Kerajaan Sriwijaya (Abad Ke-7 - 14 M)

Kerajaan Sriwijaya (Abad Ke-7 - 14 M)

Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar yang ada di Kepulauan Nusantara dan Asia Tenggara. Kerajaan Sriwijaya diperkirakan mulai eksis sejak abad ke-7 M dan mulai hilang pemberitaannya sejak abad ke-14 M. Sejak permulaan tarikh Masehi, hubungan dagang antara India dengan Kepulauan Nusantara sudah terjadi secara intens.

Daerah pantai timur Pulau Sumatra menjadi jalur perdagangan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang. Dengan keadaan ini, maka mulai muncul pusat-pusat perdagangan yang kemudian berkembang menjadi suatu kesatuan politik berbentuk kerajaan. Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentang Kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan-kerajaan kecil di pantai Sumatra bagian timur mulai terlihat eksistensinya sekitar abad ke-7 M, antara lain Kerajaan Tulangbawang, Kerajaan Malayu dan Kerajaan Sriwijaya yang merupakan kekuatan-kekuatan politik yang telah teridentifikasi dengan cukup baik berdasarkan keterangan-keterangan yang didapatkan dari sumber-sumber prasasti dan kronik-kronik dalam maupun luar negeri.

Dari ketiga kesatuan politik yang berkembang di timur pantai Sumatra itu, hanya Kerajaan Sriwijaya yang berhasil berkembang dengan baik dan mencapai kejayaannya, sedangkan Malayu atau pun Tulangbawang sempat berhasil berkembang, namun eksistensi mereka tenggelam oleh kekuatan politik Kerajaan Sriwijaya.

Pada tahun 692 M, Kerajaan Sriwijaya mengadakan ekspansi ke daerah sekitar Malayu. Malayu dapat ditaklukan dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Letak pusat Kerajaan Sriwijaya hingga saat ini masih menimbulkan perdebatan. Ada yang berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya terletak di Palembang (di daerah aliran Sungai Musi), namun ada juga yang berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya di Jambi (di daerah aliran Sungai Batanghari).

Sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya yang penting adalah sumber prasasti. Prasasti-prasasti itu ditulis menggunakan huruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. Beberapa prasasti itu antara lain:

Prasasti Kedukan Bukit (682)

Prasasti Kedukan Bukit adalah sebuah prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dengan aksara Pallawa dan berisi tentang penyebaran agama Buddha di wilayah tersebut.

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh C.J. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dengan menggunakan aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146.

Prasasti Kedukan Bukit

Isi Prasasti Kedukan Bukit

Berikut ini adalah isi dari prasasti Kedukan Bukit peninggalan Kerajaan Sriwijaya:

svasti śrī śakavaŕşātīta 605 ekādaśī śu-
klapakşa vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṁ nāyik di
sāmvau maṅalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa
vulan jyeşţha ḍapunta hiyaṁ maŕlapas dari Miṉāṅkā
tāmvan mamāva yaṁ vala dua lakşa daṅan ko śa(?)
duaratus cāra di sāmvau daṅan jālan sarivu
tlurātus sapulu dua vañakña dātaṁ di mata jap (mukha upaṃ ?)
sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula[n]… (āsāḍha ?)
laghu mudita dātaṁ marvuat vanua …
śrīvijaya siddhayātra subhikşa … (nityakāla ?)

Terjemahan Isi Prasasti Kedukan Bukit:

Selamat ! Tahun Śaka telah lewat 605, pada hari ke sebelas
paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di
sampan mengambil siddhayātra. pada hari ke tujuh paro-terang
bulan Jyestha Dapunta Hyang marlapas dari Miṉāṅgā
tamwāṉ membawa bala dua laksa dengan lengkap perbekalan
dua ratus cara/peti di sampan dengan berjalan seribu
tiga ratus dua belas banyaknya datang di mata jap (Mukha Upang)
sukacita pada hari ke lima paro-terang bulan….
lega gembira datang membuat wanua….
Śrīwijaya jaya, siddhayātra sempurna….

Pada baris ke-8 keterangan di dalam prasasti ini terdapat unsur pertanggalan, tetapi bagian akhir unsur pertanggalan pada prasasti ini telah hilang. Seharusnya bagian tersebut diisi dengan nama bulan. Berdasarkan data dari fragmen prasasti No. D.161 yang ditemukan di Situs Telaga Batu, J.G. de Caspari dan Boechari mengisinya dengan nama bulan Asada. Maka lengkaplah pertanggalan prasasti tersebut, yaitu hari kelima paro-terang bulan Asada yang bertepatan dengan tanggal 16 Juni 682 Masehi.

Menurut George Cœdès, siddhayatra berarti semacam “ramuan bertuah”, tetapi kata ini bisa pula diterjemahkan lain. Menurut Kamus Jawa Kuna Zoetmulder (1995): sukses dalam perjalanan. Dengan terjemahan tersebut kalimat di atas dapat diubah: “Sri Baginda naik sampan untuk melakukan perjalanan suci, sukses dalam perjalanannya.”

Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data sebagai berikut: Dapunta Hyang marlapas dari Minangatamwan dan menaklukkan kawasan tempat ditemukannya prasasti ini (Sungai Musi, Sumatera Selatan). Karena kesamaan bunyinya, ada yang berpendapat Minangatamwan adalah sama dengan Minangkabwa, yakni wilayah pegunungan di hulu Batang Hari. Ada juga berpendapat Minanga tidak sama dengan Malayu, kedua kawasan itu tempat Marlapas oleh Dapunta Hyang, isi prasasti ini menceritakan Perjalanan dari Minanga Tamwan.

Sementara, itu pengamatan yang dilakukan oleh R. Soekmono berpendapat bahwa Minangatamwan bermakna pertemuan dua sungai (karena tamwan berarti ‘temuan’), yakni Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri di Riau. Sehingga wilayah yang dimaksud yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Kemudian ada yang berpendapat Minanga berubah tutur menjadi Binanga, sebuah kawasan yang terdapat pada sehiliran Sungai Barumun (Provinsi Sumatera Utara sekarang).[7] Pendapat lain menduga bahwa armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatra, yakni dari Semenanjung Malaya. Meskipun dengan beberapa pendapat yang berbeda, beberapa sejarawan, menyatakan bahwa Datu Sriwijaya lahir dari Sumatera Selatan itu sendiri, sejarawan menyebutkan bahwa minang-a berada di muara Sungai Komering Sumatera Selatan.

Prasasti Talang Tuo (684)

Prasasti Talang Tuo adalah sebuah prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dengan aksara Pallawa. Prasasti Talang Tuo ditemukan oleh Louis Constant Westenenk (Residen Palembang) pada tanggal 17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang / Bukit Siguntang dan dikenal sebagai salah satu peninggalan Kadatuan Sriwijaya. Keadaan fisiknya masih baik dengan bidang datar yang ditulisi berukuran 50 cm × 80 cm.

Prasasti Talang Tuo berangka tahun 606 Saka (23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam Aksara Pallava, bahasa Melayu Kuno, dan terdiri dari 14 baris. Sarjana pertama yang berhasil membaca dan mengalihaksarakan prasasti tersebut adalah van Ronkel dan Bosch, yang dimuat dalam Acta Orientalia. Sejak tahun 1920 prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta dengan nomor inventaris D.145.

Prasasti Talang Tuo

Isi Prasasti Talang Tuo

śwasti . śri śaka warṣa titā . 606 . diŋ dwitiya ṣuklapakṣa wulan caitra . sāna tatkālāña parlak śri kṣetra ini . niparwuatparwaṇḍa punta hiyaŋ śrī jayanāca . ini priṇadhānāṇḍa punta hiyaŋ . sawañakña yaŋ nitanaŋ di sini . ñīyur pinaŋ hanāu . ru
mwiya . dṅan samigra . ña yaŋ kāyu nimakan wuaḥña . tathapi hāur wuluḥ pattuŋ ityewamādi . punarapi yaŋ parlak wukan
dṅan tawad talāga sawañakña yaŋ wuatku sucarita parāwis prayojanākaḥ puṇyaña sawwa satwa sacarācara waropāyāña tmu
sukha . di āsannakala di antara mārgga lai . tmu muaḥ ya āhāra dṅan āir niminuŋña . sawañakña wuatña huma parlak mañcak mu
aḥ ya .

maŋhidupi paśu prakāra . marhulun tuwi wṛddhi muaḥ ya jāṅan ya niknāi savañakña yaŋ upasargga . pidanna swapnawighna . waraŋ wua
taña kathamapi . anukūla yaŋ graha nakṣatra parāwis diya . nirwyadhi ajara kawuatanāña . tathāpi sawañakña yaŋ bhṛtyāna
saṭyārjjawa dṛḍhabhagti muaḥ ya dya . ya mitrāña tuwi jāṅān ya kapaṭa yaŋ winiña mulang anukūla bhāryya muaḥ ya waraŋ sthā
naña lāgi jāṅān cūri ucci wadhañca . paradāra di sāna . punarapi tmu ya kalyāṇamitra . marwwaṅun wodhicitta dṅan maitri
ṭadhāri di daŋ hyaŋ ratnatraya jāṅān marsarak dṅan daŋ hyaŋ ratnatraya .

tathāpi nityakāla tyaga marśila kṣānti . marwwaṅun wiryya rājin
tāhu di samiśraña śilpakalā parāwis . samāhitacinta . tmu ya prajñā . smṛti medhāwi . punarapi dhaiyyamāni mahāsa(ttwa)
wajra śarira . anupamaśakti . jaya . tathāpi jātismara . awikalendriya . mañcak rupa . subhaga hāsin hālap āde
yawākya . wrahmaswara . jādi lāki swayaŋbhu puna(ra)pi tmu ya cintāmaṇinidhāna . tmu janmawaŋśitā . karmmawaśitā . kleśa(va)śi(ta)
awasāna tmu ya anuttarābhisaŋmyaksaŋ wodhi

Terjemahan Isi Prasasti Talang Tuo:

Pada tanggal 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan Śrīksetra dibuat di bawah pimpinan Śhrī Jayanāśa. Inilah niat baginda: Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula aur, buluh, betung, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya).

Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua planet dan bintang menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka. Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagipula semoga teman-teman mereka tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka menjadi istri yang setia. Lebih-lebih lagi, di mana pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah.

Selain itu, semoga mereka mempunyai seorang kawan sebagai penasihat baik; semoga dalam diri mereka lahir pikiran Boddhi dan persahabatan (…) dari Tiga Ratna, dan semoga mereka tidak terpisah dari Tiga Ratna itu. Dan juga semoga senantiasa (mereka bersikap) murah hati, taat pada peraturan, dan sabar; semoga dalam diri mereka terbit tenaga, kerajinan, pengetahuan akan semua kesenian berbagai jenis; semoga semangat mereka terpusatkan, mereka memiliki pengetahuan, ingatan, kecerdasan. Lagi pula semoga mereka teguh pendapatnya, bertubuh intan seperti para mahāsattwa berkekuatan tiada bertara, berjaya, dan juga ingat akan kehidupan-kehidupan mereka sebelumnya, berindra lengkap, berbentuk penuh, berbahagia, bersenyum, tenang, bersuara yang menyenangkan, suara Brahmā.

Semoga mereka dilahirkan sebagai laki-laki, dan keberadaannya berkat mereka sendiri; semoga mereka menjadi wadah Batu Ajaib, mempunyai kekuasaan atas kelahiran-kelahiran, kekuasaan atas karma, kekuasaan atas noda, dan semoga akhirnya mereka mendapatkan Penerangan sempurna lagi agung.

Prasasti Telaga Batu (683)

Prasasti Telaga Batu adalah sebuah prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini ditemukan di dekat Palembang, berbahasa Melayu Kuno dan berhuruf Pallawa. Prasasti ini tidak bertarikh, namun yang menarik dari prasasti ini adalah hiasan tujuh kepala ular kobra berbentuk pipih dengan mahkota berbentuk permata bulat.

Prasasti Telaga Batu (kini dikenal dengan Prasasti Telaga Batu 1) ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kel. 3 Ilir, Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1935. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional dengan No. D.155. Di sekitar lokasi penemuan prasasti ini juga ditemukan prasasti Telaga Batu 2. Sebelum tahun 1935 juga telah ditemukan lebih dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Bersama-sama dengan Prasasti Telaga Batu, prasasti-prasasti tersebut kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Prasasti Telaga Batu

Prasasti Telaga Batu dipahatkan pada sebuah batu andesit yang sudah dibentuk sebagaimana layaknya sebuah prasasti dengan ukuran tinggi 118 cm dan lebar 148 cm. Di bagian atasnya terdapat hiasan 7 (tujuh) ekor kepala ular kobra (Ludai), dan di bagian bawah tengah terdapat semacam cerat (pancuran) tempat mengalirkan air pemandian. Tulisan pada prasasti berjumlah 28 baris, berhuruf Pallawa Melayu, dan berbahasa Melayu Kuno.

Isi Prasasti Telaga Batu

“kamu vanyakmamu, rājaputra, prostara, bhūpati, senāpati, nāyaka, pratyaya, hāji pratyaya, dandanayaka, ….murddhaka,tuhā an vatak, vuruh, addhyāksi nījavarna, vāsīkarana, kumaramatya, cātabhata, adhikarana, karmma…., kāyastha, sthāpaka, puhāvam, vaniyāga, pratisara, kamu marsī hāji, hulun hāji, wanyakmamu urang, niwunuh sumpah dari mangmang kamu kadaci tida bhakti di aku”.

Terjemahan Isi Prasasti Telaga Batu:

Prasasti Telaga Batu merupakan salah satu prasasti yang membahas mengenai awal mula pembentukan Kerajaan Sriwijaya. Pahatan tulisannya sangat panjang dan utamanya membahas tentang kutukan bagi siapapun yang melakukan kejahatan di kadatuan Sriwijaya dan tidak taat kepada perintah raja. de Casparis berpendapat bahwa orang-orang yang disebut pada prasasti ini merupakan orang-orang yang dianggap berpotensi untuk melakukan perlawanan kepada Kerajaan Sriwijaya sehingga perlu bagi mereka untuk disumpah.

Disebutkan di dalam prasasti Telaga Batu orang-orang yang dianggap berpotensi untuk melakukan perlawanan tersebut mulai dari para pejabat-pejabatnya seperti putra mahkota (rajaputra), hakim/jaksa (dandanayaka), kapten bahari (puhavam), pengrajin (sthapaka), tukang cuci (marsi haji), (hulun haji). Meskipun tidak memuat angka tahun, prasasti Telaga Batu ini dapat diperkirakan berasal dari zaman yang sama dengan prasasti Kota Kapur tang berangka Tahun 608 Saka (686 M) di lihat dari bentuk tulisan aksara yang terdapat dalam batu tersebut.

Prasasti ini salah satu prasasti kutukan yang paling lengkap memuat nama-nama pejabat pemerintahan. Beberapa sejarahwan menganggap dengan keberadaan prasasti ini, diduga pusat Sriwijaya itu berada di Palembang dan pejabat-pejabat yang disumpah itu tentunya bertempat-tinggal di ibu kota kerajaan. Namun, hingga sekarat kepastian keberadaan pusat Sriwijaya belum dapat di pastikan termasuk ibu kota kerajaan sriwijaya karena pada tahun 775 Masehi telah di temukan di Provinsi Nakhon Si Thammarat, Prasasti Ligor. Di dalam Prasasti Ligor ini menyebutkan sebutan kepada raja yaitu bhupati dengan sebutan sekarang adalah bupati. Soekmono berpendapat berdasarkan prasasti ini tidak mungkin Sriwijaya berada di Palembang karena adanya keterangan ancaman kutukan kepada siapa yang durhaka kepada kadatuan dan mengajukan usulan Minanga seperti yang disebut pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan berada di sekitar Candi Muara Takus sebagai ibu kota Sriwijaya.

Prasasti Kota Kapur (686)

Prasasti Kota Kapur adalah sebuah prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur adalah prasasti berupa tiang batu bersurat yang ditemukan di pesisir barat Pulau Bangka, di desa Kota Kapur, Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Tulisan pada prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuno.

Prasasti Kota Kapur

Keberadaan Prasasti Kota Kapur ini pertama kali dilaporkan oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892, dan merupakan prasasti pertama yang ditemukan mengenai eksistensi dari Kerajaan Sriwijaya. H. Kern, seorang ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia adalah orang pertama yang menganalisis isi dari Prasasti Kota Kapur. Pada mulanya ia menganggap kata “Śrīwijaya” adalah nama seorang raja. George Coédes-lah yang kemudian mengungkapkan bahwa kata “Śrīwijaya” adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera pada abad ke-7 Masehi, suatu kerajaan yang kuat dan pernah menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung Malaya, dan Thailand bagian selatan.

Isi Prasasti Kota Kapur

  1. Siddha titam hamba nvari i avai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lavan tandrun luah makamatai tandrun luah vinunu paihumpaan hakairum muah kayet ni humpa unai tunai.
  2. Umentern bhakti ni ulun haraki. unai tunai kita savanakta devata mahardika sannidhana. manraksa yan kadatuan çrivijaya. kita tuvi tandrun luah vanakta devata mulana yan parsumpahan.
  3. paravis. kadadhi yan uran didalanna bhami paravis hanun. Samavuddhi lavan drohaka, manujari drohaka, niujari drohaka talu din drohaka. tida ya.
  4. Marppadah tida ya bhakti. tida yan tatvarjjawa diy aku. dngan diiyan nigalarku sanyasa datua. dhava vuathana uran inan nivunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulan parvvanda datu çriwi-
  5. jaya. Talu muah ya dnan gotrasantanana. tathapi savankna yan vuatna jahat. makalanit uran. makasuit. makagila. mantra gada visaprayoga. udu tuwa. tamval.
  6. Sarambat. kasihan. vacikarana.ityevamadi. janan muah ya sidha. pulan ka iya muah yan dosana vuatna jahat inan tathapi nivunuh yan sumpah talu muah ya mulam yam manu-
  7. ruh marjjahati. yan vatu nipratishta ini tuvi nivunuh ya sumpah talu, muah ya mulan. saranbhana uran drohaka tida bhakti tatvarjjava diy aku, dhava vua-
  8. tna niwunuh ya sumpah ini gran kadachi iya bhakti tatvjjava diy aku. dngan di yam nigalarku sanyasa dattua. çanti muah kavuatana. dngan gotrasantanana.
  9. Samrddha svasthi niroga nirupadrava subhiksa muah vanuana paravis chakravarsatita 608 din pratipada çuklapaksa vulan vaichaka. tatkalana
  10. Yan manman sumpah ini. nipahat di velana yan vala çrivijaya kalivat manapik yan bhumi java tida bhakti ka çrivijaya.

Terjemahan Isi Prasasti Kota Kapur:

  1. Keberhasilan ! (disertai mantra persumpahan yang tidak dipahami artinya)
  2. Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan melindungi Kadātuan Śrīwijaya ini; kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali permulaan segala sumpah !
  3. Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadātuan ini akan ada orang yang memberon­tak yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak;
  4. yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau beberapa datu Śrīwijaya, dan biar mereka
  5. dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat; seperti meng­ganggu:ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja,
  6. saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya, semoga perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu; biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang menghasut orang
  7. supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk; dan dihukum langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang tak setia pada saya, biar pelaku perbuatan tersebut
  8. mati kena kutuk. Akan tetapi jika orang takluk setia kepada saya dan kepada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu, maka moga-moga usaha mereka diberkahi, juga marga dan keluarganya
  9. dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebas­an dari bencana, kelimpahan segala­nya untuk semua negeri mereka ! Tahun Śaka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha [editor: setara dengan 28 Februari 686 Masehi], pada saat itulah
  10. kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Śrīwijaya baru berangkat untuk menyerang bhūmi jāwa yang tidak takluk kepada Śrīwijaya.

Prasasti Kota Kapur adalah prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang pertama kali ditemukan di Palembang pada tanggal 29 November 1920. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh prasasti ini, Kerajaan Sriwijaya dimungkinkan telah menguasai bagian selatan Pulau Sumatra, Pulau Bangka dan Belitung hingga wilayah Lampung. Keterangan yang diberikan di dalam Prasasti Kota Kapur ini juga menyebutkan bahwa raja Sriwijaya, Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum “Bhumi Jawa” yang tidak berbakti (tidak mau tunduk) kepada Sriwijaya. Peristiwa ini cukup bersamaan waktunya dengan perkiraan runtuhnya Kerajaan Tarumanegara di Jawa bagian barat.

Runtuhnya Kerajaan Tarumanegara dikaitkan dengan Prasasti Kota Kapur berkaitan pula dengan menghilangnya pemberitaan tentang Tarumanegara di dalam toponim-toponim Tiongkok. Menghilangnya berita Tarumanegara di dalam toponim-toponim Tiongkok ini kemungkinan hal tersebut adalah akibat dari serangan Sriwijaya. Serangan yang dilakukan oleh Sriwijaya ini memperoleh keberhasilan dengan adanya berbagai peninggalan dari Dinasti Syailendra yang berkuasa di Pulau Jawa. Keberadaan Prasasti Kota Kapur ini juga menunjukkan keberhasilan Kerajaan Sriwijaya yang telah tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Prasasti Karang Brahi (686)

Prasasti Kota Karang Berahi adalah sebuah prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Karang Berahi ini terletak di desa Karang Berahi, kecamatan Pamenang, kabupaten Merangin, Jambi. Prasasti Karang Berahi ini diidentifikasi sebagai peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya dan dibuat dari bahan batu andesit dengan ukuran 90x90x10 cm. Prasasti Karang Berahi ini ditulis menggunakan aksara Pallawa dengan berbahasa Melayu Kuno, dengan pertanggalan abad ke 7 Masehi sekitar tahun 686 Masehi.

Prasasti Karang Brahi

Prasasti Karang Berahi ditemukan pada tahun 1904 oleh seorang Kontrolir L. M. Berkhout di tepian Batang Merangin. Prasasti ini terletak di desa Karang Berahi, kecamatan Pamenang, kabupaten Merangin, Jambi. Prasasti Karang Berahi ini diidentifikasi sebagai peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya dan dibuat dari bahan batu andesit dengan ukuran 90x90x10 cm. Prasasti Karang Berahi ini ditulis menggunakan aksara Pallawa dengan berbahasa Melayu Kuno, dengan pertanggalan abad ke 7 Masehi sekitar tahun 608 Saka atau sekitar 680 Masehi.

Isi prasasti Karang Berahi adalah tentang kutukan bagi orang yang tidak tunduk atau setia kepada raja dan orang-orang yang berbuat jahat. Kutukan pada isi prasasti ini mirip dengan yang terdapat pada Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Telaga Batu yang ditemukan di Bangka, dan di Palembang. Penaklukan Jambi oleh Sriwijaya sendiri telah terbukti dari pernyataan I-tsing tahun 685 pada saat dirinya dalam perjalanan pulang dari India ke Tiongkok. Di dalam pernyataannya, I-tsing mengatakan bahwa Jambi (Kerajaan Melayu) sudah menjadi bagian dari Sriwijaya.

Isi Prasasti Karang Berahi

  • siddha! titam hamvan vari avai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lavan tandrun lua makamatai ta ndrun luah vinunu paihumpaan hakairu muah kayet nihumpa u nai tuai umente bhakti niulun haraki unai tunai
  • kita savanakta de vata matahar[d]dhika sannidhana mamraksa yam kadatuan srivijaya kita tuvi tandrun luah vanakta devata mulana yam parsumpahan
  • paravis kadaci yam uram didalamna bhumi [ajnana kadatuan ini] paravis drohaka haun samavuddhi la van drohaka manujari drohaka niujari drohaka tahu dim drohaka tida ya marpadah tida ya bhakti tida ya tatvarjjava diyaku dnan di iyam nigalarku sanyasa datua dhava vuatna uram inan nivunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulam parvvandan datu srivijaya talu mua ya dnan gotrasantanana
  • tathapi savanaknaa yam vuatna jahat makalanit uram makasa kit makagila mantra gada visaprayoga upuh tuva tamval saramvat kasa han vasikarana ityevamadi janan muah ya siddha pulam ka iya muah yam dosa na vuatna jahat inan tathapi nivunuh ya sumpah tuvi mulam yam manuruh marjjahati yam marjjahati yam vatu nipratistha ini tuvi nivunuh ya sumpah talu muah
  • ya mulam sarambhana uram drohaka tida bhakti tida tatvarjjava diy aku dhava vuatna nivunuh ya sumpah ini
  • gran kadaci iya bhakti tatvarjjava diy aku dnan di yam ni galarku sanyasa datua santi kavuatana dnan gotrasantanana samrddha svastha niroga nirupadrava subhiksa muah yam vanuana paravis
  • sakavarsatita 608 dim pratipada suklapaksa vulan vaisakha tatkalana yam mammam sumpah ini nipahat di velana yam vala srivijaya kalivat manapik yam bhumi java tida bhakti ka srivijaya.

Terjemahan Prasasti Karang Berahi:

  • Keberhasilan! (mantra kutukan yang belum dapat diterjemahkan isinya)
  • Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan yang melindungi provinsi sriwijaya, juga kau Tandrun luah dan semua dewata yang mengawali setiap mantra kutukan!
  • Bilamana di pedalaman daerah akan ada orang yang memberontak, yang bersekongkol dengan pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak, yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu. Biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk. Biar sebuah ekspedisi seketika dikirim di bawah pimpinan datu sriwijaya, dan biar mereka dihukum bersama marga dan keluarganya.
  • Lagi pula, biar semua perbuatannya yang jahat, seperti mengganggu ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja, saramvat, pekasih, dan memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya. Semoga perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil, dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu, biar pula mereka mati kena kutuk.
  • Tambahan pula, biar mereka yang menghasut orang supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk dan dihukum langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang tak setia pada saya, biar pelaku-pelaku perbuatan tersebut mati kena kutuk.
  • Akan tetapi, jika orang takluk, setia kepada saya dan kepada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu, maka moga-moga usaha mereka diberkahi, juga marga dan keluarganya : dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan segalanya untuk semua negeri mereka!
  • Tahun saka 608, hari pertama paruh terang bulan waisakha, pada saat itulah kutukan ini diucapkan. Pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang bumi Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya.

Prasasti Palas Pasemah (686?)

Prasasti Palas Pasemah adalah sebuah prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Palas Pasemah ditemukan di Palas Pasemah, di tepi Way (Sungai) Pisang, Lampung. Prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti Palas Pasemah diidentifikasi sebagai peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya dengan pertanggalan abad ke 7 Masehi.

Prasasti Palas Pasemah

Prasasti Palas Pasemah ini pertama kali ditemukan oleh warga desa sekitar pada tanggal 5 April 1956 di Kali Pisang, anak sungai Way Sekampung, Desa Palas Pasemah, Kabupaten Lampung Selatan. Temuan itu lalu dilaporkan ke Kandepdikbud Kasi Kebudayaan Kecamatan Palas dan diteruskan ke Pemda Lampung Selatan.

Pada tahun 1979 Prof. Boechari mengunjungi tempat ini untuk meninjau secara langsung prasasti Palas Pasemah. Setelah diteliti, tulisan kuno yang ada di batu itu merupakan prasasti peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya. Isi prasasti itu dibahas oleh Prof. Dr. Boechari dalam sebuah artikelnya “An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung)” dalam buku “Kumpulan Makalah Pra Seminar Penelitian Sriwijaya”. Isi prasasti tersebut mirip dengan prasasti kutukan lainnya seperti Prasasti Karang Brahi (Jambi) dan Prasasti Kota Kapur (Bangka). Perbedaannya, Prasasti Palas Pasemah tidak memuat angka tahun dalam pembuatannya. Namun, berdasarkan dari isi prasastinya, kemungkin Prasasti Palas Pasemah dibuat dengan penanggalan yang tidak jauh berbeda dengan Prasasti Kota Kapur maupun Prasasti Karang Berahi yakni sekitar akhir abad ke-7 M.

Isi Prasasti Palas Pasemah

  • Siddha kita hamwn wari awai. Kandra kayet ni pai hu[mpa an];
  • nahuma ulu lawan tandrun luah maka matai tandrun luah wi[nunu paiihumapa];
  • anhankairu muah. Kayet nihumpa unai tunai. Unmeteng[bahkti ni ulun];
  • haraki unai tunai. Kita sawanakta dewata maharddhika san nidhana mangra[ksa yang kedatuan];
  • di sriwijaya. [kita tui tandrun luah wanakata dewata mula yang parsumpaha[n pawaris. kada];
  • ci urang di dalangna bhumi ajnana kadatuanku ini parawis. Drohaka wanu [n. samawuddhi la];
  • wan drohaka. Manujari drohaka. Niujari drohaka. tahu din drohaka [Tida ya marpadah];
  • tida ya bhakti tatwa arjjawa di yaku dnan di yang nigalar kku sanyasa datua niwunuh ya su [mpah ni];
  • Suruh tapik mulang parwwa [dnan da] tu sriwijaya talu muah ya dnan gotra santanana. Tathapi sa [wana];
  • kna yang wuatna jahat maka lanit urang maka sakit maka gila mantraganda wisaprayoga upuh tua ta [mwal sa];
  • ramwat kasihan wasikarana ityewarnadi janan muwah ya siddha pulang ka ya muwah yang dosana wu [a];
  • tna jahat inan. Ini grang kadaci ya bhakti tatwa arjjwa di yaku dnan di yang nigalarkku sanyasa datua santi muah;
  • wuattana dnan gotra santanana smarddha swastha niroga niru padrawa subhiksa muah yang wanuana parawis.

Terjemahan Prasasti Palas Pasemah:

Salam, hormat kepada semua dewa, yang maha kuat, yang melindungi Sriwijaya. Hormat juga kepada Tadrum Luah, dan semua dewa yang mengawasi sumpah kutukan ini. Jika ada orang atau rakyat di bawah kekuasaanku, yang tunduk pada kerajaan, memberontak, berkomplot dengan pemberontak, bicara dengan pemberontak, tahu pemberontak, tidak tunduk takzim dan setia padaku dan pada mereka yang telah dinobatkan sebagai datu. Orang-orang tersebut akan terbunuh oleh sumpah kutukan ini. Kepada penguasa Sriwijaya, diperintahkan untuk menghancurkannya. Mereka akan dihukum bersama seluruh anggota marga dan keluarganya.

Orang yang berniat buruk, yang membuat prang menghilang, membuat orang sakit, membuat orang gila, mengucapkat jampi-jampi, meracuni orang dengan upas dan tuba, dengan racun yang terbuat dari akar-akaran dan tanaman merambat, menjalankan ilmu pengasih (supaya orang jatuh cinta), biarlah mereka dijatuhkan dari keberuntungan dan dibenci masyarakat, karena berlaku buruk. Tetapi, mereka yang patuh dan setia kepadaku dan mereka kunobatkan sebagak datuk akan memperoleh segala keberuntungan dalam usahanya, termasuk marga dan keluarga mereka. Sukses itu memberi sejahtera, sehat, aman yang berlimpah kepada negara.

Prasasti Ligor (775): Sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya Di Thailand

Prasasti Ligor, yang ditemukan di luar Indonesia, menceritakan persahabatan antara Kerajaan Sriwijaya dan penguasa Ligor, yang sekarang dikenal sebagai Nakhon Si Thammarat di selatan Thailand, sejak tahun 775 Masehi. Prasasti Ligor kini tersimpan di Kuil Wat Sema Mueang, Nakhon Si Thammarat. Prasasti Ligor memiliki pahatan pada dua sisi batu sehingga di sisi satunya disebut dengan Prasasti Ligor A di sisi lainnya yang belum selesai di pahat disebut dengan Prasasti Ligor B. Prasasti Ligor adalah salah satu sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya yang terdapat di luar negeri.

Prasasti Ligor A atau Prasasti Wiang Sa pertama kali dialihaksarakan dan dialihbahasakan oleh George Coedes tahun 1918. Letak daerah penemuan prasasti tersebut masih diperdebatkan oleh para ahli. George Coedes menyebutkan bahwa Prasasti Ligor A ditemukan di daerah

Nakhon Si Thammrat, Thailand Selatan. Sedangkan Prof. Boechari menyajikan beberapa pendapat lain; Seorang pendeta Buddha di Thailand menyebutkan bahwa Prasasti ini berasal dari sebuah wihara di Ligor bernama Wat Sema Muang. Thammatas Panij dan M.C. Chand Chirayu Rajani, dua orang ahli sejarah di Thailand, menyebutkan bahwa prasasti tersebut ditemukan di daerah Chaiya, tepatnya di sebuah wihara bernama Wat Hua Vieng.

Prasasti Ligor

Prasasti Ligor A pada dasarnya merupakan sebuah prasasti yang memiliki dua sisi dengan isi yang berbeda (sisi yang lain disebut Prasasti Ligor B). Prasasti Ligor A merupakan prasasti yang berisi 29 baris tulisan beraksara Pallawa dengan bahasa Sansekerta. Prasasti tersebut berangka tahun 775 M dan dikeluarkan oleh seorang raja dari Sriwijaya yang tidak disebutkan namanya. Sisi B prasasti ini memiliki baris tulisan yang lebih pendek dan diperkirakan dikeluarkan oleh raja dari Dinasti Sailendra dan tidak berangka tahun.

Isi Prasasti Ligor

Prasasti ligor terdapat pada dua sisi yang disebut dengan Prasasti Ligor A dan Prasasti Ligor B

Prasasti Ligor A

Prasasti Ligor A terdapat 29 baris. Di bawah ini adalah isi dari Prasasti Ligor A;

Isi Prasasti Ligor A

  1. wisarinya kirttya nayawinayasauryyasrutasamaksama
  2. dhairyyatyagadyutimatidayadyaksayabhuwa param yasya
  3. kranta bhuwanakubhujam kirttiwisaramayukhas taranam saradi
  4. tuhinansor iwa ruca gunanam adharas tuhinagiri
  5. kutadhikaruca gunadhyanam pumsam api jagati yas tunga
  6. yasasam maninam bhurinam duritabhidudanwan iwa maha
  7. nmanijyotirllekhawalayisirasan capi phaninam
  8. dhanawikalatabahnijwalawaliksapitasaya yam a
  9. bhipatita ye te swamyam param samupagatah hradam i
  10. wa gaja nita ko – pannasubhamhasam saiwtari ta
  11. paty agre swyumsarijarajorunam gunabhrtam upa
  12. gamya yam gunadhya … ra manuna samam samantat
  13. madhusamayam iwamrakesaradyas sriyam ahikan dadhate ma
  14. hiruhendrah jayati ayam sriwijayendraraja
  15. samantarajaccitigmasanasrihprasastadharmmasthiratonmukhena
  16. winirmmito wiswarsrjewa yatnan sriwijayeswarabhupati
  17. remaguno ghanaksititalasarwwasaman
  18. sithapita aistikagehawaratrayam etat kajakaramarani
  19. sudanasa…tam etat trisamayacaityaniketam
  20. n dasadigawathitasarwwajisarwwajagatimalabhu
  21. dharakuli awaran tibhawawibhutiwisesadam
  22. punar api jayantanama rajasthawiro nrpena saniyuktahstu
  23. patrayam asi kurww ity atas sa tad idan tatha krtawan swarite
  24. smims tacchisyo dhimuktir ahuc ca namatas sthawirah istikacai
  25. tyadwitayam caityatritayantike krtawan wrddhya
  26. pte sakaraje muninawarasakair mmadhawaikadasahe sukle ko
  27. liralagne bhrgusutasahite caryyamanjyotiraryye dewe
  28. nrabhena ca sriwijayanrpatinanyaksitiottamena trai
  29. lokyaikagryacintamaniwapusa i [ha stha] pitas s[t]upa —

Terjemahan Prasasti Ligor A

Kejayaannya yang telah menjadi kekal abadi akibat sikap berhati-hati, rendah hati, pengetahuan, keheningan jiwa, kesabaran, keberanian, kemurahan hati, keagungan, kecerdasan, rasa iba hati dan sifat-sifat mulia lain, (kejayaan itu) sambil menyebar, memudarkan sama sekali pancaran kejayaan raja-raja, sebagaimana terang cahaya bulan musim gugur (yang memudarkan) cahaya bintang-bintang.

Lagi pula, (raja) yang merupakan wadah segala kebajikan itu, di dunia ini menjadi (dukungan) orang-orang yang penuh kebajikan secemerlang puncak-puncak Himalaya dan yang sangat termahsyur; sebagaimana pula samudra besar pembasmi keburukan, (yang menjadi wadah) sejuta permata, merupakan (wadah) kaum Naga yang tudung kepalanya dikelilingi kalangan cahaya permata.

Setelah mereka yang hatinya tadinya dimakan jilatan api kepapaan, datang menemuinya, mereka menyerahkan diri pada kekuasaannya yang luar biasa; sebagaimana pula gajah-gajah, bila matahari sedang terik, mempunyai kebiasaan mencari keteduhan dalam kolam dengan air heningnya yang telah surut … dan yang disepuh serbuk sari bunga seroja.

Orang-orang baik budi yang dari segala sudut mendekati raja yang penuh kebajikan dari Manu karena … itu, menerima darinya kekayaan yang besar sekali, sebagimana (menjelang) musim semi raja-raja pohon, mulai dari pohon mangga dan kesara. Jayalah raja Sriwijaya yang cahayanya dihangatkan tempat duduknya oleh sinar-sinar yang dipancarkan raja-raja sekitarnya dan yang diciptakan dengan tekun oleh Brahma seakan-akan dewa ini hanyalah memikirkan langgengnya dharmma yang mahsyur itu. Sang Raja Sriwijaya, satu-satunya raja agung di antara raja-raja di seluruh bumi, telah mendirikan ketiga bangunan bata yang indah ini, kediaman bagi Kajakara (Padmapani), bagi pembasmi Mara (Sang Buddha) dan bagi Vajrin (Vajrapani)”

Prasasti Ligor B

Prasasti Ligor B terdiri dari empat baris yang sepertinya menunjukkan belum selesai dituliskan. Di bawah ini adalah Isi Prasasti Ligor B:

Isi Prasasti Ligor B

  1. yo’ sau rajadhirajas sakalaripuganadhvantasuryyopamaikas
  2. svaujobhih kantalaksmya saradamalasasi manmathabho vapusman
  3. visnwakhyo’ sesasarwwarimadawimathanas cadvitiyas svasaktya
  4. sau’ yam sailendrawamsaprabhavanigaditah srimaharajanama// tasya ca sakalara [ja……..]

Terjemahan Prasasti Ligor B

Raja diraja ini, satu-satunya yang karena cerlangnya dapat disamakan dengan matahari (yang menghalau) malam, yaitu rombongan semua musuhnya itu, yang dengan keindahannya penuh pesona mirip bulan musim gugur tanpa cela, yang rupanya seperti titisan kama, yang rupanya seperti Wisnu…pemimpin wangsa Raja Pegunungan (Sailendra) yang bernama Sri Maharaja.

Prasasti Nalanda (860) : Permintaan Raja Sriwijaya Balaputradewa Di Nalanda

Prasasti Nalanda adalah sebuah lempengan tembaga yang diterbitkan oleh raja Devapaladeva dalam huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Prasasti ini ditemukan oleh Hirananda Shastri pada tahun 1921 di ruang depan Biara 1 di Nalanda dan bertanggal 860 Masehi. Prasasti tersebut menceritakan tentang raja Devapaladeva dari Bengala (Kekaisaran Pala) yang telah mengabulkan permintaan Sri Maharaja dari Suvarnadvipa, Balaputradewa, untuk membangun sebuah biara Buddha di Nalanda.

Isi Prasasti Nalanda

Berikut ini adalah isi prasasti Nalanda berdasarkan pembacaan yang dilakukan oleh Hirananda Sastri;

“Kami diminta oleh Maharaja Balaputradeva yang termasyhur, raja Suwarnadvipa melalui seorang kurir yang aku buat untuk membangun sebuah biara di Nalanda yang dikabulkan oleh dekrit ini untuk dipersembahkan bagi Sang Buddha yang terberkati, tempat tinggal semua kebajikan utama seperti prajnaparamita, untuk pemujaan, persembahan, pengetahuan, tempat berlindung, sedekah, tempat tidur, kebutuhan orang sakit seperti obat-obatan;

Dari pertemuan bhikkhu yang mulia dari empat penjuru para Boddhisattva berpengalaman dalam tantra, dan delapan tokoh-tokoh suci yang agung untuk menulis dharma-ratnas teks-teks Buddhis dan untuk perbaikan dan perbaikan biara (ketika) rusak. Ada seorang raja Yavabhumi yang merupakan permata dari dinasti Sailendra, yang kakinya (seperti) teratai mekar oleh kilau permata membuat gemetar deretan kepala semua pangeran, dan yang namanya sesuai dengan penyiksa musuh yang pemberani;

Kemasyhurannya, menjelma seolah-olah dengan menginjakkan kakinya di wilayah istana , di lili air putih, di tanaman teratai, keong, bulan, melati dan salju dan dinyanyikan tanpa henti di semua penjuru, merasuki seluruh jagat raya. Pada saat raja (musuh) mengerutkan kening dalam kemarahan, kekayaan musuh juga hancur bersamaan dengan hati mereka.Memang, yang bengkok di dunia punya cara bergerak yang sangat cerdik dalam menyerang orang lain. Dia memiliki seorang putra , yang memiliki kehati-hatian, kecakapan, dan perilaku yang baik, yang kedua kakinya terlalu sering dengan ratusan mahkota raja-raja yang perkasa;

Dia memiliki prajurit paling terkemuka di medan perang dan ketenarannya setara dengan yang diperoleh oleh Yudishtira, Paracara, Bhimasena, Karna, dan Arjuna. Banyaknya debu bumi, terangkat oleh kaki pasukannya, bergerak di medan perang, pertama kali diledakkan ke langit oleh angin, dihasilkan oleh gerakan di bumi oleh inchor dicurahkan dari pipi gajah.Dengan keberadaan terus menerus yang ketenarannya dunia ini sama sekali tanpa dua minggu yang gelap, sama seperti keluarga penguasa daityas tanpa keberpihakan Khrisna. Karena Paulomi dikenal sebagai (istri) penguasa Sura (yaitu Indra), Rati istri yang lahir dari pikiran (Kama), putri gunung (Parvati) dari musuh Kama (yaitu Siwa) , dan Laksmi dari musuh Mura (yaitu Wisnu), jadi Tara adalah permaisuri raja itu, dan merupakan putri penguasa besar Dharmasetu dari bangsa bulan dan menyerupai Tara itu sendiri;

Sebagai putra Suddhodana (sang Buddha), penakluk Kamadeva, lahir dari Maya, dan Skanda, yang menyenangkan hati para dewa, lahir atau Uma oleh Siwa, dilahirkan darinya oleh raja Balaputra yang termasyhur itu yang ahli dalam menjelajahi kebanggaan semua penguasa dunia, dan sebelum tumpuan kaki kelompok para pangeran yang membungkuk. Dengan pikiran tertarik oleh bermacam-macam keunggulan Nalanda dan melalui pengabdian kepada matahari Suddhodana (Sang Buddha) dan setelah menyadari bahwa kekayaan itu berubah-ubah seperti gelombang-gelombang aliran gunung, dia yang ketenarannya seperti Sanghartamitra.Ini mungkin berarti bahwa kekayaannya bersahabat dengan tujuan Sangha;

Dibangun di sana sebuah biara yang merupakan tempat berkumpulnya para bhikkhu dengan berbagai kualitas yang baik dan berwarna putih, serangkaian hunian yang berlapis dan tinggi. Setelah meminta, Raja Devapaladeva yang merupakan pembimbing untuk mereka yang menjadi janda, istri dari semua musuh, melalui utusan, dengan penuh hormat dan karena pengabdian dan mengeluarkan piagam, memberikan lima desa yang tujuannya telah dimotivasi untuk kesejahteraan tentang dirinya, orang tuanya dan dunia. Selama ada kelanjutan samudera, atau Gangga memiliki anggota badannya (arus air) gelisah oleh rambut Hara (Siwa) yang dianyam secara luas, selama raja ular (Shesa) yang tak tergoyahkan dengan ringan menanggung beban berat dan berat. bumi yang luas setiap hari.

Candi Muara Takus

Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Candi Muara Takus adalah situs candi tertua di Sumatra, merupakan satu-satunya situs peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama Buddha pernah berkembang di kawasan ini. Keberadaan Candi Muara Takus yang diidentifikasi sebagai salah satu sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya menunjukkan bukti bahwa Kerajaan Sriwijaya bercorak Buddha.

Candi Muaro Jambi

Candi Muaro Jambi adalah sebuah kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di Asia Tenggara, dengan luas 3981 hektar. Kompleks candi Muaro Jambi diidentifikasi merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu. Dengan demikian, meskipun Kerajaan Sriwijaya bercorak Buddha tidak menihilkan adanya penganut ajaran Hindu di dalam kehidupan istana dan masyarakatnya.

Candi Bahal

Sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya berupa candi selanjutnya adalah Candi Bahal. Candi Bahal dalah kompleks candi Buddha aliran Vajrayana yang terletak di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. Keberadaan Candi Bahal yang diduga sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya memberikan informasi bahwa aliran Vajrayana adalah salah satu aliran yang berkembang di Kerajaan Sriwijaya dalam ajaran Buddha tradisi Mahayana.

Perkembangan Awal Kerajaan Sriwijaya

Ada beberapa faktor yang dapat mendorong perkembangan Kerajaan Sriwijaya yaitu:

Letak Geografis Dari Kota Palembang

Kota Palembang dianggap sebagai pusat pemerintahan terletak di tepian Sungai Musi. Di depan muara Sungai Musi terdapat pulau-pulau kecil yang dapat berfungsi sebagai pelindung pelabuhan di muara Sungai Musi. Keadaan seperti inilah yang sangat tepat untuk kegiatan pemerintahan sekaligus juga untuk dijadikan sebagai pertahanan.

Kondisi itu pula yang menjadikan Kerajaan Sriwijaya dapat dijadikan sebagai jalur perdagangan internasional dari India ke Cina, atau pun sebaliknya. Selain dikarenakan oleh hal itu, kondisi sungai-sungai yang besar (terutama Sungai Musi), perairan laut yang cukup tenang, serta ditunjang oleh penduduknya yang berbakat sebagai pelaut ulung.

Runtuhnya Kerajaan Fu-Nan

Runtuhnya Kerajaan Fu-Nan di selatan Semenanjung Indocina yang telah memberikan kesempatan bagi Kerajaan Sriwijaya untuk cepat berkembang. Kerajaan Sriwijaya mulai berkembang pada abad ke-7 M. pada awal perkembangannya, rajanya disebut dengan Dapunta Hyang.

Perluasan Wilayah Kerajaan Sriwijaya Masa Pemerintahan Dapunta Hyang

Di dalam prasasti Kedukan Bukit dan Talang Tuo telah ditulis sebutan Dapunta Hyang. Pada abad ke-7 M Dapunta Hyang telah melakukan usaha-usaha perluasan.

Daerah-daerah yang berhasil dikuasai oleh ekspedisi Dapunta Hyang, antara lain:

  1. Tulangbawang yang terletak di daerah Lampung;
  2. Daerah Kedah yang terletak di pantai barat Semenanjung Melayu. Daerah ini sangat penting artinya bagi usaha pengembangan perdagangan di India. Menurut keterangan yang diberikan oleh I-Tsing, penaklukan yang dilakukan oleh Kerajaan Sriwijaya atas Kedah berlangsung antara 682-685 M;
  3. Posisi Pulau Bangka yang terletak diantara rute perdagangan internasional, merupakan daerah yang teramat penting bagi perekonomian. Pulau Bangka dapat berhasil dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya pada tahun 686 M berdasarkan keterangan yang diberikan di dalam Prasasti Kota Kapur. Berdasarkan prasasti ini, Kerajaan Sriwijaya juga diceritakan berusaha menaklukkan Bhumi Jawa yang tidak setia kepada Kerajaan Sriwijaya. Bhumi Jawa yang dimaksud adalah Pulau Jawa, khususnya Pulau Jawa bagian barat yang memang telah diketahui terdapat kekuatan politik yang telah tumbuh dan berkembang di wilayah tersebut;
  4. Daerah Jambi terletak di tepi Sungai Batanghari. Daerah ini memiliki kedudukan penting, terutama untuk memperlancar kegiatan perdagangan di pantai timur Sumatra. Penaklukan yang dilakukan oleh Kerajaan Sriwijaya ini diperkirakan kira-kira tahun 686 M berdasarkan informasi yang diberikan di dalam prasasti Karang Berahi;
  5. Tanah Genting Kra merupakan tanah genting yang terletak dibagian utara Semenanjung Melayu. Kedudukan dari Tanah Genting Kra sangat penting dalam aktivitas perdagangan internasional. Jarak antara pantai barat dan pantai timur di Tanah Genting Kra sangat dekat, sehingga para pedagang dari Cina berlabuh dahulu di pantai timur dan membongkar barang dagangannya untuk diangkut dengan pedati ke pantai barat. Kemudian mereka berlayar ke India. Penguasaan Kerajaan Sriwijaya terhadap wilayah Tanah Genting Kra dapat diketahui daeri Prasasti Ligor yang berangka tahun 775 M;
  6. Kerajaan Kalingga (Ho-ling) terletak di pantai utara Pulau Jawa bagian tengah yang memiliki posisi penting dalam aktivitas perdagangan. Berdasarkan keterangan yang diberikan di dalam Prasasti Kota Kapur, diperkirakan penaklukan Kerajaan Kalingga hampir bersamaan dengan penaklukan yang dilakukan oleh Kerajaan Sriwijaya terhadap Kerajaan Tarumanegara yang terletak di Pulau Jawa bagian barat.

Kerajaan Sriwijaya terus melakukan perluasan daerah, sehingga Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan yang besar. Untuk lebih memperkuat pertahanannya, pada tahun 775 M Kerajaan Sriwijaya membangun sebuah pangkalan di daerah Ligor pada saat pemerintahan Darmasetra.

Puncak Kejayaan Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Balaputradewa yang memerintah pada abad ke-9 M. Balaputradewa adalah keturunan dari Dinasti Syailendra, yakni putra dari Raja Samaratungga dan Dewi Tara dari Kerajaan Sriwijaya yang melarikan diri dari Jawa setelah konflik menghadapi Rakai Pikatan. Balaputradewa sebagai raja yang membawa puncak kejayaan Kerajaan Sriwijaya juga melakukan hubungan diplomasi dengan negeri-negeri luar, sebagaimana yang diterangkan di dalam prasasti Nalanda.

Peta wilayah Kerajaan Sriwijaya

Di dalam prasasti Nalanda dijelaskan bahwa Raja Balaputradewa menjalin hubungan erat dengan Kerajaan Benggala yang pada saat itu diperintah oleh Raja Dewapala Dewa. Raja Dewapala Dewa memberikan hadiah kepada Raja Balaputradewa berupa izin untuk melakukan pendirian sebuah asrama bagi para pelajar agama Buddha yang sedang menuntut ilmu di Nalanda, di mana pembangunan itu sendiri dibiayai oleh Balaputradewa, sebagai “dharma”.

Hal itu tercatat dengan lengkap di dalam Prasasti Nalanda, yang saat ini disimpan di Universitas Nawa Nalanda, India. Bahkan bentuk asrama itu mempunyai kesamaan arsitektur dengan Candi Muara Jambi, yang beradai di Jambi saat ini. Hal tersebut menandakan Kerajaan Sriwijaya memperhatikan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan tentang agama Buddha dan bahasa Sanskerta bagi generasi mudanya.

Pada tahun 990 M Sri Sudamaniwarmadewa naik takhta sebagai raja Kerajaan Sriwijaya. Pada masa pemerintahannya itu terjadi serangan dari Raja Dharmawangsa dari Jawa bagian timur. Akan tetapi, serangan yang dilakukan oleh Dharmawangsa itu berhasil digagalkan oleh tentara Kerajaan Sriwijaya. Setelah Sri Sudamaniwarmadewa mangkat, ia kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Marawijayotunggawarman. Kerajaan Sriwijaya membina hubungan dengan Raja Rajaraya I dari Kerajaan Cholamanda. Pada masa itu, Kerajaan Sriwijaya terus mempertahankan kebesarannya. Untuk mengatur setiap daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya, dipercayakan seorang rakryan (wakil raja di daerah).

Perkembangan Ekonomi Kerajaan Sriwijaya

Pada awal pertumbuhannya penduduk Kerajaan Sriwijaya sebagian besar hidup dalam aktivitas pertanian dan sebagian lagi dalam aktivitas melaut. Dikarenakan Kerajaan Sriwijaya terletak di tepi Sungai Musi yang terkoneksi langsung ke pantai, maka perdagangan menjadi semakin cepat berkembang. Perdagangan kemudian menjadi aktivitas perekonomian yang utama di Kerajaan Sriwijaya. Perkembangan perdagangan didukung oleh keadaan dan letak Kerajaan Sriwijaya yang strategis. Kerajaan Sriwijaya sendiri terletak di persimpangan jalan perdagangan internasional.

Para pedagang yang berasal dari Cina yang akan ke India singgah terlebih dahulu di pelabuhan milik Kerajaan Sriwijaya, begitu juga sebaliknya. Di Kerajaan Sriwijaya para pedagang melakukan bongkar muat barang dagangan. Dengan demikian Kerajaan Sriwijaya semakin berkembang menjadi salah satu pusat perdagangan internasional. Atas faktor-faktor itulah, Kerajaan Sriwijaya mulai menguasai aktivitas perdagangan baik perdagangan nasional maupun internasional di kawasan perairan Asia Tenggara. Perairan di Laut Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Sriwijaya.

Tampilnya Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat perdagangan telah memberikan kemakmuran bagi rakyat dan Kerajaan Sriwijaya. Kapal-kapal yang singgah dan melakukan bongkar muat di pelabuhan Kerajaan Sriwijaya, diharuskan membayar pajak yang tentunya menjadi income bagi pihak kerajaan. Dalam kegiatan perdagangan, Kerajaan Sriwijaya mengekspor gading, kulit dan beberapa jenis binatang liar, sedangkan di sisi lain Kerajaan Sriwijaya mengimpor beras, rempah-rempah, kayu manis, kemenyan, emas, gading, dan binatang.

Perkembangan dalam perekonomian tersebut telah memperkuat kedudukan dan posisi Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim. Kerajaan maritim adalah kerajaan yang mengandalkan perekonomiannya dari kegiatan perdagangan dan hasil-hasil laut. Selain mengembangkan perekonomian, untuk memperkuat kedudukannya, Kerajaan Sriwijaya juga membentuk armada angkatan laut yang kuat. Melalui kekuatan armada angkatan lautnnya, Kerajaan Sriwijaya mengawasi perairan di Kepulauan Nusantara (khususnya bagian barat) yang sekaligus juga memberikan jaminan keamanan bagi para pedagang yang ingin berdagang dan berlayar di wilayah perairan Kerajaan Sriwijaya.

Di sisi lain, ternyata Kerajaan Sriwijaya juga menjadi pusat pengembangan ajaran Buddha Mahayana di seluruh wilayah Asia Tenggara. Diceritak oleh I-Tsing ketika ia berkunjung ke Kerajaan Sriwijaya, bahwa di Kerajaan Sriwijaya tinggal ribuan pendeta dan pelajar yang ingin mempelajari agama Buddha. Salah seorang pendeta Buddha yang terkenal adalah Sakyakirti. Banyak pelajar dari negeri lain yang datang ke Kerajaan Sriwijaya untuk belajar bahasa Sanskerta dan memperdalam ilmu agama Buddha. Karena perlu diketahui bagi para pelajar yang ingin memperdalam ajaran agama Buddha di Nalanda, haruslah belajar terlebih dahulu di Kerajaan Sriwijaya. Antara tahun 1011-1023 datang seorang pendeta agama Buddha dari Tibet bernama Atis untuk memperdalam agama Buddha di Sriwijaya.

Dalam kaitannya dengan perkembangan agama dan kebudayaan Buddha, di Sriwijaya ditemukan beberapa bukti pendukung, diantaranya adalah Candi Muara Takus yang ditemukan di Sungai Kamapar, Riau. Kemudian di daerah Bukit Siguntang ditemukan sebuah arca Buddha. Pada tahun 1006 M Kerajaan Sriwijaya juga telah membangun wihara sebagai tempat suci agama Buddha di Nagipattna, India Selatan. Hubungan Kerajaan Sriwijaya dengan Kerajaan Cholamandala pada saat itu sangatlah erat. Selain itu juga ditemukan bangunan Candi Bahal di Padang Lawas, Tapanuli Selatan.

Kemaritiman Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi kerajaan yang mampu memanfaatkan potensi perdagangan maritim yang berpusat di Selat Malaka. Selat Malaka adalah kawasan terpenting dalam rute perdagangan India dan Cina. Kerajaan Sriwijaya mampu mengorganisasi pertukaran komoditas dagang di Asia Tenggara baik untuk pasaran di Cina maupun terhadap daerah India dan Laut Tengah. Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di delta Sungai Musi yang menghubungkan kota Palembang (sekarang) dengan daerah pedalamannya. Dengan letaknya ini, raja-raja Kerajaan Sriwijaya sangat memperhatikan letaknya ini dalam membangun perekonomian dan kerajaannya.

Pada paruh kedua abad ke-7 Kerajaan Sriwijaya berhasil membangun dua pusat kegiatan perdagangannya yang terletak di Palembang dan Jambi. Kedua pelabuhan itu pun ramai dengan para pedagang asing yang singgah termasuk juga seorang pendeta agama Buddha yang berasal dari Cina, I-Tsing (I-Ching) yang mengunjungi kedua pelabuhan tersebut dan menetap selama enam bulan di Palembang dan dua bulan di Jambi.

Pesatnya pertumbuhan ekonomi oleh aktivitas perdagangan maritim bukan hanya sekedar disebabkan oleh kemampuan Kerajaan Sriwijaya mengorganisir kegiatan dagang di kawasan Asia Tenggara, melainkan Kerajaan Sriwijaya berhasil menjadi salah satu pusat pengajaran agama Buddha. Kembali pada keterangan yang diberikan oleh I-Ching, setelah I-Ching mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 ia menuju India dan memperdalam agama Buddha di Nalanda, India selama 14 tahun. Setelah itu, I-Ching kembali menuju Sriwijaya dan tinggal selama empat tahun untuk menerjemahkan teks Buddha dari Bahasa Sanskerta ke dalam Bahasa Cina. Pada tahun 689 I-Ching kembali datang ke Kerajaan Sriwijaya beserta dengan empat orang temannya untuk menyelesaikan tulisannya mengenai agama Buddha hingga tahun 692. I-Ching baru kembali ke Cina pada tahun 695.

Kedatangan I-Ching ke Kerajaan Sriwijaya menunjukkan betapa besarnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya bukan hanya pada sektor kemaritiman, melainkan juga Kerajaan Sriwijaya berhasil menjadi salah satu pusat pengajaran agama Buddha di dunia. Banyaknya catatan mengenai Kerajaan Sriwijaya dari sumber-sumber Cina menunjukkan bahwa Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan yang sangat terbuka bagi kedatangan orang-orang asing dan memiliki hubungan yang cukup baik dengan negeri-negeri sebrang.

Letak Kerajaan Sriwijaya yang strategis mampu mengontrol lalu lintas perdagangan maritim baik yang ada di Selat Malaka maupun di Selat Sunda. Posisi itu membuat para penguasa Kerajaan Sriwijaya dapat dengan mudah menarik pajak perdagangan maritim antara India dan Cina. Berikut ini adalah cara yang ditempuh oleh Kerajaan Sriwijaya dalam membangun pengaruh maritimnya;

  1. Melakukan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan yang terletak di pesisir Pulau Sumatra dan Semenanjung Tanah Melayu serta Pulau Jawa. Kerajaan Sriwijaya memanfaatkan kemunduran kerajaan kerajaan pesisir awal seperti Funan, Kantoli, Koying yang pernah mendapatkan keuntungan dari aktivitas perdagangan maritim di kawasan barat Kepulauan Indonesia;
  2. Melakukan kontrol terhadap jalur pelayaran dan perniagaan maritim di kawasan Kepulauan Indonesia dan rute menuju Cina, India dan Laut Tengah. Kerajaan Sriwijaya berhasil menguasai dua jalur penting yang ada di Asia Tenggara. Pertama adalah jalur yang berada di Tanah Genting Kra yang selama ini dijadikan sebagai rute utama yang menghubungkan antara India dengan Cina. Dengan Penguasaan Tanah Genting Kra, Kerajaan Sriwijaya kemudian memaksa para pedagang untuk melewati Selat Malaka yang telah dikuasainya terlebih dahulu;
  3. Kerajaan Sriwijaya berhasil menguasai Selat Sunda yang menjadi penghubung antara Pulau Sumatra dan Pulau Jawa serta daerah-daerah di sekitarnya. Dengan keberhasilan menguasai dua rute perdagangan ini, secara praktis Kerajaan Sriwijaya berhasil mendapatkan keuntungan yang maksimal dengan melalui kebijakan pajak masuk dan keluar di dua selat itu (Selat Malaka dan Selat Sunda).
  4. Meningkatkan hubungan perdagangan dan hubungan politik terhadap negeri-negeri taklukannya untuk membangun suatu koordinasi yang kuat di bawah kendali Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya tidak semata-mata memanfaatkan kemampuan militernya dalam membangun jaringan ini. Kerajaan Sriwijaya juga menggunakan hubungan politik, keluarga dan perdagangan maritim untuk memperkuat dan mempertahankan kesatuan wialyahnya. 
  5. Dalam hubungan politik, penguasa daerah atau raja dari wilayah taklukannya tetap menjabat sebagai raja yang sah secara ekonomi dan bersifat otonom. Perkawinan pun juga digunakan sebagai strategi kerajaan Sriwijaya untuk membentuk ikatan kekeluargaan dengan pemerintah pusat.
  6. Menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik dengan Cina. Hal ini ditunjukkan dengan kedatangan utusan-utusan Kerajaan Sriwijaya ke Cina yang memberikan hadiah kepada kaisar Cina. Hubungan dengan Cina ini juga ditunjukkan dengan kunjungan kembali yang dilakukan oleh Kekaisaran Cina dengan mengutus bikkhu-bikkhunya ke Kerajaan Sriwijaya untuk mempelajari agama Buddha sebelum memperdalamnya di Universitas Nalanda, India;
  7. Menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik dengan Kerajaan Chola, India. Kerajaan Sriwijaya juga menjalin hubungan yang cukup erat dengan Kerajaan Chola yang ada di India. Hal ini ditunjukkan selain melalui kerjasama perdagangan dan politik juga melalui kerjasama di bidang keagamaan yaitu agama Buddha. Sebelum orang-orang ingin memperdalam ajaran agama Buddha di Nalanda, mereka harus mempelajari terlebih dahulu agama Buddha di Kerajaan Sriwijaya paling singkat enam bulan. Dengan adanya kerjasama ini, maka berbondong-bondong orang-orang dari seluruh penjuru negeri berdatangan ke Kerajaan Sriwijaya. Hal ini tentu memberikan banyak keuntungan bagi Kerajaan Sriwijaya;
  8. Kerajaan Sriwijaya berupaya untuk memperkuat kontrol atas wilayah kekuasaannya di laut dengan membangun armada maritim yang kuat dan juga menjalin kerjasama dengan para bajak laut dengan hubungan yang saling menguntungkan.

Kemunduran Dan Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya

Di bawah ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan keruntuhan dari Kerajaan Sriwijaya:

  1. Keadaan sekitar pusat Kerajaan Sriwijaya telah mengalami perubahan. Terutama yang disebabkan oleh aliran Sungai Musi, Ogan dan Komering banyak membawa lumpur yang mengakibatkan pelabuhan pusat Kerajaan Sriwijaya tidak baik lagi untuk menunjang aktivitas perdagangan;
  2. Banyak daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang melepaskan diri yang disebabkan oleh lemahnya angkatan laut Kerajaan Sriwijaya sehingga pengawasan pusat atas daerah menjadi sulit;
  3. Kerajaan Sriwijaya mengalami beberapa serangan dari Colamandala, diantaranya pada tahun 1017 M, Kerajaan Sriwijaya mendapat serangan dari Rajendracola, namun masih dapat bertahan. Pada tahun 1025 M, Raja Kerajaan Sriwijaya, Sri Sanggramawijayatunggawarman berhasil ditahan oleh pihak Colamandala yang menyebabkan Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran yang cukup telak dan menyebabkan perpindahan pusat kekuasaan ke daerah Melayu. Perpindahan pusat kekuasaan ini menyebabkan perekonomian Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Meskipun begitu, Kerajaan Sriwijaya masih tetap dapat mempertahankan eksistensinya;
  4. Kerajaan Sriwijaya mengalami serangan dari Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari pada tahun 1275 M melakukan Ekspedisi Pamalayu yang berhasil menguasai pusat kekuasaan Kerajaan Sriwijaya di daerah Melayu. Penaklukan yang dilakukan oleh Kertanegara ini menyebabkan kondisi politik dan ekonomi Kerajaan Sriwijaya semakin mengalami keterpurukan. Hal ini disebabkan perpindahan pusat kekuasaan ke daerah pedalaman yang membuat Kerajaan Sriwijaya tidak dapat mengembangkan perekonomiannya dan hanya mampu bertahan saja;
  5. Kerajaan Sriwijaya mendapatkan serangan dari Kerajaan Majapahit pada tahun 1377 M yang mengakibatkan seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang tersisa menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Daftar Bacaan

  • Bloembergen, Marieke; Eickhoff, Martijn. 2020. The Politics of Heritage in Indonesia: A Cultural History. Cambridge University Press.
  • Boechari. 2013. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Chhabra, B. Ch. 1965. Expansion of Indo-Aryan Culture: During Pallava Rule. New Delhi: Munshi Ram Manohar Lal.
  • Coedes, George. 1930. “Les inscriptions malaises de Çrivijaya”, BEFEO tome 30(1): 29-80, 1930.
  • Coedes, George. 1996. The Indianized States of Southeast Asia. Hawaii: University of Hawaii Press.
  • Damais, Louis-Charles. 1952, “‘Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie”, BEFEO, tome 46(1):1-106.
  • de Casparis, J.G. de. 1956. Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D., Dinas Purbakala Republik Indonesia, Bandung: Masa Baru.
  • de Casparis, J. G. 1975. Indonesian Paleography. Leiden/Koln: E.J. Brill.
  • Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
  • Irfan, N.K.S. 1983. Kerajaan Sriwijaya: pusat pemerintahan dan perkembangannya, Girimukti Pasaka.
  • Krom, N.J. 1954. Zaman Hindu. Djakarta: PT Pembangunan Djakarta.
  • Muljana, Slamet. 2006, Sriwijaya. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara
  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Shastri, Hirananda. 1924. “The Nalanda Copper-plate of Devapaladeva”. Epigraphia Indica. 17: 310–327.
  • Soekmono, R. 2002. Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius
  • Wolters, O. W. 1967. Early Indonesian Commerce: A Study of Origins Srivijaya. New York: Cornell University Press.