Kerajaan Akkadia (2334-2154 SM): Kejelasan Periode Sejarah Mesopotamia
Kerajaan Akkadia (Kekaisaran Akkadia/Akkadian Empire) adalah kekaisaran kuno pertama yang ada di Peradaban Mesopotamia. Kerajaan Akkadia muncul setelah meruntuhkan Peradaban Sumeria yang berumur panjang dan telah berkembang dengan cukup pesat di Mesopotamia. Kerajaan Akkadia berpusat di kota Akkad dan membawahi kota-kota yang berada disekitarnya.
Kerajaan Akkadia berhasil menyatukan penutur bahasa Akkadia (Asiria dan Babilonia) dan Sumeria di bawah satu kekuasaan. Kerajaan Akkadia mempengaruhi seluruh daerah Mesopotamia, Levant, dan Anatolia, serta mengirimkan ekspedisi militer ke selatan hingga daerah Dilmun dan Magan (Bahrain dan Oman) di Semenanjung Arab.
Selama periode 3000 SM, telah terjadi pertukaran budaya antara orang Akkadia dengan orang Sumeria di mana pertukaran kebudayaan ini menyebar luas di kawasan Mesopotamia. Bahasa Akkadia yang merupakan rumpun bahasa Semit secara bertahap mulai menggantikan bahasa Sumeria yang telah lama digunakan di kawasan Mesopotamia sejak 2000 SM terutama ketika Sargon berhasil menaklukkan Peradaban Sumeria.
Kerajaan Akkadia mencapai puncak kejayaannya sekitar 2400-2200 SM ketika Kerajaan Akkadia berada di bawah pimpinan Sargon. Setelah Sargon berhasil mempersatukan beragam kebudayaan melalui serangkaian ekspedisi militer di Mesopotamia, bahasa Akkadia dengan cepat mulai diterapkan di daerah-daerah yang ditaklukkan seperti Elam dan Gutium. Di bawah ini akan dijelaskan tentang sejarah Kekaisaran Akkadia (Kerajaan Akkadia).
Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Kerajaan Akkadia
Perlu diketahui bahwa nama dari Kerajaan Akkadia diambil dari nama wilayah dan kota Akkad yang diperkirakan berada di wilayah pertemuan antara Sungai Eufrat dan Sungai Tigris. Meskipun sesungguhnya kota Akkad sendiri belum teridentifikasi dengan pasti di mana letaknya. Namun, Kota Akkad kemungkinan mulai didirikan jauh sebelum masa pemerintahan Sargon.
Pemerintahan Sargon of Akkad (2334-2284 SM)
Sargon (Sharrum-kin—“raja sejati”), pendiri Kekaisaran Akkadia, merupakan contoh raja yang sukses, yang dicintai para dewa, dan menjadi panutan bagi dinasti-dinasti berikutnya yang ingin menunjukkan kesinambungan mereka dengan kejayaan masa lalu.
![]() |
Kepala tembaga cor yang mungkin menggambarkan raja besar Akkadia Naram-Sin (Sargon), ditemukan di Niniveh. |
Asal-Usul Sargon
Asal usul Sargon tidak diketahui; ia mungkin berasal dari bagian utara Mesopotamia selatan dan dari latar belakang yang sederhana. Sargon dikatakan adalah putra dari seorang La’ibum atau Itti-Bel, seorang tukang kebun yang rendah hati. Menurut legenda yang berasal dari periode Kekaisaran Assyria, Sargon adalah putra seorang hierodule (pendeta wanita) untuk Ishtar atau Inanna dan seorang pria dari pegunungan timur. Setelah kelahirannya, pendeta wanita itu membuangnya ke sungai dalam keranjang buluh; ia diselamatkan oleh Aqqi, seorang pengangkut air, yang membesarkannya sebagai tukang kebun. Di masa mudanya ia melayani Ur-Zababa, raja Kish, yang selanjutnya ia gantikan dalam keadaan yang rinciannya sekarang hilang.
Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari legenda dari periode Kekaisaran Assyria, Sargon memulai karirnya sebagai seorang pembuat minuman bagi raja Kish yang bernama Ur-Zababa, kemudian Sargon beralih profesi menjadi tukang kebun yang bertanggung jawab untuk membersihkan saluran irigasi. Perlu diketahui bahwa selama bekerja bagi raja Kish, Sargon mulai mendapatkan kepercayaan sebagai seorang prajurit dan memiliki posisi penting dalam politik terutama sebagai seorang penasehat bagi sang raja. Namun, yang terjadi Sargon akhirnya menggulingkan Ur-Zababa dan menobatkan dirinya sebagai raja.
Penaklukan-Penaklukan Yang Dilakukan Sargon
Kejelasan tentang aktivitas politik dari Kota Akkad dimulai ketika Sargon berkuasa dan dari Kota Akkad inilah Sargon mulai memenangkan tiga puluh empat pertempuran, dan menguasai kota-kota di Mesopotamia selatan dengan mengalahkan Lugalzagesi dalam Pertempuran Uruk dan menaklukkan kerajaannya.
Keberhasilannya dalam menguasai Lugalzagesi dihadapan Ekur di Nippur pada dasarnya menunjukkan pengalihan kekuasaan darinya kepada Sargon. Sargon juga menaklukkan Elam dan kota-kota di utara dan barat termasuk Mari dan Ebla. Prasasti-prasastinya menyatakan bahwa ia menguasai daerah-daerah yang jauh seperti “Gunung Perak” (pegunungan Taurus) di Anatolia dan bahwa wilayah kekuasaannya membentang dari Laut Hulu hingga Laut Hilir, tempat ia secara simbolis membasuh senjatanya.
Seperti Lugalzagesi, yang telah membuat klaim serupa, otoritas Sargon mungkin terkait erat dengan kendali perdagangan dan pusat-pusat di rute perdagangan daripada melibatkan penaklukan teritorial berskala besar. Meskipun demikian, setidaknya di Mesopotamia selatan, Sargon mendirikan negara bersatu yang menjalankan hegemoni atas semua negara-kota yang secara tradisional independen: bentuk politik baru yang semuanya diungkapkan dalam bahasa tradisional “Raja Negeri, Raja Kish” dan, seperti Lugalzagesi, “Raja keempat tepi dunia.”
Sargon mendirikan kota baru sebagai ibu kotanya: Agade, yang namanya mungkin berarti “kota leluhur”, sebuah permukiman kecil hingga Sargon menjadikannya terkenal. Puisi selanjutnya, “Kutukan Agade,” menggambarkan kemegahan arsitektur dan budayanya, kesuksesan komersial, dan kemakmurannya. Kejayaannya tidak bertahan hingga periode Akkadia, dan kini lokasinya tidak diketahui. Kota itu mungkin terletak di suatu tempat antara Babilonia, Kish, dan Sippar.
Ketika Sargon telah dinobatkan sebagai seorang raja, Sargon mulai melakukan ekspedisi militer di mana ia menginvasi Suriah dan Kanaan sebanyak empat kali. Perlu kiranya diketahui bahwa Sargon adalah seorang raja yang visioner di mana ia memerintah tidak hanya untuk mempertahankan kota dari ancaman asing, namun juga memiliki tujuan untuk membentuk sebuah kerajaan yang terdiri dari kota-kota di kawasan Mesopotamia yang selama ini berdiri sendiri-sendiri dan tidak terikat antara satu dengan yang lainnya. Setelah berhasil menguasai Suriah dan Kanaan, Sargon juga berhasil menaklukkan banyak daerah disekitarnya dan menamai wilayah yang dikuasainya ini dengan nama Akkadia.
![]() |
Peta wilayah Kerajaan Akkadia pada masa Sargon dan upaya perluasan wilayah |
Pada masa pemerintahan Sargon, perdagangan dibuka dari tambang perak Anatolia ke tambang lapis lazuli yang terletak kini di Afghanistan. Selain itu jaringan perdagangan juga dibuka dari Lebanon dan juga Magan. Peleburan negara-kota (polis) Sumeria dan Akkad ini menunjukkan eksistensi dari kekuatan ekonomi dan politik yang tumbuh di Mesopotamia. Sumber utama produksi pangan menggunakan sistem pertanian tadah hujan di mana gandum-gandum itu akan ditanami serta membangun suatu sistem pertahanan militer untuk mempertahankan wilayahnya dari serangan asing.
Berbagai prasasti dengan relief Sargon didirikan di tepi Mediterania yang menunjukkan sebagai tanda kemenangannya, dan kota serta istana dibangun di rumah dengan rampasan dari tanah yang ditaklukkan. Sargon nampak senang ketika ia berhasil menaklukkan musuh-musuh politiknya seperti Elam, Sumeria, Martu, Kanaan dan Asyur. Sargon adalah seorang yang menyembah kepada dewa-dewa Sumeria, terutama Inanna (Ishtar), sebagai pelindungnya. Selain Inanna, Sargon juga menyembah Zababa, dewa prajurit Kish. Dia menyebut dirinya “Pendeta Anu yang diberkahi” dan “Ensi Agung dari Enlil” dan putrinya, Enheduanna, diangkat sebagai pendeta wanita untuk Inanna di kuil yang terletak di Kota Ur.
Pada masa akhir pemerintahan Sargon telah terlihat pelbagai permasalahan terutama adalah banyak kota-kota yang memberontak kepada Sargon. Meskipun begitu, Sargon berhasil memadamkan pemberontakan itu. Selain kota-kota yang berada di dalam wilayah Kerajaan Akkadia, Suku Subartu (suku yang berasal dari Pegunungan Asyur) juga melakukan penyerangan, tetapi mereka berhasil dikalahkan oleh Sargon.
Sargon memerintah selama lima puluh enam tahun dan digantikan oleh putranya Rimush, yang dibunuh dalam konspirasi istana setelah sembilan tahun; penggantinya adalah Manishtushu (“yang bersamanya”), mungkin saudara kembarnya. Keduanya memperluas kekaisaran, berkampanye di Iran sejauh Marhashi dan Sherihum, melakukan ekspedisi ke selatan dan barat, dan menguasai Assur dan Nineveh di utara.
Putra Manishtushu, Naram-Sin, yang menggantikannya pada tahun 2254 SM, meninggalkan prasasti yang mencatat kampanyenya sejauh utara Pir Hussein di tenggara Turki. Ketiga penguasa harus bersaing dengan pemberontakan internal dan serangan oleh suku-suku di sepanjang perbatasan mereka. Sebuah prasasti indah Naram-Sin menggambarkan kemenangannya atas Lullubi, suku pegunungan di timur laut. Pemberontakan ditumpas dengan kejam—Rimush mencatat kematian atau penangkapan sekitar 50.000 orang dari satu kota saja.
Pemerintahan Rimush (2279-2270 SM)
Ketika Sargon wafat, putra Sargon, Rimush menggantikannya sebagai Raja Akkadia. Keterangan tentang Rimush berdasarkan temuan-temuan prasasti yang menggambarkan tentang dirinya. Menurut prasasti Adab dan Zabalam yang menggambarkan tentang Rimush, Rimush harus menghadapi pemberontakan yang meluas di wilayah Kerajaan Akkadia, dan harus menaklukkan kota Ur, Umma, Adab, Lagash, Der, dan Kazallu dari para pemberontak.
Selain prasasti Adab dan Zabalam, keterangan juga diperoleh dari Prasasti Rimush yang menyatakan bahwa Rimus melakukan pertempuran untuk merebut kota Umma dan Ki An. Selama masa pemerintahannya, Rimush banyak melakukan pertempuran yang diiringi pula dengan pembantaian massal terhadap kota-kota yang ia berhasil taklukan. Sebagian besar kota-kota di bekas peradaban Sumeria hancur dengan menelan korban jiwa yang sangat besar di mana lebih dari 100.000 orang dieksekusi oleh Rimush ketika dirinya berhasil menguasai kota-kota di Sumeria di mana jumlah itu tentu sangatlah besar pada masanya.
Pemerintahan Manishtushu (2270-2255 SM)
Manishtushu adalah raja ketiga dari Kerajaan Akkadia. Dia adalah putra Sargon dan menjadi raja di Kerajaan Akkadia pada 2270 SM setelah kematian saudaranya Rimush. Manishtushu memimpin kampanye ke negeri-negeri yang jauh. Menurut bagian dari salah satu prasasti, Manishtushu memimpin armada menyusuri Teluk Persia di mana 32 raja di sekitar wilayah itu bersekutu untuk melawannya. Manishtushu memenangkan peperangan dan menjarah kota dan tambang perak di daerah Teluk Persia.
Manishtushu membuka hubungan dagang dengan 37 negara lain di sepanjang Sungai Tigris dan berhasil menaklukkan kota Shirasum di Elam serta membangun kembali kuil Inanna yang hancur di Nineveh pada tahun 2260 SM. Pada tahun 2255 SM Manishtushu meninggal dibunuh oleh anggota istananya sendiri, dan digantikan oleh putranya Naram-Sin. Selama pemerintahannya, Manishtushu menggunakan gelar Raja Kish yang ditunjukkan oleh beberapa prasasti yang memuat tentang dirinya.
Pemerintahan Naram-Sin (2254-2218 SM)
Naram-Sin adalah putra dari Manishtushu yang menjadi raja keempat di Kerajaan Akkadia setelah Manishtushu dibunuh. Selama pemerintahan Naram-Sin, selayaknya seperti pemerintahan Rimush dan Manishtushu telah terjadi banyak peperangan yang dilakukan oleh Kerajaan Akkadia. Peperangan itu bertujuan untuk memadamkan pemberontakan yang terjadi maupun sebagai bagian dari politik ekspansi yang memang sudah diwariskan secara turun-temurun sejak masa pemerintahan Sargon.
Pada masa pemerintahan Naram-Sin, Naram-Sin berhasil mengalahkan Manium raja dari Magan, di mana ia ikut ambil bagian dalam penaklukan ini. Selanjutnya ia menaklukan Elba serta Armanum dan berbagai suku perbukitan utara di Pegunungan Zagros, Taurus, dan Amanus, serta berhasil memperluas kerajaannya hingga Laut Mediterania dan Armenia. Pada saat pemerintahannya, sebagian besar wilayah Kerajaan Akkadia yang dipimpin oleh Iphur-Kis dari kota Kish melakukan pemberontakan meskipun pemberontakan itu pada akhirnya berhasil dipadamkan.
Pada masa pemerintahan Naram-Sin ini dapatlah diketahui bahwa sumber pemasukan Kerajaan Akkadia berasal dari hasil produksi pangan yang besar dan juga melalui pajak perorangan. Pajak perorangan itu berupa hasil panen maupun berupa tenaga kerja yang digunakan untuk pelbagai macam proyek pembangunan seperti membangun tembok kota, saluran irigasi, dan juga dikerahkan untuk menggarap lahan-lahan pertanian.
Barang impor datang dari semua tempat: dari Levant dan Anatolia, dari kota-kota di seluruh dataran tinggi Iran, dan dari tanah-tanah yang dikuasai atau dieksploitasi oleh Meluhha; dan bahkan termasuk kopal dari Zanzibar (ditemukan di Ebla). Kapal-kapal dagang berlabuh di Agade, tempat barang-barang impor dikirim ke kota-kota lain sebagai pembayaran kepada para pendukung rezim atau sebagai persembahan kuil untuk memenangkan hati para dewa. Agade adalah pusat kekaisaran, tempat kerajinan dan industri juga terkonsentrasi.
Cukup mengherankan, kekalahan Naram-Sin atas sembilan raja yang bermusuhan dalam serangkaian pertempuran membuatnya mendapatkan rasa terima kasih tidak hanya dari warga Agade tetapi bahkan, katanya, dari para dewa, yang mengundangnya untuk menjadi dewa pelindung Agade. Kenaikannya ke status dewa kemudian memungkinkan Naram-Sin untuk mengklaim tanah kuil dan pendapatan kota dan dari sana kekaisaran yang dikuasainya. Kemarahan kaum tradisionalis atas ketidaksalehan ini kemudian dijelaskan dalam kisah Kutukan Agade.
Menurut kisah ini, Ishtar (Inanna) memperoleh izin dari Enlil untuk tinggal di Agade sebagai dewa kota, yang membawa kekayaan, kemakmuran, dan kegembiraan. Namun, kemudian Enlil tersinggung dengan beberapa tindakan Naram-Sin dan menarik dukungannya. Naram-Sin mencoba namun tidak berhasil untuk mengubah pikiran dewa tersebut, dan dalam kemarahan dan keputusasaannya menjarah kuil Enlil, Ekur (“Ia menaruh sekop di akarnya. . . . Ia menaruh kapak di puncaknya . . .”—), menghancurkan bangunan-bangunan dan membawa pergi harta karun kuil ke Agade. Para dewa melarikan diri dari kota; Enlil membawa gerombolan Guti yang buas ke sana, dan kota itu hancur total.
Tidak ada kebenaran dalam cerita ini—Naram-Sin memberikan persembahan saleh di Ekur, tempat ia dihormati lama setelah kematiannya; ia merenovasi kuil, dengan biaya besar, suatu pekerjaan yang diselesaikan oleh penggantinya, Shar-Kali-Sharri, yang memerintah selama seperempat abad sebelum Guti memberi dampak signifikan terhadap Akkadia.
Kekaisaran mulai runtuh di bawah raja ini. Perampok Amori dan Gutian terbukti merepotkan, dan setelah kematiannya ada periode anarki selama tiga tahun di mana empat penguasa mengklaim takhta. Raja Akkadia terakhir, Dudu dan Shu-durul, menguasai wilayah yang jauh lebih kecil. Negara-kota Sumeria memisahkan diri dari kekaisaran selama periode anarki: Ini termasuk Uruk, yang tercatat dalam Daftar Raja Sumeria (disusun beberapa abad kemudian) sebagai raja tanah itu selama tiga puluh tahun setelah jatuhnya Agade, diikuti oleh 124 (atau 91) tahun ketika Guti seharusnya memegang kendali.
Kronologi periode ini tidak jelas. Suku Guti, mungkin suku pegunungan dari timur, mungkin telah mengancam tanah yang sudah dihuni selama waktu yang cukup lama. Para penggembala tanpa pemukiman permanen, akan sulit untuk mengalahkan mereka secara langsung. Namun, periode ketika mereka memerintah di Mesopotamia mungkin relatif singkat, sekitar tiga puluh hingga tujuh puluh tahun, dan mereka hanya mendominasi sebagian wilayah—Lagash, misalnya, tampaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh mereka.
Tahun-tahun ini menyaksikan kebangkitan di selatan Mesopotamia. Dinasti-dinasti didirikan kembali atau muncul kembali, ideologi mereka secara sadar mengingatkan hari-hari sebelumnya ketika setiap kota merdeka dan ada sebagai wilayah kekuasaan dewa pelindungnya. Yang paling terdokumentasi adalah negara bagian Lagash, dengan ibu kotanya di Girsu. Rajanya yang saleh, Gudea, terkenal dari banyaknya patung diorit indah yang ia dedikasikan di kuil-kuilnya, yang ia bangun kembali sebanyak lima belas. Di kuil dewa kota itu, Ningirsu, Gudea melimpahkan bahan-bahan impor asing seperti kayu cedar, perak, dan batu akik—sebuah indikasi bahwa perdagangan masih berkembang pesat setelah jatuhnya dinasti Akkadia.
Kembalinya secara total ke status quo lebih dari satu abad sebelumnya, dengan banyak negara-kota yang independen, nampaknya tidak mungkin terjadi lagi. Gudea tercatat telah melakukan kampanye melawan Elam, di mana dinasti asli telah menggantikan gubernur Akkadia, dan Lagash mungkin juga telah memengaruhi Ur, di mana Raja Ur-Bau mengangkat seorang pendeta entu. Utu-hegal dari Uruk, yang sebagian sezaman dengan Gudea, menunjuk Ur-Nammu, mungkin putra atau saudaranya, sebagai gubernur Ur, yang karenanya pasti berada di bawah kendali Uruk—dan sekitar tahun 2112 SM, tujuh tahun setelah Utu-hegal mengusir Guti, Ur-Nammu menggantikannya dan mulai menempa kekaisaran baru, yaitu Dinasti Ketiga Ur (Ur III).
Keruntuhan
Setelah pemerintahan Naram-Sin nampaknya Kerajaan Akkadia mulai mengalami kemunduran secara bertahap. Memang, kiranya dipahami betul bahwa Kerajaan Akkadia berkembang dan memperluas kekuatan politiknya melalui serangkaian penaklukan seringkali tidak menjadi solusi atas pertentangan-pertentangan yang terjadi tatkala beberapa wilayah kekaisaran berupaya untuk melepaskan diri. Di bawah ini adalah raja-raja yang memerintah di Kerajaan Akkadia menjelang keruntuhannya.
Pemerintahan Shar-Kali-Sharri/Szarkaliszarri (2217-2193 SM)
Shar-Kali-Sharri naik takhta sebagai raja di Kerajaan Akkadia setelah menggantikan ayahnya, Naram-Sin pada 2217 SM, dia naik takhta ketika kesulitan yang melanda Kerajaan Akkadia semakin meningkat. Ancaman yang disebabkan oleh penyerangan terutama dilakukan masyarakat pegunungan, Gutia di pegunungan Zagros yang dimulai pada masa pemerintahan Naram-Sin menjadi semakin sering terjadi.
Selain itu, Shar-Kali-Sharri juga dihadapkan dengan sejumlah pemberontakan dari raja-raja bawahan yang disebabkan oleh penerapan pajak yang tinggi di mana pajak itu terpaksa mereka bayarkan untuk mendanai militer Kerajaan Akkadia terutama demi membangun pertahanan dari ancaman Gutian. Shar-Kali-Sharri, meskipun selama pemerintahannya telah terjadi banyak pemberontakan terutama yang dilakukan oleh Gutian, Amori, dan Elam, namun masih tetap dapat mempertahankan Kerajaan Akkadia.
Selama masa pemerintahannya, daerah Sumeria menderita bencana kekeringan sekitar 2200 SM yang menyebabkan ditinggalkannya beberapa kota. Setelah kematian Shar-Kali-Sharri pada 2193 SM, Kerajaan Akkadia jatuh ke dalam kondisi yang sangat anarki sehingga tidak ada raja yang mampu berkuasa dalam waktu yang lama. Setelah sepeninggal Shar-Kali-Sharri Akkadia beberapa kali mengganti rajanya, diantaranya yang tercatat hanyalah nama Igigi, Imi, Nanum, dan Ilulu di mana mereka hanya memerintah lebih kurang selama tiga tahun.
Igigi, Imi, Nanum dan Ilulu (2193-2190 SM)
Igigi, Imi, Nanum dan Ilulu adalah raja-raja yang memerintah di Kerajaan Akkadia selepas meninggalnya Shar-Kali-Sharri pada 2193 SM. Mereka berempat adalah raja-raja yang bersaing memperebutkan takhta Kerajaan Akkadia. Igigi sendiri berhasil menjadi raja Akkadia pada tahun 2193 SM setelah sebelumnya saling bersaing untuk memperebutkan takhta Kerajaan Akkadia. Sedangkan Imi merebut takhta Igigi pada tahun 2191 SM tidak sampai genap satu tahun takhta jatuh ke tangan Nanum. Nanum memerintah hanya sekitar satu tahun, legitimasinya runtuh setelah Ilulu merebut takhta pada tahun 2190 SM.
Pemerintahan Dudu (2189-2169 SM)
Dudu adalah orang yang mengakhiri kekacauan di Kerajaan Akkadia setelah kematian Shar-Kali-Sharri. Beberapa prasasti yang menggambarkan dirinya terutama Prasasti Amar-suba memberikan petunjuk meskipun Dudu berhasil mengakhiri masa anarki di Kerajaan Akkadia dan menjadi raja pada 21amun kemungkinannya Dudu hanya berkuasa di negara bagian Kerajaan Akkadia itu sendiri. Jadi, Dudu hanya berkuasa atas ibu kota Kerajaan Akkadia, yaitu Akkad. Keterangan lainnya mengenai Dudu adalah bahwa Dudu juga tampaknya telah melakukan kampanye militer melawan bekas rakyat Kerajaan Akkadia di selatan, termasuk Girsu, Umma dan Elam.
Sejak pemerintahan Ilulu diperkirakan Gutian telah berkuasa di kawasan Agade dan sebagian besar wilayah Kerajaan Akkadia. Nampaknya, Gutian memanfaatkan instabilitas yang terjadi di Kerajaan Akkadia dengan semakin merangsek masuk ke dalam wilayah Kerajaan Akkadia dan menanamkan pengaruhnya. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pada masa pemerintahan Dudu wilayah Kerajaan Akkadia sangat jauh berkurang.
Pemerintahan Shu-Turul (2168-2154 SM)
Shu-turul adalah raja terakhir dari Kerajaan Akkadia, memerintah selama 15 tahun menggantikan ayahnya, Dudu. Beberapa artefak yang ditemukan berkaitan dengan Shu-turul membuktikan bahwa dia menguasai wilayah Kerajaan Akkadia yang sudah sangat berkurang hanya tersisa Kish, Tutub, dan Eshnunna.
Berdasarkan keterangan yang terdapat di atas berdasarkan urutan raja-raja yang memerintah di Kerajaan Akkadia, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Kerajaan Akkadia mulai runtuh pada 2200 SM setelah pemerintahan Shar-Kali-Sharri. Meskipun pada masa pemerintahan Shu-turul tampaknya telah memulihkan beberapa sistem otoritas terpusat; Namun, dia tidak dapat mencegah Kerajaan Akkadia yang akhirnya runtuh akibat dari invasi orang-orang barbar dari Pegunungan Zagros yang dikenal sebagai Gutian. Jadi Kerajaan Akkadia hanya eksis selama 180 tahun.
Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan Kerajaan Akkadia membentuk suatu sistem yang umumnya digunakan oleh semua kekuatan politik yang lahir di Mesopotamia yakni berbentuk monarki. Berdasarkan pada sistem tradisional kuno, ensi adalah pejabat tertinggi di negara-kota (polis) di Sumeria. Dalam tradisi selanjutnya, seseorang dapat menjadi ensi dengan cara menikahi dewi Inanna, melegitimasi pemerintahan dan kekuasaannya melalui persetujuan ilahi.
Otoritas terpusat dan kehidupan diatur dengan ketat. Raja-raja Akkadia menetapkan standar ukuran dan bobot serta aksara, menjadikan bahasa Akkadia sebagai bahasa resmi, dan mungkin memperkenalkan praktik pencatatan kalender dengan menamai setiap tahun berdasarkan peristiwa tertentu. Perdagangan berkembang pesat. Sebuah prasasti mencatat hubungan Sargon dengan Dilmun (Bahrein), Magan (Oman, sumber utama tembaga), dan Meluhha (peradaban Indus, yang saat itu sedang berada di puncak kejayaannya).
Keberhasilan perdagangan dan militer, yang menghasilkan barang rampasan dan upeti, memberi Sargon dan para penerusnya dana yang melimpah untuk mendukung mesin militer besar yang memastikan supremasi mereka dan kekuatan mereka untuk menarik pajak atau upeti lebih lanjut. Sargon mengklaim bahwa 5.400 orang makan setiap hari di hadapannya, yang menunjukkan bahwa ia memiliki pasukan tetap yang besar serta personel lainnya.
Tentara tersebut terdiri dari retribusi dari berbagai kota dan rekrutan lainnya, beberapa dari kelompok nomaden di pinggiran seperti Guti dan Amori. Para prajurit ini menerima jatah makanan tetapi mungkin juga dibayar dengan hibah tanah. Sargon membangun benteng-benteng seperti Tell Brak (Nagar atau Nawar kuno) di Suriah untuk mempertahankan wilayah pos terdepan tetapi mengabaikan tembok pertahanan kota-kota yang ditaklukkan dan mengangkat gubernur Akkadia. Ia mengangkat anggota keluarga kerajaan ke jabatan keagamaan senior; putrinya Enheduanna menjadi pendeta entu dari dewa bulan Nanna di Ur.
Para pendukung rezim tersebut mungkin diberi hadiah berupa tanah, yang dibeli dengan harga murah atau diperoleh oleh orang Akkadia ketika mereka menaklukkan kota-kota musuh. Prasasti-prasasti menyatakan bahwa puluhan ribu musuh terbunuh dalam pertempuran atau ditawan. Beberapa digunakan sebagai pekerja paksa (karashim); sebuah kamp yang dihuni oleh para pekerja ini, mungkin terlibat dalam penggalian, tercatat di rute antara Agade dan Susa.
Sistem Ekonomi
Bangsa Akkadia, seperti hampir di semua negara bagian sepenuhnya bergantung pada sistem pertanian di wilayah tersebut yang menggunakan sistem irigasi. Sistem irigasi ini pada akhirnya memberikan dampak pada meningkatnya hasil panen dan juga secara berkaitan meningkatkan jumlah populasi. Meningkatnya jumlah populasi juga telah mengakibatkan tingginya tingkat demografi di kota-kota yang diperkirakan mencapai puncak demografi tertinggi pada 2600 SM sebelum pada akhirnya mengalami penurunan oleh akibat adanya peperangan yang terjadi selama raja-raja yang memerintah di Kerajaan Akkadia.
Selain bergantung pada hasil panen, orang-orang Akkadia juga memelihara hewan ternak seperti kambing, domba, dan kuda. Melonjaknya jumlah dari hasil panen nampaknya juga berdampak positif bagi Kerajaan Akkadia yang tentu dengan hasil panen yang melimpah telah mendukung jumlah populasi yang lebih besar sehingga populasi yang besar ini pada akhirnya pun akan memberikan peranan yang penting di bidang militer terutama dalam hal ketersediaan tentara.
Daftar Bacaan
- Albright, W. F. 1925. “A Babylonian Geographical Treatise on Sargon of Akkad’s Empire”, Journal of the American Oriental Society (1925): 193–245.
- Bachvarova, Mary R. 2016. “Sargon the Great: from history to myth”, in From Hittite to Homer: The Anatolian Background of Ancient Greek Epic: 166–198. Cambridge: Cambridge University Press.
- Botsforth, George W. 1912. “The Reign of Sargon”, “A Source-Book of Ancient History”, New York: Macmillan.
- Jacobsen, Thorkild. 1939. “The Sumerian King List”, Assyriological Studies. Chicago: Oriental Institute
- Kramer, S. Noah. 1981. “History Begins at Sumer: Thirty-Nine “Firsts” in Recorded History”. Pennsylvania: Univ. of Pennsylvania Press