancaman bagi eksistensinya. Melainkan mendukung Tarumanegara untuk mengembangkan potensi perekonomian yang dimilikinya. Perlu diketahui pula, meskipun Jayasingawarman mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Tarumanegara, status Tarumanegara tetaplah sebagai daerah bawahan dari Kerajaan Salakanagara. Sehingga tentu saja ini bukanlah sebuah ancaman bagi Salakanagara. Disisi lain, Jayasingawarman adalah menantu dari Dewawarman VII sendiri.
Setelah mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Tarumanegara, Jayasingawarman bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa atau yang biasa dikenal juga dengan Rajadirajaguru. Gelar Rajadirajaguru menunjukkan Jayasingawarman bukan hanya berstatus sebagai seorang raja saja, melainkan sebagai pemuka agama mengingat Jayasingawarman adalah seorang maharesi.
Sumber Sejarah Kerajaan Tarumanegara
Sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara terdiri dari peninggalan berupa prasasti, sumber-sumber asing seperti yang berasal dari Tiongkok maupun naskah-naskah kuno lokal. Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentang Sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara.
Sumber Sejarah Kerajaan Tarumanegara Yang Berasal dari Luar Negeri
Di bawah ini adalah sumber-sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara terutama yang berasal dari berita Tiongkok antara lain:
Berita Fa-Hsien
Catatan Fa Hien tentang Tarumanegara menjadi penting sebab keterangannya merupakan salah satu sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara. Fa-Hien adalah seorang biksu yang berasal dari negeri Cina (Tiongkok). Di dalam upaya memperdalam ilmu tentang ajaran agama Buddha terutama dengan mencari salinan dari Vinaya Pitaka, Fa-Hien melakukan perjalanan dari Cina menuju India.
Di dalam perjalanannya kembali dari India, Fa-Hien melintasi jalur laut dan mengunjungi beberapa wilayah di selatan daratan Cina, salah satunya ia juga mengunjungi Pulau Jawa. Di Pulau Jawa inilah Fa-Hien juga memberikan kesaksiannya tentang kehidupan masyarakat yang hingga saat ini diduga bahwa tempat yang dikunjungi oleh Fa-Hien adalah Tarumanegara. Di dalam artikel ini akan memberikan penjelasan tentang catatan Fa-Hien tentang Tarumanegara.
Catatan Fa Hien tentang Tarumanegara dimulai dengan perjalanannya pada tahun 399 menuju India sebagai salah satu peziarah pertama dari Tiongkok dan bahkan dunia yang mengunjungi India. Di dalam perjalanannya mengunjungi India Fa Hien melalui jalur darat, sedangkan di dalam perjalanan kembali ke Tiongkok, ia menempuh jalur laut. Dengan demikian banyaklah negeri-negeri yang telah ia kunjungi dalam upayanya menerjemahkan teks-teks agama Buddha.
Fa Hien berangkat bersama sembilan orang lainnya untuk mencari teks suci agama Buddha. Ia memulai perjalanannya jauh dari Tiongkok dengan melintasi gurun, pegunungan es dan juga gunung-gunung dengan medan yang terjal. Ia mulai berhasil tiba di India pada permulaan awal abad ke-5 M dari arah barat laut dan mencapai Pataliputra. Di sini ia berhasil membawa sejumlah besar teks berbahasa Sansekerta dan gambar Buddha yang disakralkan dalam agama Buddha.
Kunjungan Fa Hien ke India ini terjadi pada masa pemerintahan Chandragupta II dari Dinasti Gupta. Berdasarkan pada memoarnya, Fa Hien kira-kira tinggal di India selama 10 tahun. Selama tinggal di India, ia mengunjungi situs-situs utama yang terkait dengan Sang Buddha, serta pusat pendidikan dan biara Buddha yang terkenal. Ia mengunjungi Kapilvastu (Lumbini), Bodh Gaya, Benares (Varanasi), Shravasti, dan Kushinagar, semuanya terkait dengan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Sang Buddha.
Di India ini pula Fa Hien mempelajari bahasa Sansekerta, dan mulai mengumpulkan literatur-literatur agama Buddha di India. Beberapa tempat yang dijadikan sebagai upayanya dalam mengumpulkan literatur-literatur agama Buddha antara lain dari Pataliputra (Patna), Oddiyana, dan Taxila di Gandhara. Berdasarkan keterangannya, di India pada abad ke-5 tradisi Mahayana dan Hinayana yang muncul dengan sub-tradisi Therevada yang mengalami perpecahan dalam menafsirkan ajaran agama Buddha. Setelah berhasil mengumpulkan banyak sekali literatur-literatur agama Buddha di India, ia segera mempersiapkan diri untuk kembali pulang ke Tiongkok melalui jalur laut.
Setelah selama 10 tahun tinggal di daratan anak benua India, Fa Hien segera mempersiapkan dirinya untuk kembali ke Tiongkok. Sebelum kembali ke Tiongkok pada 412, ia terlebih dahulu mengunjungi Sri Lanka. Di Sri Lanka, Fa Hien tinggal selama dua tahun sambil menunggu kapal yang berangkat menuju ke Tiongkok. Pada tahun 414 kapal yang ditunggu untuk mengantarnya menuju Tiongkok pun tiba. Fa Hien segera menaiki kapal tersebut, namun ditengah perjalanan mendapatkan tantangan. Kapal yang ditumpanginya diterjang oleh badai dan membuat kapal terseret ke sebuah pulau yang diperkirakan adalah Pulau Jawa.
Catatan Fa Hien tentang Tarumanegara didapatkan berdasarkan keterangan yang diberikan di dalam A Record Buddhistic Kingdoms yang merupakan catatan perjalanan Fa Hien saat keluar dari Tiongkok menuju India dan kembali lagi ke Tiongkok. Dijelaskan setelah melakukan perjalanan dengan bertolak dari Srilanka selama lebih dari sembilan puluh hari, mereka tiba di sebuah negara yang disebut Ye-p’o-ti, di mana berbagai bentuk kesalahan dalam kepercayaan dan Brahmanisme tumbuh subur, sedangkan agama Buddha di dalamnya tidak layak dibicarakan. Setelah tinggal di sana selama lima bulan, (Fa-hien) kembali berangkat dengan pedagang besar lainnya, yang juga membawa lebih dari 200 orang. Mereka membawa perbekalan selama lima puluh hari, dan memulai pelayaran pada hari keenam belas bulan keempat.
Negeri Ye-p’o-ti yang dimaksud dikunjungi oleh Fa Hien pada tahun 414 ditranskripsikan dengan Yawadwipa. Negeri yang dikunjungi itu kemungkinan adalah negeri Taruma yang terletak di bagian barat Pulau Jawa. Berdasarkan pada keterangan di atas kiranya dapatlah diperoleh deskripsi bahwa ajaran agama Buddha di Jawa (Kerajaan Tarumanegara) belum menjadi mayoritas dianut oleh penduduk. kata-kata “tidak layak dibicarakan” bukan berarti tidak ada penganut ajaran agama Buddha sama sekali, mungkin jumlahnya yang terlampau sedikit. Sehingga menurut Fa Hien yang fanatik terhadap ajaran Buddha, kehidupan ajaran agama Buddha di Jawa pada saat itu tidak perlu dibicarakan. Sedangkan menurut keterangannya pula meyakini bahwa Kerajaan Tarumanegara penduduknya sebagian besar menganut kepercayaan lokal dan sebagian besar lainnya menganut ajaran agama Hindu.
Catatan Fa Hien tentang Tarumanegara ini tentu saja meyakinkan sebab ia tinggal selama lima bulan lamanya di negeri itu untuk menunggu kapal yang hendak ia tumpangi kembali ke negeri Tiongkok. Meskipun gambaran itu tentu saja adalah sesuatu hal yang umum dan tidak memberikan penjelasan secara terperinci, setidaknya keterangan Fa Hien ini menunjukkan adanya pengaruh kebudayaan India di negeri Taruma.
Berita Dinasti Sui
Di dalam catatan Dinasti Sui menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To- lo-mo yang terletak di sebelah selatan.
Berita Dinasti Tang
Di dalam catatan Dinasti Tang, sebagaimana catatan Dinasti Sui juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusan dari To-lo-mo.
Dari tiga berita di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah To-lo-mo ditranskripsikan sebagai Tarumanegara.
Sumber Sejarah Kerajaan Tarumanegara Dari Dalam Negeri
Selain berasal dari sumber-sumber asing dari Tiongkok, berikut ini adalah sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara yang berupa prasasti;
Prasasti Pasir Muara (Muara Cianteun): Kemenangan Raja Sunda Atau Tarumanegara?
Prasasti Muara Cianten (Muara Cianten Inscription) atau dikenal juga dengan nama Pasir Muara adalah prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang terletak di daerah Kabupaten Bogor. Prasasti Muara Cianten ini terletak di dalam situs Ciaruteun bersamaan dengan dua prasasti lainnya yang telah diidentifikasi milik Kerajaan Tarumanegara; prasasti Ciaruteun dan Prasasti Tapak Gajah. Perlu diketahui bahwa prasasti ini berangka tahun 458 Saka atau sekitar tahun 536 M.
Lokasi Penemuan Prasasti Muara Cianten
Prasasti Muara Cianten ditemukan tidak jauh dari batu prasasti Kebon Kopi I (Prasasti Tapak Gajah) terletak kira-kira 1 kilometer. Prasasti ini ditemukan di Pasir Muara yang berada di persawahan, terletak di tepi Sungai Cisadane dan terletak ± 50 m ke muara Cianten. Prasasti terletak ± 600 m sebelah utara dari Prasasti Kebon Kopi, dengan keletakan tanah lebih rendah ± 10 m. Prasasti ini masih berada di tempat asal (in situ), berada sekitar 2 m dari tebing sebelah baratdaya Sungai Cisadane.
Prasasti Muara Cianten adalah sebuah batu berukuran tinggi 140 cm, panjang 317 cm dan memiliki lebar 148 cm. Prasasti ini memuat tulisan/gambar (piktograf) dalam aksara ikal (garis-garis ikal yang saling membelit-belit) dan sudah sangat aus. Prasasti ini belum dilakukan penyelamatan dengan melakukan pemindahan dari tengah sungai Muara Cianten ke lokasi yang lebih aman yaitu di darat. Kondisi yang memperihatinkan ini disebabkan bahwa prasasti ini sering mengalami pergerusan air Sungai Cisadane terutama ketika terjadi banjir.
Sejarah Penemuan Prasasti Muara Cianten
Prasasti Muara Cianten ditemukan oleh N.W. Hoepermans pada tahun 1864 yang bertugas untuk melakukan inventarisasi peninggalan purbakala di Pulau Jawa pada tahun 1864-1867. Berkat dirinya banyak hal yang dapat diketahui mengenai kondisi peninggalan-peninggalan purbakala di Pulau Jawa. Pekerjaan N. W. Hoepermans tertuang di dalam Hindoe-oudheden van Java yang terbit pada tahun 1914 di Batavia (Jakarta sekarang).
Isi Prasasti Muara Cianten
![]() | |
Prasasti Muara Cianten, kondisinya yang memprihatinkan yang berada di daerah aliran sungai rawan terkikis oleh air dan juga iklim |
Prasasti Pasir Muara ini berisi pesan bahwa pada tahun 458 Saka atau 536 M, pemerintahan negara telah dikembalikan ke Kerajaan Sunda.
Di dalam prasasti itu dituliskan :
Teks: ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda.
Terjemahannya menurut Bosch:
Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pangambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan negara dikembalikan kepada raja Sunda.
Hingga saat ini memang masih menjadi teka-teki mengenai penafsiran dari maksud prasasti Muara Cianten. Sebagaimana yang tertulis di dalam prasasti disebutkan adanya peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536. Adanya penanggalan tahun tersebut menjadi pertanyaan apakah Raja Purnawarman masih berkuasa atas takhta Kerajaan Tarumanegara?. Ataukah Raja Purnawarman disebut juga sebagai raja Sunda? mengingat Purnawarman telah membangun ibukota baru bagi Tarumanegara di daerah pesisir Sungai Citarum dengan nama Sundapura. Atau mungkin prasasti ini tidak diterbitkan di masa pemerintahan Purnawarman?
Apabila ditelisik lebih jeli, prasasti-prasasti yang menunjukkan hal-hal yang dilakukan oleh Purnawarman semuanya diperkirakan berasal dari abad ke-5 M. Beberapa prasasti itu antara lain seperti prasasti Tugu yang berangka tahun 417, prasasti Tapak Gajah sekitar tahun 400 dan Prasasti Ciaruteun dari tahun 450. Jika dihitung jarak dari angka tahun saja, tidak memungkinkan prasasti Muara Cianten diterbitkan oleh Purnawarman, sebab jarak tahun dari prasasti Ciaruteun ke prasasti Muara Cianten berjarak sekitar 86 tahun. Sedangkan jarak dengan prasasti Tapak gajah sekitar 136 tahun. Sehingga pertanyaannya apakah raja Purnawarman dikaruniai umur panjang (lebih dari 100 tahun)?. Meskipun hal itu memungkinkan, namun tidak ada satupun bukti yang menunjukkan raja Purnawarman berumur panjang.
Jika memang tidak dibuat pada masa pemerintahan Purnawarman, semisal penerusnya, apakah prasasti Muara Cianten tetap mengisahkan tentang kebijakan atau peristiwa yang berkaitan dengan Purnawarman?. Ataukah tidak memiliki hubungan sama sekali dengan Purnawarman? dalam artian keterangan yang diberikan benar-benar baru (maksudnya raja setelah Purnawarman)?. Sumber-sumber prasasti maupun berita-berita Tiongkok tidak memberikan gambaran apapun mengenai hal ini. Sehingga dapat merujuk kepada sumber-sumber yang berasal dari naskah lokal terutama dalam kitab Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa, raja yang memerintah di Tarumanegara dengan menyesuaikan dengan angka tahun terbitnya prasasti adalah masa pemerintahan raja Suryawarman.
Berdasarkan keterangan yang diberikan di dalam kitab Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa, penerus Tarumanegara setelah Purnawarman mengalami banyak tantangan termasuk ancaman terjadinya disintegrasi. Hal ini mulai teratasi pada masa pemerintahan Candrawarman (515-535) di mana banyak penguasa daerah yang mulai menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah kesetiaan mereka terhadap Tarumanegara. Apabila dikaitkan dengan keterangan ini, maka Suryawarman (535-561) melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh Candrawarman.
Rakryan Juru Pangambat, nama gelar yang disebutkan di dalam prasasti Muara Cianten kemungkinan adalah pejabat tinggi dari Tarumanegara yang sebelumnya (mungkin masa pemerintahan Candrawarman) menjadi wakil raja Tarumanegara di daerah tersebut. Ketika telah terjadi stabilitas politik di istana Tarumanegara, Rakryan Juru Pangambat mengembalikan hak atas wilayah itu kepada raja Tarumanegara yaitu Suryawarman. Namun, masih menjadi pertanyaan lagi apakah daerah itu merupakan pusat dari Kerajaan Sunda?.
Mengenai keberadaan tokoh Rakryan Juru Pangambat dan hubungannya dengan Kerajaan Tarumanegara, maka terdapat dua kemungkinan; Pertama adalah wilayah ini merupakan wilayah kerajaan Sunda yang pada saat itu masih berada di bawah pengaruh dari Kerajaan Tarumanegara. Kedua, raja Sunda yang dimaksud berkuasa atas wilayah tersebut dan bukanlah sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Sunda. Sebagaimana yang diketahui semenjak masa pemerintahan Purnawarman, kerajaan Tarumanegara juga acap disebut Kerajaan Sunda mengingat Sundapura adalah ibukota Tarumanegara. Sehingga, jelaslah kiranya bahwa Rakryan Juru Pangambat adalah gelar yang digunakan oleh seorang pejabat Tarumanegara.
Penyebutan gelar Rakryan Juru Pangambat yang merupakan seorang pejabat Tarumanegara yang diberikan wewenang atas wilayah disekitar Ciaruteun menunjukkan bahwa wilayah ini bukanlah pusat dari kerajaan melainkan bagian dari wilayah kerajaan pusat (yang dimaksud pusat disini adalah Tarumanegara atau disebut juga dengan sebutan Sunda). Mengenai tahun penerbitan prasasti Muara Cianten, sudah dapat dipastikan bahwa prasasti ini bukan diterbitkan oleh Purnawarman, melainkan oleh raja yang berkuasa setelah Purnawarman yang apabila menurut Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa adalah raja Suryawarman. Namun, menurut sumber-sumber primer Tarumanegara belum dapat dipastikan siapa raja yang menerbitkan prasasti tersebut.
Prasasti Ciaruteun: Prasasti Penaklukan Purnawarman Terhadap Daerah Aruteun
Prasasti Ciaruteun (Ciaruteun Inscription) atau yang biasa disebut juga dengan prasasti Ciampea ditemukan di aliran Sungai Ciaruteun. Sungai Ciaruteun adalah anak sungai dari Sungai Cisadane. Prasasti Ciaruteun adalah salah satu peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Prasasti ini diperkirakan ditulis sekitar tahun ± 450 dan dibangun pada masa pemerintahan Raja Purnawarman.
Lokasi Penemuan Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Lokasi ini terletak sekitar 19 kilometer sebelah barat laut dari pusat kota Bogor. Tepatnya kira-kira seratus meter dari pertemuan sungai Ciaruteun, Sungai Cianten dan Sungai Cisadane. Pada abad ke-19 tempat penemuan prasasti ini masih termasuk ke dalam tanah swasta Tjampea (Ciampea), namun kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Tidak jauh dari letak penemuan prasasti Ciaruteun juga ditemukan prasasti Kebon Kopi I. Pada tahun 1981 prasasti Ciaruteun diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini diidentifikasi sebagai peninggalan raja Purnawarman dengan beraksara Palawa, berbahasa Sanskerta.
Sejarah Penemuan Prasasti Ciaruteun
Pada tahun 1863 pemerintah kolonial Hindia-Belanda menerima laporan temuan sebuah batu besar dengan ukiran aksara purba di daerah dekat Tjampea (Ciampea), tidak jauh dari Buitenzorg (Bogor sekarang). Batu besar itu ditemukan di Kampung Muara tepatnya di aliran Sungai Ciaruteun, salah satu anak Sungai Cisadane. Laporan itu kemudian diteruskan kepada pemimpin Bataviasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Pada tahun 1893 batu prasasti ini terhantam banjir besar yang membuatnya berpindah terseret beberapa meter ke hilir dan bagian batu yang bertuliskan aksara terbalik posisinya ke bawah. Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda segera melakukan pemindahan kembali prasasti itu ke tempatnya semula pada tahun 1903. Untuk mencegah prasasti ini terseret kembali oleh banjir, pada tahun 1981 Direktorat Perlindungandan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat dan memindahkannya ke sebuah bangunan pendopo. Dengan demikian prasasti ini terlindungi dari curah hujan, cuaca serta dari tangan-tangan tidak bertanggung jawab yang berusaha merusak prasasti ini. Replika dari prasasti ini kini tersimpan di tiga museum, yaitu Museum Nasional Indonesia dan Museum Sejarah Jakarta di Jakarta serta di Museum Sri Baduga di Bandung.
Isi Prasasti Ciaruteun
Sebagai peninggalan dari Kerajaan Tarumanegara, Prasasti Ciaruteun dituliskan dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta dalam bentuk puisi India dengan irama anustubh terdiri dari 4 baris. Berikut ini adalah isi prasasti Ciaruteun yang dibaca oleh Prof. Poerbatjaraka:
Teks: vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.
Cap telapak kaki menunjukkan akan kekuasaan raja atas daerah tempat ditemukannya prasasti tersebut. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan Dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat. Penggunaan cetakan telapak kaki pada masa itu mungkin dimaksudkan sebagai tanda keaslian, mirip dengan tanda tangan zaman sekarang. Hal ini mungkin sebagai tanda kepemilikan atas tanah. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya.
Menurut keterangan yang diberikan oleh Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama Rajamandala (raja daerah) Pasir Muhara. Hal yang cukup menarik dari prasasti Ciaruteun adalah dengan ditemukannya lambang menyerupai “laba-laba” yang terdapat persis di depan jejak kaki Purnawarman. Tentunya hal ini mengundang banyak spekulasi.
Menurut Vogel, tentang lambang laba-laba yang terdapat di dalam prasasti Ciaruteun seperti lambang laba-laba yang terdapat di Kebudayaan India. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh van Hinloopen-Labberton pada tahun 1912. Menurut Labberton, lambang laba-laba melambangkan brahmana atau jiwa semesta dalam Upanishad. Sehingga, dalam hal prasasti Ciaruteun, laba-laba dianggap melambangkan penguasa yang melak¬sanakan tugasnya mengawasi segenap daerah yang masuk ke dalam kekuasaannya. Pertentangan ini mungkin juga telah timbul karena banyak peneliti yang meneliti hal itu mendasarkan komentarnya pada foto-foto prasasti tersebut dan bukan pada peninjauan langsung terhadap batu prasasti itu sendiri.
Menurut Pleyte, lambang yang dianggap “laba-laba” itu bukanlah laba-laba sebagaimana artinya. Di dalam karangannya yang berjudul Uit het Sunda’s Voortijd pada tahun 1906, menurutnya ukiran itu bukanlah lambang laba-laba melainkan bunga teratai (padma). Bahwa ukiran tersebut bukanlah laba-laba sudah jelas dari jumlah kakinya. Memang diketahui umum bahwa jumlah kaki laba-laba (Araneida) adalah delapan. melihat bahwa garis yang merupakan kaki laba-laba sebenarnya berjumlah dua belas pada lambang yang sebelah kiri, dan sepuluh atau dua belas pada lambang yang sebelah kanan. Dari jumlah kaki itu dapat diambil kesimpulan bahwa lambang tersebut bukan laba-laba.
Menurut Vogel, ukiran tersebut bukanlah lambang teratai sama sekali. Bentuknya sangat lain jika dibandingkan dengan lambang teratai yang terkenal dalam kesenian klasik Kebudayaa India, baik bergaya Hindu ataupun Buddha. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa ukiran tersebut berada di daerah Sunda dan bukan di India. Sehingga ada kemungkinan bahwa lambang tersebut telah diadaptasi dan disesuaikan dengan keadaan setempat.
Di dalam prasasti Ciaruteun yang perlu dicatat adalah mengenai Purnawarman yang dianggap sebagai penjelmaan kembali Dewa Wisnu. Di mana Dewa Wisnu dilambangkan oleh sepasang kaki atau paduka. Pada awal Masehi, sebelum pembuatan arca dikenal, para dewa biasanya dilambangkan sebagai paduka. Kebiasaan ini tentu dimanfaatkan oleh para penganut Buddha maupun Hindu. Setiap dewa (laki-laki) atau sakta diikuti oleh sakti (padanan perempuannya).
Mc. Kinnon menyimpulkan bahwa yang disebut sebagai laba-laba bukanlah lambang laba-laba, tetapi bunga teratai yaitu lambang sakti Wisnu, Dewi Sri atau Sri Laksmi; dewi kesuburan terutama sebagai dewi pelindung padi, dewi rezeki dan kemakmuran. Sedangkan benang yang terukir adalah tangkai bunga teratai yang melambangkan pengikat dunia atas dan dunia bagian bawah. Di periode selanjutnya, Dewi Sri telah diberi satu peranan yang amat penting dalam kebudayaan Sunda dan Jawa.
Ukiran-ukiran yang dianggap laba-laba itu masing-masing merupakan padma atau bunga teratai dengan tangkainya. Walaupun lambang bunga teratai tersebut berbeda bentuknya dengan bentuk teratai dalam kesenian klasik India. Namun, ini tidak menjadi persoalan. Sebab, ukiran tersebut terdapat di tanah Sunda dan karena itu telah terpengaruh oleh sikap daripada penduduk setempat. Maka dapatlah disimpulkan bahwa lambang tertai yang terdapat pada prasasti Ciaruteun ini adalah lambang Dewi Sri dan merupakan bentuk ukiran teratai tertua di Indonesia.
Prasasti Telapak Gajah (Kebon Kopi I)
Prasasti Kebon Kopi I (Kebon Kopi I Inscription) atau Prasasti Tapak Gajah adalah prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang diperkirakan dibuat sekitar tahun 400 . Disebut prasasti Kebon Kopi I agar membedakannya dengan prasasti Kebon Kopi II yang berangka tahun 854 atau yang biasa disebut juga prasasti Muara.
Lokasi Penemuan Prasasti Kebon Kopi I
Lokasi penemuan prasasti Kebon Kopi I di daerah Kampung Muara (sekarang Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Kabupaten Bogor). Hingga saat ini, prasasti masih berada di tempat pertama kali ia ditemukan atau disebut juga dengan in situ. Prasasti Kebon Kopi I ditemukan di antara pertemuan tiga buah sungai, yaitu Sungai Cisadane yang terletak di timur, Sungai Cianten yang terletak di barat, Sungai Ciaruteun di selatan serta muara Sungai Cianten yang bertemu dengan Sungai Cisadane di utaranya.
Lokasi penemuan prasasti Kebon Kopi I ini terletak sekitar 19 kilometar di sebelah barat laut kota Bogor menuju arah Ciampea. Prasasti ini dipahatkan di atas sebuah batu datar dengan bahan batu andesit berukuran tinggi 69 cm, dan lebarnya di masing-masing sisi sekitar 104 cm dan 164 cm. Pada permukaan batu dipahatkan sepasang telapak kaki gajah dan juga terdapat tulisan berhuruf Pallawa dengan berbahasa Sanskerta.
Prasasti Kebon Kopi I termasuk ke dalam salah satu dari tiga prasasti yang ditemukan di situs Ciaruteun. Penemuan prasasti ini dapat memperkaya pemahaman akan pemerintahan dan karakteristik dari Purnawarman sebagai raja dari Kerajaan Tarumanegara. Selain prasasti ini dan tentunya prasasti Ciaruteun, terdapat juga prasasti Muara Cianten yang ditemukan di dalam satu situs. Saat ini, prasasti Kebon Kopi I telah diberikan pendopo agar melindunginya dari air hujan dan iklim.
Sejarah Penemuan Prasasti Kebon Kopi I
Prasasti Kebon Kopi I ditemukan oleh para penebang hutan pada tahun 1863 ketika mereka akan membuka lahan untuk membudidayakan tanaman kopi milik Jonathan Rigg. Jonathan Rigg adalah seorang tuan tanah pemilik perkebunan kopi di dekat Buitenzorg (Bogor sekarang). Penemuan prasasti ini segera dilaporkan kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia. Karena ditemukan di lahan perkebunan kopi, maka prasasti ini disebut dengan Prasasti Kebon Kopi.
Isi Prasasti Kebon Kopi I
Prasasti Kebon Kopi I bertuliskan aksara Palawa dan bahasa Sansekerta dalam bentuk seloka dan diapit sepasang pahatan telapak kaki gajah:
Teks: jayavisalasya Tarumendrasya hastinah, Airwavatabhasya vibhatidam padadvayam
Terjemahan: Di sini nampak tergambar sepasang telapak kaki …yang seperti Airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam….dan (?) kejayaan.
Sebagaimana telah disinggung di atas, Prasasti Kebon Kopi I menampilkan ukiran telapak kaki gajah, yang mungkin merupakan tunggangan raja Purnawarman dari Tarumanegara, yang disamakan dengan gajah Airawata, tunggangan milik Dewa Indra.
Berdasarkan pada mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Dewa Indra (dewa perang dan penguasa Guntur). Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Dewa Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.
Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas dipahatkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai huruf ikal yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang.
Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang laba-laba, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran sepasang bhramara (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala “kemudaan” nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.
Prasasti Pasir Koleangkak (Prasasti Jambu): Keangkuhan Raja Purnawarman?
Prasasti Jambu atau yang biasa dikenal juga dengan prasasti Pasir Koleangkak adalah prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang terletak di daerah Kabupaten Bogor. Prasasti ini diterbitkan pada masa pemerintahan Purnawarman dengan bertuliskan huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Namun, hingga kini belum dapat dipastikan penanggalan prasasti ini diterbitkan.
Lokasi Penemuan Prasasti Jambu
Prasasti Jambu terletak di Pasir Sikoleangkak, Gunung Batutulis, tepatnya di wilayah kampung Pasir Gintung, Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Perlu diketahui, pada masa pemerintahan kolonial Belanda lokasi ini termasuk ke dalam Perkebunan Karet Sadeng-Djamboe, Buitenzorg (Bogor, sekarang). Prasasti ini dipahatkan pada batu dengan bentuk yang masih alami di mana masing-masing sisinya berukuran kurang lebih 2-3 meter.
Sejarah Penemuan Prasasti Jambu
Prasasti Jambu ditemukan pertama kali tahun 1854 oleh Jonathan Rigg dan baru dilaporkan kepada Dinas Purbakala pada tahun 1947. Namun, prasasti ini baru diteliti pertama kali pada tahun 1954 oleh Dinas Purbakala.
Isi Prasasti Jambu
Prasasti Jambu atau pasir koleangkak ini terdiri dari dua baris aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Sragdhara. Pada batu prasasti ini juga terdapat pahatan gambar sepasang telapak kaki yang digoreskan pada bagian atas tulisan. Namun, sebagian gambar telapak kaki kiri telah hilang karena batu bagian ini telah pecah. Berikut adalah bunyi dari prasasti ini:
Teks: shriman data kertajnyo narapatir – asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam – padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam – bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.
Terjemahannya menurut Vogel:
Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.
Isi teks yang terdapat dalam prasasti Jambu secara ekspresif merupakan suatu upaya untuk menyombongkan diri. Hal ini dapat dilihat dari penuturan kalimat “shriman data kertajnyo narapatir” menunjukkan bahwa Raja Purnawarman adalah raja yang sangat pemberani, tidak terkalahkan dan jujur dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang raja. Kehebatannya ditunjukkan dalam teks “asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam”. Kalimat ini memberikan keterangan di mana tidak ada satu pun senjata yang mampu menembus baju zirah Purnawarman. Meskipun, nampaknya ini hanyalah kata yang tidak menunjukkan artian sebenarnya (baju zirah yang tidak dapat ditembus). Kata-kata ini nampaknya lebih mengungkapkan bahwa tidak ada satupun lawan yang pernah ditemui oleh Purnawarman mampu mengalahkannya.
Di dalam prasasti Jambu ini juga diungkapkan betapa Raja Purnawarman adalah raja Tarumanegara yang berhasil membawa Kerajaan Tarumanegara mencapai puncak kejayaannya. Di mana kalimat selanjutnya di dalam prasasti menjelaskan “padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam – bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam”. Kalimat ini juga sekali lagi menunjukkan kesombongan Raja Purnawarman. Nampaknya, si penulis tugu batu ini ingin menunjukkan betapa hebatnya Raja Purnawarman dengan menyebutkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki sang raja. Di sisi lain, juga menunjukkan bahwa Purnawarman adalah raja yang selalu berhasil mendapatkan kemenangan dalam setiap pertempuran. Ia pun sangat menghargai siapapun yang setia kepadanya, memberikan hadiah kepada mereka yang berjasa. Namun, sang raja sangat berbahaya bagi musuh-musuhnya.
Jika meninjau dari isi prasasti Jambu, nampaknya prasasti ini diterbitkan bukan hanya sekedar berhasil menguasai suatu wilayah di barat Pulau Jawa. Prasasti penaklukan yang dilakukan oleh Purnawarman yang sudah jelas penanggalannya adalah prasasti Ciaruteun (± 450 M). Jika dilihat dari karakter prasastinya, kemungkinan Prasasti Jambu diterbitkan memiliki waktu penanggalan yang tidak jauh berbeda dengan penanggalan prasasti Ciaruteun yakni sekitar ± 450 M.
Prasasti Cidanghiyang: Peringatan Kepada Bajak Laut
Prasasti Cidanghiang (Prasasti Cidanghiyang) atau yang biasa disebut juga Prasasti Munjul atau prasasti lebak adalah prasasti yang berisi pujian kepada Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara. Prasasti ini diperkirakan sezaman dengan penerbitan prasasti Tugu yang sama-sama mendeskripsikan tentang raja Purnawarman.
Lokasi Penemuan Prasasti Cidanghiang
Prasasti Cidanghiang ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang. Sungai Cidanghiang adalah sungai yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Sejarah Penemuan Prasasti Cidanghiang
Keberadaan Prasasti Cidanghiang dilaporkan pertama kali oleh Toebagus Roesjan kepada Dinas Purbakala Republik Indonesia pada tahun 1947. Akan tetapi, prasasti ini baru diteliti untuk pertama kalinya pada tahun 1954. Prasasti Cidanghiang ditulis dalam aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum anustubh. Prasasti ini memiliki bentuk aksara yang mirip seperti yang ada pada prasasti Tugu. Sehingga, diperkirakan prasasti ini diterbitkan sezaman dengan prasasti Tugu sekitar ± 417 M.
Prasasti Cidanghiang ditulis menggunakan teknik pahat dengan kedalaman goresan kurang dari 0,5 cm sehingga antara permukaan batu dengan tulisan memiliki kehalusan permukaan yang hampir sama. Prasasti Cidanghiang dipahat pada permukaan batu andesit dengan ukuran 3,2 x 2,25 meter.
Isi Prasasti Cidanghiang
Isi dari Prasasti Cidanghiang bertujuan untuk menyanjung raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara. Berikut ini adalah isi dari prasasti Cidanghiang:
Teks: Vikranto ‘yam vanipateh/prabhuh satya parakramah narendra ddhvajabhutena/ srimatah purnnawvarmanah
Terjemahan: Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguhnya dari raja dunia, yang Mulia Purnawarman yang menjadi panji sekalian raja-raja.
Di dalam prasasti Cidanghiang atau prasasti Lebak ini ingin memberikan peringatan kepada siapapun yang membacanya bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara memiliki kesaktian yang hebat (sangat sakti). Dengan diterbitkannya prasasti ini, ingin memberikan isyarat bahwasanya Raja Purnawarman adalah sosok raja yang luar biasa kuat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya teks “Vikranto ‘yam vanipateh…” yang memiliki arti sifat keperwiraan, keagungan dan keberanian. Selain itu, kata-kata tersebut juga memberikan petunjuk bahwa sang Raja Purnawarman bukan hanya sekedar simbol dari Kerajaan Tarumanegara, melainkan ia pun sebagai seorang perwira, seorang prajurit yang tangguh dalam bertempur dan berwibawa dalam memerintah.
Pembacaan dalam isi teks “…prabhuh satya parakramah narendra ddhvajabhutena/ srimatah purnnawvarmanah” rupa-rupanya di dalam prasasti Lebak ini ingin menunjukkan bahwa sang Raja Purnawarman adalah raja yang gagah berani, tangguh dan disegani oleh raja-raja lainnya di seluruh dunia. Prasasti ini nampaknya ingin memberikan keterangan bahwa Raja Purnawarman adalah raja yang sakti dan gagah berani. Hal ini bertujuan untuk memperingati siapapun, kawan maupun musuh Raja Purnawarman agar berpikir masak-masak dan berhati-hati apabila ingin mengganggu kedaulatan Kerajaan Tarumanegara.
Apabila ditinjau dari naskah Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara dan Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa, nampaknya penerbitan prasasti Cidanghiang bukanlah suatu peringatan penaklukan yang dilakukan oleh Purnawarman terhadap daerah ini (Lebak). Melainkan suatu upaya yang dilakukan oleh Purnawarman dalam menjaga kedaulatan perairan Kerajaan Tarumanegara. Di dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa penerbitan prasasti ini berkaitan dengan pertempuran antara Raja Purnawarman dengan para bajak laut yang kerap kali mengganggu daerah perairan Kerajaan Tarumanegara.
Peperangan antara Raja Purnawarman dan para bajak laut diperkirakan terjadi sekitar tahun 399-403. Raja Purnawarman berupaya untuk mengamankan jalur perniagaan yang melintasi wilayah perairan Kerajaan Tarumanegara yang pada tempo yang sama, perairan milik Kerajaan Tarumanegara sering mengalami gangguan oleh para bajak laut yang tersebar di sekitar bagian barat dan utara Pulau Jawa.
Peperangan antara Raja Purnawarman dan para bajak laut ini diawali di daerah Ujung Kulon dan kemungkinan berakhir di Teluk Lada.Teluk Lada adalah muara dari Sungai Cidanghiang tempat prasasti ditemukan.
Prasasti Lebak ini juga menjadi tanda penghargaan bagi masyarakat setempat yang telah membantu Raja Purnawarman dalam peperangan. Jadi, prasasti ini adalah prasasti yang memperingati keberhasilan Raja Purnawarman dalam mengatasi gangguan para bajak laut. Prasasti ini bukanlah peringatan akan keberhasilan Purnawarman dalam menaklukan suatu wilayah seperti yang termuat di dalam prasasti Ciaruteun.
Prasasti Pasir Awi: Beberapa Penaklukan Lainnya Oleh Purnawarman
Prasasti Pasir Awi atau yang dikenal juga dengan nama Prasasti Cemperai adalah salah satu sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara yang berupa prasasti. Prasasti Pasir Awi sangat penting bagi sejarah Indonesia terutama yang berkaitan dengan Kerajaan Tarumanegara karena memberikan informasi penting tentang perkembangan agama, bahasa, dan kebudayaan masyarakat. Di dalam artikel ini akan dijelaskan secara singkat tentang Prasasti Pasir Awi.
Lokasi Penemuan Prasasti Pasir Awi
Prasasti Pasir Awi ditemukan di lereng selatan bukit Pasir Awi (± 559 m dpl) di daerah kawasan hutan Perbukitan Cipamingkis, desa Sukamakmur, Kecamatan Sukamakmur Jonggol, Kabupaten Bogor Jawa Barat. Posisinya berada di puncak ketinggian perbukitan dan berada di sisi yang curam yang memberikan pandangan luas ke wilayah bukit dan lembah di bawahnya.
Sejarah Penemuan Prasasti Pasir Awi
Prasasti Pasir Awi ditemukan oleh N.W. Hoepermans pada tahun 1864 dan dilaporkan pada tahun 1867.
Isi Prasasti Pasir Awi
Prasasti Pasir Awi ditulis menggunakan aksara ikal yang hingga saat ini masih belum dapat dibaca keterangan dari isi prasasti ini. Di dalam prasasti ini terdapat gambar telapak kaki sebagaimana yang terdapat di dalam prasasti Ciaruteun. Apabila diperhatikan dari keberadaan gambar telapak kaki seperti yang juga terdapat di dalam prasasti Ciaruteun, prasasti Pasir Awi kemungkinan memiliki fungsi yang sama yaitu menunjukkan kepemilikan atas suatu wilayah. Prasasti ini kemungkinan diterbitkan oleh Raja Purnawarman dari Tarumanegara setelah keberhasilannya menguasai suatu wilayah.
Sebagaimana pengamatan terhadap prasasti Ciaruteun, keberadaan gambar telapak kaki menunjukkan akan kekuasaan raja atas daerah tempat ditemukannya prasasti tersebut. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan Dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat. Penggunaan cetakan telapak kaki pada masa itu mungkin dimaksudkan sebagai tanda keaslian, mirip dengan tanda tangan zaman sekarang. Hal ini mungkin sebagai tanda kepemilikan atas tanah. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya.
Prasasti Pasir Awi ini menunjukkan suatu keberhasilan yang telah dicapai oleh raja Purnawarman setelah berhasil menguasai wilayah. Kemunculan prasasti ini sebagaimana kemunculan prasasti ciaruteun sebagai tugu peringatan ditaklukannya daerah Aruteun oleh raja Purnawarman. Perlu disadari pula sepanjang memerintah di Kerajaan Tarumanegara, Raja Purnawarman tidak hanya membuat proyek pengairan secara besar-besaran diberbagai wilayah Kerajaan Tarumanegara. Tindakan lainnya yang dilakukan oleh sang raja juga melakukan perluasan wilayah kekuasaan dari Kerajaan Tarumanegara.
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama Rajamandala (raja daerah) Pasir Muhara. Berdasarkan keterangan tersebut dapatlah diketahui bahwa ketika Purnawarman memerintah telah banyak kekuatan-kekuatan politik yang terdapat di daerah pedalaman Pulau Jawa bagian barat yang mungkin dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan dari Kerajaan Tarumanegara. Sehingga jelaslah kiranya tindakan-tindakan politik yang dilakukan oleh Purnawarman untuk melakukan ekspansi.
Selain keberadaan dari prasasti Pasir Awi dan Prasasti Ciaruteun yang dianggap sebagai prasasti penaklukan oleh Purnawarman, masih dimungkinkan banyak prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Purnawarman dalam kurun waktu yang hampir sama. Prasasti-prasasti itu dikeluarkan sebagai upaya perluasan wilayah Kerajaan Tarumanegara. Namun, sayangnya prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh Purnawarman berkaitan dengan ekspansi tidak semua dapat sampai pada hari. Kemungkinan-kemungkinan seperti perusakan oleh manusia, faktor alam dan jenis batu yang digunakan sebagai tugu peringatan ini tidaklah menggunakan jenis batuan yang sama. Sehingga tentu saja terdapat jenis batu yang kuat dan bertahan lama mempertahankan identitasnya adapula yang telah hilang.
Prasasti Tugu: Cara Purnawarman Mengatasi Banjir
Prasasti Tugu adalah salah satu prasasti yang menunjukkan eksistensi dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti Tugu menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi apabila musim kemarau tiba.
Lokasi Penemuan Prasasti Tugu
Lokasi asal Prasasti Tugu ketika ditemukan berada di Kampung Batutumbuh, Desa Tugu, di sekitar Simpang Lima Semper sekarang, tidak jauh dari tepian Kali Cakung. Kini wilayah itu menjadi wilayah kelurahan Tugu Selatan, kecamatan Koja, Jakarta Utara. Saat ini Prasasti Tugu tersimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta.
Sejarah Penemuan Prasasti Tugu
Prasasti Tugu dicatat pertama kali dalam laporan Notulen Bataviaasch Genootschap tahun 1879. Kemudian pada tahun 1911 atas prakarsa P.de Roo de la Faille prasasti ini dipindahkan ke Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional). Prasasti Tugu berbahan dasar batu berbentuk bulat telur berukuran ± 1 meter dan bertuliskan aksara pallawa.
Isi Prasasti Tugu
Berikut ini adalah isi dari prasasti Tugu:
Teks:
pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam yayau//
pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana//
prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih
ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka//
pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina//
Terjemahan:
“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memilki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnawarman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) dia pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman).
Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan dan disudahi pada hari tanggal ke 13 paro terang bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”.
Prasasti Tugu dipahat sehubungan dengan selesainya pembangunan Sungai Candrabaga dan Gomati, kedua sungai yang terkenal di Punjab, India. Prasasti ini menerangkan penggalian Sungai Candrabaga (Chandrabhaga) oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau. Prasasti ini bertuliskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh yang terdiri dari lima baris melingkari mengikuti bentuk permukaan batu. Sebagaimana semua prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara umumnya.
Pembangunan sungai itu berlangsung selama 21 hari dengan panjang sungai yang berhasil digali yakni 12 km. Setelah berhasil menyelesaikan proyeknya, Purnawarman memberikan sedekah kepada para Brahmana sebanyak 1000 ekor sapi sebagai tanda rasa syukur atas keberhasilannya.
Hal unik dari prasasti Tugu yang pertama adalah dengan penyebutan nama Chandrabaga yang menurut Prof. Poerbatjaraka nama tersebut adalah nama Sungai di India yang namanya digunakan untuk memberikan nama sungai di Pulau Jawa. Melalui etimologi, Prof. Poerbatjaraka berkesimpulan bahwa nama itu sekarang dikenal dengan nama Bekasi dan merupakan pusat dari Kerajaan Tarumanegara. Selain itu, menyebutkan terdapat dua buah nama selain Purnawarman (yaitu Rajadirajaguru), sehingga setidaknya nama tersebut dapat dipergunakan untuk menentukan asal-usul dari Purnawarman.
Prasasti Tugu merupakan satu-satunya prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang mencantumkan pertanggalan, meskipun tidak memuat angka tahun yang pasti. prasasti ini hanya menyebutkan phalguna dan caitra yang bertepatan dengan bulan-bulan Februari-April. Pembuatan sungai atau terusan ini diperkirakan berkaitan dengan upaya pengendalian banjir mengingat bulan-bulan tersebut Jawa bagian barat mendapatkan curah hujan yang sangat tinggi.
Kronologi tahun pembuatan prasasti Tugu didasarkan pada analisis gaya dan bentuk aksara (analisis palaeografis). Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-5 M. Namun, apabila berkaca pada naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa, Purnawarman sendiri mulai berkuasa sekitar tahun 395 yang itu berarti tahun ke-22 masa pemerintahannya jatuh pada tahun 417. Khusus untuk prasasti Tugu dan prasasti Cidanghiyang memiliki kemiripan aksara, sehingga sangat mungkin sang pemahat tulisan (citralaikha > citralekha) kedua prasasti ini adalah orang yang sama. Dibandingkan prasasti-prasasti dari masa Kerajaan Tarumanagara lainnya, Prasasti ini merupakan prasasti yang terpanjang yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Purnawarman.
Prasasti Tugu memiliki keunikan yakni terdapat pahatan hiasan tongkat yang pada ujungnya dilengkapi semacam trisula. Gambar tongkat tersebut dipahatkan tegak memanjang ke bawah seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir kalimat-kalimat pada prasastinya.
Raja-Raja Kerajaan Tarumanegara
Raja-Raja yang memerintah di Kerajaan Tarumanegara (Berdasarkan sumber prasasti dan catatan sejarah):
1. Raja Jayasingawarman (358-382): Pendiri Kerajaan Tarumanegara
Jayasingawarman (Jayasinghawarman) adalah pendiri Kerajaan Tarumanegara yang memerintah antara 358-382. Berdasarkan keterangan yang dimuat dalam naskah kuno, Ia adalah seorang maharesi dari Kerajaan Calankayana yang berada di India. Berdasarkan naskah kuno pula, diberitakan bahwa ia mengungsi ke Kepulauan Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magadha. Oleh karena Kerajaan Calankayana masih memiliki hubungan politik dengan Kerajaan Salakanagara, maka Jayasingawarman memilih untuk mengungsi di wilayah Kerajaan Salakanegara.
Pada tahun 348, Jayasingawarman bersama para pengikutnya yang terdiri dari tentara Kerajaan Calankayana dan beberapa penduduk sipil tiba di Pulau Jawa dan memutuskan untuk hidup menetap di Pulau Jawa. Atas bantuan dan perlindungan dari Dewawarman VIII, raja Kerajaan Salakanagara, Jayasingawarman diberikan tempat untuk membangun pemukimannya. Ia kemudian memilih untuk membangun pemukimannya di tepi sebelah barat Sungai Citarum yang diberi nama Tarumadesya.
Jayasingawarman Mendirikan Kerajaan Tarumanegara
Secara bertahap, selama sepuluh tahun pemukiman Tarumadesya ini mulai mengalami perkembangan yang cukup pesat hingga menjadi desa yang cukup ramai. Ramainya Tarumadesya dan perkembangannya yang cukup pesat ini disebabkan oleh banyaknya penduduk dari desa-desa lain yang menetap di Tarumadesya. Daya tarik Tarumadesya ini disebabkan oleh letaknya yang berada ditepian Sungai Citarum yang dapat mendukung aktivitas pertanian yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat. Selain itu, letaknya yang ditepian Sungai Citarum juga memberikan akses kepada Tarumadesya dengan perdagangan internasional sehingga memungkinkan para pedagang asing untuk singgah dan memberikan banyak keuntungan bagi Tarumadesya sendiri.
![]() | |
Sungai Citarum, di daerah Bekasi yang dipilih oleh Jayasingawarman untuk membangun Kerajaan Tarumanegara |
Dengan semakin ramainya Tarumadesya dan dapat menjadi desa yang mandiri secara perekonomian dan tidak tergantung dengan bantuan pusat (Kerajaan Salakanagara) menjadikan Jayasingawarman percaya diri untuk mendeklarasikan Tarumadesya sebagai kerajaan dengan nama Kerajaan Tarumanegara. Kerajaan Tarumanegara didirikan pada tahun 358. Kerajaan Tarumanegara yang dideklarasikan oleh Jayasingawarman ini statusnya masih menjadi kerajaan bawahan dari Kerajaan Salakanagara yang dipimpin oleh Dewawarman VIII. Setelah mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Tarumanegara, ia bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa atau nama lain Jayasingawarman disebut juga Rajadirajaguru Jayasingawarman.
Melihat prestasi dan keberhasilan yang telah dicapai oleh Kerajaan Tarumanegara, Dewawarman VIII sebagai raja dari Kerajaan Salakanagara memutuskan untuk menikahkan putrinya yang bernama Iswari Tunggal pertiwi Warmadewi atau yang dikenal juga dengan nama Dewi Minawati dengan Jayasingawarman. Hal ini bertujuan untuk memperkuat hubungan antara Kerajaan Salakanagara sebagai pusat dengan Kerajaan Tarumanegara sebagai negeri bawahan.
Menjadi Kerajaan Mandiri
Setelah Dewawarman VIII meninggal pada tahun 363 M, Dewawarman VIII digantikan oleh putranya, Dewawarman IX. Di bawah kepemimpinan Dewawarman IX Kerajaan Salakanagara mulai mengalami kemunduran. Kemunduran Kerajaan Salakanagara di bawah kepemimpinan Dewawarman IX hingga saat ini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Namun, kemunduran ini dapat diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan dan keterampilan Dewawarman IX dalam memimpin Kerajaan Salakanagara. Di sisi lain, secara tidak langsung pun dapat terjadi persaingan antara Rajatapura (ibukota Kerajaan Salakanagara) dengan Taruma sebagai salah satu kota pelabuhan yang mulai berkembang sangat pesat terutama setelah didirikannya Kerajaan Tarumanegara oleh Jayasingawarman.
Persaingan antara Rajatapura dan Taruma inilah yang memungkinkan menurunnya sumber pemasukan perekonomian bagi Kerajaan Salakanagara semakin berkurang. Di sisi lain tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan Kerajaan Salakanagara memulai peperangan terhadap Kerajaan Tarumanegara, baik dari sumber prasasti maupun keterangan yang didapatkan dari naskah-naskah kuno. Hal ini memang dapat dipastikan bahwa selama pemerintahan Dewawarman IX tidak ada suatu upaya untuk memperkuat angkatan perang Kerajaan Salakanagara.
Dengan kenyataan inilah secara lambat-laun eksistensi dan pengaruh dari Kerajaan Salakanagara mulai digantikan oleh Kerajaan Tarumanegara. Melihat kondisi kemunduran Kerajaan Salakanagara, Jayasingawarman memanfaatkan kondisi ini untuk merebut puncak tertinggi kekuasaan di Pulau Jawa bagian Barat dengan menjadikan Kerajaan Salakanagara sebagai kerajaan bawahan dari Kerajaan Tarumanegara. Hal ini nampaknya menjadi jelas kiranya kemunduran Kerajaan Salakanagara dan menyerahnya Kerajaan Salakanagara terhadap Kerajaan Tarumanegara disebabkan oleh “kekalahan” dalam persaingan ekonomi.
Setelah berhasil menyebabkan Kerajaan Salakanagara menyerah, Jayasingawarman kemudian memindahkan pusat pemerintahan di bagian barat Pulau Jawa yang sebelumnya terletak di Rajatapura kini berpindah ke Taruma. Dengan berpindahnya pusat kekuasaan ini menjadi Kerajaan Tarumanegara sebagai kekuatan politik yang paling besar di bagian barat Pulau Jawa.
Untuk meningkatkan perekonomian Kerajaan Tarumanegara, Raja Jayasingawarman melakukan penggalian terusan yang diberi nama Candrabaga dan Gomati yang kemungkinan hingga ia meninggal pada tahun 382 baru Sungai Candrabaga saja yang telah berhasil diselesaikan. Hal ini didasari sebagaimana yang dijelaskan di dalam prasasti Tugu, perbaikan kembali Sungai Candrabaga barulah dilakukan pada masa pemerintahan cucunya, Raja Purnawarman pada tahun 41. Raja Purnawarman pula-lah yang melakukan lanjutan penggalian terhadap Sungai Gomati.
Berdasarkan pada terusan yang dibuat oleh Jayasingawarman memberikan keterangan yang cukup untuk mengetahu aktivitas perekonomian masyarakat Kerajaan Tarumanegara yang aktivitasnya adalah pada bidang pertanian dan perdagangan. Keberadaan terusan ini dianggap sebagai upaya irigasi dan sebagai jalur transportasi.
Raja Jayasingawarman Kerajaan Tarumanegara meninggal pada tahun 382 dan dipusarakan di tepi kali Gomati. Hal ini kemungkinan disebabkan Raja Jayasingawarman sedang melakukan pembangunan terhadap Sungai Gomati. Setelah Raja Jayasingawarman meninggal, selanjutnya kepemimpinan Kerajaan Tarumanegara dilanjutkan oleh Rajaresi Dharmayawarmanguru, putra sulung dari Jayasingawarman.
2. Sang Rajaresi Dharmayawarmanguru (382-395)
Dharmayawarman adalah raja kedua Kerajaan Tarumanegara yang naik takhta Kerajaan Tarumanegara pada tahun 382. Ia memerintah di Kerajaan Tarumanegara antara tahun 382-395. Dharmayawarman adalah putra sulung dari Raja Jayasingawarman pendiri Kerajaan Tarumanegara. Pada tahun 382, setelah meninggalnya raja Jayasingawarman, ia dinobatkan menjadi raja kedua Kerajaan Tarumanegara.
Setelah dinobatkan menjadi raja di Kerajaan Tarumanegara, ia bergelar Sang Rajaresi Dharmayawarmanguru. Gelar Dharmayawarmanguru diberikan oleh karena ia adalah seorang pemimpin pemerintahan dan sekaligus juga sebagai pemimpin semua guru agama Hindu yang terdapat di Kerajaan Tarumanegara. Yang artinya, selain sebagai pemimpin politik (raja), ia pun juga sebagai pemimpin agama (kaum brahmana).
Raja Dharmayawarmanguru mendapatkan gelar “guru” itu juga disebabkan karena kemampuannya yang tinggi dalam pemahaman ajaran-ajaran Hindu dan bahkan melampaui kemampuan para brahmana di Kerajaan Tarumanegara. Hal ini tidak aneh, sebab sebagaimana diketahui bahwa ia adalah anak dari Raja Jayasingawarman, yang mana sebelum Raja Jayasingawarman menjadi Raja Kerajaan Tarumanegara, dirinya adalah seorang Maharesi yang memiliki status lebih tinggi dibandingkan seorang brahmana biasa.
Pada masa pemerintahan Raja Dharmayawarman, penduduk Kerajaan Tarumanegara sebagian besar masih menganut pemujaan terhadap roh leluhur yang diwarisi secara turun-temurun. Oleh sebab itu, ia selalu berupaya untuk mengajarkan ajaran agama Hindu kepada pemimpin-pemimpin desa dan penduduk Kerajaan Tarumanegara. Selain itu, untuk menunjang usahanya, iajuga mendatangkan para brahmana yang berasal dari India. Meskipun telah berupaya untuk menyebarkan ajaran agama Hindu, banyak penduduk yang masih tetap bertahan dengan kepercayaan asli mereka.
Dharmayawarman juga membentuk sistem caturwarna di mana terdapat empat kasta di dalam penduduk Kerajaan Tarumanegara; kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Selain itu, penduduk juga dibedakan antara golongan; nista, madya dan utama. Golongan utama adalah golongan tertinggi di dalam stratifikasi sosial masyarakat Kerajaan Tarumanegara. Golongan nista sebagai golongan yang paling rendah sangat takut terhadap agama yang dianut oleh Sang Rajaresi Dharmayawarmanguru.
Pada tahun 392, Dharmayawarman menobatkan putranya, yang bernama Purnawarman sebagai penerusnya untuk bertakhta di Kerajaan Tarumanegara. Ia meninggal pada tahun 395 dan dipusarakan di tepi Sungai Candrabaga danjuga disebut sebagai Sang Lumahing Candrabaga (yang mendiang di Candrabaga) hal ini dikarenakan ia dipusarakan di sungai itu.
3. Purnawarman (395-434): Raja Terbesar Kerajaan Tarumanegara
Purnawarman dilahirkan pada tahun 372 dan telah dinobatkan sebagai raja Kerajaan Tarumanegara pada tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 317 Saka atau tahun 393 Masehi saat berusia 21 tahun untuk menggantikan ayahnya, Rajaresi Dharmayawarmanguru. Rajaresi Dharmayawarmanguru kemudian memilih mengundurkan diri dari takhta Kerajaan Tarumanegara untuk memilih hidup di pertapaan menempuh manurajasunya (bertapa setelah turun takhta sampai menunggu ajal tiba). Purnawarman secara resmi memerintah setelah ayahnya meninggal pada tahun 395 M.
Didirikannya Ibukota Baru Kerajaan Tarumanegara: Sundapura
Purnawarman (Purnavarmman) adalah raja yang tertera pada beberapa prasasti pada abad ke-5. Ia menjadi raja di Kerajaan Tarumanegara dan mengidentifikasikan dirinya dengan Wisnu. Di dalam naskah Wangsakerta, Purnawarman adalah raja ketiga Kerajaan Tarumanegara yang memerintah antara 395-434. Setelah dinobatkan sebagai raja Kerajaan Tarumanegara pada tahun 395, Purnawarman segera membangun ibu kota Kerajaan Tarumanegara yang baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai dan di tepi kali Gomati. Ibukota Kerajaan Tarumanegara yang baru itu diberi nama “Sundapura”. Nama Sunda mulai digunakan oleh Purnawarman dalam tahun 397 untuk menyebut ibu kota kerajaan yang didirikannya.
Setelah memindahkan ibukota Kerajaan Tarumanegara ke Sundapura, Purnawarman membuat pelabuhan baru di tepi pantai ibukota Sundapura. Pembuatannya dimulai pada tanggal 15 Desember 398 M dan selesai pada 11 November 399. Pelabuhan Sundapura ini sangatlah ramai, terutama memang dipersiapkan sebagai pangkalan militer kekuatan laut Kerajaan Tarumanegara. Pelabuhan Sundapura segera diramaikan oleh kapal-kapal perang milik Kerajaan Tarumanegara yang dipersiapkan untuk menjaga lalu-lintas perdagangan di kawasan pantai utara Jawa bagian barat hingga ke Selat Sunda.
Menghadapi Gangguan Dari Bajak Laut
Pada tahun 399 seorang menteri Kerajaan Tarumanegara beserta tujuh orang pengikutnya ditawan dan dibunuh oleh para bajak laut yang sering mengganggu daerah perairan Kerajaan Tarumanegara. Berdasarkan pada kejadian ini, maka sepanjang tahun 399-403 M, Raja Purnawarman melakukan peperangan terhadap para bajak laut yang seringkali mengganggu aktivitas pelayaran dan perdagangan yang terletak di bagian barat dan utara Pulau Jawa.
Peperangan pertama Raja Purnawarman melawan para bajak laut terjadi di daerah perairan Ujung Kulon. Di dalam peperangan ini, armada laut Kerajaan Tarumanegara dipimpin langsung oleh Raja Purnawarman. Puluhan kapal perang Kerajaan Tarumanegara segera menyerang dua buah kapal bajak laut. Di dalam pertempuran yang sesungguhnya tidak seimbang dari jumlah itu, Kerajaan Tarumanegara berhasil memenangkan pertempuran. Di mana sebanyak 28 orang bajak laut berhasil ditewaskan, sedangkan 52 orang lainnya di tawan. Para tawanan itu pun akhirnya tidak diberikan ampunan, melainkan satu persatu dibunuh dengan berbagai cara, setelah dibunuh mayat mereka pun dibuang ke tengah laut.
Sesungguhnya, telah lama sekali para bajak laut berkuasa atas perairan di Pulau Jawa bagian utara, barat dan timur. Jumlah mereka sangatlah besar dan tersebar di berbagai tempat. Setelah tragedi di Ujung Kulon, Dengan kekuatan kemaritiman Kerajaan Tarumanegara Raja Purnawarman melakukan banyak sekali pertempuran dengan para bajak laut sehingga menyebabkan para bajak laut itu menjadi enggan untuk memasuki daerah perairan barat Pulau Jawa.
Peringatan tentang kemenangan Raja Purnawarman terhadap para bajak laut kemungkinan amat berkaitan dengan Prasasti Cidanghiang yang ditemukan di Desa Lebak, Kabupaten Pandeglang, Banten. Adapun isi dari Prasasti Cidanghiang yaitu;
Teks: Vikranto ‘yam vanipateh/prabhuh satya parakramah narendra ddhvajabhutena/ srimatah purnnawvarmanah
Terjemahan: Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguhnya dari raja dunia, yang Mulia Purnawarman yang menjadi panji sekalian raja-raja.
Apabila dilihat dari letak ditemukannya Prasasti Cidanghiang yang bermuara ke Teluk Lada, dan adanya prasasti ini, kemungkinan di Teluk Lada inilah akhir dari peperangan yang dilakukan oleh Purnawarman terhadap para bajak laut yang selama ini mengganggu kenyamanan perairan di kawasan barat Pulau Jawa. Prasasti Cidanghiang juga menjadi tanda penghargaan kepada masyarakat setempat yang telah membantu raja Purnawarman dalam mengalahkan para bajak laut. Tidak lupa pula, Raja Purnawarman memberikan banyak hadiah kepada masyarakat setempat yang turut serta dalam upayanya itu.
Purnawarman Menjadi Seorang Maharaja
Setelah Sundapura menjadi pelabuhan yang ramai dan memberikan keuntungan yang besar bagi Kerajaan Tarumanegara dan keberhasilan Purnawarman dalam mengamankan perairan di bagian barat dan utara Pulau Jawa, Purnawarman kemudian melakukan serangkaian penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan yang berada di bagian barat Pulau Jawa. Raja Purnawarman sendiri adalah seorang yang sangat pemberani.
Di dalam naskah Wangsakerta juga disebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada, Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbalingga) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.
Adik raja Purnawarman, yang bernama Cakrawarman diangkat menjadi panglima perang Kerajaan Tarumanegara, sedangkan pamannya yang berasal dari pihak ayah (saudara Dharmayawarman) yang bernama Nagawarman diangkat sebagai panglima angkatan laut Kerajaan Tarumanegara. Nagawarman sendiri seringkali berpergian ke negeri-negeri yang jauh untuk menjalin hubungan politik. Beberapa tempat yang dikunjungi oleh Nagawarman antara lain, daerah Semenanjung (Malaysia sekarang), Syangka, Yawana, Cambay, Sopala, Bakulapura (Kalimantan), Cina, Sumatera dan lain-lain.
Raja Purnawarman sangatlah besar wilayah kekuasaannya di Jawa Barat sehingga dirinya diibaratkan seperti ibarat raja matahari yang bersinar bagi raja-raja sesamanya. Kerajaan Tarumanegara setiap tahun selalu mendapatkan kunjungan dari raja-raja yang berasal dari negeri bawahan untuk memberikan upeti kepada Raja Purnawarman. Para raja dari negeri bawahan itu datang ke ibukota Kerajaan Tarumanegara di Sundapura setiap tanggal 11 bagian terang bulan Caitra (Maret-April). Pada tanggal 13-15 di bulan yang sama mereka menghadiri pesta yang dimeriahkan oleh tarian gadis-gadis cantik, dengan iringan suara gamelan yang merdu. Sang Raja Purnawarman menjamu tamu-tamunya dengan makanan dan minuman yang serba enak.
Proyek Pengairan Purnawarman
Raja Purnawarman sangatlah memperhatikan aliran sungai demi kepentingan kehidupan rakyatnya. Pada tahun 410, Raja Purnawarman memperbaiki aliran Sungai Gangga yang terletak di daerah Cirebon. Sebenarnya, Sungai Gangga ini termasuk ke dalam wilayah kerajaan bawahan dari Kerajaan Tarumanegara, yaitu Kerajaan Indraprahasta. Sungai yang bagian hilirnya disebut dengan Cisuba mulai diperbaiki dengan cara diperdalam dan diperindah tanggulnya.
Setelah perbaikan aliran sungai selesai, Raja Purnawarman membuat sebuah prasasti (prasasti itu hingga kini belum diketemukan) dan juga memberikan hadiah harta (sangaskararthadaksina) kepada para Brahmana dan seluruh pihak yang turut serta melakukan penggarapan pekerjaan itu hingga selesai. Hadiah yang diberikan oleh Raja Purnawarman ini berupa 500 ekor sapi, pakaian, 20 ekor kuda, seekor gajah yang semuanya diserahkan dan diatur oleh Raja Indraprahasta, penyerahan hadiah itu disertai dengan jamuan makanan dan minuman yang amat lezat. Selain kalangan istana Kerajaan Indraprahasta, ribuan penduduk baik laki-laki maupun perempuan yang terlibat juga mendapatkan hadiah dari Raja Purnawarman.
Pada tahun 412, Raja Purnawarman kembali melakukan perbaikan aliran kali Cupu yang terletak di Kerajaan Cupunagara yang masih merupakan negeri bawahan Kerajaan Tarumanegara. Di mana aliran sungai itu langsung mengalir ke arah istana Kerajaan Cupunagara. Pengerjaan perbaikan aliran Kali Cupu itu berlangsung selama empat belas hari. Setelah perbaikan selesai, Raja Purnawarman menganugerahkan setiap orang yang terlibat dengan memberi 400 ekor sapi, pakaian dan makanan-makanan yang lezat.
Sebagaimana yang dilakukan ketika Raja Purnawarman memperbaiki Sungai Gangga, Raja Purnawarman membuat prasasti (seperti pembangunan sebelumnya, prasasti ini belum diketemukan) yang dituliskan dengan kata-kata yang sangat indah. Di kedua prasasti itu (di Sungai Gangga dan Kali Cupu) Raja Purnawarman menuliskan mengenai kebesarannya dan sifat-sifatnya yang diibaratkan Dewa Wisnu, melindungi segenap makhluk yang ada di bumi dan di akhir prasasti itu ditandai dengan lukisan telapak tangan (milik Raja Purnawarman).
Setahun kemudian, pada 413 M Raja Purnawarman kembali melakukan perbaikan aliran air sungai. Kali ini, Raja Purnawarman memperbaiki alur Kali Sarasah (Sungai Sarasah) atau Kali Manukrawa. Sewaktu dilaksanakan upacara selamatan, Raja Purnawarman terpaksa mengutus Mahamantri Cakrawarman untuk mewakili dirinya. Mahamantri Cakrawarman kemudian diiringi oleh beberapa menteri kerajaan datang dengan menggunakan perahu yang besar.
Di dalam upacara itu, Mahamantri Cakrawarman atas nama raja menghadiahkan 400 ekor sapi, 80 ekor kerbau, pakaian bagi para brahmana, 10 ekor kuda, sebuah bendera kebesaran Kerajaan Tarumanegara, sebuah arca Wisnu, dan bahan makanan. Akibat pembangunan ini, aktivitas pertanian menjadi semakin baik disebabkan ladang-ladang menjadi subur sehingga tidak menderita kekeringan saat musim kemarau.
Setelah itu, Raja Purnawarman memperbaiki aliran Sungai Gomati dan Candrabaga yang sebelumnya telah diperbaiki dan dibangun oleh Sang Rajadirajaguru, kakek Raja Purnawarman. Pengerjaan yang dilakukan oleh Raja Purnawarmanadalah pekerjaan yang kedua terhadap sungai-sungai itu. Proyek perbaikan Sungai Gomati dan Candrabaga ini dilakukan pada tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna sampai dengan tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 339 Saka (417 M).
Setelah perbaikan kedua sungai selesai, Purnawarman mengadakan selamatan dengan memberi hadiah sebanyak 1.000 ekor sapi, pakaian serta makanan-makanan yang lezat. Sedangkan para pemuka yang berasal dari daerah-daerah diberi hadiah kerbau, kuda, ada pula yang diberi hadiah emas dan perhiasan perak serta berbagai macam hadiah lainnya. Setelah itu, Raja Purnawarman menerbitkan sebuah prasasti di sebuah batu.
Di beberapa tempat, Raja Purnawarman juga menerbitkan banyak prasasti batu yang dilengkapi pula dengan arca wisnu yang dianggap seperti kepribadiannya, lukisan telapak kakinya sebagaimana yang dilihat dari prasasti Ciaruteun, prasasti Pasir Awi dan Prasasti Pasir Koleangkak (Prasasti Jambu). Selain itu juga terdapat prasasti lukisan telapak kaki tunggangannya (seekor gajah yang bernama airawata) yaitu prasasti Kebon Kopi I (Prasasti Tapak). Selain itu ada pula yang ditandai dengan lukisan kumbang atau lebah.
Sedangkan di tempat-tempat pemujaan yang telah selesai dibangun, dipahatkan simbol dari Kerajaan Tarumanegara dan jasa-jasa yang telah diberikan oleh Raja Purnawarman. Semua itu, dipahatkan pada prasasti batu di sepanjang tepi sungai di beberapa daerah.
Pada tahun 419 M, Raja Purnawarman memperbaiki dan memperdalam aliran Sungai Citarum. Setelah perbaikan itu selesai, Raja Purnawarman melakukan selamatan dan memberikan berbagai macam hadiah berupa 800 ekor sapi, pakaian, 20 ekor kerbau dan berbagai macam hadiah lainnya. Para Brahmana kemudian memberkati Raja Purnawarman di dalam selamatan itu.
Raja Purnawarman yang menyadari wilayahnya semakin luas, dan ibukota Kerajaan Tarumanegara, Sundapura yang semakin ramai disinggahi oleh para pedagang, tentu sangatlah membutuhkan angkatan perang yang kuat untuk menjaga kedaulatannya. Raja Purnawarman mulai memperkuat angkatan perang Kerajaan Tarumanegara terutama adalah angkatan lautnya untuk menunjang aktivitas perdagangan yang saat itu telah mulai ramai.
Setelah Kerajaan Tarumanegara menjadi besar di bawah kepemimpinan Raja Purnawarman , Raja Purnawarman dinobatkan menjadi Maharaja dengan gelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahpurusa Jagatpati. Selain mengasosiasikan dirinya sebagai titisan Dewa Wisnu, Raja Purnawarman juga seorang pemuja Dewa Indra, apabila ia hendak melakukan perang. Sehingga Raja Purnawarman pun juga disebut Sang Purandara Saktipurusa (manusia sakti penghancur benteng).
Hubungan Kerajaan Tarumanegara Dengan Kerajaan Kutai
Hubungan antara Kerajaan Tarumanegara dengan Kerajaan Kutai berlangsung ketika Kerajaan Tarumanegara yang dipimpin oleh Raja Purnawarman dan Kerajaan Kutai yang dipimpin oleh Mulawarman saling bertukar duta mereka. Mulawarman mengutus duta negerinya untuk ditempatkan di ibukota Kerajaan Tarumanegara, begitupula hal ini dilakukan oleh Purnawarman.
Hubungan ini sebenarnya telah berlangsung antara Kerajaan Salakanagara dengan negeri Bakulapura. Jadi, Kerajaan Tarumanegara hanyalah melanjutkan apa yang telah dibangun lebih dahulu oleh Kerajaan Salakanagara. Untuk mempererat hubungan antara Kerajaan Tarumanegara dengan Kerajaan Kutai, Raja Purnawarman menikahi seorang puteri dari raja bawahan Kerajaan Kutai. Dengan demikian, hubungan antara Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Kutai melalui perkawinan menjadi salah satu upaya mempererat diplomasi diantara kedua kerajaan.
Kehidupan Keagamaan Kerajaan Tarumanegara Pada Masa Pemerintahan Raja Purnawarman
Raja Purnawarman adalah raja yang memuja dewa Wisnu, meskipun begitu bukan berarti seluruh penduduk Kerajaan Tarumanegara juga memuja kepada Dewa Wisnu. Ada beberapa penduduk Kerajaan Tarumanegara yang memuja Dewa Siwa (Batara Sangkara) dan Dewa Brahma. Sedangkan tidak begitu banyak penduduk Kerajaan Tarumanegara yang menganut ajaran Buddha. Sebagian besar penduduk Kerajaan Tarumanegara masih memuja kepada roh leluhur (pitarapuja) yang diwarisi secara turun-temurun.
Raja Purnawarman termasuk raja yang sangat aktif dalam bidang pustaka seperti membuat dan menuliskan undang-undang Kerajaan Tarumanegara, peraturan ketentaraan, siasat berperang, keadaan daerah-daerah bawahan di Pulau Jawa bagian Barat, silsilah Dinasti Warman, kumpulan maklumat-maklumat Kerajaan dan lain-lain. Kiranya memungkinkan pula telah disusun karya sastra pada masa pemerintahan Raja Purnawarman, namun hingga saat ini belum ada bukti-bukti yang menunjukkan keberadaan dari karya sastra itu.
Akhir Pemerintahan Purnawarman
Raja Purnawarman meninggal pada tahun 434 M, tepatnya pada tanggal 15 bagian terang bulan Posya tahun 356 Saka dalam usia 62 tahun. Raja Purnawarman dikebumikan di tepi Sungai Citarum. Oleh sebab itu, ia mendapat sebutan Sang Lurnah Ing Tarumanadi (yang dipusarakan di Citarum).
![]() | |
Prasasti Tugu (kiri) dan Prasasti Ciaruteun (kanan) sangat identik dengan keberadaan raja Purnawarman sebagai tokoh historis. |
Pada saat Raja Purnawarman meninggal sangatlah banyak kerajaan-kerajaan bawahan yang mengakui Kerajaan Tarumanegara sebagai negeri atasan mereka. Di bawah ini adalah kerajaan-kerajaan bawahan Kerajaan Tarumanegara:
- Kerajaan Salakanegara;
- Kerajaan Cupunagara (Subang);
- Kerajaan Argabinta (Cianjur);
- Kerajaan Nusa Sabay;
- Kerajaan Purwanagara;
- Kerajaan Ujung Kulon;
- Kerajaan Gunung Kidul;
- Kerajaan Sabara;
- Kerajaan Purwalingga (Purbalingga)
- Kerajaan Bumi Sagandu;
- Kerajaan Paladu;
- Kerajaan Kosala (Lebak);
- Kerajaan Indraprahasta (Cirebon);
- Kerajaan Legon (Cilegon);
- Kerajaan Sindang Jero;
- Kerajaan Manukrawa (Cimanuk);
- Kerajaan Malabar (Bandung);
- Kerajaan Wanagiri;
- Kerajaan Galuh Wetan (Ciamis);
- Kerajaan Cangkuang (Garut);
- Kerajaan Purwakerta (Purwakarta);
- Kerajaan Sagara Kidul;
- Kerajaan Gunung Cupu;
- Kerajaan Gunung Manik (Manikprawata);
- Kerajaan Alengka;
- Kerajaan Gunung Kubang (Garut);
- Kerajaan Karang Sindulang;
- Kerajaan Gunung Bitung (Majalengka);
- Kerajaan Tanjung Kalapa (Jakarta Utara);
- Kerajaan Kalapa Girang (Jakarta Selatan);
- Kerajaan Pakuan Sumurwangi;
- Kerajaan Pura Dalem (Karawang);
- Kerajaan Sagara Pasir;
- Kerajaan Rangkas (Lebak)
- Kerajaan Tanjung Camara (Pandeglang);
- Kerajaan Linggadewata;
- Kerajaan Dua Kalapa;
- Kerajaan Wanadatar;
- Kerajaan Setyaraja;
- Kerajaan Jati Ageung;
- Kerajaan Wanajati;
- Kerajaan Indihiyang (Tasikmalaya);
- Kerajaan Pasir Muhara;
- Kerajaan Pasir Sanggarung.
4. Wisnuwarman (434-455)
Wisnuwarman atau Raja Wisnuwarman adalah Raja Kerajaan Tarumanegara yang ke-4. Wisnuwarman memerintah Kerajaan Tarumanegara menggantikan ayahnya, Purnawarman yang mangkat pada tahun 434. Wisnuwarman dinobatkan menjadi raja Kerajaan Tarumanegara pada tanggal 14 bagian terang bulan Posya tahun 355/356 Saka atau 434 M.
Penobatan Wisnuwarman Sebagai Raja Kerajaan Tarumanegara
Pada saat penobatan Sang Wisnuwarman sebagai raja Kerajaan Tarumanegara, di istana kerajaan melakukan sebuah pesta besar selama tiga hari tiga malam dan istana dihiasi dengan bunga-bunga yang sangat harum. Di dalam upacara penobatan Wisnuwarman sebagai raja Kerajaan Tarumanegara menggantikan Purnawarman, para raja kerajaan bawahan Kerajaan Tarumanegara yang terletak di Pulau Jawa bagian barat menghadiri upacara penobatan raja Wisnuwarman sebagai raja Kerajaan Tarumanegara.
Selain para raja dari negeri bawahan, upacara penobatan itu juga dihadiri oleh Perdana Menteri Kerajaan Tarumanegara, para brahmana, pendeta kapwajti, senapati sarwajala, panglima angkatan perang dan pejabat-pejabat Kerajaan Tarumanegara yang lainnya. Di dalam upacara itu, para tamu disajikan jamuan makanan dan minuman yang amat lezat. Selain itu, para tamu juga disajikan pertunjukan musik dengan para penari yang berparas cantik. Para tamu kemudian bersama-sama memanjatkan doa-doa bagi Raja Wisnuwarman, raja Kerajaan Tarumanegara yang baru itu.
Setelah penobatan Wisnuwarman sebagai raja Kerajaan Tarumanagara, pada tahun 435, Raja Wisnuwarman mengirimkan utusannya ke berbagai negeri, diantaranya; negeri Cina, negeri Bharata, negeri Syangka, negeri Campa, negeri Yawana, Swarnabhumi, Bakulapura, negeri Singa, negeri Dhamma dan seluruh negeri-negeri yang merupakan negara sahabat Kerajaan Tarumanegara. Selain itu, tidak luput juga Raja Wisnuwarman juga mengirimkan utusannya kepada raja-raja yang berada di kawasan Dwipantara.
Tujuan Raja Wisnuwarman mengirimkan utusannya ke berbagai negeri itu bertujuan untuk memberikan kabar bahwa penguasa di Kerajaan Tarumanegara, Raja Purnawarman telah meninggal, dan digantikan oleh Wisnuwarman. Selain memberikan kabar pergantian kekuasaan itu, para utusan yang dikirmkan ini juga berupaya untuk mempertahankan hubungan yang telah berlangsung sejak masa pendahulu-pendahulu Wisnuwarman.
Pada tahun 436, tepat tiga tahun setelah Wisnuwarman dinobatkan sebagai raja Kerajaan Tarumanegara, terjadi gempa bumi dengan skala kecil. Pada tahun 439, terjadi gerhana bulan, namun gerhana itu berlangsung tidak lama. Kedua kejadian itu (gempa bumi dan gerhana bulan) dianggap oleh Wisnuwarman sebagai suatu pertanda bahaya. Wisnuwarman pun berupaya menghindari bahaya itu dengan mengikuti nasihat dari Brahmana Siddhimantra yang memberikan petunjuk bahwa Raja Wisnuwarman harus berjalan mengikuti aliran Sungai Gangga yang berada di wilayah Kerajaan Indraprahasta (Cirebon).
Dua bulan kemudian setelah perjalanan itu, Raja Wisnuwarman bermimpi melihat harimau tua, celeng (babi hutan), garuda, beruang dan beberapa ekor satwa lainnya, semua hewan liar yang dilihatnya itu hendak menyerang Sang Maharaja Wisnuwarman yang tengah menaiki gajah tunggannnya yang bernama maniwa. Di dalam serangan hewan liar itu, Wisnuwarman hampir terjatuh ke tanah, namun gajah maniwa dapat menyelamatakan Wisnuwarman dari bahaya itu. Namun, secara tiba-tiba datang seorang brahmana menaikki gajah airawata (gajah tunggangan Raja Purnawarman) menyelamatkan dirinya. Karena mimpinya itu, Raja Wisnuwarman menjadi sangat gelisah batinnya.
Tiga hari kemudian setelah menuruti nasehat dari para brahmana, Raja Wisnuwarman disertai dengan para pengiringnya dan juga para brahmana, kapwajti segera berangkat ke arah timur, ke Kerajaan Indraprahasta. Di sini Sang Maharaja disambut gembira oleh Raja Indraprahasta yaitu Raja Wiryabanyu. Raja Wisnuwarman keesokan harinya beserta para raja bawahan semuanya mandi di Sungai Gangga dengan dijaga oleh tentara yang membawa berbagai jenis senjata. Setelah Raja Wisnuwarman mandi di Sungai Gangga, ia menuju pertapaan dan melakukan persembahan kepada tempat suci Dewa Wisnu dan Bahtara Sangkara ( Dewa Siwa) yang terletak di sekitar Sungai Gangga.
Menghadapi Pemberontakan Cakrawarman
Setahun kemudian, pada tahun 437 setelah peristiwa mandinya Wisnuwarman di sungai Gangga, adalah suatu peristiwa di dalam Kedaton Kerajaan Tarumanegara yaitu di kala Sri Raja dan permaisuri sedang tidur, di malam hari ada seseorang yang membawa pedang dan belati menuju tempat tidur raja Wisnuwarman. Namun, ketika mendekati tempat tidur Wisnuwarman, pedang dan belatinya terjatuh yang menyebabkan Wisnuwarman dan permaisurinya terbangun dan segera melumpuhkan orang itu.
Setelah kejadian itu, pada pagi harinya Maharaja Wisnuwarman duduk di tengah balairung, beberapa orang petingi kerajaan, Sang Jaksa, Sang brahmana, Sang tanda, Sang juru saat itu mereka sedang berbincang-bincang (mengenai) perintah menghadap oleh Sang Maharaja. Di tengah balairung itu, seseorang yang hendak membunuh raja Wisnuwarman segera dihadapkan dan dimintai keterangan, mengenai tujuan dari keinginannya. Setelah ditekan oleh Raja Wisnuwarman, orang itu menyatakan bahwa tujuannya membunuh Raja Wisnuwarman karena perintah dari seseorang, yaitu Cakrawarman, Paman Wisnuwarman sendiri (adik Purnawarman).
Perlu diketahui, Cakrawarman yang pada saat masa pemerintahan Raja Purnawarman diangkat sebagai panglima angkatan perang Kerajaan Tarumanegara memiliki keinginan untuk menjadi raja di Kerajaan Tarumanegara. Sehingga, Cakrawarman berupaya untuk membunuh keponakannya sendiri, Raja Wisnuwarman. Mendengar keterangan itu, Wisnuwarman menjadi terkejut, demikian pula para pejabat Kerajaan Tarumanegara yang hadir di balairung itu.
Mendengar rencana pembunuhan terhadap Wisnuwarman gagal, Cakrawarman beserta para pengikutnya melarikan diri menuju ke tepi Sungai Taruma untuk mencari perlindungan dari Kerajaan Cupunagara. Namun, raja Kerajaan Cupunagara, Raja Satyaguna tidak ingin memberikan perlindungan bagi Cakrawarman beserta para pengikutnya. Mendapat jawaban penolakan dari Kerajaan Cupunagara, Cakrawarman dan para pengikutnya kemudian melarikan diri ke arah timur dan mengasingkan diri diantara hutan-hutan dan pegunungan.
Atas bantuan dari Kerajaan Indraprahasta pemberontakan yang dilakukan oleh Cakrawarman berhasil dipadamkan. Pasca pertempuran itu, panglima dan bala tentara Kerajaan Indraprahasta mendapat hadiah kemenangan perang. Demikian juga Raja Kerajaan Indraprahasta, Raja Wirya Banyu juga mendapatkan anugerah dari Wisnuwarman dengan berbagai hadiah yang tidak sedikit. Selain memberikan berbagai macam hadiah, Wisnuwarman juga memperisitri Putri Raja Wirya Banyu, yaitu Dewi Suklawati yang kemudian menjadi permaisurinya. Sebab, permaisuri Raja Wisnuwarman yang berasal dari Bakulapura itu telah meninggal akibat sakit di usia muda tanpa meninggalkan seorangpun putra.
Dari pernikahan dengan Dewi Suklawati, Raja Wisnuwarman memiliki dua orang anak;
- Indrawarman;
- Widalawarman.
Raja Wisnuwarman meninggal pada tahun 455, dengan gelar anumerta Sri Maharaja Wisnuwarman Iswara Digwijaya Tunggal Jagatpati. Sepeninggal Wisnuwarman , Kerajaan Tarumanegara diperintah oleh anak tertua Wisnuwarman, yaitu Indrawarman.
5. Indrawarman (455-515)
Indrawarman naik takhta sebagai raja Kerajaan Tarumanegara menggantikan Raja Wisnuwarman yang mangkat pada tahun 377 Saka atau sekitar tahun 455 M. Setelah Raja Wisnuwarman meninggal, takhta Kerajaan Tarumanegara jatuh kepada putra laki-lakinya yang tertua, yaitu Indrawarman. Raja Indrawarman secara resmi dinobatkan sebagai raja Kerajaan Tarumanegara pada tahun 455 M dengan gelar Sri Maharaja Indrawarman Sang Paramarta Sakti Mahaprabawa Lingga Triwikrama Bunatala.
Setelah dinobatkan sebagai raja di Kerajaan Tarumanegara, Indrawarman kemudian mengangkat saudaranya, Widalawarman sebagai panglima angkatan perang Kerajaan Tarumanegara. Sedangkan pamannya, adik dari Wisnuwarman yang bernama Kharabawarman diangakat menjadi salah seorang petinggi di Kerajaan Tarumanegara.
Raja Indrawarman memiliki tiga orang anak yang diantaranya;
- Candrawarman;
- Dewi Komalasari;
- Santawarman.
Raja Indrawarman memerintah di Kerajaan Tarumanegara sekitar 60 tahun. Tidak banyak keterangan yang dihimpun pada masa pemerintahan Raja Indrawarman. Raja Indrawarman meninggal pada tahun tahun 515. Setelah meninggal, Indrawarman digantikan oleh putranya yang bernama Candrawarman sebagai penguasa Kerajaan Tarumanegara.
6. Candrawarman (515-535)
Candrawarman adalah anak dari Raja Indrawarman, raja Kerajaan Tarumanegara kelima. Raja Candrawarman mulai memerintah di Kerajaan Tarumanagara sebagai raja keenam sejak tahun 515 M hingga tahun 457 Saka sekitar 535 M. Candrawarman bergelar Sri Maharaja Candrawarman Sang Hariwangsa Purusakti Suralagawageng Paramarta.
Raja Candrawarman memiliki tiga orang putera dan seorang puteri antara lain;
- Suryawarman
- Mahisawarman
- Matsyawarman
- Dewi Bhayusari
Anak pertama Candrawarman, Suryawarman diangkat sebagai putera mahkota, anak kedua Candrawarman, Mahisawarman diangkat sebagai salah seorang menteri Kerajaan Tarumanegara, sedangkan anak ketiganya, Matsyawarman diangkat sebagai Senapati Sarwajala (panglima angkatan laut) Kerajaan Tarumanegara. Raja Candrawarman meninggal pada tahun 535 M. Kedudukan Candrawarman sebagai raja Kerajaan Tarumanegara digantikan oleh putera mahkota, yaitu Suryawarman.
7. Suryawarman (535-561)
Suryawarman adalah raja Kerajaan Tarumanegara yang dinobatkan pada tahun 535 M menggantikan ayahnya, Sang Candrawarman. Setelah dinobatkan sebagai raja di Kerajaan Tarumanegara, Suryawarman bergelar Sri Maharaja Suryawarman Sang Mahapurusa Bimaparakrama Hariwangsa Digwijaya.
Sang Raja Suryawarman memiliki beberapa orang anak, namun yang tercatat hanyalah Kertawarman, yang kelak menjadi penerus Raja Suryawarman sebagai raja Kerajaan Tarumanegara. Beberapa hari setelah dilantik sebagai raja Kerajaan Tarumanegara, Raja Suryawarman mengirimkan utusan Kerajaan Tarumanegara ke negara-negara sahabat. Utusan dari Kerajaan Tarumanegara itu dikirimkan ke negeri Cina, Campa, Syangka, Jawana (Yawana), Bakulapura (Kalimantan), Bhanggala, Bharata dan beberapa negara lainnya.
Tujuan daripada utusan dari Raja Suryawarman itu adalah memberikan kabar bahwa Kerajaan Tarumanegara kini dipimpin oleh sang pangeran, yaitu Suryawarman yang telah dilantik menjadi raja Kerajaan Tarumanegara menggantikan ayahnya, Candrawarman. Para utusan yang dikirimkan oleh Suryawarman itu adalah petinggi agama Kerajaan Tarumanegara, yaitu Santawarman, kemudian adik Suryawarman, Mahisawarman, selain itu juga terdapat Panglima Hasta Prakosa.
Pada masa pemerintahan Raja Suryawarman, Kerajaan Tarumanegara mengalami perpindahan pusat pemerintahan dari Sundapura ke Cirebon. Meskipun hingga kini belum diketahui sebab dari berpindahnya pusat Kerajaan Tarumanegara dari Sundapura ke Cirebon. Namun, yang jelas berpindahnya pusat pemerintahan Kerajaan Tarumanegara menyebabkan kerajaan-kerajaan kecil bertumbuh. Semisal, kondisi ini dimanfaatkan oleh kerajaan-kerajaan kecil, seperti Kerajaan Kendan yang mulai tumbuh pesat.
Kemunculan Kerajaan Kendan ini didorong oleh Raja Suryawarman yang memberikan wilayah dan pasukannya kepada menantunya, yakni Resi Manikmaya. Kerajaan Kendan ini didirikan di Gunung Sanghyang Anjung, Kendan, Bandung pada tahun 568 M. Selain kemunculan kerajaan-kerajaan kecil yang mulai bertumbuh, pengaruh Kerajaan Tarumanegara juga mulai mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan Raja Suryawarman kurang begitu memerhatikan urusan-urusan politik dan kenegaraan secara profesional. Sri Maharaja Suryawarman wafat pada tahun 561 M. Kedudukannya sebagai raja Kerajaan Tarumanegara digantikan oleh putranya yang bernama Kretawarman.
8. Kertawarman (561-628)
Kertawarman naik takhta sebagai raja Kerajaan Tarumanegara untuk menggantikan ayahnya, Sri Maharaja Suryawarman Sang Mahapurusa Bimaparakrama Hariwangsa Digwijaya. Raja Kertawarman dinobatkan sebagai raja di Kerajaan Tarumanegara pada tahun 561 M dengan gelar Sri Maharaja Kretawarman Mahapurusa Hariwangsa Digwijaya Salakabumandala.
Kondisi Kerajaan Tarumanegara di bawah Kertawarman sedang mengalami kemunduran,sebagaimana yang diawali dari berpindahnya pusat kekuasaan Kerajaan Tarumanegara dari Sundapura ke Cirebon pada masa pemerintahan Raja Suryawarman. Walaupun Kerajaan Tarumanegara sedang mengalami kemunduran, Kerajaan Tarumanegara tetap dapat menjalin hubungan dengan beberapa wilayah seperti Kemaharajaan Cina, Syangka, Yawana, Champa, Sopala. Gaudi (Benggala), Singanagara, Semenanjung dan Mohosin. Setelah dinobatkannya sebagai raja Kerajaan Tarumanegara, Kretawarman pun segera mengirimkan utusannya ke negeri-negeri tersebut memberikan kabar bahwa Kretawarman-lah yang kini memimpin Kerajaan Tarumanegara menggantikan ayahnya yang telah mangkat, Sri Maharaja Suryawarman.
Raja Kretawarman memiliki dua orang istri, permaisurinya berasal dari Calankayana, sedangkan selirnya yang bernama Satyawati berasal dari asal-usul yang tidak jelas, selirnya merupakan anak angkat dari seorang saudagar yang berasal dari Sumatera. Namun, sang selir menuntut dirinya untuk dijadikan permaisuri lantaran ia sedang mengandung keturunan raja. Sang Kretawarman yang amat menyayangi selirnya, kemudian menjadikan Satyawati sebagai permaisurinya.
Setelah mendapatkan posisi sebagai seorang permaisuri, Satyawati menyatakan bahwa sesungguhnya dirinya tidak mengandung. Menyadari hal itu, Raja Kretawarman tidak mencabut status Satyawati sebagai permaisuri. Sadar akan dirinya tidak dapat memiliki keturunan, Raja Kretawarman kemudian mengangkat seorang anak putera seorang pencari kayu bakar yang diberi nama Brajagiri.
Permasalahan ini pun kemudian terdengar dikalangan petinggi Kerajaan Tarumanegara yang mempermasalahkan Satyawati, seorang sudra yang menjadi seorang permaisuri. Namun, para petinggi Kerajaan Tarumanegara tidak dapat berbuat banyak, dan kedudukan Raja Kretawarman tidak tergoyahkan. Namun, sebagai konsekuensi dari pengangkatan Brajagiri sebagai puteranya, Brajagiri tidak dapat diangkat sebagai pewaris takhta Kerajaan Tarumanegara. Brajagiri hanya dapat diberi kedudukan sebagai senapati Kerajaan Tarumanegara.
Raja Kretawarman tutup usia pada tahun 628 M tanpa meninggalkan pewaris takhta. Takhta Kerajaan Tarumanegara kemudian diberikan kepada adiknya, yang bernama Sudawarman. Namun, Sudawarman sendiri tidak berada di Kerajaan Tarumanegara, Sudawarman sendiri telah memiliki keluarga dan tinggal di India.
9. Sudawarman (628-639)
Sudawarman (sudhawarman) dari Kerajaan Tarumanegara mulai memerintah menggantikan kakaknya, Raja Kertawarman yang meninggal pada tahun 628. Sudawarman sendiri adalah seorang resi (brahmana) yang tinggal di India. Setelah mengetahui kabar kakaknya telah meninggal dan tidak memiliki seorang pun anak, maka takhta Kerajaan Tarumanegara secara resmi jatuh kepada Sudawarman.Setelah dinobatkan sebagai raja di Kerajaan Tarumanegara. Sudawarman bergelar Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramartaresi Hariwangsa.
Raja Sudawarman memiliki dua orang anak yang bernama Dewi Mahasari yang diperistri oleh Raja Kerajaan Cupunagara yang bernama Nagajaya dan seorang anak laki-laki yang bernama Dewamurti. Pada masa pemerintahan Sudawarman, semakin nampak kemunduranKerajaan Tarumanegara yang disebabkan semakin banyaknya kerajaan-kerajaan bawahan yang memilih berdiri sendiri terlepas dari pengaruh Kerajaan Tarumanegara.
Lepasnya kerajaan-kerajaan bawahan ini menyebabkan pamor Kerajaan Tarumanegara semakin merosot semenjak masa Raja Suryawarman. Kerajaan Tarumanegara mulai tenggelam pengaruhnya dan secara bertahap mulai tergantikan oleh eksistensi kerajaan-kerajaan bawahan yang mulai berdiri sendiri. Ditengah merosotnya pamor Kerajaan Tarumanegara, Raja Sudawarman tidak dapat berbuat banyak hal. Hal ini disebabkan tidak begitu banyak yang dipahami oleh Sudawarman berkaitan dengan situasi politik di Pulau Jawa bagian barat, sebab sejak kecil raja Sudawarman telah tinggal di India. Raja Sudawarman meninggal pada tahun 639 M. Kedudukannya sebagai raja digantikan oleh putranya yang bernama Dewamurti.
10. Hariwangsawarman (639-640)
Hariwangsawarman adalah raja Kerajaan Tarumanegara yang memerintah paling singkat hanya dalam tempo satu tahun. Hariwangsawarman adalah putera dari Raja Sudawarman yang mangkat pada tahun 639. Hariwangsawarman atau Dewamurti dinobatkan sebagai raja di Kerajaan Tarumanegara dengan gelar Sri Maharaja Dewamurtyatma Hariwangsawarman Digwijaya Bimaparakrama. Saudara perempuannya yang bernama Dewi Mahasari diperistri oleh Raja Kerajaan Cupunagara yang bernama Nagajaya.
Sepeninggal Raja Sudawarman, ditengah merosotnya pamor dari Kerajaan Tarumanegara, nampaknya Kerajaan Cupunagara yang dipimpin oleh Nagajaya, menantu dari Raja Sudawarman dan sekaligus sebagai ipar dari Hariwangsawarman mulai memanfaatkan melemahnya Kerajaan Tarumanegara untuk meningkatkan pengaruh dari Kerajaan Cupunagara sebagaimana yang sebelumnya telah juga dilakukan oleh Resi Manikmaya dari Kerajaan Kendan yang juga merupakan seorang menantu dari Raja Suryawarman yang memanfaatkan berpindahnya pusat Kerajaan Tarumanegara pada saat itu ke Cirebon.
Persaingan antara Raja Hariwangsawarman dan Nagajaya ditunjukkan dengan sangat singkatnya Raja Hariwangsawarman yang hanya memerintah selama satu tahun (639-640 M). Meskipun hingga saat ini belum dapat dipastikan penyebab singkatnya Raja Hariwangsawarman memerintah di Kerajaan Tarumanegara. Namun, yang jelas bahwa Nagajaya berhasil menduduki takhta Kerajaan Tarumanegara yang menimbulkan dugaan bahwa Nagajaya melalui perantara sang istri, Dewi Mahasari yang juga saudara dari Hariwangsawarman merebut takhta (kudeta) raja Kerajaan Tarumanegara yang pada saat itu diperintah oleh Hariwangsawarman.
Perebutan takhta Kerajaan Tarumanegara-lah yang paling memungkinkan, sebab tidak ada satupun sumber yang menjelaskan tentang sebab berakhirnya pemerintahan Hariwangsawarman. Setelah berhasil merebut takhta Kerajaan Tarumanegara, Nagajaya bergelar Sri Maharaja Nagajayawarman Darmasatya Cupujayasatru yang mulai memerintah tahun 640.
11. Nagajayawarman (640-666)
Nagajayawarman adalah Raja Kerajaan Tarumanegara yang kesebelas yang dilantik pada tahun 640 M. Nagajayawarman menduduki takhta Kerajaan Tarumanegara setelah berhasil menggantikan Sang Dewamurti atau Raja Hariwangsawarman yang hanya berkuasa selama satu tahun. Nagajayawarman sebenarnya adalah seorang raja dari Kerajaan Cupunagara yang menikahi saudara perempuan Hariwangsawarman yang bernama Dewi Mahasari. Asal-usul Nagajayawarman yang berasal dari Kerajaan Cupunagara diketahui dari gelar yang diperolehnya ketika dinobatkan sebagai Raja Kerajaan Tarumanegara yaitu Sri Maharaja Nagajayawarman Darmasatya Cupujayasatru.
Hariwangsawarman berhasil digantikan oleh Nagajayawarman sebagai penguasa Kerajaan Tarumanegara. Meskipun hingga saat ini tidak diketahui penyebab digantinya penguasa Kerajaan Tarumanegara dari tangan Hariwangsawarman ke tangan Nagajayawarman. Hal yang memungkinkan adalah telah terjadinya kudeta takhta raja Kerajaan Tarumanegara oleh Nagajayawarman yang mendapatkan dukungan dari istrinya, Dewi Mahasari yang sekaligus juga saudara perempuan dari Hariwangsawarman.
Kudeta itu nampaknya benar-benar terjadi disebabkan tidak adanya pula informasi yang berkaitan dengan keluarga dari Hariwangsawarman, baik istri maupun anak-anaknya. Selain itu, mengenai status hubungan antara istri Nagajayawarman dengan Hariwangsawarman yang meskipun berstatus sebagai saudara, kemungkinan istri Nagajayawarman adalah anak tertua dari Raja Sudawarman. Dengan demikian, Nagajayawarman merasa bahwa istrinya yang lebih berhak atas takhta Kerajaan Tarumanegara, dibandingkan dengan Hariwangsawarman.
Selain persoalan masalah siapa penerus takhta yang sah dari Kerajaan Tarumanegara, Nagajayawarman yang melihat situasi dan kondisi politik di Kerajaan Tarumanegara yang telah melemah. Melemahnya kekuatan Kerajaan Tarumanegara dibuktikan dengan banyaknya kerajaan-kerajaan bawahan dari Kerajaan Tarumanegara yang telah memerdekakan diri. Hal ini menjadi kesempatan bagi Nagajayawarman agar Kerajaan Cupunagara memerdekakan diri sebagai bawahan Kerajaan Tarumanegara.
Dengan berhasilnya direbut takhta Kerajaan Tarumanegara ke tangan Nagajayawarman, secara pengaruh Kerajaan Tarumanegara menjadi bagian dari Kerajaan Cupunagara dengan ditandai berkuasanya Raja Kerajaan Cupunagara, Nagajayawarman di takhta Kerajaan Tarumanegara. Meskipun nampaknya, Nagajayawarman masih menjadikan Kerajaan Tarumanegara secara administratif sebagai atasan dari Kerajaan Cupunagara. Hal ini dilakukan untuk menghormati istrinya, yang memang sebagai pewaris dari Kerajaan Tarumanegara. Selain itu, Nagajayawarman pun memerintah Kerajaan Tarumanegara atas nama istrinya, Dewi Mahasari.
Setelah dinobatkan sebagai raja di Kerajaan Tarumanegara, Nagajayawarman segera mengirimkan utusan pada tahun 640 ke berbagai negara sahabat Kerajaan Tarumanegara. Utusan-utusan itu mengabarkan kepada negara-negara sahabat yang menyatakan bahwa takhta Kerajaan Tarumanegara kini telah diperintah oleh Raja Kerajaan Cupunagara, yaitu Nagajayawarman. Dari pernikahan dengan Dewi Mahasari, Nagajayawarman memiliki beberapa orang anak yang diantaranya adalah Linggawarman. Linggawarman inilah yang kelak menggantikan Nagajayawarman sebagai raja di Kerajaan Tarumanegara.
Nagajayawarman berkuasa di Kerajaan Tarumanegara selama 26 tahun (640-666 M). Pada tahun 666 M, Raja Nagajayawarman meninggal dan digantikan oleh puteranya, Linggawarman sebagai penerus takhta Kerajaan Tarumanegara.
12. Linggawarman (666-669)
Pada tahun 666, Linggawarman, putera Raja Nagajayawarman dilantik sebagai penguasa Kerajaan Tarumanegara. Linggawarman dilantik sebagai raja Kerajaan Tarumanegara dengan gelar Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi.
Setelah dinobatkan sebagai raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman mengirimkan utusan ke beberapa negara. Utusan Linggawarman itu terutama ke negeri Cina yang selama pemerintahan pendahulu-pendahulunya, Kerajaan Tarumanegara juga berkali-kali mengirimkan utusan ke negeri Cina terutama setelah pelantikan raja yang baru.
Pada tahun 668/669 M Raja Linggawarman kembali mengirimkan beberapa utusannya ke beberapa negeri, seperti Cina, Bharata dan beberapa kerajaan yang terdapat di Kepulauan Nusantara. Tindakan yang dilakukan oleh Linggawarman ini nampaknya adalah upaya untuk mempererat hubungan diplomatik ditengah kekuatan politik Kerajaan Tarumanegara yang semakin merosot.
Raja Linggawarman memiliki istri yang bernama Dewi Ganggasari yang berasal dari Kerajaan Indraprahasta. Dari perkawinannya ini Linggawarman memiliki dua orang puteri yang bernama Dhewi Minawati (Dewi Minawati)/Manasih dan Sobakancana. Linggawarman kemudian menjodohkan Dewi Manawati dengan Tarusbawa, Raja Kerajaan Sunda Sambawa. Kerajaan Sunda Sambawa ini masih berstatus sebagai kerajaan bawahan Kerajaan Tarumanegara. Sedangkan anaknya yang bernama Sobakancana dijodohkan dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendiri Kerajaan Sriwijaya.
Linggawarman tidak lama memerintah di Kerajaan Tarumanegara hanya selama tiga tahun (666-669). Setelah meninggal pada tahun 669 M, kedudukan Linggawarman sebagai raja di Kerajaan Tarumanegara digantikan oleh menantunya yang bernama Tarusbawa. Tarusbawa kemudian memerintah Kerajaan Tarumanegara atas nama istrinya, Dewi Minawati.
13. Tarusbawa (669-723)
Tarusbawa adalah raja terakhir dari Kerajaan Tarumanegara yang berkuasa sejak tahun 669 M untuk menggantikan mertuanya, Raja Linggawarman. Sebagaimana diketahui, bahwa Tarusbawa sebenarnya adalah raja dari Kerajaan Sunda Sembawa yang berpusat di ibukota Kerajaan Tarumanegara dahulu pada masa Raja Purnawarman, yakni Sundapura. Raja Tarusbawa menikahi putri dari Raja Linggawarman dari Kerajaan Tarumanegara yang bernama Dewi Minawati.
Raja Terakhir Tarumanegara
Setelah Raja Linggawarman wafat, maka Tarusbawa-lah yang melanjutkan pemerintahan di Kerajaan Tarumanegara atas nama istrinya Dewi Minawati. Selain itu, Tarusbawa juga masih tetap berstatus sebagai raja dari Kerajaan Sunda Sembawa. Raja Tarusbawa dilantik sebagai raja di Kerajaan Tarumanegara pada tahun 669 M dengan gelar Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa.
Setelah upacara pelantikan sebagai raja di Kerajaan Tarumanegara pada tahun 669 M, Tarusbawa kemudian mengirimkan utusannya ke berbagai negeri di Kepulauan Nusantara, India dan Cina, Champa, Sanghyang Ujung, dan Ghaudi. Hal ini adalah hal yang rutin selalui dilakukan oleh raja-raja yang berkuasa di Kerajaan Tarumanegara untuk memberitakan pergantian kekuasaan. Pada tahun 672 M, ia berhasil menjalin hubungan persahabatan dengan Dapunta Sri Jayanasa dari Kerajaan Sriwijaya. Hubungan ini disebabkan oleh status keduanya yang merupakan menantu dari Raja Linggawarman.
Tarusbawa Merubah Nama Kerajaan Tarumanegara Menjadi Kerajaan Sunda
Tarusbawa yang telah dilantik sebagai penguasa di Kerajaan Tarumanegara dan sekaligus juga masih menjadi raja di Kerajaan Sunda Sembawa merasa bahwa mengendalikan dua birokrasi secara sekaligus adalah hal yang merepotkan, sehingga pada akhirnya ia memilih untuk menggabungkan kedua birokrasi ini menjadi satu struktur yang berada langsung di bawah kendalinya. Tarusbawa kemudian menanggalkan statusnya sebagai raja Kerajaan Sunda Sembawa dan mengambil alih kepemimpinan di Kerajaan Tarumanegara (mungkin ini direstui pula oleh sang istri, Dewi Minawati).
Selain disebabkan oleh ruwetnya persoalan birokrasi, Tarusbawa pun juga terinspirasi oleh kejayaan yang pernah dicapai oleh raja terbesar dari Kerajaan Tarumanegara, yakni Purnawarman yang berhasil menjadikan Kerajaan Tarumanegara sebagai kerajaan yang kuat dan tangguh. Raja Purnawarman sendiri pada saat itu menjadikan Sundapura sebagai ibukota Kerajaan Tarumanegara. Berdasarkan pada hal inilah Tarusbawa kemudian mengganti nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda pada tahun 669 M.
Terpecahnya Wilayah Kerajaan Tarumanegara
Setelah digantinya nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda oleh Tarusbawa pada tahun 669 M bukan berarti tidak mendapatkan respon dari berbagai pihak yang menjadi bagian dari Kerajaan Tarumanegara. Respon itu terutama muncul pada tahun 670 dari Raja Kerajaan Galuh, Wretikandayun. Wretikandayun nampaknya memanfaatkan momentum penggantian nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda ini sebagai alasan untuk menjadikan Kerajaan Galuh sebagai kerajaan yang merdeka.
Wretikandayun segera mengirimkan utusannya ke ibukota Tarumanegara untuk bertemu dengan Raja Tarusbawa. Di dalam suratnya itu, Wretikandayun menyatakan bahwa dirinya ingin Kerajaan Galuh melepaskan diri dari Kerajaan Sunda. Namun, di dalam surat itu, Wretikandayun menjelaskan bahwa sesungguhnya mereka (Tarumanegara dan Galuh) adalah tetap sebagai saudara karena berasal dari satu leluhur. Wretikandayun menginginkan kerajaannya berdiri sendiri namun, di sisi lain ia tidak menganggap Kerajaan Sunda sebagai musuh, melainkan harus memperkuat persahabatan diantara keduanya.
Di dalam surat Wretikandayun kepada Tarusbawa itu, Wretikandayun juga memberikan penjelasan mengenai pembagian wilayah diantara dua kerajaan yang diharapkan usulannya diterima. Wretikandayun menjelaskan melalui suratnya bahwa daerah-daerah yang termasuk ke sebelah barat Sungai Taruma (Sungai Citarum) adalah daerah kekuasaan Kerajaan Sunda sedangkan daerah yang terletak di sebelah timur adalah wilayah Kerajaan Galuh.
Wretikandayun juga memperingatkan kepada Raja Tarusbawa agar tidak memusuhi dan menyerang Kerajaan Galuh, sebab Kerajaan Galuh memiliki angkatan perang yang berjumlah tiga kali lebih besar dibandingkan angkatan perang Kerajaan Sunda. Selain itu, Kerajaan Galuh juga didukung oleh beberapa kerajaan yang terletak di Pulau Jawa bagian tengah dan Timur. Pernyataan ini dapat diartikan juga sebagai suatu “ancaman” dari Wretikandayun kepada Kerajaan Sunda apabila tidak menyetujui usulannya untuk kemandirian Kerajaan Galuh.
Wretikandayun mengharapkan persaudaraan dengan Tarusbawa dan bersama-sama mengharapkan kedua kerajaan dapat mencapai kemakmuran dan dijauhkan dari bahaya. Wretikandayun sangat memahami sifat dari Tarusbawa yang sangat menghindari konflik dalam segala permasalahan. Berdasarkan pada sifat itulah sehingga Wretikandayun merasa yakin bahwa Tarusbawa akan memahami maksud dan tujuan Kerajaan Galuh untuk memisahkan diri dari Kerajaan Sunda sebagai kerajaan yang merdeka.
Dalam tempo beberapa hari saja, Tarusbawa segera menanggapi surat Wretikandayun dengan menyetujui permintaan dan usulan yang diberikan oleh Wretikandayun. Seketika itu pula, Raja Tarumanegara segera membagi Kerajaannya menjadi dua bagian. Jawa bagian barat terbagi menjadi dua kerajaan besar, di sisi barat laut ke timur hingga Sungai Taruma (Sungai Citarum) merupakan wilayah Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Tarusbawa. Sedangkan wilayah timur Sungai Citarum hingga Sungai Cipamali menjadi wilayah kerajaan Galuh di bawah pimpinan Wretikandayun.
![]() |
Pembagian wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara yang terpecah menjadi Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Tarusbawa dengan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Wretikandayun |
Berpindahnya Pusat Kerajaan Sunda dari Sundapura ke Pakuan
Setelah menyetujui pemisahan kerajaan sesuai dengan usulan yang diberikan oleh Wretikandayun dari Kerajaan Galuh, Tarusbawa kemudian memutuskan untuk memindahkan ibukota Kerajaan Sunda dari Sundapura ke Pakuan pada tahun 670 M. Setelah memindahkan ibukota Kerajaan Sunda di Pakuan, Tarusbawa kemudian mendirikan lima buah keraton yang mana bentuk dan ukuran dari kelima keraton itu sama. Kelima keraton itu kemudian diberi nama Sri Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Setelah pembangunan kelima keraton selesai di Pakuan, Raja Tarusbawa kemudian diberkati oleh seorang pujangga yang bernama Sedamanah.
Setelah perpindahan ibukota Kerajaan Sunda dari Sundapura ke Pakuan dan berhasil mendirikan keraton di ibukota baru itu, Raja Tarusbawa kemudian berupaya untuk menjalin kerjasama diberbagai bidang dengan Kerajaan Sriwijaya yang dipimpin oleh Dapunta Hyang Sailendra (Sri Jayanasa). Upaya itu dapat mencapai hasil pada tahun 672 M, Kerajaan Sunda berhasil menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sriwijaya diberbagai bidang. Keberhasilan dari upaya Kerajaan Sunda ini tentu saja berjalan dengan mudah sebab kedua raja merupakan sesama menantu dari Raja Linggawarman dari Kerajaan Tarumanegara.
Penerus Takhta Kerajaan Sunda
Tarusbawa dan Dewi Minawati memiliki seorang putra tertua yang bernama Rakryan Sunda Sambawa. Rakryan Sunda Sambawa telah dijadikan putera mahkota Kerajaan Sunda dan kelak ialah yang mewarisi takhta Kerajaan Sunda apabila Tarusbawa mangkat. Namun, hal itu tidak pernah terjadi sebab Rakryan Sunda Sambawa meninggal terlebih dahulu sebelum sang raja mangkat. Rakryan Sunda Sembawa memiliki seorang anak perempuan yang bernama Nay Sekarkancana (Sekar Kancana/ Teja Kancana Ayupurnawangi). Dengan meninggalnya Rakryan Sunda Sambawa terlebih dahulu dibandingkan dengan Tarusbawa, maka takhta Kerajaan Sunda selanjutnya akan diberikan kepada cucu Tarusbawa, yaitu Nay Sekarkancana.
Merasa bahwa dirinya sudah lanjut usia, maka Tarusbawa segera menjodohkan cucunya, Nay Sekarkancana dengan Rahyang Sanjaya dari Kerajaan Galuh. Rahyang Sanjaya adalah anak dari Sena dan Sanaha. Sena sendiri adalah Raja Kerajaan Galuh yang ketiga menggantikan ayahnya, Raja Mandiminyak pada tahun 709 M. Namun, pada tahun 716 M Sena dikudeta oleh saudaranya, Purbasora. Sena dan Purbasora sebenarnya adalah saudara satu ibu, namun berbeda ayah. Setelah kudeta itu, Sena dan keluarganya melarikan diri dan meminta perlindungan kepada Tarusbawa.
Tarusbawa menerima kedatangan keluarga Sena dan memberikan dukungan kepada Sena untuk merebut kembali takhta Kerajaan Galuh dari tangan Purbasora. Setelah pernikahan antara Sekar Kancana dan Rahyang Sanjaya, Tarusbawa meninggal pada tahun 723 M di usia 91 tahun. Takhta Kerajaan Sunda kemudian dilanjutkan oleh Rahyang Sanjaya yang memerintah atas nama istrinya, Sekar Kancana. Sanjaya yang masih menaruh dendam kepada Purbasora karena mengkudeta ayahnya sebagai Raja Kerajaan Galuh, berhasil merebut takhta Kerajaan Galuh pada tahun 747 M dengan bantuan dari tentara Kerajaan Sunda.
Kondisi Ekonomi Kerajaan Tarumanegara
Kondisi ekonomi Kerajaan Tarumanegara dapat ditelusuri berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada. Kerajaan Tarumanegara adalah salah satu kerajaan kuno di Indonesia yang eksis sekitar abad ke-4 sampai dengan abad ke-7 M. Eksistensi Kerajaan Tarumanegara memiliki peran penting dalam perkembangan ekonomi di kawasan Kepulauan Nusantara terutama dalam aktivitas perdagangan. Dalam artikel ini akan dijelaskan tentang kondisi ekonomi Kerajaan Tarumanegara serta faktor-faktor yang memengaruhinya.
Letak Geografis Kerajaan Tarumanegara
Berdasarkan pada tinjauan letak geografisnya, Kerajaan Tarumanegara berlokasi di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Jawa Barat, Indonesia. Letak geografis Kerajaan Tarumanegara ini meliputi kawasan Laut Jawa dan juga Selat Sunda yang dinilai merupakan daerah strategis. Wilayahnya yang strategis memungkinkan Kerajaan Tarumanegara untuk menjadi salah satu pusat perdagangan dan pertanian yang makmur.Dengan kenyataan inilah tidak mengherankan bagi Kerajaan Tarumanegara dapat tumbuh dan berkembang menjadi salah satu kekuatan politik yang diperhitungkan di kawasan Kepulauan Nusantara dan Asia Tenggara.
Memahami Kondisi Ekonomi Kerajaan Tarumanegara
Menyadari pada letak geografisnya di mana Kerajaan Tarumanegara menggantungkan perekonomian kerajaan pada sektor pertanian dan perdagangan. Meskipun demikian, bukan berarti faktor-faktor lainnya nihil sama sekali. Di bawah ini adalah beberapa hal yang mencerminkan kondisi ekonomi Kerajaan Tarumanegara:
Sumber Daya Alam
Salah satu kekayaan Kerajaan Tarumanegara adalah sumber daya alamnya yang melimpah. Kekayaan akan sumber daya alamnya disebabkan dari wilayahnya yang subur mendukung pertanian sehingga sektor pertanian berkembang dengan pesat. Di sisi lain, kekayaan sumber daya alam ditopang oleh keberadaan sungai-sungai besar seperti Sungai Citarum menjadi jalur perdagangan yang vital bagi kerajaan ini.
Masyarakat Kerajaan Tarumanegara juga melakukan aktivitas pertambangan seperti emas dan terutama adalah perak. Hal ini berdasarkan keterangan yang diberikan oleh berita Cina dan diperkuat oleh keterangan yang diberikan oleh Claudius Ptolomeus yang menyebutkan bahwa Kerajaan Tarumanegara ini sebagai penghasil perak.
Pertanian Dan Perdagangan
Sumber utama dari mata pencaharian rakyat Kerajaan Tarumanegara terutama adalah dalam sektor pertanian. Aktivitas pertanian ini dapat terlihat dari keterangan yang diberikan oleh Prasasti Tugu di mana raja Purnawarman meresmikan dua buah sungai yakni Chandrabraga dan Gomati yang tentu saja bertujuan untuk menunjang aktivitas pertanian.
Pertanian menjadi tulang punggung ekonomi Kerajaan Tarumanegara. Berkat teknik pertanian yang maju, kerajaan ini mampu menghasilkan berbagai jenis hasil pertanian seperti padi, jagung, dan rempah-rempah. Hasil-hasil ini tidak hanya mencukupi kebutuhan dalam negeri tetapi juga diekspor ke kerajaan lain di Nusantara.
Masyarakat Kerajaan Tarumanegara dalam aktivitas perekonomiannya melakukan beberapa cara seperti berburu, menangkap ikan, pertambangan, perdagangan, peternakan dan tentu yang menjadi utama adalah aktivitas pertanian. Aktivitas perburuan yang dilakukan masyarakat Kerajaan Tarumanegara didasari pada berita Cina yang menyebutkan adanya perdagangan cula badak dan gading gajah. Di mana kedua hewan tersebut adalah hewan liar yang tentu saja untuk mendapatkan bagian tubuh dari hewan itu harus dilakukan dengan cara berburu.
Selain perburuan juga terdapat aktivitas perikanan yang dimaksudkan adalah penangkapan terhadap penyu untuk dijual kulitnya (cangkangnya). Hal ini juga berdasarkan keterangan yang diperoleh dari berita Cina di mana para saudagar-saudagar Cina amatlah menggemari kulit penyu ini. Berdasarkan pada hal ini, aktivitas perdagangan masyarakat Kerajaan Tarumanegara tidak hanya dibatasi oleh aktivitas perdagangan lokal, melainkan perdagangan internasional.
Letak Kerajaan Tarumanegara yang strategis di daerah Selat Sunda menyebabkan Kerajaan Tarumanegara tentu saja terlibat aktif dalam kegiatan pelayaran dan perniagaan. Meskipun hingga sekarang tidak diketahui secara pasti teknologi pelayaran dan perkapalan yang dimiliki oleh Kerajaan Tarumanegara. Dengan demikian hingga saat ini belum banyak bukti arkeologis yang kuat untuk dijadikan sebagai bukti aktivitas kemaritiman Kerajaan Tarumanegara terutama berkaitan dengan aktivitas kemaritiman di lautan lepas.
Koneksi dengan Kerajaan Lain
Kerajaan Tarumanegara menjalin hubungan perdagangan yang erat dengan kerajaan-kerajaan tetangga seperti Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra dan Kerajaan Kalingga yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa bagian tengah. Hubungan ini memperkuat posisi ekonomi Kerajaan Tarumanegara di wilayah Nusantara khususnya di Laut Jawa dan Selat Sunda. Tidak hanya dengan kerajaan-kerajaan yang berada di Kepulauan Indonesia saja, aktivitas ini pun juga dilakukan dengan negeri-negeri seperti Tiongkok dan India. Bahkan, ketenaran Tarumanegara yang diidentifikasi oleh Claudius Ptolomeus yang menyebut Argyre (kota perak) dalam karyanya yaitu Geographike Hyphegesis.
Perkembangan Ekonomi Kerajaan Tarumanegara
Perkembangan ekonomi Kerajaan Tarumanegara disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Faktor-faktor ini menjadi pendorong bagi pertumbuhan dan kondisi ekonomi Kerajaan Tarumanegara. Di bawah ini adalah beberapa faktor yang menjadi pendorong perkembangan ekonomi Kerajaan Tarumanegara
Faktor pertama yang menjadi pendorong tumbuh dan berkembangnya perekonomian Kerajaan Tarumanegara adalah aktivitas perdagangan internasional yang terjadi disekitar awal abad tarikh Masehi. Harus diakui bahwa aktivitas perdagangan internasional yang mempertemukan dua kebudayaan besar (India dan Tiongkok) tentu sangat memengaruhi kondisi ekonomi Kerajaan Tarumanegara. Letak geografisnya yang strategis dalam mempertemukan dua kebudayaan besar inilah yang menyebabkan Kerajaan Tarumanegara perlu mengambil peranan dalam aktivitas kemaritimannya.
Letak geografis yang strategis dari Kerajaan Tarumanegara memaksa kerajaan ini untuk mengembangkan kekuatan maritimnya agar tetap dapat eksis dan mendapatkan keuntungan dari aktivitas perdagangan internasional. Berdasarkan catatan-catatan Tiongkok maupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara pada masa pemerintahan Raja Purnawarman menunjukkan upaya-upaya memperkuat aktivitas kemaritiman Kerajaan Tarumanegara (terutama pada prasasti Cidanghiang).
Dengan memanfaatkan letaknya yang strategis dan memperkuat kemaritimannya, Kerajaan Tarumanegara menjelma menjadi Kerajaan yang terkenal sebagai salah satu pusat perdagangan internasional. Barang-barang hasil pertanian dan kerajinan tangan dipertukarkan dengan barang dari negara-negara seberang lautan seperti India dan Tiongkok. Aktivitas inilah yang membawa kekayaan dan keuntungan berlimpah bagi kerajaan ini.
Untuk mendukung aktivitas perdagangan internasional, Kerajaan Tarumanegara membangun beberapa infrastruktur terutama yang dijelaskan dalam Prasasti Tugu. Keterangan yang diberikan di dalam prasasti ini bukan hanya sekedar Purnawarman menyempurnakan ‘proyek’ pembangunan sungai yang selama ini diyakini sebagai upaya pengendalian banjir atau pun sebagai sistem irigasi. Lebih daripada itu, ini merupakan salah satu upaya raja Purnawarman membangun pelabuhan yang nyaman bagi para pedagang yang singgah di pelabuhan-pelabuhan Tarumanegara. Proyek perbaikan pelabuhan dengan menambah fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan bagi para pedagang seperti penginapan, air tawar hingga melakukan pengerukan (pendalaman) aliran sungai pun tentu saja menjadi agenda rutin untuk tetap dapat menjaga kenyamanan bagi kapal-kapal yang singgah.
Kehidupan Sosial-Budaya Kerajaan Tarumanegara
Kehidupan sosial budaya Kerajaan Tarumanegara hingga saat ini belum dapat diketahui secara terperinci. Namun, meskipun begitu kehidupan sosial-budaya Kerajaan Tarumanegara dapat diketahui berdasarkan pada temuan-temuan prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang berasal pada masa pemerintahan Raja Purnawarman. Di dalam artikel ini akan dijelaskan secara singkat tentang kehidupan sosial budaya Kerajaan Tarumanegara.
Tidak banyak diketahui secara terperinci tentang kehidupan sosial budaya Kerajaan Tarumanegara. Namun, identifikasi tentang kehidupan sosial budaya Kerajaan Tarumanegara dapat diketahui secara singkat berdasarkan pada sumber-sumber prasasti maupun keterangan yang diberikan oleh sumber asing (terutama keterangan yang dijelaskan dalam catatan Fa Hien tentang Kerajaan Tarumanegara).
Apabila merujuk kepada sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara seperti keterangan yang didapatkan pada prasasti Cidanghiang dan prasasti Tugu menunjukkan terdapat hubungan yang baik antara kalangan istana dengan non-istana dalam upaya saling mendukung pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kerajaan.
Kerajaan Tarumanegara yang menggantungkan perekonomiannya pada pertanian tentu saja membutuhkan dukungan masyarakat non-istana untuk dapat melaksanakan keinginannya untuk dapat mengembangkan sektor ini. Pembangunan Sungai Chandrabraga dan Gomati adalah wujud saling mendukung antara kalangan istana dan non-istana.
Kehidupan sosial-budaya Kerajaan Tarumanegara terutama bagi kalangan istana sangatlah erat kaitannya dengan budaya dan tradisi ajaran agama Hindu. Menurut keterangan yang diberikan oleh Fa-Hsien ketika berkunjung ke Kerajaan Tarumanegara menyatakan bahwa masyarakat Kerajaan Tarumanegara masih sangat dipengaruhi oleh kepercayaan asli. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam struktur sosial masyarakat terbagi menjadi dua bagian, kalangan istana dan kalangan non-istana. Meskipun terdapat pemisahan yang berkaitan dengan status sosial, dalam kenyataannya antara kalangan istana dan non-istana tidak benar-benar terpisah sama sekali.
Keterangan yang diberikan oleh Fa Hien tentang Kerajaan Tarumanegara pada saat dirinya terdampar di Pulau Jawa pun memberikan pandangan yang cukup terang tentang kehidupan sosial budaya Kerajaan Tarumanegara. Menurut Fa Hien bahwa di Tarumanegara sudah terdapat penganut ajaran agama Hindu, sangat sedikit yang menganut ajaran Buddha dan sebagian besar masyarakatnya masih menganut kepercayaan lokal. Meningat ajaran agama Hindu yang eksklusif dan karakter budaya Indonesia yang telah berakar kuat sebelum pra-Indianisasi tentu ajaran agama Hindu dianut oleh sebagian besar kalangan istana atau bahkan seluruh kalangan istana menganut ajaran Hindu. Terkonversinya kepercayaan kalangan istana menjadi penganut ajaran Hindu tentu disebabkan oleh kepentingan mereka akan legitimasi kekuasaan di dalam struktur masyarakat.
Kerajaan Tarumanegara dipengaruhi oleh ajaran agama Hindu. Hal ini dibuktikan dengan penemuan arca, prasasti dan juga candi yang mendukung bahwa Kerajaan Tarumanegara menjadikan agama Hindu sebagai agama kerajaannya. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh prasasti Tugu, Purnawarman yang meresmikan kedua terusan (Chandrabraga dan Gomati) menghadiahi para Brahmana sebanyak seribu ekor sapi. Di mana Brahmana ini sangatlah kental dengan ajaran agama Hindu.
Keberadaan ajaran agama Hindu di Tarumanegara tidaklah dapat memastikan apakah struktur sosial ajaran Hindu pun segera dilakukan di kerajaan ini. Perlu dipahami di sini bahwa ajaran Hindu hanya dijadikan sebagai alat legitimasi secara politik bagi kalangan istana bukan merubah tatanan kehidupan sosial budaya Kerajaan Tarumanegara secara menyeluruh. Selain itu, tidak adanya keterangan di dalam prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang memberikan deskripsi tentang pembagian struktur sosial masyarakat memperkuat anggapan umum bahwa struktur sosial ini hanya terbagi menjadi istana dan non-istana. Meskipun begitu, pembagian dalam kelompok-kelompok berdasarkan pekerjaan tentu sudah terjadi menimbang hal ini yang menjadi ciri dari masyarakat pra-aksara sejak era neolitikum dan menjadi semakin kompleks sejak memasuki era perundagian.
Di sisi lain keterangan Fa Hien mengenai masih sedikitnya penganut ajaran Buddha menunjukkan bahwa ajaran agama Buddha pada saat itu masih berkembang sangat sedikit dan hanya berpusat pada kawasan perdagangan saja. Hal ini mengingat para penyebar ajaran agama Buddha yang memang juga mempertahankan hidup mereka dengan menjadi pedagang keliling yang tidak selalu terkait dengan kesatuan politik di mana mereka berasal. Sehingga ajaran agama Buddha tidak dapat berkembang secara masif di Kerajaan Tarumanegara. Meskipun terdapat pemisahan yang berkaitan dengan status sosial, dalam kenyataannya antara kalangan istana dan non-istana tidak benar-benar terpisah sama sekali.
Prasasti Ciaruteun juga menunjukkan bahwa Hindu menjadi agama Kerajaan Tarumanegara. Di dalam prasasti Ciaruteun ini terdapat dua telapak kaki yang diyakini sebagai telapak kaki raja Purnawarman. Telapak kaki Raja Purnawarman ini diyakini memiliki kesamaan dengan telapak kaki milik Dewa Wisnu dan terdapat pula tulisan vikkranta yang memiliki arti menyerang. Kata ini dikaitkan dengan triwikrama, atau tiga langkah Dewa Wisnu untuk mengelilingi dunia.
Sedangkan pada Prasasti Jambu, Raja Purnawarman disamakan dengan Dewa Indra yang dikenal sebagai Dewa Perang dan juga Purnawarman memiliki sifat-sifat Dewa Surya (Matahari). Dari keterangan-keterangan ini menunjukkan bahwa Kerajaan Tarumanegara adalah Kerajaan yang bercorak agama Hindu.
Berdasarkan keterangan yang dihimpun oleh Fa-Hsien saat mengunjungi Tarumanegara pada abad ke-5, Kerajaan Tarumanegara menjadikan ajaran agama Hindu sebagai agama resmi kerajaannya, sedangkan dikalangan penduduk Kerajaan Tarumanegara terdapat pula penganut ajaran agama Buddha yang jumlahnya sangatlah sedikit, sedangkan sebagian besar penduduk Kerajaan Tarumanegara masih menganut kepercayaan lokal.
Kemaritiman Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan yang terletak di sebelah barat Pulau Jawa yang diperkirakan mulai eksis sekitar abad ke-4 sampai dengan abad ke-7. Keberadaan Kerajaan Tarumanegara diketahui berdasarkan sumber-sumber berupa prasasti yang diterbitkan oleh Kerajaan Tarumanegara sendiri maupun sumber-sumber yang berasal dari asing. Bukti kemaritiman Kerajaan Tarumanegara dapat ditinjau dari beberapa faktor antara lain;
Letak Geografis
Posisi Kerajaan Tarumanegara yang berada pada jalur persimpangan perdagangan internasional antara Pulau Sumatra dan wilayah timur Indonesia menyebabkan Kerajaan Tarumanegara tentu saja terlibat aktif dalam aktivitas kemaritiman dan perdagangan internasional yang mulai ramai sejak permulaan abad Masehi. Di bawah ini akan dijelaskan tentang kemaritiman Kerajaan Tarumanegara.
Letak geografis Kerajaan Tarumanegara yang terletak di barat Pulau Jawa dan menjadi penghubung antara perdagangan di Selat Malaka dengan Kepulauan Maluku yang terletak di wilayah Indonesia Timur. Kerajaan Tarumanegara dinilai memiliki letak yang strategis dan menguntungkan, sebab Kerajaan Tarumanegara disinggahi oleh orang-orang yang berasal dari negeri asing, termasuk dari Cina.
Catatan Asing
Pada abad ke-5 tepatnya pada tahun 414 seorang pengelana dari Cina, Fa Hien mengunjungi Tarumanegara. Berdasarkan hal itulah dapat diketahui bahwa Kerajaan Tarumanegara memiliki ketertarikan baik dari letaknya maupun dari komoditas yang dihasilkan. Selain itu, Kerajaan Tarumanegara juga mengirimkan utusan-utusannya ke Cina sebanyak tiga kali pada abad ke-7 yang menunjukkan Kerajaan Tarumanegara telah menjalin hubungan dengan daerah-daerah luar, terutama dengan negeri Cina.
Keterangan Prasasti
Berdasarkan prasasti-prasasti yang dianggap sebagai peninggalan Kerajaan Tarumanegara, tepatnya yang dikeluarkan oleh Raja Purnawarman menunjukkan bahwa Kerajaan Tarumanegara memiliki interaksi dengan orang-orang yang berasal dari India. Hal ini terutama ditunjukkan pada prasasti Ciaruteun yang dalam bentuknya prasasti ini memiliki hubungan dengan prasasti raja Mahendrawarman I dari Kerajaan Palla yang didapatkan di Dalavanur.
Prasasti Kebon Kopi juga menegaskan bahwa adanya proses Indianisasi terutama Hinduisasi terhadap Kerajaan Tarumanegara di mana diterangkan bahwa telapak kaki gajah yang terdapat dalam prasasti Kebon Kopi disamakan dengan telapak kaki gajah airawata, hewan tunggangan Dewa Indra, dewa perang dalam kepercayaan Hindu. Telapak kaki gajah di prasasti Kebon Kopi ini disebutkan milik telapak kaki gajah tunggangan Raja Purnawarman.
Prasasti Tugu yang dikeluarkan oleh Raja Purnawarman juga menunjukkan bahwa Raja Purnawarman melakukan suatu usaha untuk menghubungkan Kerajaan Tarumanegara dengan aktivitas perdagangan internasional. Sungai Chandrabhaga yang digali atas perintah Raja Purnawarman menghubungkan istana kerajaan dengan laut lepas yang tentu dengan hal ini kapal-kapal (mungkin berskala kecil) dapat singgah hingga dekat dengan istana kerajaan.
Keruntuhan Kerajaan Tarumanegara
Keruntuhan Kerajaan Tarumanegara yang eksis sejak abad ke-4 M hingga saat ini belum dapat diketahui secara jelas penyebabnya. Muncul berbagai spekulasi dan pendapat tentang penyebab runtuhnya Kerajaan Tarumanegara baik dari sumber-sumber arkeologis, catatan-catatan dari Tiongkok maupun berasal dari karya sastra. Di dalam artikel ini akan dijelaskan secara singkat beberapa hal yang menyebabkan keruntuhan Kerajaan Tarumanegara.
Beberapa Faktor Dibalik Keruntuhan Kerajaan Tarumanegara
Terdapat beberapa faktor yang diduga kuat menjadi latar belakang keruntuhan Kerajaan Tarumanegara yang eksis di bagian barat Pulau Jawa sejak abad ke-4 hingga abad ke-7. Beberapa faktor penyebab Keruntuhan Kerajaan Tarumanegara antara lain adalah gejolak internal saat Tarusbawa menjadi penerus Linggawarman dan adanya dugaan serangan Kerajaan Sriwijaya;
1. Tarusbawa Raja Terakhir Kerajaan Tarumanegara
Paling banyak diyakini bahwa Kerajaan Tarumanegara runtuh pada masa pemerintahan raja Tarusbawa setelah menggantikan Raja Linggawarman pada tahun 669. Peralihan kekuasaan Kerajaan Tarumanegara ke Tarusbawa menjadi polemik dikalangan internal Kerajaan Tarumanegara. Hal ini disebabkan bahwa berdasarkan kitab Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa maupun dalam Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara disebutkan Tarusbawa adalah raja Kerajaan Sunda Sembawa yang merupakan negeri bawahan Tarumanegara menikahi puteri dari raja Linggawarman yaitu Dewi Minawati. Perihal raja Linggawarman tidak memiliki anak laki-laki, maka ketika ia wafat tahun 669 secara langsung kekuasaan tertinggi Kerajaan Tarumanegara jatuh ke tangan puterinya yakni Dewi Minawati yang memiliki suami bernama Tarusbawa.
Dewi Minawati sebagai seorang istri nampaknya memberikan wewenang kepada suaminya itu untuk meneruskan roda pemerintahan Kerajaan Tarumanegara sepeninggal Linggawarman, ayahnya. Tarusbawa yang selama Linggawarman hidup menjadi raja di Kerajaan Sunda Sembawa tentu saja harus menjalankan dua pemerintahan sekaligus, yakni di Kerajaan Sunda Sembawa maupun di Kerajaan Tarumanegara. Kondisi inilah yang menyebabkan raja Sunda Sembawa itu harus melakukan perubahan-perubahan yang memudahkannya dalam memerintah dua kerajaan sekaligus.
2. Kontroversi Merubah Nama Kerajaan Tarumanegara Menjadi Kerajaan Sunda
Di dalam kedua buah karya sastra fenomenal (Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa maupun dalam Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara ) tidak diberikan secara rinci perihal apa yang menyebabkan Tarusbawa harus merubah nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda. Sehingga dengan demikian menimbulkan beberapa kemungkinan yang terjadi berkaitan dengan fenomena ini;
Keinginan Pribadi Tarusbawa
Tarusbawa merubah nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda adalah karena ego pribadi untuk memutar posisi yang sebelumnya Kerajaan Sunda Sembawa adalah kerajaan bawahan Tarumanegara, kini Kerajaan Tarumanegara menjadi negeri bawahan Kerajaan Sunda Sembawa. Apabila kenyataan ini yang terjadi, tidak ada penjelasan apapun di dalam dua karya Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa maupun dalam Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara mengenai pertentangan dari kalangan keluarga Dewi Minawati mengenai keputusan yang diambil oleh Tarusbawa.
Apabila memang keputusan Tarusbawa merubah nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda adalah keinginan pribadinya, sudah tentu ia akan mendapatkan penolakan dari keluarga internal Kerajaan Tarumanegara. Atau mungkin ini merupakan keinginannya pribadi tanpa menghiraukan pihak keluarga Dewi Minawati, namun karena Kerajaan Tarumanegara sejak di bawah pemerintahan Linggawarman sudah mengalami kemunduran dan mulai melemah sehingga tidak ada pertentangan dari pihak internal Kerajaan Tarumanegara.
Di sisi yang lain, apabila dikatakan Kerajaan Tarumanegara sudah mengalami kemunduran sejak era Linggawarman dan mulai melemah pengaruh politiknya secara besar, dalam sumber yang sama (Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa dan Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara ) Raja Linggawarman pun berhasil menjalin hubungan dengan Kerajaan Sriwijaya yang mana pendiri Kerajaan Sriwijaya (Dapunta Sri Jayanasa) kenyataannya menjadi menantu Linggawarman. Dengan demikian, nampaknya tidaklah memungkinkan bahwa perubahan nama Tarumanegara menjadi Sunda adalah kehendak pribadi tanpa ada persetujuan dari pihak internal Tarumanegara.
Mempermudah Birokrasi
Tarusbawa merubah nama Kerajaan hanya untuk memudahkan birokrasi yang harus ia tempuh, di satu sisi memerintah kerajaan miliknya (Sunda Sembawa) di sisi lain memerintah kerajaan milik istrinya (Kerajaan Tarumanegara) yang merupakan kerajaan pusat. Upaya mempermudah menjalankan dua birokrasi kerajaan menyebabkan Tarusbawa merubah nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda dengan persetujuan dari pihak internal Kerajaan Tarumanegara. Tanpa adanya persetujuan dan kompromi dari pihak internal Kerajaan Tarumanegara tidaklah memungkinkan bagi Tarusbawa merubah nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda.
Perlu digarisbawahi yang jelas di sini bahwa berubahnya nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda diikuti dengan menghilangnya nama Kerajaan Sunda Sembawa yang merupakan asal dari Tarusbawa. Kemungkinan yang terjadi adalah wilayah Kerajaan Tarumanegara digabungkan dengan wilayah Kerajaan Sunda Sembawa oleh Tarusbawa yang kemudian secara langsung berada di bawah kendali dari Tarusbawa sebagai raja penerus Linggawarman. Namun, yang masih menjadi pertanyaan adalah mengapa pihak internal Kerajaan Tarumanegara menyetujui perubahan nama Tarumanegara menjadi Sunda? ataukah tidak memiliki pilihan lain atau tidak memiliki daya mempertahankan posisi politik tertinggi di barat Pulau Jawa sepeninggal Linggawarman?. Hal ini tidak dapat diketahui secara mendetail sebab tidak ada sumber-sumber berupa artefak maupun karya sastra yang dianggap relevan menjelaskan fenomena ini.
3. Gejolak Setelah Perubahan Nama Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda
Terlepas daripada apa yang sesungguhnya terjadi perihal mengapa Tarusbawa merubah nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda sudah tentu menimbulkan gejolak di kalangan internal maupun eksternal.
Keterangan yang diberikan di dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa maupun dalam Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara, raja Wretikandayun dari Kerajaan Kendan yang sebelumnya merupakan bawahan dari Kerajaan Tarumanegara memaksa untuk memisahkan diri dengan menyurati Tarusbawa pada tahun 670. Meskipun surat tersebut nampak ‘baik-baik’ saja, Wretikandayun menunjukkan ketidakpuasan atas keputusan yang dilakukan oleh Tarusbawa mengganti nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda.
Ketidakpuasan raja Wretikandayun dari Kerajaan Kendan terhadap perubahan nama ini seolah memberikan sedikit petunjuk bahwa perubahan nama itu adalah keinginan pribadi Tarusbawa untuk merubah nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda. Di mana Tarusbawa menganggap tidak ada pewaris takhta (laki-laki) penerus dari Linggawarman sehingga bebas bagi dirinya untuk meligitimasi kekuasaan terhadap Tarumanegara. Hal inilah yang nampaknya mendorong Wretikandayun untuk melepaskan diri dan menjadi kerajaan merdeka. Atau yang terjadi adalah justru Wretikandayun menganggap meninggalnya Linggawarman dengan digantikan oleh menantunya adalah kesempatan untuk memisahkan diri dari Kerajaan Tarumanegara.
Apa pun motif yang sesungguhnya terjadi oleh raja-raja bawahan Kerajaan Tarumanegara, nyatanya satu persatu kerajaan bawahan Tarumanegara mendeklarasikan diri sebagai kerajaan mandiri terlepas dari pengaruh politik pemerintahan Tarusbawa. Surat Wretikandayun yang diberikan kepada Tarusbawa nyatanya telah menjadikan Kerajaan Kendan menjadi kerajaan mandiri dan merubah namanya menjadi Kerajaan Galuh.
4. Serangan Sriwijaya
Dugaan terkuat adanya serangan Kerajaan Sriwijaya kepada Kerajaan Tarumanegara adalah berdasarkan keterangan yang tertuang di dalam prasasti Kota Kapur. Prasasti Kota Kapur adalah prasasti berupa tiang batu bersurat yang ditemukan di pesisir barat Pulau Bangka. Isi prasasti Kota Kapur yang menjadi bahan dasar pengamatan ini adalah
“…Pada tahun Saka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha. Pada saat itulah kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Sriwijaya berangkat untuk menyerang bhūmi jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.”
Kutipan Prasasti Kota Kapur
Berangkat dari hal itu perlu diidentifikasi terlebih dahulu mengenai keterangan tahun yang diberikan di dalam prasasti Kota Kapur. Tahun 608 Saka berarti memasuki tahun 686 M yang diduga sebagai tahun penyerangan Kerajaan Sriwijaya terhadap Kerajaan Tarumanegara. Namun, hingga saat ini belum dapat diketahui secara meyakinkan dan pasti apakah kata bhumi Jawa yang dimaksud itu adalah untuk salah satu kekuatan politik ataukah untuk keseluruhan Pulau Jawa yang diserang dan hendak ditaklukkan oleh Kerajaan Sriwijaya.
Ka-ling atau To-lo-mo
Penyerangan Sriwijaya terhadap Bhumi Jawa adalah suatu fakta yang akibatnya dapat diketahui dari kemunculan wangsa Sailendra di Pulau Jawa pada pertengahan abad ke-8 M. Namun, apabila melacak pada penanggalan Prasasti Kota Kapur hingga pertengahan abad ke-8 M terdapat jarak hingga 80 tahun lamanya dan tentu saja diyakini keberhasilan serangan Sriwijaya terhadap bhumi Jawa ini tidak terjadi dalam sekali penyerangan saja, tetapi beberapa kali melakukan penyerangan terhadap bhumi Jawa. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam kronik Sejarah Baru Dinasti T’ang bahwa Ka-ling (Kalingga) mengirimkan utusannya ke Tiongkok sebanyak tiga kali antara tahun 766-779, dan kembali mengirimkan antara tahun 827 dan 835, 860 dan 873 Ka-ling pun masih mengirimkan utusannya ke Tiongkok.
Keterangan yang diberikan oleh Sejarah Baru Dinasti T’ang ini memberikan keyakinan bahwa serangan Sriwijaya pada tahun 686 tersebut tidak serta-merta menghancurkan kekuatan politik di seluruh Pulau Jawa. Sebab Ka-ling (Kalingga) masih tetap eksis nyatanya hingga abad ke-9 berdasarkan pada catatan-catatan Tiongkok. Lalu bhumi Jawa manakah yang dimaksud di dalam Prasasti Kota Kapur?. Perlu diketahui terdapat beberapa kesatuan politik yang terdapat di Pulau Jawa pada abad ke-7 diantaranya yang terkenal adalah Ka-ling yang terletak di Jawa bagian tengah sedangkan ada To-lo-mo (Tarumanegara) yang terletak di bagian barat Pulau Jawa. Selain itu tentu diyakini masih terdapat kekuatan-kekuatan politik lainnya yang sudah eksis di Pulau Jawa, namun luput dari catatan-catatan Tiongkok yang diduga pengaruh politik mereka tidak begitu diperhitungkan.
Setelah mengetahui dua kekuatan politik besar di Pulau Jawa pada abad ke-7 yakni Ka-ling dan To-lo-mo, penyerangan Dapunta Sailendra terhadap bhumi Jawa sudah tentu ditujukan kepada kekuatan politik yang besar hingga dipahatkan di dalam sebuah tugu (prasasti Kota Kapur). Jadi, tidaklah mungkin Dapunta Sailendra menyerang sebuah kekuatan politik yang dikatakan tidak begitu diperhitungkan dan dipahatkan di dalam sebuah tugu, sudah barang tentu lawannya adalah kekuatan politik besar. Namun yang menjadi pertanyaan, siapakah atau kekuatan politik manakah yang menjadi target? apakah To-lo-mo atau Ka-ling?
Perihal To-lo-mo atau Ka-ling tentu harus dipahami berdasarkan pada keterangan-keterangan historis dan garis waktunya. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa nama Ka-ling masih tetap eksis hingga abad ke-9 yang berarti terdapat dua kemungkinan;
- Kerajaan Sriwijaya tidak menargetkan Ka-ling di dalam penyerangannya;
- Serangan Sriwijaya terhadap Ka-ling menemui kegagalan.
Menjadi target atau tidaknya Ka-ling tentu perlu diidentifikasi seberapa potensial Ka-ling di masa diterbitkannya prasasti Kota Kapur (686) jika dikomparasikan dengan kronik Tiongkok maupun karya sastra setempat. Seberapa pun penting dan potensialnya Ka-ling sebagai hambatan bagi Sriwijaya, wilayah Ka-ling tidak bersinggungan secara langsung dengan Kerajaan Sriwijaya meskipun ia terletak di Pulau Jawa. Ka-ling terletak di bagian tengah Pulau Jawa yang pada saat ini belum dapat dikatakan menjadi musuh potensial bagi Kerajaan Sriwijaya untuk ditaklukkan. Sedangkan di sisi lain, yang bersinggungan dengan wilayah Kerajaan Sriwijaya adalah Kerajaan Tarumanegara (To-lo-mo) yang terletak di bagian barat Pulau Jawa. Dengan demikian, tentu bhumi Jawa yang dimaksud di dalam prasasti Kota Kapur adalah To-lo-mo (Tarumanegara). Lalu apakah serangan Sriwijaya ini menemui keberhasilan?
Penyerangan Kerajaan Sriwijaya terhadap To-lo-mo nampaknya menjadi sebuah keberhasilan dengan berdasarkan pada keterangan-keterangan dari Sejarah Baru Dinasti T’ang menyebutkan bahwa To-lo-mo mengirimkan utusannya ke negeri Tiongkok pada tahun 666 dan 669. Setelah tahun tersebut utusan To-lo-mo tidak lagi mengirimkan utusan ke Tiongkok yang diduga To-lo-mo telah berganti nama atau telah ditaklukkan oleh kekuatan politik lain (Sriwijaya). Sebab, tahun 669 adalah tahun terakhir pemerintahan raja Linggawarman dari Tarumanegara yang setelah itu pemerintahan di Tarumanegara dilanjutkan oleh Tarusbawa.
Runtuh Atau Berganti Nama?
Setelah dipahami bahwa To-lo-mo (Tarumanegara) yang menjadi target penyerangan Dapunta Sailendra, perlu diketahui seberapa penting dan emosionalkah penyerangan yang dilakukan oleh Dapunta Sailendra itu. Kiranya perlu dilakukan komparasi antara sumber-sumber berupa prasasti dan catatan sezaman (catatan Tiongkok) dengan karya sastra yang sedikit diragukan namun perlu diintepretasi dengan kehati-hatian.
Tahun 686, Kerajaan Sriwijaya secara meyakinkan berada di bawah pemerintahan Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Apabila merujuk pada sumber Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa maupun dalam Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Dapunta Hyang Sri Jayanasa sendiri merupakan menantu dari raja Linggawarman dari Kerajaan Tarumanegara. Jika dikatakan Dapunta Sri Jayanasa (Dapunta Sailendra) menyerang kerajaan mertuanya sendiri tentu masih sangat disangsikan tanpa adanya penyebab-penyebab politik apa pun yang terjadi bagi kedua belah pihak. Boleh lah kiranya dikatakan Dapunta Sailendra berkeinginan menaklukkan Bhumi Jawa sebab ia telah berhasil menaklukkan sebagian besar pulau Sumatra dengan bukti dikeluarkan berbagai macam prasasti kutukan yang menunjukkan keberhasilannya dalam upaya tersebut.
Penyerangan Bhumi Jawa ini terdapat sebuah kejanggalan dan memberikan sedikit petunjuk juga keterkaitan antara prasasti Kota Kapur dan sumber yang hampir selalu diragukan (Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa maupun dalam Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara);
Apabila dapat dipastikan Dapunta Sailendra adalah menantu Linggawarman, penyerangannya terhadap Bhumi Jawa bukanlah penyerangan atas kebangkangan menantu terhadap mertuanya, terlebih istri Dapunta Sailendra berasal dari Kerajaan Tarumanegara. Tahun 669 Linggawarman wafat dan digantikan oleh Tarusbawa yang memutuskan merubah nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda tentu menimbulkan gejolak di dalam negeri Tarumanegara dan juga negeri tetangga termasuk Sriwijaya. Tarusbawa yang merupakan sesama menantu dari Linggawarman bertakhta terhadap Kerajaan Tarumanegara menyebabkan Dapunta Sailendra tidak segan-segan untuk melaksanakan ambisi politiknya untuk menguasai wilayah Kerajaan Tarumanegara. Melemahnya pengaruh dari Kerajaan Tarumanegara telah ditunjukkan dengan ‘surat Wretikandayun’ pada tahun 670 kepada Tarusbawa untuk memisahkan diri dari Kerajaan Sunda dengan mendirikan Kerajaan Galuh yang menyebabkan wilayah Tarumanegara terbelah menjadi dua bagian.
Serangan Kerajaan Sriwijaya bukanlah kepada Kerajaan Tarumanegara, melainkan kepada penerus daripada Kerajaan Tarumanegara (Sunda). Hal ini dapat dipahami bahwa eksistensi Kerajaan penerusnya (Sunda) masih tetap ada hingga abad ke-16 meskipun nampaknya serangan Sriwijaya telah berhasil memaksa Kerajaan Sunda terdorong ke pedalaman dan bergantung pada aktivitas kemaritiman yang dimonopoli oleh Kerajaan Sriwijaya.
Daftar Bacaan
- Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 4 Parwa 2
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 3 Parwa 2
- Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Bosch, F.D.K. 1961. Selected Studies in Indonesian Archaeology. Leiden: M. Nijhoff.
- Damais, L.Ch. 1955. “Les Ecritures d’Origine Indienne en Indonesie et dans le Sud-Est Asiatique Continental’ BSEI XXX. 40: 365-382.
- De Casparis, J.G. 1975. Indonesian Palaeography: A Historv of Writing in Indonesia from the Beginning to c. A.D. 1500. Leiden: E.J. Brill.
- Ekajati, Edi S. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Fa Hien. (terj.) Legge, James. 1886. A Record of Buddhistic Kingdom: Being an account by the Chinese Monk Fa-Hsien of Travels in India and Ceylon (A.D. 399-414). Oxford: Oxford Clarendon Press.
- Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
- Hoepermans, H.N. 1913. “Hindoe-Oudheden van Java (1864)” ROD 1913: 75.
- Kern, H. 1910. “Een woord in ‘Sanskrit opschrift van Toegoe verbeterd” TBG. LII:123
- Kapur, Kamlesh. 2010. History Of Ancient India (portraits Of A Nation). New Delhi: Sterling Publishers Pvt. Ltd.
- Krom, N.J. 1931. Hindoe-Javaansche Geschiedenis. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhof.
- Mc Kinnon, Edwards E. 1996. “Prasasti Ciaruteun: suatu teka-teki, laba-laba atau lambang Sri?” Kalpataru 12:1-6.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.
- Santiko, Hariani. December 2013. “The Vedic Religion In Nusantara”. AMERTA, Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi. 31 (2): 81–150.
- Vogel, J.Ph. 1925. “The Earliest Sanskrit Inscriptions of Java”, Publicaties van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-lndie. Batavia: hlm. 15-35.
- Zahorka, Herwig 2007. The Sunda Kingdoms of West Java, From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.