Tragedi Kali Bekasi (19 Oktober 1945)

Tragedi Kali Bekasi (19 Oktober 1945)

Pada 19 Oktober 1945, Di Bekasi terjadi sebuah tragedi tragis yang menewaskan sebanyak 90 tentara Jepang. Kali Bekasi menjadi berwarna merah akibat dari tewasnya tentara Jepang yang hendak dibawa ke lapangan terbang Kalijati, Subang, Jawa Barat. Mereka direncanakan untuk dipulangkan ke negerinya. Namun, mereka harus tewas di tangan rakyat Indonesia yang sedang larut dalam euforia kemerdekaan yang belum lama terjadi dan berusaha untuk mempertahankannya.

Jembatan Bekasi menjadi saksi Tragedi pembantaian terhadap 90 serdadu Jepang

Peristiwa tragis tewasnya 90 tentara Jepang ini dikenal sebagai Tragedi Kali Bekasi. Tragedi Kali Bekasi memperlihatkan bagaimana gejolak politik dan mentalitas di masa perang tetap memengaruhi dinamika masyarakat pasca-konflik sehingga berdampak signifikan terhadap tindakan rakyat Bekasi terhadap tentara Jepang.

Latar Belakang

Seiring dengan menyerahnya Jepang tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 dan disambut dengan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, sejumlah tentara Nippon belum kembali ke negaranya. Pemerintah Jepang kemudian memulangkan tentara mereka secara berangsur-angsur dari Indonesia. Pemulangan tentara Jepang ke negerinya ini melalui jalur udara.

Seiring dengan berjalannya waktu dan menguatnya otoritas Republik Indonesia, upaya pemulangan tentara Jepang semakin mungkin terlaksana. Salah satu upaya pemulangan tentara Jepang adalah pada Oktober 1945 melalui Bandara Kalijati, tetapi peristiwa ini justru berakhir tragis.

Kereta Api yang berangkat dari Jatinegara itu mengangkut sebanyak 90 tentara Jepang di dalam tiga gerbong menuju Bandara Kalijati pada 19 Oktober 1945. Mereka menuju Bandara Kalijati, Subang dengan harapan dapat kembali ke Jepang. Rangkaian kereta ini akan melewati Stasiun Bekasi, sebuah kota yang pada saat itu telah menjadi saksi perubahan besar-besaran di tengah gejolak perang dan revolusi pasca-kemerdekaan Indonesia.

Pemberian jaminan keselamatan kepada para tentara Jepang yang menyerah dan dinyatakan dalam keadaan aman, seharusnya memberikan jalan bagi proses pemulangan dengan tenang dan aman. 

Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jatinegara yang mencakup wilayah Bekasi, Mayor Sambas Atmadinata, memberikan perintah kepada Wakil Komandan TKR Bekasi Letnan Dua Zakaria Burhanuddin untuk membiarkan kereta api yang membawa rombongan tentara Jepang melintas.

Namun, Letnan Dua Zakaria Burhanuddin, Wakil Komandan TKR Bekasi itu telah mengubah dinamika peristiwa tersebut. Alih-alih mengikuti perintah Komandan, Zakaria memerintahkan Kepala Stasiun Bekasi untuk mengalihkan jalur kereta dari jalur yang semestinya menuju jembatan menjadi ke arah jalur buntu. Akibatnya, kereta api terpaksa berhenti di tepi Kali Bekasi dan situasi semakin tegang.

Begitu kereta api berhenti, massa dan para pejuang Bekasi langsung mengepung kereta itu. Mereka menuntut agar para tentara Jepang yang hendak dipulangkan itu sudah benar-benar tidak lagi dipersenjatai. Lebih lanjut, Zakaria dan sejumlah pengawalnya masuk ke dalam kereta api tersebut dan meminta surat izin dari Pemerintah Republik Indonesia.

Letnan Dua Zakaria masuk ke dalam gerbong dan meminta surat jalan resmi dari pihak pusat kepada tentara Jepang. Tentara Jepang menunjukkan surat jalan yang berasal dari Achmad Soebardjo, Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, dengan tanda tangan Soekarno. 

Pemicu Tragedi Kali Bekasi

Pada saat pemeriksaan tersebut, rakyat Bekasi yang telah berkumpul di sekitar gerbong melihat surat perintah jalan dari Menteri Subardjo dan tanda tangan Presiden Soekarno. Namun, kebencian dan trauma akibat penjajahan Jepang membuat rakyat tetap marah. Rakyat Bekasi dengan paksa membuka pintu gerbong dan menggeledah barang bawaan tentara Jepang. Dalam insiden tersebut, senjata-senjata ditemukan di gerbong belakang yang disembunyikan oleh tentara Jepang sehingga membuat keadaan semakin memanas.

Di tengah pemeriksaan yang semakin memanas itu, tiba-tiba terdengar suara tembakan di salah satu gerbong.  Rupanya tembakan itu dilepaskan oleh komandan kaigun yang mengarahkan tembakannya itu samping kepala Zakaria. Meski tembakan tersebut tak mengenainya, Zakaria membalasnya dan mengarahkan pistolnya ke tubuh sang komandan, menembaknya, dan tewas seketika. Suara tembakan ini seketika memicu situasi semakin memanas. 

Warga Bekasi merasa provokasi ini sebagai tindakan perang. Para serdadu Jepang yang kalah jumlah dari serbuan laskar berhamburan keluar. Beberapa lainnya mendesak menyelinap gerbong belakang untuk mengambil senjata. Namun, dalam waktu singkat, warga Bekasi melancarkan serangan terhadap gerbong-gerbong yang membawa tentara.

90 Tentara Jepang Dibunuh

Hanya dalam waktu beberapa menit, massa telah berhasil menguasai kereta api. Bahkan mereka juga merampas barang-barang yang ada di dalamnya. Dalam pertempuran yang tidak seimbang, 90 tentara Jepang itu akhirnya menyerah. Beberapa tentara sempat kabur ke arah Teluk Buyung dan Teluk Pucung. Tetapi hasil akhirnya sama. Semuanya kembali tertangkap dan tertawan. Mereka kemudian dijebloskan ke dalam sel yang berada di belakang gedung Stasiun Bekasi.

Empat jam setelahnya, tanpa berkoordinasi lebih dulu dengan Komandan Resimen V TKR Mayor Sambas Atmadinata, massa rakyat dan pejuang segera menggiring para tawanan perang itu ke tepian Kali Bekasi. Di sana, dalam situasi yang penuh kebencian dan kegeraman, mereka ditindas dan akhirnya dibunuh. Rupanya, masing-masing dari tentara Jepang itu disembelih dan tubuhnya dibiarkan hanyut bersimbah darah mengapung di atas Kali Bekasi.

Kekecewaan Laksamana Tadashi Maeda 

Pemerintah pusat merespons tragedi ini dengan keprihatinan. Laksamana Maeda yang bertugas sebagai Komandan Penghubung Angkatan Laut dan Darat Tentara Kekaisaran Jepang, mengecam kekerasan yang dilakukan oleh rakyat Bekasi terhadap 90 tentara Jepang tersebut.

Maeda merasa bahwa saudara-saudaranya telah dikhianati dan meminta pertanggungjawaban pemerintah Indonesia atas Tragedi Kali Bekasi. Kepala Kepolisian Republik Indonesia saat itu, Komisaris Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmojo, meminta maaf atas kejadian tersebut kepada Laksamana Maeda dan berjanji tragedi serupa tidak akan terulang kembali.

Presiden Soekarno juga pada akhirnya turun tangan dan berusaha meredam ketegangan. Pada 25 Oktober 1945, Soekarno datang ke Bekasi untuk memberikan pesan perdamaian kepada masyarakat setempat. Ia meminta agar kejadian serupa tidak terulang dan rakyat Bekasi tidak terlibat dalam tindakan kekerasan yang merugikan.

Daftar Bacaan

  • Nasution, AH. (1977). Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid II. Bandung: Angkasa.