Peristiwa Tanjung Morawa
Dalam setiap konflik sengketa tanah di berbagai daerah, tak jarang terjadi bentrokan antara masyarakat sipil dan aparat penegak hukum. Peristiwa Tanjung Morawa dalam sejarah nasional Indonesia dapat menjadi contoh refleksi mengenai konflik sengketa tanah yang berujung pada pertumpahan darah dan mengganggu stabilitas nasional. Peristiwa ini terjadi pada 16 Maret 1953 di Tanjung Morawa, Sumatera Timur (kini Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara), dan turut menyebabkan jatuhnya Kabinet Perdana Menteri (PM) Wilopo di Era Demokrasi Liberal (1950-1959).
Permasalahan utama dalam Peristiwa Tanjung Morawa adalah perebutan lahan seluas 225.000 hektar yang merupakan lahan perkebunan kelapa sawit, teh, dan tembakau. Lahan ini sebelumnya merupakan milik perusahaan Belanda, Deli Palnters Vereniging (DPV), namun sempat digarap oleh masyarakat pribumi dan keturunan Tionghoa pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.
Masalah utama muncul ketika tanah yang telah diolah oleh masyarakat harus dikembalikan kepada DPV sebagai konsekuensi dari kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB). Meskipun kesepakatan tersebut memberikan pengakuan kemerdekaan kepada Indonesia, salah satu syaratnya adalah mengembalikan lahan tersebut kepada investor asing.
Sebelum Perang Dunia II, DPV memiliki tanah seluas 255.000 hektar. Dari jumlah tersebut, DPV meminta kembali 125.000 hektar, sementara 130.000 hektar dikembalikan kepada pemerintah. Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, Kabinet Wilopo melalui Menteri Dalam Negeri, Mohamad Roem, mengeluarkan perintah pengosongan lahan. Perintah ini ditujukan kepada Gubernur Sumatera Timur, A. Hakim, sebagai bentuk realisasi kesepakatan KMB antara Indonesia dan Kerajaan Belanda.
Awalnya, masyarakat petani dan keturunan Tionghoa yang akan direlokasi dan meninggalkan lahan DPV tersebut bersedia mematuhi perintah tersebut. Namun, aksi provokasi oleh Barisan Tani Indonesia (BTI), sebuah organisasi massa tani dari PKI, menyebabkan penolakan dari para petani yang sebelumnya setuju dengan kebijakan pemerintah.
Akibat penolakannya, pada tanggal 16 Maret 1953 dilakukan eksekusi paksa dengan menggunakan beberapa unit traktor yang dijaga oleh aparat Brigade Mobil (Brimob). Para buruh tani melakukan demonstrasi dan perlawanan untuk menggagalkan pentraktoran, yang berujung pada bentrokan. Tragedi penembakan pun terjadi, menyebabkan 21 korban, di antaranya enam orang meninggal dunia.
Insiden ini kemudian menjadi topik perbincangan dan perdebatan di Parlemen Indonesia, bahkan memanaskan kondisi politik dan dimanfaatkan oleh oposisi kabinet. Golongan anti-kabinet, termasuk tokoh-tokoh penganjur persatuan dari PNI, mengecam tindakan pemerintah. Sidik Kertapati, tokoh Sarekat Tani Indonesia (SAKTI), mengajukan mosi tidak percaya kepada Kabinet Wilopo di parlemen.
Namun, sebelum mosi tidak percaya tersebut diproses dan diputuskan, PM Wilopo memilih untuk mengembalikan mandat kabinetnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953.