Kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda - Kerajaan Sunda diperkirakan mulai eksis sekitar abad ke-10 sampai dengan abad ke-16. Kerajaan Sunda dianggap sebagai kelanjutan dari Kerajaan Tarumanegara yang terakhir kali dipimpin oleh Raja Tarusbawa. Sebagai Kerajaan yang terletak di daerah barat Pulau Jawa tidaklah mungkin Kerajaan Sunda tidak terlibat aktif dalam kegiatan kemaritiman dan perdagangan internasional. Hal ini disebabkan daerah barat Pulau Jawa merupakan daerah penghubung antara Pulau Sumatra dan Selat Malaka dengan daerah lainnya di Kepulauan Indonesia bagian timur terutama Kepulauan Maluku yang merupakan penghasil rempah-rempah.
Raja-Raja Kerajaan Sunda
1. Tarusbawa (669-723)
Setelah Raja Linggawarman wafat, maka Tarusbawa-lah yang melanjutkan pemerintahan di Kerajaan Tarumanegara atas nama istrinya Dewi Minawati. Selain itu, Tarusbawa juga masih tetap berstatus sebagai raja dari Kerajaan Sunda Sembawa. Raja Tarusbawa dilantik sebagai raja di Kerajaan Tarumanegara pada tahun 669 M dengan gelar Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa.
Tarusbawa Merubah Nama Kerajaan Tarumanegara Menjadi Kerajaan Sunda
Tarusbawa yang telah dilantik sebagai penguasa di Kerajaan Tarumanegara dan sekaligus juga masih menjadi raja di Kerajaan Sunda Sembawa merasa bahwa mengendalikan dua birokrasi secara sekaligus adalah hal yang merepotkan, sehingga pada akhirnya ia memilih untuk menggabungkan kedua birokrasi ini menjadi satu struktur yang berada langsung di bawah kendalinya. Tarusbawa kemudian menanggalkan statusnya sebagai raja Kerajaan Sunda Sembawa dan mengambil alih kepemimpinan di Kerajaan Tarumanegara (mungkin ini direstui pula oleh sang istri, Dewi Minawati).
Selain disebabkan oleh ruwetnya persoalan birokrasi, Tarusbawa pun juga terinspirasi oleh kejayaan yang pernah dicapai oleh raja terbesar dari Kerajaan Tarumanegara, yakni Purnawarman yang berhasil menjadikan Kerajaan Tarumanegara sebagai kerajaan yang kuat dan tangguh. Raja Purnawarman sendiri pada saat itu menjadikan Sundapura sebagai ibukota Kerajaan Tarumanegara. Berdasarkan pada hal inilah Tarusbawa kemudian mengganti nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda pada tahun 669 M.
Terpecahnya Wilayah Kerajaan Tarumanegara
Setelah digantinya nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda oleh Tarusbawa pada tahun 669 M bukan berarti tidak mendapatkan respon dari berbagai pihak yang menjadi bagian dari Kerajaan Tarumanegara. Respon itu terutama muncul pada tahun 670 dari Raja Kerajaan Galuh, Wretikandayun. Wretikandayun nampaknya memanfaatkan momentum penggantian nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda ini sebagai alasan untuk menjadikan Kerajaan Galuh sebagai kerajaan yang merdeka.
Wretikandayun segera mengirimkan utusannya ke ibukota Tarumanegara untuk bertemu dengan Raja Tarusbawa. Di dalam suratnya itu, Wretikandayun menyatakan bahwa dirinya ingin Kerajaan Galuh melepaskan diri dari Kerajaan Sunda. Namun, di dalam surat itu, Wretikandayun menjelaskan bahwa sesungguhnya mereka (Tarumanegara dan Galuh) adalah tetap sebagai saudara karena berasal dari satu leluhur. Wretikandayun menginginkan kerajaannya berdiri sendiri namun, di sisi lain ia tidak menganggap Kerajaan Sunda sebagai musuh, melainkan harus memperkuat persahabatan diantara keduanya.
Di dalam surat Wretikandayun kepada Tarusbawa itu, Wretikandayun juga memberikan penjelasan mengenai pembagian wilayah diantara dua kerajaan yang diharapkan usulannya diterima. Wretikandayun menjelaskan melalui suratnya bahwa daerah-daerah yang termasuk ke sebelah barat Sungai Taruma (Sungai Citarum) adalah daerah kekuasaan Kerajaan Sunda sedangkan daerah yang terletak di sebelah timur adalah wilayah Kerajaan Galuh.
Wretikandayun juga memperingatkan kepada Raja Tarusbawa agar tidak memusuhi dan menyerang Kerajaan Galuh, sebab Kerajaan Galuh memiliki angkatan perang yang berjumlah tiga kali lebih besar dibandingkan angkatan perang Kerajaan Sunda. Selain itu, Kerajaan Galuh juga didukung oleh beberapa kerajaan yang terletak di Pulau Jawa bagian tengah dan Timur. Pernyataan ini dapat diartikan juga sebagai suatu “ancaman” dari Wretikandayun kepada Kerajaan Sunda apabila tidak menyetujui usulannya untuk kemandirian Kerajaan Galuh.
Wretikandayun mengharapkan persaudaraan dengan Tarusbawa dan bersama-sama mengharapkan kedua kerajaan dapat mencapai kemakmuran dan dijauhkan dari bahaya. Wretikandayun sangat memahami sifat dari Tarusbawa yang sangat menghindari konflik dalam segala permasalahan. Berdasarkan pada sifat itulah sehingga Wretikandayun merasa yakin bahwa Tarusbawa akan memahami maksud dan tujuan Kerajaan Galuh untuk memisahkan diri dari Kerajaan Sunda sebagai kerajaan yang merdeka.
Dalam tempo beberapa hari saja, Tarusbawa segera menanggapi surat Wretikandayun dengan menyetujui permintaan dan usulan yang diberikan oleh Wretikandayun. Seketika itu pula, Raja Tarumanegara segera membagi Kerajaannya menjadi dua bagian. Jawa bagian barat terbagi menjadi dua kerajaan besar, di sisi barat laut ke timur hingga Sungai Taruma (Sungai Citarum) merupakan wilayah Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Tarusbawa. Sedangkan wilayah timur Sungai Citarum hingga Sungai Cipamali menjadi wilayah kerajaan Galuh di bawah pimpinan Wretikandayun.
![]() |
Pembagian wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara yang terpecah menjadi Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Tarusbawa dengan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Wretikandayun |
Berpindahnya Pusat Kerajaan Sunda dari Sundapura ke Pakuan
Setelah menyetujui pemisahan kerajaan sesuai dengan usulan yang diberikan oleh Wretikandayun dari Kerajaan Galuh, Tarusbawa kemudian memutuskan untuk memindahkan ibukota Kerajaan Sunda dari Sundapura ke Pakuan pada tahun 670 M. Setelah memindahkan ibukota Kerajaan Sunda di Pakuan, Tarusbawa kemudian mendirikan lima buah keraton yang mana bentuk dan ukuran dari kelima keraton itu sama. Kelima keraton itu kemudian diberi nama Sri Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Setelah pembangunan kelima keraton selesai di Pakuan, Raja Tarusbawa kemudian diberkati oleh seorang pujangga yang bernama Sedamanah.
Setelah perpindahan ibukota Kerajaan Sunda dari Sundapura ke Pakuan dan berhasil mendirikan keraton di ibukota baru itu, Raja Tarusbawa kemudian berupaya untuk menjalin kerjasama diberbagai bidang dengan Kerajaan Sriwijaya yang dipimpin oleh Dapunta Hyang Sailendra (Sri Jayanasa). Upaya itu dapat mencapai hasil pada tahun 672 M, Kerajaan Sunda berhasil menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sriwijaya diberbagai bidang. Keberhasilan dari upaya Kerajaan Sunda ini tentu saja berjalan dengan mudah sebab kedua raja merupakan sesama menantu dari Raja Linggawarman dari Kerajaan Tarumanegara.
Penerus Takhta Kerajaan Sunda
Tarusbawa dan Dewi Minawati memiliki seorang putra tertua yang bernama Rakryan Sunda Sambawa. Rakryan Sunda Sambawa telah dijadikan putera mahkota Kerajaan Sunda dan kelak ialah yang mewarisi takhta Kerajaan Sunda apabila Tarusbawa mangkat. Namun, hal itu tidak pernah terjadi sebab Rakryan Sunda Sambawa meninggal terlebih dahulu sebelum sang raja mangkat. Rakryan Sunda Sembawa memiliki seorang anak perempuan yang bernama Nay Sekarkancana (Sekar Kancana/ Teja Kancana Ayupurnawangi). Dengan meninggalnya Rakryan Sunda Sambawa terlebih dahulu dibandingkan dengan Tarusbawa, maka takhta Kerajaan Sunda selanjutnya akan diberikan kepada cucu Tarusbawa, yaitu Nay Sekarkancana.
Merasa bahwa dirinya sudah lanjut usia, maka Tarusbawa segera menjodohkan cucunya, Nay Sekarkancana dengan Rahyang Sanjaya dari Kerajaan Galuh. Rahyang Sanjaya adalah anak dari Sena dan Sanaha. Sena sendiri adalah Raja Kerajaan Galuh yang ketiga menggantikan ayahnya, Raja Mandiminyak pada tahun 709 M. Namun, pada tahun 716 M Sena dikudeta oleh saudaranya, Purbasora. Sena dan Purbasora sebenarnya adalah saudara satu ibu, namun berbeda ayah. Setelah kudeta itu, Sena dan keluarganya melarikan diri dan meminta perlindungan kepada Tarusbawa.
Tarusbawa menerima kedatangan keluarga Sena dan memberikan dukungan kepada Sena untuk merebut kembali takhta Kerajaan Galuh dari tangan Purbasora. Setelah pernikahan antara Sekar Kancana dan Rahyang Sanjaya, Tarusbawa meninggal pada tahun 723 M di usia 91 tahun. Takhta Kerajaan Sunda kemudian dilanjutkan oleh Rahyang Sanjaya yang memerintah atas nama istrinya, Sekar Kancana. Sanjaya yang masih menaruh dendam kepada Purbasora karena mengkudeta ayahnya sebagai Raja Kerajaan Galuh, berhasil merebut takhta Kerajaan Galuh pada tahun 747 M dengan bantuan dari tentara Kerajaan Sunda.
2. Rahyang Sanjaya (732)
Rahyang Sanjaya atau biasa disebut juga dengan Sanjaya adalah raja kedua dari Kerajaan Sunda yang didirikan oleh Tarusbawa. Sanjaya menjadi penerus dari Kerajaan Sunda oleh karena telah menikahi cucu dari Tarusbawa yang bernama Sekar Kencana. Sanjaya naik takhta Kerajaan Sunda setelah meninggalnya Tarusbawa pada usia 91 tahun pada 732 M.
Sanjaya Merebut Kembali Takhta Kerajaan Galuh
Sebagaimana diketahui bahwa ayah Sanjaya, Sena adalah raja ketiga dari Kerajaan Galuh yang naik takhta pada tahun 709 M. Namun, Sena dikudeta oleh Purbasora pada tahun 716 M yang menyebabkan Sena beserta keluarganya melarikan diri dan meminta perlindungan kepada Raja Kerajaan Sunda, Tarusbawa. Setelah Sanjaya berhasil menjadi raja di Kerajaan Sunda pada tahun 732 M untuk menggantikan Tarusbawa, Sanjaya segera menyusun rencana untuk merebut kembali takhta dari tangan Purbasora yang masih pamannya sendiri.
Sanjaya segera mempersiapkan pasukannya untuk menggempur Kerajaan Galuh. Setelah memperkuat pasukannya, Sanjaya juga mencari dukungan ke berbagai tempat untuk menggulingkan Purbasora dari takhta Kerajaan Galuh. Sanjaya kemudian pergi ke Kerajaan Denuh yang sekarang berada di Tasikmalaya untuk meminta dukungan dari Rajaresi Wanayasa Rahyang Kidul. Namun, Wanayasa menolak permintaan Sanjaya dan memilih untuk bersikap netral.
Setelah permintaannya kepada Rajaresi Wanayasa Rahyang Kidul dari Kerajaan Denuh, Sanjaya segera menuju Kerajaan Gunung Sawal untuk mendapatkan dukungan. Setelah mendapatkan dukungan, Gunung Sawal kemudian dijadikan markas bagi tentara Sanjaya untuk merebut Kerajaan Galuh. Dari Gunung Sawal ini, Sanjaya beserta pasukannya berhasil membunuh Purbasora pada tahun 723 M. Setelah berhasil membunuh Purbasora, Sanjaya segera mempersiapkan diri dan pasukannya untuk menyerang Kerajaan Indraprahasta di tahun yang sama. Kerajaan Indraprahasta ini adalah asal dari permaisuri Purbasora yang bernama Citra kirana.
Sanjaya Menjadi Raja Di Kerajaan Sunda Dan Kerajaan Galuh
Setelah berhasil membunuh Purbasora dan menghancurkan Kerajaan Indraprahasta, Sanjaya naik takhta sebagai raja Kerajaan Galuh yang kelima pada tahun 747 M. Sedangkan Sekar Kancana dijadikan pula sebagai permaisuri Kerajaan Galuh dengan gelar Teja Kancana Ayu Purnawangi. Sedangkan Sanjaya bergelar Maharaja Harisdarma Bimaparakrama atau dikenal pula dengan gelar Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya. Setelah dinobatkan sebagai raja di Kerajaan Galuh, Sanjaya secara langsung memerintah dua kerajaan, yakni Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Di sisi lain, Sanjaya juga mendapatkan hak takhta Kerajaan Kalinnga dari ibunya. Sehingga Sanjaya kini menjadi raja dari tiga kerajaan; Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga. Meskipun kini Sanjaya menjadi raja di Kerajaan Galuh setelah menyingkirkan Purbasora, namun kondisi politik di Kerajaan Galuh belum dapat dikatakan kondusif.
Sebagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan di Kerajaan Galuh, maka disepakati bahwa Sanjaya tidak memerintah Kerajaan Galuh secara langsung. Sempakwaja Bhatara Danghyang Guru kemudian mengangkat Premana Dikusuma anak dari Wijayakusuma sekaligus cucu dari Purbasora. Setelah pengangkatan Premana Dikusuma, Sanjaya menempatkan anaknya, Rakryan Tamperan (Tamperan Barmawijaya sebagai duta (perwakilannya) di Kerajaan Galuh.
Memberikan Takhta Kerajaan Sunda Kepada Rakryan Tamperan
Penempatan Rakryan Tamperan ternyata menyebabkan kondisi politik kerajaan Galuh kembali memanas. Oleh sebab itu, Sanjaya menarik Rakryan Tamperan menuju ke ibukota Kerajaan Sunda di Pakuan. Pada tahun 731 M Sanjaya dipanggil oleh ayahnya, Sena yang kini berkuasa di Kerajaan Kalingga memerintah atas nama istrinya, Sanaha cucu dari Ratu Sima. Pada tahun 732 M Sanjaya menggantikan Sena sebagai raja di Kalingga. Setelah menggantikan Sena di Kerajaan Kalingga, Sanjaya memberikan takhta Kerajaan Sunda kepada Rakryan Tamperan.
3. Tamperan Barmawijaya (732-739)
Tamperan Barmawijaya (Rakryan Tamperan/ Rakeyan Tamperan) diangkat sebagai raja di Kerajaan Sunda untuk menggantikan Sanjaya pada tahun 732 M. Tamperan Barmawijaya sendiri pernah diangkat sebagai perwakilan dari Sanjaya di Kerajaan Galuh. Namun, ketika diutus oleh Sanjaya di Kerajaan Galuh, Tamperan Barmawijaya terlibat permasalahan di mana ia menjalin asmara dengan Dewi Pangrenyep.
Dewi Pangrenyep sendiri adalah istri kedua dari Premana Dikusuma, raja Kerajaan Galuh yang diangkat berdasarkan hasil musyawarah untuk menyelesaikan permasalah Kerajaan Galuh pasca tewasnya Purbasora pada tahun 723 M. Asmara antara Tamperan Barmawijaya dengan Dewi Pangrenyep itu melahirkan seorang putra yang bernama Sang Banga pada tahun 724 M.
Tamperan Barmawijaya Menggantikan Rahyang Sanjaya
Ketika dilantik sebagai raja Kerajaan Sunda pada tahun 732 M, Rakrya Tamperan tidak memiliki seorang permaisuri meskipun ia memiliki anak (Sang Banga) yang telah berusia sembilan tahun dari hasil asmaranya dengan Dewi Pangrenyep, istri kedua dari Premana Dikusuma. Tamperan Barmawijaya kemudian merencanakan pembunuhan terhadap Premana Dikusuma yang berhasil ditewaskan pada tahun yang sama, 732 M.
Dengan meninggalnya Premana Dikusuma, Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum yang keduanya merupakan istri Premana Dikusuma dinikahkan oleh Tamperan Barmawijaya. Namun, kini Dewi Pangrenyep sebagai permaisuri sedangkan Dewi Naganingrum sebagai selir. Ketika berstatus sebagai istri Premana Dikusuma, Dewi Naganingrum memiliki seorang anak yang bernama Manarah yang lahir lebih dahulu dibandingkan Banga. Manarah lahir pada tahun 718 M sedangkan Banga lahir pada tahun 724 M.
Tamperan Barmawijaya Bertakhta Di Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
Setelah Premana Dikusuma tewas, Tamperan Barmawijaya menyusun rencana dan menyebarkan berita tewasnya Premana Dikusuma dan telah berhasil menangkap pelakunya. Sehingga, Tamperan Barmawijaya dianggap berjasa bagi Kerajaan Galuh. Tamperan Barmawijaya kemudian diangkat pula sebagai raja di Kerajaan Galuh sehingga ia berkuasa atas kedua kerajaan itu. Manarah atau yang biasa dikenal dalam cerita rakyat sebagai Ciung Wanara diperlakukan sebagai anak oleh Tamperan Barmawijaya. Tamperan Barmawijaya kemudian memerintah Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh semenjak kematian Premana Dikusuma pada tahun 732 M sampai dengan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Manarah, anak Premana Dikusuma pada tahun 739 M.
Manarah Merebut Kembali Takhta Kerajaan Galuh
Balagantrang, sepupu Premana Dikusuma yang berhasil lolos dari kejaran Sanjaya di tahun 723 M, mempersiapkan pasukan di Geger Sunten untuk merebut kembali takhta Kerajaan Galuh. Manarah yang lambat laun mengetahui ayahnya dibunuh oleh Tamperan Barmawijaya segera bergabung untuk menghimpun kekuatan bersama Balagantrang. Pada tahun 739 M, Balagantrang dan Manarah menyerang Kerajaan Galuh. Tamperan Barmawijaya dan istrinya, Dewi Pangrenyep ditangkap dan dipenjarakan. Sedangkan Banga, anak Tamperan Barmawijaya dan Dewi Pangrenyep diperlakukan dengan baik oleh Manarah, sebab ia merupakan saudara satu ibu.
Meskipun diperlakukan dengan baik oleh Manarah, namun Banga atau Hariang Banga merasa tidak lega apabila orangtuanya (Tamperan Barmawijaya dan Dewi Pangrenyep) berada di penjara. Harian Banga kemudian berupaya untuk membebaskan kedua orangtuanya. Harian Banga kemudian berhasil membebaskan Tamperan Barmawijaya dan Dewi Pangrenyep dan melarikan diri ke Jawa Tengah untuk meminta bantuan kepada Kerajaan Mataram yang pada saat itu dipimpin oleh Sanjaya, kakeknya sendiri.
Di dalam proses pelarian itu, Tamperan Barmawijaya (Tamperan Bramawijaya/Raja Bondan) dan Dewi Pangrenyep berhasil dikejar oleh pasukan Kerajaan Galuh dan berhasil ditewaskan. Dengan tewasnya Tamperan Barmawijaya pada tahun 739 M dalam pelarian menuju Kerajaan Mataram, maka takhta Kerajaan Sunda jatuh ke tangan anaknya, Harian Banga.
4. Hariang Banga (739-766)
Hariang Banga/Rakeyan Banga adalah raja Kerajaan Sunda yang keempat. Hariang Banga menggantikan ayahnya, Tamperan Barmawijaya sebagai raja di Kerajaan Sunda pada tahun 739 M setelah peristiwa terbunuhnya Tamperan Barmawijaya dalam pengejaran pasukan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Manarah. Kematian Tamperan Barmawijaya menyebabkan Kerajaan Galuh dan Kerajaan Mataram akhirnya bertempur di perbatasan antara dua kerajaan (Kerajaan Galuh dan Kerajaan Mataram).
Hariang Banga Bertakhta Atas Kerajaan Sunda
Berita kematian Rakeyan Tamperan/ Tamperan Barmawijaya pada tahun 739 M akhirnya sampai ke Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Sanjaya. Sanjaya segera mengerahkan pasukannya untuk menuju wilayah Kerajaan Galuh dan menyelamatkan cucunya, Hariang Banga yang diketahui masih hidup. Di sisi lain, Manarah mendengar pergerakan pasukan Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Sanjaya pun segera mempersiapkan seluruh pasukan Kerajaan Galuh diperbatasan antara kedua kerajaan.
Di perbatasan antara Kerajaan Galuh dan Kerajaan Mataram mulai pecah pertempuran antara pasukan Manarah dengan pasukan Sanjaya. Perang ini sebenarnya adalah perang saudara yang mana keduanya adalah keturunan dari pendiri Kerajaan Galuh, Wretikandayun. Peperangan yang melibatkan kedua belah pihak terjadi hingga beberapa hari.
Mengetahui terjadinya peperangan antara Manarah dan Sanjaya diperbatasan Kerajaan Galuh dan Kerajaan Mataram, Resiguru Demunawan yang berasal dari Kerajaan Saung Galah dan masih merupakan sesepuh Kerajaan Galuh yang masih hidup (saat peristiwa ini Resiguru Demunawan berusia 93 tahun) menuju medan pertempuran untuk menghentikan peperangan antara Manarah dan Sanjaya.
Pertempuran antara Manarah dari Kerajaan Galuh dan Sanjaya dari Kerajaan Mataram diakhiri setelah kedatangan Resiguru Demunawan (sesepuh Kerajaan Galuh) yang berkuasa di Kerajaan Saung Galah. Untuk mengakhiri pertikaian antara keduanya, lahirlah Perjanjian Galuh tahun 739 M. Berdasarkan Perjanjian Galuh itu, Hariang Banga diangkat sebagai raja dari Kerajaan Sunda.
Dengan wibawa Resiguru Demunawan, kedua belah pihak akhirnya sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan berunding di Keraton Kerajaan Galuh. Berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak yang ditengahi oleh Resiguru Demunawan menghasilkan kesepakatan yang disebut juga “Perjanjian Galuh” tahun 739 M. Isi Perjanjian Galuh yaitu;
- Hariang Banga menjadi raja di Kerajaan Sunda dengan gelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya;
- Manarah menjadi raja di Kerajaan Galuh dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana
- Demunawan berkuasa atas Kerajaan Saung Galah dan bekas Kerajaan Galunggung.
Hariang Banga resmi menjadi raja Kerajaan Sunda pada tahun 739 – 766 M. Hariang Banga bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya. Meskipun telah dikeluarkan Perjanjian Galuh 739 M untuk menyelesaikan persengketaan, namun ketegangan antara Banga dan Manarah tetap terjadi.
![]() |
Pembagian wilayah antara Hariang Banga dengan Manarah |
Resiguru Demunawan dari Kerajaan Saung Galah kemudian menjodohkan kedua cicitnya kepada kedua raja itu. Di mana Hariang Banga dan Manarah menikahi cicit dari Resiguru Demunawan. Hariang Banga menikahi Kencana Sari sedangkan Manarah menikahi Kencana Wangi.
Dari hasil pernikahan Hariang Banga dengan Kencana Sari melahirkan seorang anak yang bernama Rakeyan Medang (Rakryan Medang). Disebut Rakeyan Medang karena ia pernah berguru selama delapan tahun di Kerajaan Medang (Mataram) yang pada saat itu dipimpin oleh Rakryan Panangkaran. Setelah berguru di Medang, pada tahun 773 M, Rakeyan Medang kembali ke Kerajaan Sunda dan diangkat sebagai menteri di Kerajaan Sunda. Pada tahun 776 M Hariang Banga wafat dan digantikan oleh Rakeyan Medang sebagai raja dari Kerajaan Sunda.
5. Rakeyan Medang/Prabu Hulukujang (766-783)
Rakeyan Medang adalah putra dari Sang Banga atau Rakeyan Banga dari pernikahannya dengan Kencana Sari, cicit Resiguru Demunawan. Rakeyan Medang diangkat sebagai raja Kerajaan Sunda setelah Rakeyan Banga meninggal pada tahun 766 M. Setelah dinobatkan menjadi raja Kerajaan Sunda Rakeyan Medang bergelar Prabu Hulukujang.
Prabu Hulukujang tidak memiliki anak laki-laki dari permaisurinya. Prabu Hulukujang hanya memiliki seorang anak perempuan yang bernama Dewi Samatha. Dewi Samatha kemudian dinikahkan oleh Rakeyan Hujungkulon. Rakeyan Hujungkulon sendiri adalah keturunan dari Manarah, Raja Kerajaan Galuh. Rakeyan Hujungkulon inilah yang nantinya menggantikan Prabu Hulukujang sebagai raja di Kerajaan Sunda. Prabu Hulukujang berkuasa di Kerajaan Sunda selama 17 tahun. Prabu Hulukjang meninggal pada tahun 783 M. Takhta Kerajaan Sunda diberikan kepada Rakeyan Hujung Kulon yang berasal dari Kerajaan Galuh.
6. Rakeyan Hujung Kulon/Prabu Gilingwesi (783-795)
Prabu Gilingwesi atau Rakeyan Hujung Kulon adalah raja Kerajaan Sunda yang berkuasa pada tahun 783-795 M. Prabu Gilingwesi berasal dari Kerajaan Galuh, anak dari Raja Galuh, Mansiri dan sekaligus juga cucu dari Manarah (Ciung Wanara). Prabu Gilingwesi menikahi putri Rakeyan Medang yang bernama Dewi Samatha.
Setelah Rakeyan Medang meninggal pada tahun 783 M, Prabu Gilingwesi naik takhta sebagai raja di Kerajaan Sunda. Hal ini disebabkan Rakeyan Medang hanya memiliki seorang anak perempuan. Prabu Gilingwesi sebenarnya adalah anak pertama dari raja Sunda, Mansiri dan semestinya Prabu Gilingwesi-lah yang berhak atas takhta Kerajaan Galuh. Namun, karena Prabu Gilingwesi telah dijadikan menantu oleh Rakeyan Medang dan menjadi raja di Kerajaan Sunda, maka takhta Kerajaan Galuh jatuh ke tangan adiknya, Tariwulan atau Prabu Kretayasa Dewakusaleswara.
Prabu Gilingwesi memerintah di Kerajaan Sunda selama dua belas tahun (783-795 M). Seperti Rakeyan Medang, Prabu Gilingwesi tidak memiliki anak laki-laki, Prabu Gilingwesi hanya memiliki seorang anak perempuan yang bernama Dewi Arista. Pada tahun 795 M, Prabu Gilingwesi mangkat. Sehingga takhta Kerajaan Sunda selanjutnya diberikan kepada menantunya, Rakeyan Diwus atau yang dikenal dengan Prabu Pucuk Bumi.
7. Rakeyan Diwus/Prabu Pucuk Bumi Darmeswara (795-819)
Prabu Pucuk Bumi Darmeswara atau Rakeyan Diwus adalah raja Kerajaan Sunda yang memerintah sejak tahun 795-819 M. Prabu Pucuk Bumi Darmeswara menjadi raja Kerajaan Sunda setelah ia menikahi anak Prabu Gilingwesi atau Rakeyan Hujung Kulon yang bernama Dewi Arista. Setelah Prabu Gilingwesi meninggal pada tahun 795 M, Rakeyan Diwus naik takhta Kerajaan Sunda dengan bergelar Prabu Pucuk Bumi Darmeswara.
Dari pernikahannya dengan Dewi Arista, Prabu Pucuk Bumi Darmeswara memiliki dua orang anak yang bernama Rakeyan Wuwus dan Dewi Widyasari. Prabu Pucuk Bumi Darmeswara memerintah selama 24 tahun di Kerajaan Sunda. Pada tahun 819 M Prabu Pucuk Bumi Darmeswara meninggal dan digantikan oleh putranya yaitu Rakeyan Wuwus atau yang dikenal juga sebagai Prabu Gajah Kulon.
8. Rakeyan Wuwus/Prabu Gajah Kulon (819-852)
Rakeyan Wuwus/ Rakean Wuwus/ Rakryan Wuwus atau yang dikenal juga dengan gelar Prabu Gajah Kulon adalah raja Kerajaan Sunda yang bertakhta menggantikan ayahnya, Prabu Pucuk Bumi Darmeswara atau Rakeyan Diwus yang meninggal pada tahun 819 M. Pemerintahan Rakeyan Wuwus di Kerajaan Sunda berlangsung selama 72 tahun (819-852 M). Setelah menjadi raja di Kerajaan Sunda, Rakeyan Wuwus bergelar Prabu Gajah Kulon.
Rakeyan Wuwus memiliki dua orang anak dari pernikahannya dengan Dewi Kirana, adik dari Linggabumi, raja Kerajaan Galuh. Anak dari Rakeyan Wuwus yaitu;
- Batara Danghiyang Guruwisuda;
- Dewi Sawitri.
Pada tahun 825 M, Linggabumi, raja Kerajaan Galuh meninggal dan tidak memiliki keturunan. Setelah Linggabumi meninggal, takhta Kerajaan Galuh dipercayakan kepada Rakeyan Wuwus atau Prabu Gajah Kulon.
Pada tahun 852 M, anak tertua Rakeyan Wuwus, Batara Danghiyang Guruwisuda diangkat sebagai raja Kerajaan Galuh. Sedangkan adiknya, Dewi Sawitri dinikahkan dengan sepupunya sendiri, Rakeyan Windusakti putra Arya Kedaton dan Dewi Widyasari (adik Rakeyan Wuwus). Pada tahun 852 M, Rakeyan Wuwus meninggal. Takhta Kerajaan Sunda semestinya diberikan kepada putranya yang bernama Batara Danghiyang Guruwisuda. Namun, hal itu tidak terlaksana, sebab Arya Kedathon, suami dari Widyasari (adik Rakeyan Wuwus) melakukan kudeta dan merebut kekuasaan. Sehingga Kerajaan Sunda dikuasai oleh Arya Kedathon.
9. Rakeyan Windusakti/Prabu Dewageung Jayeng Buana (895-913 M)
Rakeyan Windusakti naik takhta Kerajaan Sunda pada tahun 895 M menggantikan ayahnya, Arya Kedathon/Prabu Darmaraksa Salakabuana yang dibunuh oleh seorang menteri Kerajaan Sunda. Rakeyan Windusakti dilantik sebagai Kerajaan Sunda dengan gelar Prabu Dewageung Jayeng Buana. Rakeyan Windusakti memiliki permaisuri yang merupakan anak dari Rakeyan Wuwus yang bernama Dewi Sawitri. Dewi Sawitri sendiri adalah adik dari Danghiyang Guruwisuda, raja Kerajaan Galuh.
Dari hasil pernikahannya dengan Dewi Sawitri, Rakeyan Windusakti memiliki dua orang anak yang bernama Rakeyan Kamuning Gading dan Rakeyan Jayagiri. Rakeyan Windusakti memerintah Kerajaan Sunda selama 18 tahun (895-913 M). Pada tahun 913 M, Rakeyan Windusakti meninggal dan digantikan oleh puteranya yang bernama Rakeyan Kamuning Gading.
10. Rakeyan Kamuning Gading/Prabu Pucukwesi (913-916)
Prabu Pucukwesi atau Rakeyan Kamuning Gading adalah putera sulung dari Rakeyan Windusakti. Prabu Pucuk Wesi adalah gelar yang didapatkan oleh Rakeyan Kamuning Gading setelah naik takhta Kerajaan Sunda untuk menggantikan ayahnya yang meninggal pada tahun 913 M. Prabu Pucukwesi berupaya untuk memperkuat hubungannya dengan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Danghiyang Guruwisuda.
Upaya Prabu Pucukwesi untuk mempererat hubungan dengan Kerajaan Galuh, Prabu Pucukwesi menikahkan kedua anaknya dengan keturunan Dewi Sundara, yang berarti cucu dari Danghiyang Guruwisuda. Anaknya yang perempuan dinikahkan dengan Rakeyan Jayadrata, sedangkan anaknya yang laki-laki bernama Rakeyan Limburkancana dinikahkan dengan adik perempuan Rakeyan Jayadrata. Prabu Pucukwesi tidak lama memerintah Kerajaan Sunda hanya 3 tahun (913-916 M). Hal ini terjadi disebabkan Prabu Pucukwesi dikudeta oleh adiknya sendiri yang bernama Rakeyan Jayagiri atau yang dikenal dengan gelar Prabu Wanayasa.
11. Rakeyan Jayagiri/Prabu Wanayasa Jayabuana (916-942)
Rakeyan Jayagiri/Prabu Wanayasa/ Prabu Wanayasa Jayabuana adalah adik dari Prabu Pucukwesi yang memerintah Kerajaan Sunda selama tiga tahun (913-916 M). Prabu Wanayasa mengkudeta kakaknya, sehingga ia menduduki takhta Kerajaan Sunda. Meskipun hingga saat ini tidak ada keterangan yang jelas mengenai kudeta yang dilakukan oleh Prabu Wanayasa terhadap Prabu Pucukwesi. Namun, yang memungkinkan kudeta itu disebabkan Prabu Pucukwesi berupaya untuk memperbaiki hubungan dengan keluarga dari Danghiyang Guruwisuda yang dianggap telah merebut takhta Kerajaan Galuh yang sebenarnya adalah orang dari Kerajaan Sunda.
Tindakan yang dilakukan oleh Prabu Pucukwesi dalam memperbaiki hubungan dengan keluarga Danghiyang Guruwisuda ini tidak sejalan dengan pemikiran Prabu Wanayasa yang menganggap tidak perlu memperbaiki hubungan dengan orang yang telah merebut takhta Kerajaan Galuh dan membunuh ayah mereka, Arya Kedathon. Sebagaimana diketahui, Arya Kedathon telah dibunuh oleh seorang menteri dari Kerajaan Sunda sebab Arya Kedathon dianggap bukanlah orang yang berhak atas takhta Kerajaan Sunda yang semestinya diberikan kepada Danghiyang Guruwisuda, putra Rakeyan Wuwus.
Setelah menyingkirkan kakaknya sendiri, Prabu Wanayasa berusaha untuk menguasai Kerajaan Galuh yang dikuasai oleh keturunan Rakeyan Kamuning Gading yang telah menikah dengan anak-anak dari keturunan Danghiyang Guruwisuda. Putri Rakeyan Kamuning Gading atau Prabu Pucukwesi telah menikahi Rakeyan Jayadrata yang kini telah menjadi raja Kerajaan Galuh. Naiknya Rakeyan Jayadrata sebagai raja Kerajaan Galuh hampir bersamaan dengan kudeta yang dilakukan oleh Prabu Wanayasa di Kerajaan Sunda. Prabu Wanayasa pun ingin segera menguasai Kerajaan Galuh yang dianggap seharusnya menjadi haknya.
Untuk melaksanakan keinginan itu, Prabu Wanayasa mempersiapkan pasukan Kerajaan Sunda untuk menggempur Kerajaan Galuh. Pasukan Kerajaan Sunda itu dipimpin langsung oleh Prabu Wanayasa sendiri. Di dalam penyerangan itu, Prabu Wanayasa dapat dikalahkan oleh pasukan Kerajaan Galuh. Prabu Wanayasa segera menyusun serangan yang kedua untuk membalas kekalahannya. Namun, serangan kedua yang besar dan lebih lengkap tetap dapat dihancurkan oleh pasukan Kerajaan Galuh, yang dipimpin langsung oleh Rakeyan Jayadrata.
Karena Prabu Wanayasa tidak pernah dapat berhasil menguasai Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Rakeyan Jayadrata, maka kerajaan Galuh menjadi kerajaan merdeka di bawah pimpinan Rakeyan Jayadrata. Sehingga kekuasaan Prabu Wanayasa hanya mencakup daerah Kerajaan Sunda yang berada di sebelah barat Sungai Citarum.
Kegagalan Prabu Wanayasa dalam menguasai Kerajaan Galuh, selain dimanfaatkan oleh Rakeyan Jayadrata untuk menjadikan Kerajaan Galuh sebagai kerajaan yang merdeka, namun juga dimanfaatkan untuk menyingkirkan Prabu Wanayasa. Perlu diketahui, bahwa Rakeyan Limburkencana, putra Rakeyan Kamuning Gading, putra Prabu Pucukwesi masih menyimpan dendam kepada Prabu Wanayasa yang telah mengkudeta ayahnya. Sehingga Rakeyan Limburkencana pun berencana menyingkirkan Prabu Wanayasa dari takhta Kerajaan Sunda.
Karena itu, Rakeyan Limburkencana segera mempersiapkan perebutan takhta Kerajaan Sunda. Rakeyan Jayadrata pun menyatakan dukungannya kepada Rakeyan Limburkencana, sebab Rakeyan Limburkencana adalah adik iparnya sendiri. Namun, tujuan menggulingkan Rakeyan Jayagiri belum juga dapat terlaksana hingga Rakeyan Jayagiri meninggal pada tahun 942 M. Prabu Wanayasa digantikan oleh menantunya, Rakeyan Watuageng yang juga suami dari Dewi Ambawati (putri Prabu Wanayasa).
12. Rakeyan Watuageng/Praburesi Atmayadarma Hariwangsa (942-954)
Rakeyan Watuageng naik takhta Kerajaan Sunda pada tahun 942 M setelah Rakeyan Jayagiri (Prabu Wanayasa) meninggal dunia. Rakeyan Watu Ageng adalah menantu Rakeyan Jayagiri yang menikahi Dewi Ambawati. Rakeyan Watuageng dinobatkan sebagai raja Kerajaan Sunda dengan gelar Praburesi Atmayadarma Hariwangsa.
Rakeyan Watuageng memerintah Kerajaan Sunda hingga tahun 954 M. Rakeyan Limbur Kancana, putra dari Rakeyan Kamuning Gading, sekaligus sepupu dari Dewi Ambawati memang telah merencanakan merebut kembali takhta Kerajaan Sunda dari tangan Prabu Wanayasa. Namun, rencana itu tidak pernah sempat terlaksana karena tidak adanya kesempatan untuk merebut takhta Kerajaan Sunda dari tangan Prabu Wanayasa hingga Sang Prabu Wanayasa meninggal dunia pada tahun 942 M.
Kesempatan merebut kembali takhta Kerajaan Sunda baru terbuka ketika Rakeyan Watuageng, suami Dewi Ambawati sekaligus menantu Prabu Wanayasa naik takhta Kerajaan Sunda pada tahun 942 M. Rakeyan Limbur Kancana merencanakan kudeta yang dibantu oleh keponakannya sendiri yang berkuasa di Kerajaan Galuh, yaitu Prabu Harimurti (putra Rakeyan Jayadrata). Prabu Harimurti mendukung pamannya itu untuk merebut takhta Kerajaan Sunda dari keturunan Prabu Wanayasa. Atas bantuan dari Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Prabu Harimurti, Rakeyan Limbur Kancana berhasil merebut takhta Kerajaan Sunda dari Rakeyan Watuageng pada tahun 954 M.
13. Rakeyan Limbur Kancana (954-964)
Rakeyan Limbur Kancana/ Rakeyan Limburkancana/ Rakeyan Limburkencana adalah raja Kerajaan Sunda yang naik takhta pada tahun 954 M setelah berhasil menyingkirkan Rakeyan Watuageng, menantu Prabu Wanayasa yang menjadi raja di Kerajaan Sunda atas bantuan Prabu Harimurti (putra Rakeyan Jayadrata). Pada masa pemerintahan Rakeyan Limbur Kancana di Kerajaan Sunda, konflik antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh terselesaikan. Hubungan antara kedua kerajaan membaik dan berdiri sejajar. Rakeyan Limbur Kancana memiliki dua orang anak, diantaranya Rakeyan Sunda Sembawa dan Dewi Somya.
Rakeyan Limbur Kancana memerintah Kerajaan Sunda dari Kerajaan Galuh, jadi Rakeyan Limbur Kancana tidak pernah memerintah langsung dari keraton Kerajaan Sunda. Hal ini disebabkan Rakeyan Limbur Kancana memperistri adik dari Rakeyan Jayadrata (Raja Kerajaan Galuh). Rakeyan Limbur Kancana memerintah di Kerajaan Sunda selama sepuluh tahun (954-964 M). Rakeyan Limbur Kancana meninggal pada tahun 964 M dan digantikan oleh puteranya yang bernama Rakeyan Sunda Sembawa atau Munding Ganawirya.
14. Rakeyan Sunda Sembawa (964-973)
Rakeyan Sunda Sembawa adalah putera dari Rakeyan Limbur Kancana yang naik takhta Kerajaan Sunda pada tahun 964 M menggantikan ayahnya yang meninggal dunia. Ketika naik takhta di Kerajaan Sunda, Rakeyan Sunda Sembawa bergelar Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala atau biasa juga disebut Prabu Medang Gana.
Rakeyan Sunda Sembawa memerintah Kerajaan Sunda selama sembilan tahun (964-973 M). Ketika ia meninggal pada tahun 973 M, putra-putra Rakeyan Sunda Sembawa telah meninggal lebih dahulu. Sehingga takhta Kerajaan Sunda diberikan kepada suami adiknya (Dewi Somya) yang bernama Rakeyan Wulung Gadung yang bergelar Prabu Jayagiri.
15. Rakeyan Wulung Gadung (973-989)
Rakeyan Wulung Gadung adalah suami dari Dewi Somya (adik Rakeyan Sunda Sembawa). Rakeyan Wulung Gadung menggantikan Rakeyan Sunda Sembawa yang wafat pada tahun 973 M. Rakeyan Sunda Sembawa tidak memiliki seorang pun putera, sehingga takhta Kerajaan Sunda diberikan kepada Rakeyan Wulung Gadung.
Rakeyan Wulung Gadung yang memperistri Dewi Somya memiliki seorang putera yang bernama Rakeyan Gendang atau Prabu Brajawisesa. Rakeyan Wulung Gadung memerintah Kerajaan Sunda selama 16 tahun (973-989 M). Pada tahun 989 M, Rakeyan Wulung Gadung meninggal dan digantikan oleh puteranya yang bernama Rakeyan Gendang.
16. Prabu Brajawisesa/Rakeyang Gendang (989-1012)
Prabu Brajawisesa adalah putera dari Rakeyan Wulung Gadung yang bernama asli Rakeyan Gendang. Prabu Brajawisesa naik takhta Kerajaan Sunda pada tahun 989 M menggantikan ayahnya yang wafat. Prabu Brajawisesa sebagaimana yang dilakukan oleh pendahulu-pendahulunya sejak masa pemerintahan Rakeyan Limbur Kancana, Kerajaan Sunda berdampingan dan menjalin hubungan yang erat dengan Kerajaan Galuh.
Prabu Brajawisesa memiliki dua orang anak yang bernama Dewa Sanghiyang dan Dewi Rukmawati. Dewi Rukmawati kemudian dijodohkan dengan Raja Kerajaan Galuh, Linggasakti Jayawiguna. Prabu Brajawisesa memerintah Kerajaan Sunda selama tiga belas tahun (989-1012 M). Pada tahun 1012 M Prabu Brajawisesa meninggal dunia. Takhta Kerajaan Sunda selanjutnya diberikan kepada puteranya, Dewa Sanghiyang.
17. Prabu Dewa Sanghiyang (1012-1019)
Prabu Dewa Sanghiyang naik takhta Kerajaan Sunda untuk menggantikan ayahnya, Prabu Brajawisesa yang meninggal tahun 1012 M. Prabu Dewa Sanghiyang berkuasa di Kerajaan Sunda selama tujuh tahun (1012-1019 M). Prabu Dewa Sanghiyang berkuasa atas dua kerajaan: Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, sehingga ia mendapatkan gelar Maharaja.
Sebagai wakilnya dirinya memerintah di Kerajaan Galuh, Prabu Dewa Sanghiyang kemudian mengangkat keponakannya yang bernama Prabu Resiguru Darmasatyadewa, yang bertakhta di Kerajaan Galuh sampai dengan tahun 1027 M. Prabu Dewa Sanghiyang meninggal pada tahun 1019 M. Posisinya sebagai raja Kerajaan Sunda kemudian dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Prabu Sanghiyang Ageung.
18. Prabu Sanghiyang Ageung (1019-1030)
Prabu Sanghiyang Ageung/ Prabu Sanghiyang Ageng adalah putra dari Prabu Dewa Sanghiyang yang menjadi raja di Kerajan Sunda pada tahun 1019 M untuk menggantikan ayahnya yang wafat. Pada masa pemerintahan Prabu Sanghiyang Ageung, Kerajaan Galuh berada di bawah kendali dari Kerajaan Sunda di mana raja Kerajaan Galuh adalah adik dari istri Prabu Sanghiyang Ageung yang bernama Dewi Sumbadra.
Bersama dengan Dewi Sumbadra, keduanya menjabat sebagai raja di masing-masing kerajaan pada tahun 1019 M. Prabu Sanghiyang Ageung karena berkuasa atas dua kerajaan (Sunda dan Galuh) maka ia bergelar Maharaja. Prabu Sanghiyang Ageung memiliki seorang anak yang bernama Prabu Ditya Maharaja atau yang dikenal dengan nama Sri Jayabupati. Prabu Sanghiyang Ageung menjadi raja Kerajaan Sunda selama 11 tahun (1019-1030 M). Prabu Sanghiyang Ageung meninggal pada tahun 1030 M. Kedudukannya sebagai raja Kerajaan Sunda digantikan oleh putranya, Sri Jayabupati.
19. Sri Jayabupati (1030-1042)
Sri Jayabupati/ Sri Jayabhupati adalah putra dari Prabu Sanghiyang Ageung yang naik takhta Kerajaan Sunda pada tahun 1030 M. Pada saat penobatannya sebagai raja Kerajaan Sunda, Sri Jayabupati bergelar Sri Jayabhupati Jaya Manahen Wisnumurti Samarawijaya-Calakabhuana Manalecwaranindita Harogowardhana Wikramatunggadewa.
![]() |
Prasasti Sang Hyang Tapak |
Setelah diangkat menjadi raja Kerajaan Sunda, Sri Jayabupati mengeluarkan prasasti yang terdiri atas empat buah batu berangka 952 Saka atau 1030 M. Dari keempat batu prasasti itu baru tiga batu prasasti yang isinya dapat dibaca. Prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Jayabupati yang juga dikenal dengan prasasti Cibadak atau Prasasti Sang Hyang Tapak. Isi prasasti Sang Hyang Tapak:
“Swasti shakawarsatita 952 Karttikamasatithi dwadashi shuklapa –ksa.ha.ka.ra. wara Tambir. Iri ka diwasha nira prahajyan Sunda maharaja Shri Jayabhupati Jayamana-hen wisnu murtti samarawijaya shaka labhuw anamandales waranindita harogowardhana wikra mottunggadewa, magaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan Sunda. Mwang tan hanani baryya baryya shila. Irikang iwah tan pangalapa ikan sesini iwah. Makahiyang sanghyang tapak wates kapujan I hulu, I sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan I wungkalogong kalih matangyan pinagawayaje n pra sasti pagepageh. Mangmang sapatha. Sumpah denira prahajyan sunda. Iwirnya nihan.”
Terjemahan prasasti Sang Hyang Tapak:
Selamat, dalam tahun saka 952 bulan kartika tanggal 12 bagian terang, hari hariang, kaliwon, ahad, wuku tambir. Inilah saat raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana mandaleswara nindita haro gonawardhana wikramottunggadewa, membuat tanda disebelah timur sanghiyang tapak. Dibuat oleh Srijayabhupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Disungai ini jangan (ada y ang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan sanghiyang tapak di sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan sanghiyang tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan sumpah).
Sedangkan isi dari Sumpah yang diucapkan oleh raja Sunda selengkapnya tertera pada prasasti ke-4. Isi dari prasasti ke-4 ini terdiri dari 20 baris, yang intinya menyerukan kepada semua kekuatan gaib yang ada di dunia dan di surga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, ” I wruhhanta kamunghyang kabeh” ( Ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).
Kehadiran Prasasti Sang Hyang Tapak yang dikeluarkan oleh Sri Jayabupati di daerah Cibadak sempat menimbulkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah Cibadak, Sukabumi. Namun dugaan ini tidak didukung oleh bukti-bukti lainnya yang menguatkan argumen bahwa pusat Kerajaan Sunda pada masa raja Sri Jayabupati terletak di Sukabumi. Isi prasasti itu terutama menyebutkan adanya larangan untuk menangkap ikan pada bagian sungai (Cicatih) yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak.
Dikeluarkannya sebuah prasasti tidak selalu menunjukkan bahwa pusat suatu kerajaan berada di mana prasasti ditemukan. Semisal seperti apa yang dikeluarkan oleh Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara seperti Prasasti Pasir Muara di mana letak ditemukannya prasasti itu bukanlah pusat dari Kerajaan Tarumanegara.
Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati ini bertepatan dengan 11 Oktober 1030 M, Isi prasasti ini dalam segala hal menunjukan corak jawa timur, tidak hanya huruf, bahasa dan gaya , melainkan juga gelar raja di lingkungan raja di keraton Dharmawangsa, terutama adalah memiliki kemiripan yang hampir sama dengan Raja Airlangga (menantu Raja Dharmawangsa). Sehingga kemiripan gelar ini sempat memunculkan dugaan bahwa Sri Jayabupati adalah raja bawahan dari Raja Airlangga maupun dugaan yang sebaliknya. Namun, kemiripan gelar ini tidak menjadi persoalan yang dilebih-lebihkan mengenai hubungan keduanya dalam struktur birokrasi, sebab keduanya merupakan menantu dari Dharmawangsa Raja Dharmawangsa.
Sri Jayabupati menikahi seorang anak perempuan dari raja Kerajaan Mataram Kuno yaitu Dharmawangsa Teguh. Istri Sri Jayabupati adalah adik dari istri Raja Airlangga yang bernama Dewi Laksmi. Sehingga Sri Jayabupati adalah ipar dari Raja Airlangga yang berkuasa di Jawa Timur.
Pernikahan antara Sri Jayabupati dengan putri dari Raja Dharmawangsa menyebabkan Kerajaan Sunda berkoalisi dengan Kerajaan Mataram Kuno yang dipimpin oleh Dharmawangsa. Di mana terjadi kerjasama di bidang militer untuk menekan pengaruh dari Kerajaan Sriwijaya sepeninggal Balaputradewa. Sepeninggal Balaputradewa Kerajaan Sriwijaya mulai menunjukkan kemunduran, yang puncaknya berada di bawah pemerintahan Sangrama Vijayatunggawarman.
Sri Jayabupati memiliki beberapa orang anak, diantaranya adalah:
- Wikramajaya (dari anak Dharmawangsa Teguh)
- Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya (dari Dewi Pertiwi)
- Prabu Dharmaraja
Sri Jayabupati meninggal pada tahun 1030 M. Takhta Kerajaan Sunda kemudian jatuh ke tangan anaknya yang bernama Prabu Dharmaraja.
20. Prabu Dharmaraja (1042-1065)
Prabu Dharmaraja (Prabu Darmaraja) adalah putera dari Sri Jayabupati yang naik takhta pada tahun 1042 M untuk menggantikan ayahnya yang mangkat. Di dalam naskah Carita Parahiyangan, Prabu Dharmaraja juga disebut “Nu Hilang di Winduraja”. Prabu Darmaraja menjadi raja di Kerajaan Sunda selama 23 tahun (1042-1065 M). Prabu Dharmaraja setelah naik takhta sebagai raja Kerajaan Sunda bergelar Prabu Dharmaraja Jayamanahen Wisnumurti Salakasunda Buana. Prabu Dharmaraja memerintah atas seluruh tatar sunda (Sunda, Galuh, dan Galunggung).
Pada awal kekuasaannya, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh saudara seayah, Wikramajaya (cucu Dharmawangsa), yang menjadi Panglima Angkatan Laut Kerajaan Sunda. Akan tetapi, pemberontakan yang dilakukan oleh Wikramajaya dapat ditumpas. Wikramajaya kemudian melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya, dan jabatan Panglima Angkatan Laut Kerajaan Sunda digantikan oleh Wirakusuma.
Prabu Dharmaraja menikah dengan Dewi Surastri, dan mempunyai beberapa orang anak, diantaranya adalah;
- Prabu Langlangbumi, yang kemudian menggantikannya sebagai raja di Kerajaan Sunda;
- Darmanagara, menjadi Mangkubumi Kerajaan Sunda; dan
- Wirayuda menjadi Panglima Perang Kerajaan Sunda.
Prabu Dharmaraja meninggal pada tahun 1065 M. Setelah meninggal Prabu Dharmaraja dikenal dengan Sang Mokteng Winduraja, hal ini karena Prabu Dharmaraja dipusarakan di Winduraja. Winduraja adalah nama desa di kecamatan Kawali kabupaten Ciamis. Kedudukan Prabu Dharmaraja sebagai raja Kerajaan Sunda digantikan oleh putranya, Prabu Langlangbumi.
21. Prabu Langlangbumi (1065-1155)
Prabu Langlangbumi atau Prabu Langlangbuana adalah putera dari Prabu Dharmaraja yang mulai naik takhta sebagai raja Kerajaan Sunda pada tahun 1065 M. Di dalam naskah Carita Parahiyangan, Prabu Langlangbumi berkuasa sekitar 90-92 tahun. Prabu langlangbumi menikah dengan Dewi Puspawati, putri dari Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya, saudara ayahnya (salah seorang anak dari Sri Jayabupati namun beda ibu). Dari pernikahannya dengan Dewi Puspawati, Prabu Langlangbumi mempunyai beberapa orang anak, diataranya:
- Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menak luhur, yang kemudian menggantikannya sebagai raja di tanah sunda; dan
- Sang cakranagara yang kemudian menjadi Mangkubumi (patih).
Salah seorang putri dari Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya yang lain, yakni Dewi Citrawati sebenarnya juga berkeinginan agar diperistri oleh Prabu Langlangbumi, oleh karena itu ada keinginan Dewi Citrawati untuk membunuh kakaknya, Dewi Puspawati. Namun, Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya yang mengetahui perselisihan itu segera mengambil tindakan dengan menikahkan Dewi Citrawati dengan penguasa Kerajaan Galunggung, Resiguru Sudakarenawisesa.
Setelah menikah, Resiguru Sudakarenawisesa meninggalkan takhtanya sebagai raja Kerajaan Galunggung dan memberikannya kepada Dewi Citrawati. Resiguru Sudakarenawisesa memilih untuk meninggalkan istana dan melanjutkan kehidupannya untuk memperdalam agama. Dengan demikian, maka yang menjadi raja di Kerajaan Galunggung adalah Dewi Citrawati. Setelah menjadi raja di Kerajaan Galunggung, Dewi Citrawati bergelar Batari Hiyang Janapati (Batari Hyang Janapati).
Berselang tidak begitu lama Dewi Citrawati menjadi penguasa di Kerajaan Galunggung timbul perselisihan antara Prabu Langlangbumi yang berkuasa di Kerajaan Sunda dengan Dewi Citrawati yang berkuasa atas Kerajaan Galunggung. Pertentangan antara keduanya disebabkan oleh timbulnya ancaman yang dilakukan oleh kawanan perampok di daerah sekitar pedesaan Galuh, Sunda dan Galunggung.
Ketidaktentraman yang terjadi disekitar wilayah Galuh, Sunda dan Galunggung menimbulkan ketegangan hubungan antara Prabu Langlangbumi dengan Dewi Citrawati. Di satu sisi, Selama memegang kekuasaan di Galunggung, Sang Ratu Batari Hiyang merasa cemas, akan kemungkinan serangan dari Kerajaan Sunda, karena dendam dirinya kepada Prabu Langlangbumi yang tidak menjadikannya sebagai istri.
Sebagai upaya untuk mengatasi kekhawatiran akan ancaman dari Kerajaan Sunda, Ratu Batari Hiyang, mulai mempersiapkan angkatan perang Kerajaan Galunggung, membangun parit pertahanan yang kuat. Kemudian, Galunggung, dijadikan sebagal ibukota Kerajaan Galuh. Selesai membangun ibukota yang baru, Sang Ratu Batari Hiyang membuat prasasti, yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Geger Hanjuang.
Prasasti Geger Hanjuang adalah prasasti yang dikeluarkan oleh Ratu Batari Hiyang pada tahun 1111 M. Isi prasasti Geger Hanjuang adalah:
tra ba I gune apuy na, sta gomati sakakala rumatak, disusuk ku batari hyang pun
Arti dari prasasti Geger Hanjuang adalah:
Pada tahun 1033 Saka ibukota Ruma(n)tak diperkuat pertahanannya oleh Batari Hyang.
Sebenarnya, dari pihak Prabu Langlangbumi tidak pernah berniat untuk melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Galunggung. Namun, apabila persoalan ini tidak segera diatasi, maka akan menyebabkan konflik yang besar dikemudian hari. Selain itu, Prabu Langlangbumi juga tidak menghendaki adanya perpecahan diantara keturunan Sri Jayabhupati.
Untuk mengatasi permasalahan dengan Dewi Citrawati, Prabu Langlangbumi kemudian meminta bantuan Batara Hiyang Purnawijaya, ayah dari Dewi Citrawati (Batari Hiyang), dan pamannya yang menjadi panglima Kerajaan Galunggung yang bernama Suryanagara supaya menempuh jalan damai. Pertemuan itu dihadiri oleh Batara Guru Hiyang Purnawijaya, Senapati Suryanagara, Resiguru Sudakarena, Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya, Prabu Langlangbumi, Mangkubumi Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja Menak Luhur, Permaisuri Puspawati, Batari Hiyang Janapati Ratu Galunggung (Dewi Citrawati), dan beberapa raja dari daerah bawahan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Hasil perundingan jalan damai akhirnya membuahkan kesepakatan, dengan membagi wilayah kekuasaan :
- Sebelah barat sebagai wilayah Kerajaan Sunda, di bawah kekuasaan Prabu Langlangbumi.
- Sebelah timur sebagai Kerajaan Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang Janapati, dengan ibukotanya di Galunggung.
Pada tahun 1155 M, Prabu Langlangbumi wafat setelah memerintah Kerajaan Sunda selama lebih kurang 90 tahun. Kedudukannya sebagai raja Kerajaan Sunda digantikan oleh puteranya yang telah diangkat sebagai Yuwaraja, yaitu Prabu Menakluhur.
22. Rakeyan Jayagiri/Prabu Menakluhur (1155-1157)
Prabu Menakluhur adalah putera dari Prabu Langlangbumi yang naik takhta sebagai raja Kerajaan Sunda pada tahun 1155 M. Prabu Menakluhur sebelum menggantikan Prabu Langlangbumi, Prabu Menakluhur yang bernama asli Rakeyan Jayagiri pernah menjabat sebagai Putera Mahkota Kerajaan Sunda (Yuwaraja), Panglima Angkatan Laut dan Mangkubumi. Setelah menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Menak Luhur.
Prabu Menakluhur memiliki seorang istri yang bernama Ratna Satya. Dari pernikahannya dengan Ratna Satya, Prabu Menakluhur dikaruniai seorang puteri yang bernama Ratna Wisesa. Ratna Wisesa kemudian menikah dengan Prabu Darmakusuma putera dari Penguasa Galuh Raja Galunggung Batara Danghyang Guru Darmawiyasa. Pada tahun 1157 M, Prabu Menakluhur meninggal dunia. Kedudukannya sebagai raja Kerajaan Sunda untuk sementara waktu dipegang oleh Mangkubumi Cakranagara. Namun, tidak berselang lama, di tahun yang sama, Mangkubumi Cakranagara pun meninggal, sehingga takhta Kerajaan Sunda dipercayakan kepada menantunya, yaitu Prabu Darmakusuma.
23. Prabu Darmakusuma (1157-1175)
Prabu Darmakusuma adalah menantu dari Prabu Menakluhur yang naik takhta Kerajaan Sunda pada tahun 1157 M. Prabu Darmakusuma menjadi raja di Kerajaan Sunda setelah Prabu Menakluhur dan mangkubumi Cakraningrat meninggal dunia di tahun yang sama (1157 M). Oleh sebab itu, Prabu Darmakusuma dipercayakan takhta Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dan Kerajaan Galunggung.
Prabu Darmakusuma yang menikahi puteri Prabu Menakluhur yang bernama Ratna Wisesa memiliki beberapa orang anak, diantaranya adalah Darmasiksa. Prabu Darmakusuma memerintah di Kerajaan Sunda selama 18 tahun (1157-1175 M). Prabu Darmakusuma digantikan oleh puteranya, yakni Darmasiksa yang berkuasa atas takhta Kerajaan Sunda selama lebih kurang 120 tahun.
24. Prabu Darmasiksa (1175-1297)
Prabu Darmasiksa adalah putera dari Prabu Darmakusuma yang mulai naik takhta Kerajaan Sunda pada tahun 1175 M untuk menggantikan ayahnya. Sebelum naik takhta sebagai raja Kerajaan Sunda, Prabu Darmasiksa diberikan kekuasaan oleh Darmakusuma untuk memerintah Kerajaan Saunggalah. Setelah Prabu Darmasiksa dinobatkan sebagai raja Kerajaan Sunda, Kerajaan Saunggalah diperintah oleh puteranya yang bernama Ragasuci.
Prabu Darmasiksa yang dinobatkan sebagai raja Kerajaan Sunda bergelar Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu. Prabu Darmasiksa memerintah Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh, Kerajaan Galunggung dengan beribukota di Saunggalah (Kuningan). Pada tahun 1187 M Prabu Darmasiksa memindahkan ibukotanya ke Pakuan (Bogor).
Prabu Darmasiksa mempunyai 3 orang isteri, diantaranya:
- Puteri Saungggalah, memperoleh putera: Rajapurana
- Puteri Darmageng, memperoleh putera, di antaranya Ragasuci yang bergelar Rahiyang Saunggalah (Rakeyan Saunggalah);
- Puteri Swarnabumi (Sumatera) keturunan Sanggramawijayatunggawarman, memperoleh putera yang bernama Rahiyang Jayagiri (Rakeyan Jayagiri) atau Rahiyang Jayadarma (Rakeyan Jayadarma).
Kerajaan Sunda Di tengah Konflik Kerajaan Sriwijaya Dan Kerajaan Kediri
Pada masa pemerintahan Prabu Darmasiksa, Kerajaan Sunda tidaklah memiliki angkatan laut yang kuat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kerajaan Sriwijaya maupun Kerajaan Singasari yang sezaman dengannya. Sehingga daerah utara Pulau Jawa bagian barat menjadi sarang bajak laut. Kondisi ini menyebabkan daerah pantai utara Jawa menjadi perebutan antara Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Kediri hingga Kerajaan Singasari.
Persaingan antara Kerajaan Sriwijaya dengan Kerajaan Kediri terus berlanjut hingga tahun 1182 M. Di tahun yang sama, kedua belah pihak menyetujui perjanjian damai di Sundapura yang ditengahi oleh Kemaharajaan Cina yang pada saat itu Dinasti Song Selatan tengah berkuasa. Berdasarkan perundingan di Sundapura, Kerajaan Sriwijaya diperbolehkan beraktivitas di kawasan barat Kepulauan Nusantara, sedangkan Kerajaan Kadiri bergerak di kawasan timur. Setelah perundingan antara Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Kediri di Sundapura, Prabu Darmasiksa memindahkan pusat kekuasaannya ke Pakuan pada tahun 1187 M.
Sikap Kerajaan Sunda Dalam Ekspansi Kerajaan Singasari Terhadap Kerajaan Sriwijaya
Prabu Darmasiksa berupaya untuk mengatasi konflik yang terjadi antara kerajaan-kerajaan di Sumatera dan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dengan melakukan pernikahan politik putra-putrinya. Rakeyan Jayadarma dinikahkan dengan putri Mahesa Cempaka dari Kerajaan Singasari yang bernama Dyah Lembu Tal. Sedangkan Ragasuci dinikahkan dengan Dara Puspa, putri Trailpkyaraja Maulibusanawarmadewa yang berasal dari Melayu. Perlu diketahui bahwa Dara Kencana, Kakak dari Dara Puspita sebelumnya telah diperistri oleh Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari.
Melalui pernikahan anak-anaknya, Prabu Darmasiksa dapat memperbaiki hubungan diantara kedua wilayah yang saling berseteru dan bersaing. Sehingga, Kerajaan Sunda pun juga dapat menjadi negara yang tidak berpihak diantara kedua kubu kekuatan.
Sebagaimana diketahui bahwa putra dari Prabu Darmasiksa yang bernama Rakeya Jayadarma dinikahkan dengan putri Mahesa Cempaka dari Kerajaan Singasari yang bernama Dyah Lembu Tal. Hal ini memperkuat hubungan antara Kerajaan Singasari dan Kerajaan Sunda. Selain itu, Mahesa Cempaka juga sangat akrab dengan Kerajaan Sunda. Perlu diketahui, bahwa selama masa pemerintahan Ranggawuni (ayah Kertanegara) di Kerajaan Singasari, Mahesa Cempaka adalah orang yang berperan dalam memainkan politik luar negeri Kerajaan Singasari.
Pada tahun 1275 M, Raja Kertanegara mengirimkan ekspedisi terhadap Kerajaan Sriwijaya yang tengah mengalami kemunduran. Ekspedisi Kerajaan Singasari menuju Sumatera itu dipimpin oleh Mahisa Anabrang (Kebo Anabrang) yang singgah terlebih dahulu di Sunda untuk mencari informasi tentang kekuatan tempur Kerajaan Sriwijaya. Setelah mengetahui informasi kekuatan tempur Kerajaan Sriwijaya, Mahisa Anabrang segera menggempur Kerajaan Sriwijaya yang dalam tahun yang sama Kerajaan Sriwijaya dinyatakan runtuh.
Hubungan Prabu Darmasiksa Dan Raden Wijaya (Pendiri Kerajaan Majapahit)
Putera Prabu Darmasiksa, Rakeyan Jayadarma yang dinikahkan dengan Dyah Lembu Tal, puteri Mahisa Cempaka dari Kerajaan Singasari memiliki seorang putra yang bernama Nararya Sanggramawijaya atau yang dikenal dengan nama Raden Wijaya. Karena Rakeyan Jayadarma meninggal ketika Nararya Sanggramawijaya masih kecil, maka Dyah Lembu Tal meminta izin kepada Prabu Darmasiksa untuk tinggal di Tumapel bersama dengan Raden Wijaya.
Di Tumapel, Raden Wijaya yang mulai dewasa menjadi salah seorang senapati Kerajaan Singasari dan menjadi orang kepercayaan sekaligus menantu dari Raja Kertanegara. Pada tahun 1292 M, Kerajaan Singasari runtuh akibat pemberontakan Raja Jayakatwang dari Kerajaan Gelang-Gelang. Raden Wijaya yang berhasil melarikan diri ke Sumenep dan menghimpun kekuatan di Majapahit berhasil mengalahkan Raja Jayakatwang dan juga berhasil mengusir tentara Mongol pada tahun 1293 M. Setelah berhasil mengalahkan lawan-lawan politiknya, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M.
Setelah dinobatkan menjadi raja Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya mengunjungi kakeknya, Prabu Darmasiksa di Kerajaan Sunda dengan membawa berbagai macam hadiah. Prabu Darmasiksa yang amat senang kehadiran salah seorang cucunya yang kini menjadi raja itu memberikan nasehat;
Haywa ta sira keda athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlahanyang ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wus angheng jaya santosa wruh ngawang kottaman ri puyut katisayan mwang jayaatrum, ngke pinaka mahaprabu. Ika hana ta daksina sakeng Hyang Tunggal mwang dumadi seratanya.
Ikang sayogyanya rajya Jawa lawan rajya Sunda paraspasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawati rajya sowangsowang. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda duh kantara, wilwatikta sakopayana maweh carana; mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatikta.
(Jangalah hendaknya kamu mengganggu dan merebut Bumi Sunda karena telah diwariskan kepada Saudaramu bila kelak aku telah tiada. Sekalipun negaramu telah menjadi besar dan jaya serta sentosa, aku maklum akan keutamaan, keluarbiasaan dan keperkasaanmu kelak sebagai raja besar. Ini semua adalah anugerah dari Yang Maha Esa dan telah menjadi suratan-Nya.)
(Sudah selayaknya Kerajaan Jawa dan Kerajaan Sunda saling membantu, bekerjasama dan saling mengasihi antara anggota keluarga. Karena itu janganlah berselisih dalam memerintah kerajaan masing-masing. Apabila demikian akan menjadi keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna. Apabila Kerajaan Sunda mendapat kesusahan, Majapahit hendaknya berupaya sungguh-sungguh memberikan bantuan; demikian pula halnya Kerajaan Sunda kepada Kerajaan Majapahit). Prabu Darmasiksa meninggal pada tahun 1297 M. Sebagai penerusnya, Prabu Darmasiksa menunjuk Prabu Ragasuci sebagai raja Kerajaan Sunda.
25. Prabu Ragasuci (1297-1303)
Prabu Ragasuci adalah putera dari Prabu Darmasiksa yang mulai memerintah Kerajaan Sunda pada tahun 1297 M. Prabu Ragasuci hanya memerintah Kerajaan Sunda sekitar 6 tahun dalam usia yang sudah lanjut, sebab sebagaimana diketahui, ayahnya, Prabu Darmasiksa dikaruniai usia yang sangat panjang dan memerintah di Kerajaan Sunda selama lebih kurang 120 tahun.
Pada masa pemerintahan Prabu Darmasiksa, pusat kekuasaan Kerajaan Sunda terletak di Kota Pakuan (Bogor). Namun, semenjak masa pemerintahan Prabu Ragasuci, mulai muncul kota baru yang bernama Kawali yang terletak diantara Galunggung, Saunggalah dan Galuh. Prabu Ragasuci kemudian memindahkan ibukota Kerajaan Sunda ke Saunggalah sebab Prabu Ragasuci awalnya adalah raja Kerajaan Saunggalah untuk menggantikan posisi ayahnya, Prabu Darmasiksa yang menjadi raja Kerajaan Sunda. Setelah Prabu Darmasiksa meninggal, nampaknya Prabu Ragasuci enggan memerintah di Pakuan dan lebih memilih memerintah Kerajaan Sunda di Saunggalah.
Prabu Ragasuci menikahi seorang putri dari Melayu yang bernama Dara Puspa (adik Dara Kencana, istri Raja Kertanegara dari Singasari) dan dari hasil pernikahannya ia memiliki seorang putera yang bernama Prabu Citraganda. Prabu Citraganda diberikan kekuasaan untuk memerintah di Pakuan, sebab selama Prabu Darmasiksa hidup, Prabu Citraganda lebih senang tinggal bersama kakeknya itu. Ketika Prabu Darmasiksa meninggal, Prabu Citraganda memerintah di Pakuan dan sebagai bawahan dari Prabu Ragasuci. Prabu Ragasuci meninggal pada tahun 1303 M, posisinya sebagai raja Kerajaan Sunda digantikan oleh anaknya, Prabu Citraganda.
26. Prabu Citraganda (1303-1311)
Prabu Citraganda adalah putera Prabu Ragasuci yang mulai memerintah di Kerajaan Sunda pada tahun 1303 M. Sebelum menjadi raja di Kerajaan Sunda, Prabu Citraganda memerintah sebagai raja bawahan Prabu Ragasuci di Pakuan. Setelah Prabu Ragasuci meninggal pada tahun 1303 M, Prabu Citraganda naik takhta sebagai raja Kerajaan Sunda, dan mengembalikan pusat pemerintahan Kerajaan Sunda di Pakuan yang sebelumnya terletak di Saunggalah ketika Prabu Ragasuci memerintah.
Prabu Citraganda menikahi puteri Raja Saunggalah (Raja Purana) yang bernama Dewi Antini. Dari pernikahannya, Prabu Citraganda memiliki seorang putera yang bernama Linggadewata. Pada tahun 1311 M, Prabu Citraganda wafat. Kedudukannya sebagai raja Kerajaan Sunda digantikan oleh puteranya yang bernama Linggadewata.
27. Prabu Linggadewata (1311-1333)
Prabu Linggadewata mulai memerintah di Kerajaan Sunda pada tahun 1311 M. Prabu Linggadewata naik takhta untuk menggantikan ayahnya, Prabu Citraganda yang mangkat. Prabu Citraganda memiliki seorang anak yang bernama Ratna Umalestari (Dewi Umalestari/ Ratu Santika) yang menikah dengan Ajiguna Linggawisesa.
Pada masa pemerintahan Prabu Linggadewata, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda berpindah ke Kawali. Sebagaimana diketahui, bahwa Kawali adalah kota baru yang mulai muncul dan berkembang pada masa akhir pemerintahan Prabu Darmasiksa di akhir abad ke-13 M. Pada awal abad ke-14 M, Kawali mulai menjadi besar dan mulai mengalahkan eksistensi kota Pakuan, sehingga Prabu Linggadewata memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Sunda ke Kota Kawali.
Dapatlah dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Prabu Linggadewata adalah masa transisi perpindahan ibukota Kerajaan Sunda dari Pakuan ke Kawali. Di mana perangkat-perangkat kerajaan secara bertahap mulai berpindah. Sehingga masa pemerintahan Prabu Linggadewata lebih disibukkan dengan aktivitas perpindahan ibukota. Prabu Linggadewata meninggal pada tahun 1333 M. Oleh karena Prabu Linggadewata tidak memiliki seorang putera, maka takhta diserahkan kepada putrinya yang bernama Dewi Umalestari yang kemudian takhta raja Kerajaan Sunda dijabat oleh Ajiguna Linggawisesa atas nama isterinya.
28. Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333-1340)
Prabu Ajiguna Linggawisesa (Prabu Ajiguna Wisesa) adalah raja Kerajaan Sunda yang naik takhta pada tahun 1333 M menggantikan kakak iparnya, Prabu Linggadewata. Prabu Ajiguna Linggawisesa memerintah Kerajaan Sunda dengan ibukota di Kawali.
Sebagaimana diketahui, bahwa Prabu Ajiguna Linggawisesa menikahi puteri Prabu Citraganda yang bernama Dewi Umalestari. Dari pernikahannya dengan Dewi Umalestari, Prabu Ajiguna Linggawisesa memiliki beberapa orang anak diantaranya;
- Ragamulya Luhur Prabawa (Aki Kolot);
- Dewi Kiranasari yang menikah dengan Prabu Arya Kulon;
- Suryadewata, pendiri Kerajaan Talaga (Majalengka).
Pada tahun 1340 M, Prabu Ajiguna Linggawisesa wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Ragamulya Luhur Prabawa.
29. Prabu Ragamulya Luhur Prabawa/Aki Kolot (1340-1350)
Prabu Ragamulya adalah putera dari Prabu Ajiguna Linggawisesa yang juga sering dikenal dengan nama Aki Kolot. Prabu Ragamulya menjadi raja di Kerajaan Sunda untuk menggantikan ayahnya, Prabu Ajiguna Linggawisesa yang telah meninggal pada tahun 1340 M. Prabu Ragamulya Luhur Prabawa memerintah Kerajaan Sunda dengan ibukota di Kawali sebagaimana yang dilakukan sejak pemerintahan Prabu Linggadewata.
Prabu Ragamulya memiliki putra yang bernama Linggabuana Wisesa yang diangkat menjadi putera mahkota Kerajaan Sunda untuk nantinya menggantikan Prabu Ragamulya dan seorang putra lagi yang bernama Bunisora yang kelak diangkat sebagai patih dan mangkubumi Kerajaan Sunda membantu pemerintahan. Prabu Ragamulya wafat pada tahun 1350 M dan digantikan oleh puteranya yang bernama Linggabuana Wisesa.
30. Prabu Linggabuana Wisesa (1350-1357)
Prabu Linggabuana naik takhta Kerajaan Sunda pada tahun 1350 untuk menggantikan ayahnya, Aki Kolot atau Prabu Ragamulya Luhur Prabawa. Prabu Linggabuana memerintah Kerajaan Sunda dengan pusat pemerintahannya di Kawali. Di dalam pelaksanaan pemerintahan, Prabu Linggabuana dibantu oleh adiknya yang bernama Bunisora yang bergelar Mangkubumi Suradipati.
Prabu Linggabuana memiliki permaisuri yang bernama Dewi Lara Linsing. Dari permaisurinya, Prabu Linggabuana memiliki empat orang anak, anak kedua dan ketiga telah meninggal dalam usia satu tahun. Sedangkan yang tertua adalah Dyah Pitaloka yang lahir pada tahun 1339 M yang oleh Aki Kolot diberinama Citraresmi. Sedangkan anaknya yang terakhir adalah Wastu Kancana yang lahir pada tahun 1348 M.
Pada tahun 1357 M, Prabu Linggabuana kedatangan utusan dari Kerajaan Majapahit yang memberikan informasi akan niat Prabu Hayam Wuruk, Raja Kerajaan Majapahit untuk meminang Dyah Pitaloka, puteri Prabu Linggabuana. Tujuan dari pernikahan ini adalah untuk mempererat hubungan persaudaraan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda.
Tragedi Perang Bubat 1357 M
Prabu Linggabuana segera menanggapi surat dari Hayam Wuruk segera mempersiapkan untuk mengantar Dyah Pitaloka ke Majapahit. Prabu Linggabuana merasa ini adalah momentum untuk menyambung persaudaraan dengan Kerajaan Majapahit. Hal ini mengingat bahwa pendiri Kerajaan Majapahit, Dyah Wijaya (Raden Wijaya) adalah keturunan dari Rakeyan Jayadarma, putra Prabu Darmasiksa yang artinya mereka masih satu leluhur.
Mangkubumi Suradipati Bunisora memiliki firasat yang tidak baik akan undangan Majapahit telah mencegah kepergian Prabu Linggabuana. Namun, Prabu Linggabuana yang yakin bahwa kepergiannya adalah suatu hal yang baik demi menjaga hubungan persaudaraan dengan Majapahit tetap pergi dan menyerahkan pemerintahan kepada Mangkubumi Suradipati Bunisora. Putra Mahkota Wastu Kancana pun yang masih berusia 9 tahun tetap berada di istana didampingi oleh Mangkubumi Suradipati Bunisora. Dengan demikian, maka rombongan Prabu Linggabuana beserta putri Dyah Pitaloka segera berangkat menuju Majapahit.
Di dalam perjalanan menuju keraton Majapahit, ketika sampai di Bubat, rombongan Prabu Linggabuana dihadang oleh Gajah Mada dan pasukannya yang meminta kepada Prabu Linggabuana untuk menyerahkan putri Dyah Pitaloka sebagai “upeti” kepada Majapahit sebagai tanda takluknya Kerajaan Sunda kepada Kerajaan Majapahit. Namun, Prabu Linggabuana tidak terima dengan apa yang diungkapkan oleh Gajah Mada. Sehingga terjadilah pertempuran di daerah Bubat antara pasukan pengawal Prabu Linggabuana dan pasukan Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada.
Pertempuran di Bubat sebenarnya adalah pertempuran yang tidak seimbang antara kedua belah pihak. Pasukan Kerajaan Sunda hanyalah pasukan pengiring pengantin dan pengawal raja yang tidak memiliki senjata yang lengkap. Hal ini berbanding terbalik dengan tentara Kerajaan Majapahit yang memang telah siap bertempur di bawah pimpinan Gajah Mada. Meskipun begitu, pasukan Majapahit yang dipimpin langsung oleh Gajah Mada mengalami kesulitan dan terpaksa harus meminta bantuan dari ibukota Majapahit.
Pasukan dari ibukota Majapahit pun segera dikirimkan dan masuk dalam medan pertempuran Bubat. Di dalam pertempuran yang semakin tidak seimbang dalam jumlah itu, Prabu Linggabuana pun akhirnya tewas. Selain Prabu Linggabuana, sang putri, Dyah Pitaloka pun tewas dalam pertempuran Bubat itu.
Kabar tewasnya Prabu Linggabuana pun akhirnya sampai juga di ibukota Kerajaan Sunda di Kawali. Mangkubumi Suradipati Bunisora sangat marah akan kejadian yang menimpa Prabu Linggabuana beserta rombongannya yang ditipu dengan licik oleh Gajah Mada. Mangkubumi Suradipati Bunisora pun segera mengumpulkan para raja bawahan Kerajaan Sunda untuk membahas mengenai pengganti Prabu Linggabuana dan merencanakan kemungkinan untuk menyerang wilayah Kerajaan Majapahit.
Di dalam perundingan itu, Pangeran Wastu Kancana yang merupakan putera mahkota disepakati akan diangkat sebagai raja setelah ia dewasa. Sedangkan sebagai pendamping raja dan untuk mengisi kekosongan takhta, maka Mangkubumi Suradipati Bunisora diangkat sebagai raja. Setelah diangkat sebagai raja, Mangkubumi Suradipati Bunisora lebih dikenal dengan nama Prabu Bunisora.
Setelah diangkatnya Prabu Bunisora sebagai raja Kerajaan Sunda menggantikan Prabu Linggabuana, para raja bawahan segera merundingkan rencana untuk menyerang Kerajaan Majapahit. Namun, di dalam pembahasan rencana penyerangan wilayah Kerajaan Majapahit, utusan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit tiba dan mengirimkan surat permohonan maaf atas tragedi Bubat yang menimpa Prabu Linggabuana dan keluarga. Berdasarkan atas surat permintaan maaf dari Raja Hayam Wuruk ini, para pejabat Kerajaan Sunda mengurungkan niatnya untuk menyerang wilayah Kerajaan Majapahit. Meskipun begitu, hubungan antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit tidaklah membaik.
31. Prabu Bunisora (1357-1371)
Prabu Bunisora adalah adik dari Prabu Linggabuana yang gugur dalam Tragedi Bubat 1357 M. Prabu Bunisora naik takhta Kerajaan Sunda setelah Prabu Linggabuana gugur dalam tragedi Bubat yang menewaskan seluruh keluarganya terkecuali putra mahkota Pangeran Wastu Kancana. Prabu Bunisora sebelumnya adalah Mangkubumi sekaligus patih dari Kerajaan Sunda pada masa Prabu Linggabuana berkuasa. Namun, berdasarkan hasil mufakat raja-raja daerah, Prabu Bunisora diangkat sebagai raja Kerajaan Sunda sebagai raja pendamping dari sang putra mahkota, Pangeran Wastu Kancana.
Prabu Bunisora yang memerintah Kerajaan Sunda menampilkan sosok pemerintahan yang religius. Prabu Bunisora pun juga dikenal sebagai satmata dan dikenal pula dengan gelar Sang Bataraguru. Prabu Bunisora beristrikan Laksmiwati yang memiliki beberapa orang anak, diantaranya:
- Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya
- Bratalegawa
- Banawati
- Mayangsari
Pada tahun 1371 M Prabu Bunisora kemudian menikahkan anaknya yang bernama Mayangsari dengan putera mahkota Wastu Kancana. Di tahun yang sama, setelah pernikahan puterinya, Prabu Bunisora wafat. Maka kedudukannya sebagai raja Kerajaan Sunda diberikan kepada putera mahkota Wastu Kancana.
32. Niskala Wastu Kancana (1357-1475)
Niskala Wastu Kancana adalah putra dari Prabu Linggabuana yang gugur di medan Bubat pada tahun 1357 M. Niskala Wastu Kancana luput dari tragedi yang menimpa keluarganya oleh karena Niskala Wastu Kancana tidak ikut serta di dalam rombongan Prabu Linggabuana yan g hendak mengantarkan puterinya yang bernama Dyah Pitaloka ke Majapahit untuk menikah dengan Prabu Hayam Wuruk.
Ketika tragedi Bubat terjadi pada tahun 1357 M, Niskala Wastu Kancana masih berusia 9 tahun, sehingga ia tidak diikutsertakan di dalam rombongan. Niskala Wastu Kancana tetap berada di istana Kawali diasuh dan didampingi oleh pamannya, sekaligus sebagai mangkubumi, patih, dan wakil Prabu Linggabuana, yaitu Bunisora. Setelah Prabu Linggabuana dinyatakan gugur dalam medan Bubat, Bunisora yang diangkat sebagai raja Kerajaan Sunda secara sementara untuk menunggu Niskala Wastu Kancana dewasa.
Pada tahun 1368 M, di usia 20 tahun Niskala Wastu Kancana memperistri Lara Sakti (Ratna Sarkati) yang masih berusia 19 tahun. Ratna Sarkati adalah puteri seorang resi yang berasal dari Sumatera Selatan yang bernama Resi Susuk Lampung. Melalui pernikahannya dengan Ratna Sarkati, Niskala Wastu Kancana memperoleh seorang putera yang bernama Haliwungan yang lahir pada tahun 1369 M.
Pada tahun 1371 M, di saat berusia 22 tahun, Niskala Wastu Kancana memperistri sepupunya, Dewi Mayangsari, anak dari Prabu Bunisora, pamannya sendiri yang masih berusia 17 tahun. Pernikahan ini adalah permintaan dari Prabu Bunisora sendiri. Setelah pernikahan Niskala Wastu Kancana dengan Dewi Mayangsari, di tahun yang sama Prabu Bunisora wafat. Wafatnya Prabu Bunisora menyebabkan takhta Kerajaan Sunda diserahkan kepada Niskala Wastu Kancana.
Niskala Wastu Kancana dinobatkan sebagai raja di Kerajaan Sunda pada usia 23 tahun dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kancana atau dikenal juga dengan gelar Praburesi Buanatunggaldewata. Niskala Wastu Kancana memerintah Kerajaan Sunda selama 103 tahun (1371-1475 M).
Masa Pemerintahan Niskala Wastu Kancana di Kerajaan Sunda
Sejak masa pemerintahan Prabu Linggadewata, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda telah berpindah dari Pakuan ke Kawali. Hingga masa pemerintahan Niskala Wastu Kancana, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda tetap berada di Kawali. Pada masa pemerintahan Niskala Wastu Kancana aktivitas perekonomian Kerajaan Sunda dalam perdagangan berpusat pada dua pelabuhan, yaitu pelabuhan Karawang dan Cirebon.
Peran pelabuhan Cirebon bagi Kerajaan Sunda sangat penting terutama pada saat ibukota Kerajaan Sunda berpusat di Kawali. Pelabuhan Cirebon sendiri dikuasai oleh syahbandar yang berasal dari kalangan kerajaan sendiri, sehingga dengan cepat Cirebon berubah menjadi pelabuhan utama bagi Kerajaan Sunda. Pada masa pemerintahan Niskala Wastu Kancana, Cirebon kedatangan Syekh Datuk Kahfi yang melakukan penyebaran ajaran agama Islam. Syekh Datuk Kahfi dikenal juga dengan nama Syekh Nur Jati. Dengan kedatangan Syekh Datuk Kahfi, Cirebon secara bertahap telah berubah menjadi pusat penyebaran agama Islam di Tanah Sunda.
Pelabuhan lainnya yang berperan penting dalam aktivitas perdagangan bagi Kerajaan Sunda selain pelabuhan Cirebon adalah Pelabuhan Karawang. Pelabuhan Karawang memiliki letak yang cukup strategis oleh karena dilalui oleh aliran Sundai Citarum. Selain Pelabuhan Cirebon yang mendapatkan kunjungan Syekh Datuk Kahfi, Pelabuhan Karawang juga kedatangan penyiar ajaran agama Islam lainnya, yaitu Syekh Quro.
Prasasti Kawali
Prabu Niskala wastukancana adalah salah seorang raja sunda yang banyak meninggalkan prasasti, diantaranya ditemukan di situs Astana Gede kawali. Situs ini terletak di dusun Indrayasa Desa kawali. Prasasti ini pertama kali ditemukan oleh seorang letnan gubernur jendral Inggris, Thomas Stamford Raffles pada tahun 1817 M.
![]() |
Prasasti Astana Gede/Prasasti Kawali I |
Bunyi dari prasasti Kawali tersebut, sebagai berikut:
“Nihan tanpa Kawali ma siya mulia tanpa bhagya parebu raja wastu mangadeg di kuta kawali nu mahayu na kadatuan surawisesa nu marigi saliling dayeuh nu najur sagala desa aya ma nu pandeuri pakena gawe rahhayu pakeun heubeul jaya dina buana.”
(“Yang bertapa di kawali ini adalah yang mulia pertapa yang berbahagia Prabu Wastu yang bertahta di kota Kawali, yang memperindah Keraton Surawisesa yang membuat parit (pertahanan) sekeliling ibukota, yang mensejahterakan (memajukan pertanian) seluruh negeri. Semoga mereka yang dikemudian, membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang.”)
Prabu Niskala Wastu Kancana memiliki beberapa orang anak;
- Haliwungan/Susuk Tunggal (dari Ratna Sarkati);
- Ningrat Kancana (dari Mayangsari);
- Ki Gedeng Sindang Kasih (dari Mayangsari);
- Surawijaya Sakti/ Ki Gedeng Singapura (dari Mayangsari);
- Ki Gedeng Tapa (dari Mayangsari).
Prabu Niskala Wastu Kancana sejak masih hidup telah lebih dahulu membagi wilayah Kerajaan Sunda kepada kedua putranya, yakni Haliwungan atau Susuk Tunggal yang berkuasa atas wilayah sebelah barat Sungai Citarum dengan keraton di Pakuan, sedangkan Ningrat Kancana berkuasa atas wilayah sebelah timur Sungai Citarum dengan keraton di Kawali.
Pada tahun 1475 M, Niskala Wastu Kancana wafat pada usia 127 tahun. Sebagai penggantinya, Niskala Wastu Kancana telah menunjuk Haliwungan atau Susuk Tunggal sebagai penggantinya sebagai raja Kerajaan Sunda.
Kemaritiman Kerajaan Sunda
Salah satu petunjuk mengenai adanya aktivitas perdagangan di Kerajaan Sunda adalah adanya petugas pangurang dasa calagra yaitu petugas pemungut pajak di pelabuhan. Aktivitas kemaritiman Kerajaan Sunda dalam bentuk perdagangan dan pelayaran tidak hanya bersifat lokal tetapi sudah mencapai perdagangan regional dan internasional. Dalam menunjang perdagangan insuler dan interinsulerini Kerajaan Sunda mempunyai beberapa kota pelabuhan yang terdapat di pantai utara Jawa bagian barat. Masyarakat yang tinggal di pesisir pantai melakukan perdagangan dengan masyarakat pedalaman. Masyarakat pesisir juga sudah melakukan hubungan dagang dengan masyarakat luar.
Pelabuhan-Pelabuhan Penting
Kapal-kapal niaga luar negeri terutama dari Cina banyak melakukan aktivitas perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Sunda. Sementara itu pedagang dalamnegeri melakukan pelayaran dagang hingga ke Malaka. Untuk mencapai Malaka digunakan lancharakargo berdaya angkut 150 ton. Di Kerajaan Sunda terdapat lebih dari 6 jung dan lanchara-lanchara dengan tiang berbentuk bangau dan dilengkapi anak tangga sehingga mudah dikemudikan.
Selain kota-kota yang berada di pesisir, menurut catatan de Barros, Kerajaan Sunda mempunyai enam pelabuhan yaitu Chiamo, Xacatra atau Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam. Selain de Barros, Tomé Pires juga memberitakan bahwa Cumda mempunyai enam pelabuhan yaitu Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano. Keterangan antara Barros dan Pires sama-sama menyebutkan adanya enam pelabuhan. Kalau Barros menyebutkannya dari arah timur ke barat, sebaliknya Pires menyebutnya dari barat ke timur. Perbedaan yang ada selain ucapannya ialah bahwa Calapa yang disebut Pires, oleh Barros disebutnya Xacatra atau Caravam.
Tome Pires juga memberikan gambaran keadaan masing-masing pelabuhan tersebut. Bantam merupakan pelabuhan besar terletak di tepi sungai. Dari pelabuhan ini perdagangan berlangsung hingga Sumatra dan Kepulauan Maladewa. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain beras dan lada. Pomdam juga merupakan pelabuhan yang baik. Berada pada muara sungai. Kapal besar (junk) dapat berlabuh di sini. Barang dagangan berupa bahan makanan terutama beras dan lada. Cheguide merupakan pelabuhan bagus yang bisa didarati kapal besar. Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dan tempat-tempat lain.
Komoditas
Barang-barang dagangan berupa beras, buah-buahan, lada, dan bahan makanan. Tamgaram juga merupakan pelabuhan dan kota dagang yang bagus. Barang dagangan sebagaimana pelabuhan yang lain. Calapa merupakan bandar yang paling bagus. Pelabuhan ini sangat penting dan terbagus di antara yang lain. Jalinan perdagangannya sangat luas yaitu hingga Sumatra, Palembang, Laue,Tamjompura, Malaca, Makasar, Jawa dan Madura, serta beberapa tempat lain. Chemano merupakan pelabuhan yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat berlabuh di sini. Di kota ini sudah banyak warga muslim. Perdagangan yang dijalin hingga seluruh Jawa.
Barang komoditas utama Kerajaan Sunda adalah lada dengan kualitas tinggi. Produksi lada diperkirakan 1000 bahar per tahunnya. Selain lada komoditas penting Kerajaan Sunda adalah cabai jawa dan buah asam. Kedua komoditas ini mampu memenuhi kebutuhan seribu kapal. Kerajaan Sunda selain menyediakan barang-barang komoditas juga menyediakan tenaga kerja (budak yang diperjual-belikan) baik pria maupun wanita. Ketersediaan tenaga kerja ini selain dari lokal juga dipasok dari Kepulauan Maladewa. Perjalanan dari Sunda ke Maladewa ditempuh sekitar enam hingga tujuh hari. Dalam aktivitas perdagangan telah digunakan semacam mata uang terbuat dari emas yang dicetak dengan 8 mate, yaitu semacam goresan atau cetakan emas yang digunakan di Timur.
Aktivitas Perdagangan
Hubungan dagang antara masyarakat pesisir dilakukan dengan perahu yang menyusuri laut pinggir pantai. Sebagaimana pemberitaan Tome Pires, aktivitas perdagangan di pantai utara Jawa juga terjalin secara antar kota pelabuhan. Berlangsungnya perdagangan semacam ini, di Indramayu ditandai dengan adanya temuan perahu di Desa Lombang, Juntinyuat. Perahu berukuran panjang 11,5 m dan lebar 3 m serta tinggi sekitar 1,5 m menunjukkan fungsinya sebagai sarana angkut dalam jarak yang tidak begitu jauh, dalam arti tidak untuk mengarungi samodra.
Hubungan antar pemukiman di pedalaman dan pesisir dihubungkan dengan jaringan jalan raya. Jalan-jalan darat menghubungkan pusat kerajaan di Pakwan Pajajaran ke pemukiman-pemukiman di pedalaman dan pelabuhan-pelabuhan di pantai utara. Jaringan jalan ada dua yaitu ke arah timur dan barat. Jalan ke arah timur dari Pakwan Pajajaran menuju Karangsambung di tepi Ci Manuk melalui Cileungsi dan Cibarusah. Dari Cibarusah menuju Tanjungpura di tepi Ci Tarum, Karawang kemudian terus ke Cikao, Purwakarta dan lanjut ke Karangsambung. Di Karangsambung jalan ini bercabang, satu jalur menuju Cirebon lalu berbelok ke arah Kuningan dan berakhir di Galuh atau Kawali.
Jalur lain dari Karangsambung menuju Sindangkasih, lalu ke Talaga dan berakhir di Galuh atau Kawali. Jalan ke arah barat dari Pakwan Pajajaran menuju Jasinga lalu ke Rangkasbitung dan berakhir di Banten. Satu jalur lagi dari Pakwan Pajajaran ke arah Ciampea dan kemudian ke Rumpin. Dari Rumpin kemudian dilanjutkan menggunakan jalan sungai (Cisadane) menuju muara. Dengan menggunakan prasarana transportasi jalan darat ini, barang-barang komoditas dari pedalaman dan dari luar dapat dipertukarkan (diperdagangkan) dengan perantara pelabuhan-pelabuhan di pesisir.
Berdasarkan beberapa sumber dapat diketahui bahwa Kerajaan Sunda pada dasarnya merupakan kerajaan yang bercorak agraris khususnya pada sektor perladangan. Secara teoritis, kerajaan yang ditopang sektor perladangan akan tidak dapat berlangsung lama. Dalam kenyataannya Kerajaan Sunda bertahan pada kurun waktu antara abad ke-10 hingga ke-17. Bertahan lamanya Kerajaan Sunda ternyata didukung aktivitas kemaritiman berupa perdagangan lokal dan internasional.
Kerajaan Sunda merupakan penghasil lada dengan kualitas bagus. Selain itu terdapat barang-barang komoditas lain yang sangat laku di pasaran. Barang-barang komoditas tersebut adalah cabai jawa, asam, beras, sayur-mayur, daging (babi, kambing, domba, sapi), anggur, pinang, air mawar, dan emas. Komoditas yang masuk ke Sunda antara lain budak, kain/tekstil, dan akar-akaran.
Perdagangan lokal dilakukan dengan beberapa pelabuhan dagang di Pulau Jawa. Sedangkan perdagangan internasional dilakukan dengan beberapa daerah di Sumatera misalnya Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung, Palembang, Laue, dan Tanjungpura; di Sulawesi dengan Makasar; dan secara internasional dengan Malaka, Maladewa, Pagan, dan Cina. Distribusi barang dari pelabuhan ke beberapa lokasi di pedalaman melalui jaringan jalan darat.
Kerajaan Sunda yang sebagian besar masyarakatnya sebagai peladang sangat bergantung pada aktivitas kemaritiman untuk kelangsungannya. Dalam hal ini peran pelabuhan dagang sangat vital. Pelabuhan bukan sekedar tempat berlabuh tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu sebagai tempat berlabuh dengan aman, terlindungi dari ombak besar, serta terlindung dari angin dan arus yang kuat. Tempat ideal untuk pelabuhan adalah muara sungai besar.
Pada jaringan lalu lintas, fungsi pelabuhan juga sebagai penghubung antara jalan maritim dan jalan darat atau penghubung antara pelabuhan dengan kawasan pedalaman. Melalui sungai penduduk pedalaman dapat mengangkut hasil bumi ke pantai. Pelabuhan sebagai kota pantai harus memiliki fungsi kelautan. Laut tidak hanya dilihat sebagai faktor distorsi mobilitas tetapi juga sebagai lintas enerji barang, manusia, dan informasi dari pelabuhan satu ke kota lainnya.
Daftar Bacaan
- Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 4 Parwa 2
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 3 Parwa 2
- Atja & Ekajati, E.S. 1989. Carita Parahiyangan “karya tim pimpinan pangeran wangsakerta”. Bandung: Yayasan Pembangunan Jawa Barat.
- Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Danasasmita, S. 1983. Sejarah Bogor. Bogor: Paguyuban Pasundan Cabang Kodya Bogor.
- Ekajati, Edi S. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
- Iskandar, Yoseph.1997. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa).Bandung: Geger Sunten
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.