Mengidentifikasi Suku Kalang Di Pesisir Utara Jawa

Mengidentifikasi Suku Kalang Di Pesisir Utara Jawa

Diskursus mengenai suku Kalang (Orang Kalang) dan kebudayaannya memerlukan tinjauan historis yang komprehensif. Eksistensi kelompok ini di Pulau Jawa berkorelasi dengan periode masuknya agama serta kebudayaan Hindu-Buddha. Mitos Ajisaka dan praktik perbudakan pada masa lampau menjadi bagian integral dari narasi sejarah mereka. 

Kendati asal-usul geografis orang Kalang masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan—mengingat distribusi mereka yang meluas hingga Pulau Lombok dan Bali—terdapat konsensus bahwa mereka merupakan kelompok etnis pendatang dengan spesialisasi keahlian yang berbeda dari penduduk Jawa. Identifikasi orang Kalang dengan profesi pertukangan menjadi distingsi utama, berlawanan dengan fokus agraris yang dominan dalam masyarakat Jawa.

Orang Kalang merupakan kelompok masyarakat yang memiliki peran penting sebagai penebang kayu dan pengangkut material dalam berbagai proyek pembangunan Kerajaan Majapahit. Meskipun demikian, posisi mereka dalam struktur sosial Jawa pada masa itu cenderung berada di lapisan bawah, mirip dengan kelompok Candala dalam sistem sosial Hindu di India. Kalang adalah komunitas penduduk asli yang statusnya lebih rendah dari orang Jawa pada umumnya. Bahkan, dalam Javaansch Nederhuitsch Woordenboek, disebutkan bahwa Kalang adalah etnis yang hidup di sekitar hutan Jawa dan dianggap memiliki asal-usul yang kurang terhormat.

Van Rigg menyampaikan pandangan yang selaras, menggambarkan Kalang sebagai kelompok paria yang mendiami Jawa, dengan kemungkinan konsentrasi utama di wilayah Sunda. Namun, belum dapat dijelaskan mengapa kelompok ini juga cukup banyak ditemukan di Jawa Tengah. Bisa jadi, Rigg lebih menekankan pada kemunculan berbagai istilah yang mirip dengan "kalang" di daerah Sunda, seperti "kalang-kabut," "balang," "kabalang," "kaalang," dan "alang-alangan."

Menurut Javaansch derduitsch Woordenboek, Kalang adalah kelompok masyarakat yang dulu hidup di Surakarta. Masyarakat Jawa zaman dulu punya kepercayaan mistis bahwa Kalang adalah keturunan dari perempuan yang menikah dengan anjing. Karena itu, Kalang diartikan sebagai kejaba, yang berarti sesuatu yang dikeluarkan atau dipisahkan. Lebih lanjut, orang Kalang adalah kelompok yang sengaja dipisahkan dari kelompok lain pada masa lalu.

Mereka tidak diizinkan berbaur dengan masyarakat Jawa pada umumnya karena status mereka yang berada di luar sistem kasta. Akibatnya, mereka hidup berkelompok di luar komunitas umum. Pendapat ini sejalan dengan T. Altona, yang menjelaskan bahwa Kalang berasal dari kata kepalang, yang berarti tertutup—orang-orang yang terpinggirkan karena ditutup dari dalam. Kemungkinan lain, Kalang berasal dari kata alang-alang, sejenis hewan yang hidupnya mengembara.

Penjelasan T. Altona mengenai suku Kalang semakin menegaskan status sosial mereka. Marginalisasi oleh sistem sosial budaya pada masa itu memaksa suku Kalang hidup terpencil, jauh dari masyarakat umum. Sistem kasta yang diterapkan oleh kerajaan-kerajaan kuno melarang mereka berinteraksi dengan kasta yang lebih tinggi. Akibatnya, mereka mengembara mencari tempat dengan sumber makanan yang cukup.

Gaya hidup nomaden ini menyerupai kehidupan manusia purba. Suku Kalang bergantung pada sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ketika sumber makanan di lingkungan mereka menipis atau wilayahnya mulai dimasuki masyarakat umum, mereka akan mencari tempat baru yang jauh dari permukiman.

E. Ketjen mempertegas pandangan mengenai tersisihnya orang Kalang, dengan menyatakan bahwa mereka tidak termasuk dalam sistem kasta yang berlaku. Pada masa kerajaan Hindu, orang Kalang lebih mirip dengan kasta paria, yang berada di luar keempat kasta utama: brahmana, satriya, waisya, dan sudra. Meskipun sudra merupakan kasta terendah, mereka masih memiliki hak dan kedudukan di masyarakat. Namun, orang Kalang dianggap sebagai kelompok yang hina karena alasan penyakit, masalah sosial, dan pelanggaran adat, sehingga eksistensi mereka sebagai manusia normal terpinggirkan.

Pendapat E. Ketjen ini juga sejalan dengan pandangan Dr. H. Ten Kate dan van Rigg, yang menggolongkan orang Kalang sebagai kelompok Paria pada masa Hindu. Status sosial yang rendah ini kemungkinan besar disebabkan oleh anggapan bahwa mereka adalah bagian dari gelombang migrasi manusia dari Kedah, Kelang, dan Pegu sekitar tahun 800 Masehi. Bahkan, menurut Veth dan A.B. Meyer, orang Kalang memiliki kemiripan fisik dengan suku Negrito di Filipina, yang bercirikan kulit hitam dan rambut keriting.

Ketjen menambahkan bahwa jika orang Kalang adalah pendatang di Jawa, maka mereka setara dengan suku Semang di pedalaman Malaka, penduduk kepulauan Nicobar di Andaman, serta suku-suku asli Indo-Cina dan Papua. Orang Kalang merupakan bagian dari ras yang tersebar di Semenanjung Malaka, dan bersama dengan orang Melayu, India, dan Cina, mereka menyebar ke berbagai wilayah Nusantara. Sebagian dari mereka kemudian menetap di sepanjang pesisir utara Jawa.

Menurut Dennys Lombart, suku Kalang adalah masyarakat marginal dan semi-nomaden yang dulunya hidup di hutan, mirip seperti kaum Lubdhaka. Sejak masa pemerintahan Sultan Agung, mereka dipaksa untuk mengubah cara hidup mereka dan mencari penghidupan di permukiman. Di beberapa kota di Jawa, masih bisa ditemukan kampung-kampung yang menyandang nama Pekalangan.

Di daerah-daerah ini, mereka berprofesi sebagai tukang kayu, pembuat pedati, penebang kayu, dan pengrajin kayu. Mereka memiliki ciri khas sebagai kelompok yang otonom, mempertahankan perkawinan endogami, dan meskipun secara formal telah memeluk agama tertentu, mereka tetap menjalankan upacara khusus seperti pembakaran patung orang mati.

Berbagai identifikasi yang telah dipaparkan oleh para ahli di atas memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai jati diri orang Kalang. Karakter sosial dan budaya yang mereka miliki semakin menegaskan posisi orang Kalang dalam menghadapi setiap perubahan zaman. Meskipun demikian, pendapat dari Meyer, Lombart, Bryne, Rigg, Roorda, dan Altona belum menyinggung keberadaan orang Kalang di Kendal. T.S. Raffles mulai membahas keberadaan orang Kalang di Kendal. Dalam bukunya yang berjudul "History of Java", Raffles menyatakan:

…… it may not be inappropriate to introduce in this place a short digression, containing an account of some of the costumes peculiar to the people termed kalang, and to the inhabitans of the Tengger mountains. The former are said to have been at one time numerous in parts of Java, leading a wandering life, practicing religious rites different from those of the great body of the people, and avoiding intercourse with them; but most of them are now reduced to subjection, are become stationary in their residence, and have embraced the Mahometan faith. A few villages in which their particular customs are still preserved, occur in the provinces of Kendal, Kaliwungu, and Demak, and although the tradition of the country regarding their descent from an unnatural connection between a princes of Medang Kamulan and a chief who had been transformated into a dog, would mark them out as a strange race, they have claims to be considered as the actual descendants of the aborigines of the island. They represented as having a high veneration for a red dog, one of which is generally kept by each family, and which they will, on no account, allow to be struck or ill used by any one. When a young man asks a girl in marriage he must prove his descent from their peculiar stock. A present of rice and cotton-yarn, among other articles, must be offered by him, and carried to the intended in like manner, be received by an elderly relation of the girl: from this moment until the marriage is duly solemnized, nothing whatever is allowed to be taken out of either hut…. (……mungkin tidaklah tidak pantas untuk menyisipkan di sini sedikit penyimpangan, yang berisi catatan tentang beberapa kostum yang khas bagi orang-orang yang disebut Kalang, dan bagi penduduk pegunungan Tengger. Orang Kalang dikatakan pernah berjumlah banyak di beberapa bagian Jawa, menjalani kehidupan mengembara, mempraktikkan ritual keagamaan yang berbeda dari masyarakat pada umumnya, dan menghindari hubungan dengan mereka; tetapi sebagian besar dari mereka sekarang telah ditaklukkan, menjadi menetap di tempat tinggal mereka, dan telah memeluk agama Mahometan. Beberapa desa tempat adat istiadat khusus mereka masih dilestarikan, terdapat di provinsi Kendal, Kaliwungu, dan Demak, dan meskipun tradisi negara mengenai asal-usul mereka dari hubungan tidak wajar antara seorang pangeran Medang Kamulan dan seorang kepala suku yang telah berubah menjadi anjing, akan menandai mereka sebagai ras yang aneh, mereka memiliki klaim untuk dianggap sebagai keturunan sebenarnya dari penduduk asli pulau itu. Mereka digambarkan sangat menghormati anjing merah, yang umumnya dipelihara oleh setiap keluarga, dan yang sama sekali tidak boleh dipukul atau diperlakukan buruk oleh siapa pun. Ketika seorang pemuda melamar seorang gadis, dia harus membuktikan bahwa dia berasal dari keturunan khusus mereka. Hadiah berupa beras dan benang kapas, di antara barang-barang lainnya, harus dipersembahkan olehnya, dan dibawa kepada calon mertua dengan cara yang sama, diterima oleh kerabat perempuan yang lebih tua dari gadis itu: sejak saat ini hingga pernikahan disahkan dengan benar, tidak ada apa pun yang boleh dikeluarkan dari kedua gubuk….)

Gagasan Raffles ini selaras dengan informasi yang disampaikan oleh Roorda. Menurut Roorda, Kalang adalah nama suku asli Jawa yang dulunya hidup berpindah-pindah atau nomaden. Meskipun kini menetap, mereka tetap teguh melestarikan tradisi unik di wilayah dataran rendah Kendal, Kaliwungu, dan Demak.

Catatan mengenai keberadaan suku Kalang di Kendal juga dapat ditemukan dalam tulisan Ketjen, Zwaart, dan P. J. Veth. Ketjen mencatat bahwa saat pembagian wilayah Kerajaan Mataram, populasi suku Kalang di Jawa cukup signifikan. Dalam perjanjian pembagian kerajaan tahun 1755, setiap kerajaan menerima alokasi sebanyak 3.000 cacah jiwa suku Kalang. Total pajak yang berhasil dikumpulkan selama tahun 1761 di seluruh Jawa (termasuk Kendal) adalah sebagai berikut: Pasuruan menyumbang 42,24 ringgit, Bangil 45 ringgit, Surabaya 141,12 ringgit, Pati 325 ringgit, Jepara 50 ringgit, Semarang 998,56 ringgit, Pekalongan 500 ringgit, dan Kendal 298,36 ringgit.

Demikianlah catatan sejarah mengenai eksistensi masyarakat Kalang di pesisir Jawa. Aktivitas budaya yang mereka lakukan secara intensif saat ini ternyata memiliki akar sejarah yang panjang. Tradisi Kalang Obong, Gegalungan, Gegumbregan, serta berbagai sesaji pada hari dan acara tertentu memiliki hubungan erat dengan sejarah asal-usul, leluhur, dan bagaimana penguasa setempat memperlakukan mereka. Masyarakat Kalang yang mendiami pesisir Jawa memiliki peran penting dalam mendukung proyek pembangunan kerajaan-kerajaan klasik pada masa itu. Keahlian, keterampilan, dan kegigihan mereka di bidang pertukangan sangat dihargai oleh penguasa saat itu. Dibandingkan dengan masyarakat Jawa pada umumnya, mereka memiliki etos dan semangat kerja yang tinggi. Meskipun secara sosial mereka sering direndahkan dengan julukan yang kurang baik, masyarakat Kalang mampu membuktikan jati diri dan tujuan hidup mereka.

Daftar Bacaan
  • De Bruyne, E., Hiltermann, G.B.J., & Hoetink. 1951. Winkler Prins Encyclopaedie. Amsterdam: Elsevier Brussel.
  • Rigg, van. 1862. Dictionary of The Sunda Languange of Java . Batavia: Genootsch v.Kunstenen Wetensch. XXIX.
  • Pontjosoetirto, Soelardjo. 1971. Orang-Orang Golongan Kalang: Laporan 1: Hasil Penelitian Antropologis. Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM.
  • Ketjen, E. 1883. Bijdrage tot de Geschiedenis der Kalangs op Java. TBG XXVIII.
  • Meyer, A. 1877. Die Kalang auf Java. Dresden: Leopoldina.
  • Lombard, Dennys. 1996. Nusa Jawa Silang Budaya. Jakarta: Gramedia.
  • Raffles, Thomas S. 1978. The History of Java. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
  • Zwaart, W. 1939. De Kalangs als Houtkappers in Dienst der Compagnie. TBG 79