Kerajaan Kendan 536-702
Kerajaan Kendan adalah kerajaan yang terletak di daerah Pulau Jawa bagian barat. Secara hukum, Kerajaan Kendan adalah daerah bawahan kerajaan Tarumanegara yang pada saat itu berada di bawah pengaruh raja Suryawarman, raja ke-7 Kerajaan Tarumanegara. Sumber mengenai Kerajaan Kendan sebagaian besar diperoleh dari Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara.
Nama Kendan berasal dari kata Kendan yang memiliki makna sejenis batu cadas, berongga dan didalamnya mengandung kaca yang berwarna hitam. Batuan ini jika dilihat mirip batu onyx yang sering digunakan untuk mata cincin dan dipakai oleh anak muda zaman sekarang. Batu ini juga akan tampak kemilauan saat tersorot oleh sinar matahari. Memiliki permukaan yang sangat kasar dan tajam.
Menurut versi lain, nama Kendan berasal dari kata kanda yang mendapat akhiran -an, yaitu sebuah sistem religi tradisonal yang menganut paham monoteisme (hyang tunggal) yang dikembangkan oleh Praburesiguru Manikmaya pada abad ke-6 sebagai norma kehidupan beragama jauh sebelum Islam masuk ke Tatar Sunda sekitar abad ke 16. Salah satu kegiatan ritual keagamaannya berbentuk pasaduan yang dilakukan di seputar kabuyutan. Dan di dalam kabuyutan tersebut biasanya ditandai dengan bangunan punden berundak.
Raja-Raja Kerajaan Kendan
Resiguru Manikmaya (536-568), Raja Pertama Kerajaan Kendan
Resiguru Manikmaya adalah raja pertama dari Kerajaan Kendan. Kerajaan Kendan diperkirakan didirikan oleh Suryawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada tahun 536 M dengan mengangkat Resiguru Manikmaya sebagai raja pertama Kerajaan Kendan.
Pendeta Di Jayasinghapura
Resiguru Manikmaya berasal dari keluarga Kerajaan Calankayana, India Selatan. Sudah beberapa negeri dan wilayah didatangi olehnya, serta tinggal di sana, kemudian berangkat lagi pindah ke negeri lain. Negeri itu di antaranya Pulau Simhala, negeri Gauda, Hujungmendini, Pulau Sumatra, Pulau Bali, dan Jawa Timur. Selanjutnya Resiguru Manikmaya akhirnya tiba di Jawa Barat dan tinggal di situ, di bekas ibukota Kerajaan Tarumanegara, Jayasinghapura. Sang Resiguru Manikimaya adalah seorang yang ahli agama, pandai bicara, serta sifatnya sangat baik. sehingga beliau dijadikan kepala pendeta di ibukota Kerajaan Tarumanegara.
Resiguru Manikmaya tidak lama setelah diangkat sebagai kepala pendeta di Jayasinghapura, Resiguru Manikmaya menikah dengan Dewi Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Kerajaan Tarumanegara. Oleh karena statusnya sebagai menantu dan juga dianggap sebagai orang yang baik budi pekertinya, Resiguru Manikmaya dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya.
Selain menikahi putri raja Suryawarman, Resiguru Manikmaya juga menikahi Dewi Sanwara dan memiliki seorang anak yang bernama Sri Narawati. Setelah pernikahan Resiguru Manikmaya dengan Dewi Tirtakancana, sebagai seorang brahamana, maka Resiguru Manikmaya diberikan anugerah oleh Raja Suryawarman dengan penobatannya sebagai seorang Rajaresi di daerah Kendan.
Selain itu, Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan yang semestinya dimiliki oleh sebuah kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri. Selain itu, Raja Suryawarman juga memberikan berbagai pakaian yang penuh dengan hiasan, berbagai benda untuk para pembesar kerajaan, para pegawai, berbagai jenis kendaraan perang seperti kereta kudadan gajah, hewan-hewan ternak dan makanan yang lezat.
Hal ini dimaksudkan secara tidak langsung, selain sebagai seorang pemuka agama, Resiguru Manikmaya pun diangkat sebagai seorang raja daerah oleh Suryawarman dan memerintah bersama istrinya, Dewi Tirtakancana sebagai raja dan ratu daerah Kendan yang bertanggungjawab langsung kepada Raja Suryawarman.
Resiguru Manikmaya Menjadi Raja Daerah Di Kendan
Berita pengangkatan Resiguru Manikmaya sebagai penguasa daerah Kendan, dikabarkan oleh Maharaja Suryawarman kepada seluruh raja-raja bawahan Kerajaan Tarumanegara dengan sepucuk surat. Di mana di dalam surat tersebut berisi tentang keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kerajaan Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja Suryawarman, dan mesti dijadikan sebagai sahabat. Terlebih lagi, Sang Resiguru Manikmaya adalah seorang Brahmana yang hebat dan telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru Manikmaya di Kerajaan Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.
Secara tidak langsung dengan diangkatnya Resiguru Manikmaya sebagai penguasa Kerajaan Kendan sekaligus telah menikahi anak Suryawarman telah meningkatkan status Kerajaan Kendan sebagai daerah bawahan yang nampaknya sebelum pengangkatan Resiguru Manikmaya sebagai penguasa, Kendan kemungkinan hanya sebagai salah satu daerah yang kurang begitu penting dalam struktur birokrasi Kerajaan Tarumanegara. Sejak Kerajaan Kendan resmi diperintah oleh Resiguru Manikmaya, status Kerajaan Kendan dinaikkan sebagai daerah Karesian yaitu daerah yang dilindungi sebagai tempatnya para resi luhung ilmu.
Sebagai seorang raja sekaligus seorang agamawan, Resiguru Manikmaya tentu mengembangkan pula ajaran-ajaran Hindu di daerah Kendan. Hal ini dapat terbukti dari penemuan di Arcamanik berupa Arca Durga dan Pusaka Naga Sastra yang menggunakan bahasa Sanskerta. Dari hasil peninggalan Resiguru Manikmaya telah membawa perubahan besar di dalam struktur sosial masyarakat di daerah sekitar Kendan, di mana telah terjadi suatu penyebaran ajaran Hindu beraliran Siwa meskipun tidak dapat dipastikan bahwa penduduk di daerah Kerajaan Kendan akan mengkonversi kepercayaannya menjadi pemeluk ajaran Hindu beraliran Siwa.
Hal ini disebabkan bahwa pada periode-periode awal berdirinya Kerajaan Tarumanegara dan dari beberapa peninggalan prasasti yang ditemukan, bahwa Kerajaan Tarumanegara terutama raja Purnawarman adalah seorang penganut ajaran Hindu beraliran Wisnu. Meskipun memiliki persamaan dengan menganut ajaran Hindu, namun tentu tidaklah mudah mengkonversi sebuah aliran dari Wisnu ke penganut aliran Siwa. Selain itu perlu juga dipertimbangkan dengan keberadaan tradisi-tradisi lokal yang masih bertahan dan tetap berkembang di daerah Kerajaan Kendan. Sehingga nampaklah sebuah daerah dengan penganut kepercayaan yang beragam.
Dari hasil pernikahan Resiguru Manikmaya dengan Dewi Tirtakancana disebutkan bahwa ia memiliki seorang anak yang bernama Raja Putra Suraliman. Sebagai seorang resi yang memahami ilmu keagamaan, Resiguru Manikmaya pun juga memiliki pengetahuan di bidang pemerintahan dan kemiliteran.
Status Kerajaan Kendan sebagai tanah suci pun dapat terlihat dari fungsi daerah Kerajaan Kendan sebagai tempat bagi para prajurit Kerajaan Tarumanegara untuk menempa ilmu kanuragan dan kedigdayaan. Salah satu kitab yang disusun oleh sang resi, Pustaka Ratuning Bala Sarewu menjelaskan tentang tata cara pengelolaan kerajaan. Di dalam kitab tersebut, berisi tentang bagaimana cara membangun sebuah negara dengan prajuritnya yang sangat kuat. Sebagai daerah suci dan sebagai tempat menempa ilmu para prajurit Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Kendan telah melahirkan panglima perang laut bagi Kerajaan Tarumanegara, dan salah satunya adalah putra sang resi, yaitu Suraliman. Pada tahun 568 M, Resiguru Manikmaya wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Suraliman sebagai penguasa Kerajaan Kendan.
Sang Baladhika Suraliman (568-597), Perluasan Kerajaan Kendan.
Pada tahun 568 M, sang resi meninggal dan kedudukannya digantikan oleh anaknya, Raja Putra Suraliman sebagai raja kedua Kerajaan Kendan. Sang raja menikahi putri kerajaan Kutai Bakula Putra (Martadipura), Mutyasari Putri. Dari hasil pernikahannya, Raja Putra Suraliman memiliki seorang putra yang bernama Kandiawan dan seorang putri bernama Kandiawati. Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Kendan sebagai daerah bawahan Kerajaan Tarumanegara telah berhasil memperluas wilayahnya dengan menguasai Medang Jati (Garut) sebagaimana yang dikisahkan dari Carita Kabuyutan Sanghyang Tapak.
Keberhasilan Raja Putra Suraliman di dalam menaklukan daerah Medang Jati tidak terlepas dari didikan ayahnya, Resiguru Manikmaya dan juga daerah Kerajaan Kendan yang nampaknya memang dijadikan sebagai tempat pendidikan bagi calon-calon prajurit elit dari Kerajaan Tarumanegara. Selain itu, keberhasilan Raja Putra Suraliman yang juga telah mencapai salah satu jabatan tertinggi dalam struktur birokrasi kerajaan, yaitu sebagai panglima angkatan laut Kerajaan Tarumanegara.
Penaklukan yang dilakukan oleh Sang Baladhika Suraliman telah memajukan perekonomian masyarakat Kerajaan Kendan. Dari segi ekonomi dapat terlihat dengan adanya perluasan tersebut, masyarakat Kerajaan Kendan yang awal mulanya bekerja di ladang, beberapa diantaranya telah mulai menggunakan jalur sungai terutama Sungai Cimanuk yang mengalir menuju dua pelabuhan di utara yaitu Indramayu dan Cirebon. Dengan terbukanya daerah ini, maka sangatlah memungkinkan bagi Kerajaan Kendan untuk menarik bea cukai dari para pedagang yang singgah di kedua pelabuhan di utara yang hendak menuju daerah pusat Kerajaan Kendan yang terdapat di pedalaman.
Kandiawan (597-612), Pindahnya Pusat kekuasaan Kerajaan Kendan Ke Medang Jati
Setelah Sang Baladhika Suraliman wafat, posisinya sebagai seorang raja Kerajaan Kendan digantikan oleh anaknya, Kandiawan. Pada masa pemerintahan Kandiawan, ia memindahkan pusat Kerajaan Kendan dari desa Citaman, Nagreg ke daerah Medang Jati, Cangkuang, Garut. Hal ini didasari dari temuan situs Candi Cangkuang yang berada di desa Bojong Mente, Cicalengka, Garut. Masih belum dapat diketahui penyebab dari perpindahan pusat kerajaan ini, akan tetapi tentu bukanlah perintah langsung dari Kerajaan Tarumanegara, sebab kerajaan bawahan memiliki hak otonomi sendiri di dalam menentukan kebijakan politik internal dan ekonomi.
Kandiawan memiliki lima orang putra yang masing-masing memerintah di lima daerah; Mangkuhan memerintah di Surawulan; Sandang Greba memerintah di Pelas Awi; Karung Kalah memerintah di Rawung Langit; Katung Maralah memeintah di Menir; dan Wretikandayun memerintah di Kuli-kuli.
Pada masa akhir pemerintahannya, takhta Kerajaan Kendan diberikan kepada Wretikandayun, sedangkan Kandiawan sendiri memilih menjalani tapa di Bukit Layuwatang, Kuningan. Pada masa akhir pemerintahannya inilah di daerah selatan wilayah Kerajaan Tarumanegara tepatnya di daerah Cilauteureun, Leuweung, dan Gunung Nagara secara perlahan agama Islam mulai diperkenalkan oleh Rakyan Sancang Putra Kertawarman.
Wretikandayun (612-702), Berdirinya Kerajaan Galuh
Wretikandayun yang mendapatkan tahkta dari ayahnya memindahkan lagi pusat Kerajaan Kendan / Kelang ke Galuh didesa Karang Kamulyaan , kecamatan Cijeungjing, Ciamis. Di dalam pemindahan pusat kerajaan ini, Wretikandayun menikahi Dewi Minawati anak dari Pendeta Hindu yaitu Resi Mekandria dan menurunkan 3 orang Putra yaitu ; Sampakwaja menjadi Resi Guru wanayasa, Amara menjadi Resi Guru Deneuh dan Jantaka/ Mandiminyak. Hal ini berdasarkan Pusaka Naga Sastra, Pada masa itu Kerajaan Kendan/Kelang berubah nama menjadi Kerajaan Galuh.
Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kendan pada tanggal 23 Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Malam itu, bulan sedang purnama. Esok harinya, matahari terbit, tepat di titik timur garis ekuator. Sang Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati, tidak juga di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru, kemudian diberi nama Galuh (harfiah : permata). Lahan pusat pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua batang sungai yang bertemu, yaitu Citanduy dan Cimuntur.
Ketika Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di Kerajaan Tarumanegara saat itu, adalah Sri Maharaja Kretawarman (561-628 M). Sebagai Raja di Galuh, status Sang Wretikendayun adalah sebagai raja bawahan Kerajaan Tarumanegara. Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja daerah, di bawah kekuasaan Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (666-669 M).
Ketika Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa pada tahun 669 M, umur Sang Wretikandayun sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang Kerajaan Tarumanegara yang sudah pudar pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di Sunda Sembawa dan mengganti nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda.
Diangkatnya Tarusbawa menimbulkan pergolakan dari kerajaan-kerajaan bawahan Kerajaan Tarumanegara, Tarusbawa yang kemudian mendapat gelar Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya, karena keputusannya mengubah nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda, semakin menimbulkan pergolakan. Ini merupakan peluang bagi Sang Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika) dari kekuasaan Sang Tarusbawa.
Sang Wretikendayun segera mengirimkan duta ke Pakuan (Bogor) sebagai ibu kota Kerajaan Sunda (lanjutan Kerajaan Tarumanegara) yang baru, menyampaikan surat kepada Sang Maharaja Tarusbawa. Isi surat tersebut menyatakan bahwa Galuh memisahkan diri dari Kerajaan Sunda, menjadi kerajaan yang mahardika.
berisi peringatan dan keputusan pemisahan daerah “Karunya Ning Caritra”, yang isinya “Mulai hari ini Galuh berdiri sebagai sebuah kerajaan yang Mahardika, tidak berada di bawah kerajaan pakanira lagi, janganlah pasukan tuan menyerang Galuh, karena pasukan Galuh jauh lebih kuat dari pasukan Sunda, ditambah Galuh di dukung oleh kerajaan-kerajaan disebelah timur Citarum…hendaknya kita rukun hidup berdampingan”
Atas keputusan tersebut maka pada tahun 670 M, berdirilah dua buah kerajaan besar di Jawa, dengan Citarum sebagai pembatasnya. Dari Citarum ke arah barat menjadi kerajaan Sunda sedang dari Citarum ke arah timur menjadi kerajaan Galuh. Sementara Mandala Kendan, tetap menjadi sebuah daerah yang dilindungi oleh kedua kerajaan tersebut. Kemudian hari Sunda dan Galuh pada masa Sanjaya dapat dipersatukan kembali, setelah terjadi pemberontakan dan perang saudara antar keturunan Galuh.
Perebutan, perubahan kerajaan tindak lantas mengubah keadaan, Kendan tetap sebagai sebuah Mandala yang sepakat dilindungi. Namun kemudia sejak Pajajaran runtuh tahun 1579, status ke-mandala-an, mengalami perubahan, bahkan beberapa tempat seperti hal nya di Kanekes, tidak lagi diakui oleh para penguasa selanjutnya. Sejak saat itu berbagai kepentingan “penguasa” tidak lagi sejalan dalam melindungi “kesucian” Mandala. Pada tahun 1482, kedua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran.
Daftar Bacaan
- Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 4 Parwa 2
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 3 Parwa 2
- Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Ekajati, Edi S. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
- Kapur, Kamlesh. 2010. History Of Ancient India (portraits Of A Nation). New Delhi: Sterling Publishers Pvt. Ltd.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.