Peristiwa Gedoran Depok (7-11 Oktober 1945)

Peristiwa Gedoran Depok

Peristiwa Gedoran Depok, yang terjadi antara tanggal 7 hingga 11 Oktober 1945, merupakan sebuah episode penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya di wilayah Depok, Jawa Barat. Peristiwa ini bukan hanya sekadar bentrokan fisik, tetapi juga cerminan dari semangat revolusioner dan tekad kuat rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Di tengah euforia kemerdekaan, bangsa Indonesia harus menghadapi kenyataan pahit berupa ancaman dari berbagai kekuatan kolonial yang berupaya untuk kembali menguasai wilayah Nusantara.

Depok, yang terletak strategis di antara Jakarta dan Bogor, menjadi salah satu titik penting dalam peta perjuangan kemerdekaan. Wilayah ini memiliki nilai strategis karena menjadi jalur penghubung antara pusat pemerintahan di Jakarta dengan wilayah pedalaman Jawa Barat. Selain itu, Depok juga memiliki sejarah panjang sebagai daerah yang memiliki identitas dan karakteristik unik, yang memengaruhi dinamika sosial dan politik pada masa itu.

Dalam konteks ini, Peristiwa Gedoran Depok menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap segala bentuk penjajahan dan penindasan. Peristiwa ini melibatkan berbagai elemen masyarakat, mulai dari pemuda, tokoh agama, hingga petani dan pedagang, yang bersatu padu untuk mempertahankan tanah air dari ancaman kolonial. Semangat gotong royong dan persatuan ini menjadi modal utama dalam menghadapi kekuatan militer yang jauh lebih besar dan modern.

Di dalam artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam berbagai aspek terkait Peristiwa Gedoran Depok, mulai dari latar belakang politik dan sosial, kronologi kejadian, peran tokoh-tokoh kunci, dampak dan konsekuensi. Melalui pendekatan multidisiplin, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif dan mendalam mengenai salah satu peristiwa penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Republik Depok

Depok, yang terletak di wilayah Jawa Barat, memiliki posisi strategis karena dekat dengan Jakarta, pusat pemerintahan Republik Indonesia. Sebelum Peristiwa Gedoran Depok, wilayah ini memiliki karakteristik dan dinamika sosial-politik yang khas salah satunya adalah keberadaan orang-orang yang disebut dengan Kaoem Depok. Kaoem Depok adalah para budak Cornelis Chastelin yang mendiami tanah milik tuan tanah itu dan telah mendirikan sebuah “Republik” yang bernama Republik Depok.

Gemeente Bestuur Depok

Republik Depok sendiri bermula dari tatanan Gemeente Bestuur Depok  yang mulai disusun oleh seorang advokat dari Batavia, Mr. M.H. Klein dengan konsep reglement yang berisikan pembentukan organisasi dan pimpinan desa atau St desa zelfbestuur yang pengaturannya bercorak “republik”. Kemudian pada tanggal 28 Januari 1886 disusunlah Reglement Van Het Land Depok.

Reglement van Het Land Depok ini mengalami revisi kecil pada tahun 1891 dan juga mengalami revisi pada 14 Januari 1913. Revisi-revisi yang dilakukan ini semata-mata untuk mengikuti keadaan-keadaan yang sedang terjadi. Reglement pada 1913 ditandatangani oleh G. Jonathans sebagai Presiden dan M.F. Jonathans sebagai sekretaris. Adapun jabatan yang diatur di dalam Reglement, seorang presiden, seorang sekretaris, seorang bendahara dan dua orang gecomitteerden (anggota komite). Presiden dipilih berdasarkan pemungutan suara terbanyak setiap 3 tahun sekali.

Dengan adanya Reglement 1886, maka sejak zaman pemerintah Hindia-Belanda, Depok telah menjadi sebuah Negara. Layaknya sebuah Negara yang berdaulat, Depok tidak hanya sekedar memiliki batas wilayah, tetapi memiliki gedung pemerintahan sendiri (Gemeentee Bestuur). Apabila mencoba mengidentifikasi siapa sebenarnya orang Depok, mereka tidak dapat digolongkan dalam kategori pribumi tertentu. Sejak awal menghuni kawasan ini, mereka adalah komposisi campuran dari berbagai suku bangsa; Bali, Makasar, Minahasa, Timor yang kemudian dimasuki wanita-wanita dari rumpun Melayu, Sunda, Jawa dan Eropa. 

Pendudukan Jepang

Pada 5 Maret 1942 Batavia diumumkan oleh pemerintah Hindia-Belanda sebagai kota terbuka, yang mana ini berarti kota itu tidak akan dipertahankan oleh Belanda. Segera setelah jatuhnya Batavia ke tangan Jepang, Jepang pun segera bergerak ke selatan dan berhasil menduduki Buitenzorg. Dengan runtuhnya Pemerintahan Hindia-Belanda dan digantikan oleh Pemerintahan Militerisme Jepang, kekuasaan Gemeente Bestuur Depok pun mulai memudar. Tidak ada lagi pajak, seluruh hasil bumi Depok diambil oleh Jepang dan hanya ditukar dengan celana kolor.

Meskipun Pemerintahan Militerisme Jepang berkuasa, hak-hak istimewa yang dimiliki oleh Kaum Depok sisa colonial Belanda tidak serta-merta hilang. Di dalam pergaulan sehari-hari mereka masih tetap dihormati oleh orang kampung dan Depok masih dapat dikatakan termasuk wilayah yang aman. Di Depok tidak ada pergolakan fisik yang cukup berarti. Situasi di Depok baru bergolak setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No.56, Jakarta.

Kondisi Indonesia Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945

Setelah Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, negara baru ini menghadapi berbagai tantangan yang sangat berat. Proklamasi tersebut menandai berakhirnya penjajahan Jepang, namun juga menjadi awal dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari upaya kembalinya Belanda yang didukung oleh Sekutu.

Pemerintahan Republik Indonesia yang baru lahir harus berjuang untuk menegakkan kedaulatannya di tengah kondisi yang serba tidak pasti. Setelah Jepang menyerah, terjadi kekosongan kekuasaan di berbagai daerah. Pemerintah pusat yang berkedudukan di Jakarta berupaya mengisi kekosongan ini dengan membentuk pemerintahan daerah dan menunjuk para pemimpin lokal. Namun, proses ini tidak selalu berjalan lancar karena keterbatasan sumber daya dan komunikasi.

Belanda, dengan dukungan Sekutu, berupaya untuk kembali menguasai Indonesia. Mereka mengirimkan pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) untuk mempersiapkan pengambilalihan kekuasaan. Kedatangan pasukan Sekutu, yang secara resmi bertugas melucuti senjata tentara Jepang, juga dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperkuat posisinya.

Kondisi Ekonomi yang Buruk pasca Perang Dunia II dan pendudukan Jepang telah menyebabkan kerusakan parah pada perekonomian Indonesia sebagai Negara yang baru saja merdeka. Perekonomian yang sedang membangun dan belum stabil, kelangkaan bahan makanan, dan infrastruktur yang rusak menjadi masalah utama yang harus diatasi oleh pemerintah yang baru saja berdiri itu.

Meskipun semangat persatuan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia sangat kuat, terdapat juga perbedaan pendapat dan kepentingan di antara berbagai kelompok masyarakat. Beberapa kelompok mendukung perjuangan bersenjata, sementara yang lain memilih jalur diplomasi. Perbedaan ini kadang-kadang menimbulkan konflik internal yang menghambat upaya konsolidasi nasional.

Dalam situasi yang penuh tantangan ini, semangat perjuangan dan persatuan menjadi modal utama bagi bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Para pemimpin nasional, tokoh masyarakat, dan rakyat biasa bahu-membahu menghadapi ancaman dari luar dan mengatasi masalah internal.

Situasi di Wilayah Depok dan Jawa Barat Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Proklamasi kemerdekaan Indonesia tentu saja mendapatkan sambutan yang luar biasa. Kebebasan dari segala macam bentuk penindasan dan kebebasan untuk menentukan nasib serta masa depan di tangan sendiri. Di mana-mana muncul perlawanan oleh para anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air) yang semula dididik oleh Jepang untuk membantu Jepang dalam menghadapi perang Pasifik. Para daidanco (komandan battalion PETA) mulai resah dan mulai merasakan antipasti terhadap Jepang. Sewaktu riak pergolakan revolusi Kemerdekaan, seorang syodancho PETA, Ibrahim Adjie sempat dipindahkan ke Pusat karena menantang perwira Jepang untuk duel dengan Samurai. Ibrahim Adjie inilah yang dikemudian hari menjadi pimpinan TKR di Depok.

Pembentukan BKR Hingga Rapat Raksasa di Lapangan Ikada

Pada 23 Agustus 1945 Pemerintah Indonesia mengumkan dibentuknya BKR (Badan Keamanan Rakyat). Di Bogor, mantan Cudancho, Dule Abdullah dengan beberapa rekannya, antara lain Ibrahim Adjie, Abing Sarbini, Toha, Effendi MS, H. Dasuki Bakri, Isyak Djuarsa, TB Muslihat, Tarmat Widjaya, Saptadji, Sarkaya, Sukma memelopori beridirinya BKR di Bogor.

Sebelum pembentukan BKR di Bogor oleh Dule Abdullah dan rekan-rekan, sebelumnya para pemuda Bogor telah menghimpun diri dalam Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) dibawah pimpinan Margonda. Namun, kelompok ini berumur singkat dengan terpecahnya anggota dan kemudian memutuskan bergabung dengan BKR, Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), atau ada juga yang memutuskan untuk membentuk Laskar 33, Pasukan Pelajar dan Barisan Pemberontak. Di Depok, Tole Iskandar membentuk Laskar 21, Di Tanah Baru berdiri Laskar Banteng Merah pimpinan Bang Ipin. Di Cimanggis berdiri organisasi Pertahanan Desa (PD) dibawah pimpinan Nisin Manyir dan Sengkud, serta masih terdapat lagi lascar-laskar rakyat lainnya.

Pada 19 September 1945 dilaksanakan Rapat Raksasa di Lapangan Ikada, para pemuda yang mendirikan berbagai macam lascar pun mendatangi rapat tersebut untuk mendengarkan pidato Soekarno sebagai Presiden. Massa rakyat dari Bogor pun mendatangi Jakarta; dari Cileungsi yang tergabung dalam Angkatan Pemuda Indonesia (API), Laskar Rakyat, Hisbullah, Pesindo dan lainnya di bawah pimpinan H. Palar dan H. Busro berjalan kaki selama tiga hari tiga malam untuk dapat menghadiri rapat tersebut.

Setelah mendengarkan pidato Presiden Soekarno di Lapangan Ikada, para pemuda dari Bogor kembali sore hari. Masyarakat Parung Panjang dan Tenjo kembali dengan kereta lokomotif di bawah pimpinan H. Mohamad. Rombongan Cileungsi pulang jalan kaki, rombongan Depok, Bojong Gede, Cilebut, Semplak, Cimanggu menunggu kereta api Bogor-Jakarta. Rombongan Cibinong, Kedunghalang, Ciawi, Cijeruk kembali dengan jalan kaki. Sebagian kecil lagi dari rombongan-rombongan ini naik kendaraan seperti gerobak sapi.

Depok Di “Gedor”

Residen Republik Indonesia di Bogor, Idjok Mohamad Siroz di Kantor Karesidenan Bogor mengumumkan bahwa Karesidenan Bogor berada ditangan Republik Indonesia. Di tengah situasi euphoria kemerdekaan, suasana di perkampungan Depok terjadi keheningan. Tidak terlihat bendera merah putih dikibarkan, tidak ada euphoria kemerdekaan.

Kondisi yang terjadi di Depok di tengah revolusioner pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ditambah dengan kecemburuan social terhadap tuan tanah Belanda Depok yang diistimewakan pada masa pemerintahan colonial Hindia-Belanda, menjadi tersulut untuk melakukan pembalasan dendam. Terjadi huru-hara di Depok, semua yang berbau Belanda dihancurkan. Depok diserbu dari seluruh penjuru mata angin. Para intelejen Belanda kemudian menyebut hari tersebut dengan sebutan PERISTIWA GEDORAN DEPOK. 

Pada 7 Oktober 1945, mulai terjadi kericuhan di Depok. Penduduk setempat memboikot orang-orang Eropa termasuk orang-orang yang dianggap kaki tangan Belanda. Mereka menghalang-halangi orang Eropa itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu mereka melarang para pedagang menjual barang dagangannya kepada orang-orang Eropa. Menurut laporan intelejen Belanda, aksi tersebut tidak semata-mata ditujukan kepada orang Eropa saja tetapi juga kepada indo dan orang-orang yang beragama Kristen, yang sebelumnya dikenal sangat dekat dengan orang-orang Belanda.

Selanjutnya laporan intelejen Belanda ini menyebutkan bahwa di beberapa tempat di wilayah Depok, perampokan itu melibatkan orang-orang dari Barisan pelopor yang dikenal sebagai pekerja Asisten Wedana Depok. Pada 9 Oktober 1945 segerombolan orang yang bersenjatakan bamboo runcing merampok lima keluarga yang disebut sebagai kaki tangan Belanda di mana perampokan ini berhasil menjarah seluruh barang kekayaan dari keluarga-keluarga tersebut.

Pada 10 Oktober 1945, gudang koperasi tempat menyimpan bahan pangan dijarah oleh sekelompok gelandangan. Polisi dan para aparatur pemerintah Republik Indonesia yang mengetahui persitiwa itu tidak melakukan tindakan apa-apa selain berdiri untuk menontonnya. Pada 11 Oktober 1945 sekitar 4.000 orang mendatangi Depok, ada yang menumpang kereta api, truk dan bahkan gerobak sapi. Pihak Intelejen Belanda melaporkan kedatangan orang-orang itu dengan sepengetahuan aparatur pemerintah dan Kepolisian Republik Indonesia.

Gerombolan yang datang pada 11 Oktober 1945 itu dengan bebas merampok dan mengobrak-abrik rumah dan mengusir penghuninya, terutama penduduk Kristen Eropa. Para korban itu sulit mencari perlindungan karena lari ke hutan-hutan pun keselamatan mereka tidak mendapatkan jaminan. Sebab di sekitar hutan juga terdapat banyak rampok yang mengambil harta benda mereka seperti pakaian, makanan, uang kertas Jepang dan Belanda, permata dan uang perak Belanda.

Laporan intelejen Belanda menyebutkan bahwa dengan melihat cirri-cirinya, cukup jelas bahwa aksi-aksi itu merupakan aksi kolektif yang terorganisir secara baik. Artinya ada orang atau kelompok tertentu yang mengorganisir aksi-aksi tersebut.

Pada 13 Oktober 1945 dilaporkan sebanyak sepuluh orang warga Depok dibunuh. Selain itu semua penduduk Eropa diburu oleh BKR dan Barisan Pelopor. Mereka yang diburu ditangkap dan dikumpulkan di belakang statsiun kereta Depok. Di tempat itu, pria, wanita dan anak-anak dilepas pakaiannya dan hanya mengenakan pakaian dalam. Pakaian-pakaian mereka dirampas oleh para perampok yang ada di tempat itu dengan pengawasan Barisan Pelopor.

Runtuhnya Republik Depok

Pada 11 Oktober 1945 di bawah komando pimpinan Laskar Rakyat, orang-orang kampun di sekitar wilayah Depok memasuki Depok untuk memerangi orang-orang Depok. Gerombolan tersebut mengepung Depok (kawasan Depok Lama sekarang). Para gerombolan menggedor tiap rumah membuka paksa rumah dan mengalungi penghuninya dengan golok. Pada malam hari, para pemuda melakukan penyerangan berkeliaran dijalan-jalan disekitar wilayah Depok terutama di Kerkstraat (Jalan pemuda sekarang) banyak penghuni yang melarikan diri dari rumah dan bersembunyi di kebun-kebun belakang rumah atau di sawah. Sedangkan penghuni yang tetap bermalam dirumah dibunuh.

Pada 12 Oktober pagi hari penduduk Depok yang bersembunyi kembali ke rumah-rumah mereka, namun pagi itu ternyata juga terdapat serangan. Seluruh orang Depok dipaksa keluar rumah dibawah todongan pistol dan golok. Mereka digiring sebagai tawanan menuju Stasiun Depok dan dipaksa memegang bendera merah putih. Para tawanan dibagi menjadi dua kelompok; perempuan dan anak-anak dikumpulkan di Gementee Bestuur sedangkan laki-laki dibawa ke penjara Paledang yang dijaga ketat oleh laskar rakyat. 

Para tawanan di Paledang kemudian dijemput oleh pasukan NICA dan di bawa ke Bogor dan ditampung di rumah-rumah kosong untuk selanjutnya dibawa lagi ke Kedung Halang. Di Kedung Halang inilah dijadikan sebagai kamp pengungsian yang menyedihkan. Para tawanan baru dikembalikan ke Depok pada tahun 1949 yang mungkin erat kaitannya dengan perjanjian antara Belanda dengan Republik Indonesia. Para tawanan diberi pilihan apakah ikut Republik Indonesia atau Belanda.

Berakhirnya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, begitu pula kaum Depok. kekuasaan Gementee Bestuur Depok pun berakhir. sebagaiman telah disebutkan di atas, orang Depok yang telah dipulangkan dari kamp pengungsian Kedung Halang sepanjang 1945-1949 diberi pilihan, namun kebanyakan diantara mereka memilih pulang ke Depok. 

Pada 8 April 1949 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan tentang penghapusan tanah partikelir di seluruh Indonesia. Presiden Depok terakhir, J.M. Jonathans pun mengambil perannya berunding dengan pihak Republik Indonesia. Presiden Depok, J.M, Jonathans beserta Sekretaris Badan Pengurus Tanah Partikelir Depok, F.H. Soedira mewakili mengurus pengembalian hak eigendom atas tanah partikelir Depok kepada pemerintah.

Pada 15 Oktober 1951 diadakan pertemuan antara Residen Bogor dengan J. M. Jonathans, Ketua Gemeente Tanah Partikelir Depok di Kediaman J. M. Jonathans. Di dalam pertemuan itu disepakati tanah partikelir Depok diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia. Tanah-tanah dan bangunan yang semula milik bersama, yaitu yang dikelola oleh Badan Pengurus Tanah Partikelir diserahkan kepada pemerintah. Namun, ada beberapa pengecualian berupa bangunan dan tanah yang ada hubungannya dengan pendidikan dan tanah-tanah atau bangunan milik perorangan tetap menjadi milik masing-masing.

Penyerahan tanah partikelir tersebut didasarkan pada Akte Notaris Soerojo Nomor 18 tanggal 4 Agustus 1952 tentang perjanjian pelepasan hak dan penyerahan tanah-tanah kongsi. Sebagai imbalannya pemerintah memberikan uang sebesar Rp 229.261,28,- serta beberapa gedung dan tanah-tanah yang ada hubungannya dengan agama dan pendidikan.

Panitia yang mengurus pelepasan atau pembubaran tanah-tanah partikelir Depok memutuskan untuk membentuk suatu badan dengan maksud untuk melindungi dan melestarikan peninggalan-peninggalan kedua belas marga. Badan tersebut kemudian dikenal dengan nama Lembaga Cornelis Chastelin (LCC) yang didirikan pada 4 Agustus 1952.

Sejak 4 Agustus 1952 tanah partikelir Depok menjadi Desa Pancoran Mas dengan luas 837,4 hektar. Selain itu juga diurus penyerahan kekuasaan "republik" Depok ke tangan Pemerintah Republik Indonesia yang dilangsungkan di Istana Presiden Depok.

Daftar Bacaan

  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Ricklefs, M. C. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
  • Wanhar, Wenhi. 2011. Gedoran Depok: Revolusi Sosial Di Tepi Jakarta (1945-1955).Jakarta: Usaha Penerbitan Telahsadar