Bangsa Sumeria (5500-1800 SM)

Bangsa Sumeria (5500-1800 SM)

Bangsa Sumeria adalah bangsa yang diyakini sebagai bangsa pertama yang membangun Peradaban Mesopotamia. Bangsa Sumeria membangun peradaban kuno di Mesopotamia selatan yang pada masa kini wilayah tersebut terletak di wilayah Irak.  

Latar Belakang Munculnya Peradaban Bangsa Sumeria

Peradaban Bangsa Sumeria yang menjadi dasar bagi Peradaban Mesopotamia mulai berkembang selama masa Chalcolithic dan abad perunggu awal. Meskipun Spesimen-spesimen terawal di daerah ini tidak lebih jauh dari sekitaran tahun 2500 SM, sejarawan-sejarawan modern berpendapat bahwa Sumer mulai ditinggali secara permanen dari sekitar tahun 5500-4000 SM oleh orang-orang non-Semit yang berkomunikasi menggunakan bahasa Sumeria. 

Menurut pendapat para cendekiawan modern orang-orang non-Semit ini adalah yang membentuk peradaban yang paling awal. Di mana mereka mengeringkan rawa-rawa untuk keperluan bercocok tanam, mengembangkan perdagangan, dan membangun industri yang dimaksud dengan industri di sini diantaranya adalah beragam kerajinan tenun, kerajinan kulit, besi, pertukangan batu dan kerajinan tembikar.

Meskipun begitu, beberapa peneliti berpendapat, bahwa bahasa Sumeria awalnya, merupakan bahasa para pemburu dan nelayan, yang mana mereka hidup di daerah rawa-rawa dan kawasan pantai Arabia Timur, yang merupakan bagian dari kebudayaan bifasial (pemrosesan batu dikedua sisinya) di Arabia. Bukti-bukti sejarah yang lebih bisa diandalkan muncul jauh setelah masa ini; yang jelas adalah bahwa tidak ada satupun penanggalan di Peradaban Sumeria sebelum masa Enmebaragesi (2600 SM).

Peta wilayah awal mula berkembangnya peradaban Bangsa Sumeria

Pendapat lainnya meyakini bahwa Bangsa Sumeria menetap disekitar pantai Arabia Timur, yang merupakan teluk Persia, dimasa kini, sebelum tergenang pada akhir zaman es. Mereka telah mengenal bercocok tanam dan sudah memiliki sistem pengairan. Bangunan-bangunan mereka dibuat dari lumpur. Mereka menganut agama polyteisme (menyembah banyak dewa).

Bangsa Sumeria merupakan bangsa yang pertama kali mendiami kawasan Mesopotamia, sehingga Bangsa Sumeria pantas disebut sebagai penduduk asli Mesopotamia. Bangsa Sumeria diperkirakan datang dari kawasan Asia Kecil, sekitar tahun 3500 SM. Pada awalnya, Bangsa Sumeria mengolah lahan pertanian yang subur sebagai mata pencaharian dan sumber pangan utamanya. 

Lambat laun Bangsa Sumeria mulai dapat membangun sistem pengairan (irigasi) yang berfungsi untuk menanggulangi banjir dan menyalurkan air kelahan-lahan pertanian. Dengan semakin meningkatnya kemampuan dalam mengolah tanah dan memaksimalkan fungsi dari aliran sungai, maka berdampak pada hasil pertanian yang melimpah yang berarti telah mengakibatkan surplus pangan yang cukup banyak sehingga berdampak pula pada meningkatnya populasi di mana ini pada gilirannya membentuk sebuah perkotaan beserta dengan perangkatnya. Oleh sebab itu, Bangsa Sumeria sekitar tahun 3000 SM berhasil membangun 12 Kota-kota besar, diantaranya adalah kota Ur, Uruk, Lagash dan Nippur.

Pada awalnya, Kota- kota tersebut merupakan kota-kota yang berdiri sendiri, sehingga disebut negara kota (polis). Oleh karena mereka berdiri sendiri dan memiliki sistem pemerintahannya sendiri tak pelak maka mulai timbul persaingan diantara kota-kota itu baik demi kepentingan untuk mempertahankan diri dan juga untuk ekspansi. Kemudian terjadilah peperangan diantara kota-kota tersebut dan yang kalah akan menjadi bawahan kota yang menang yang lama kelamaan memunculkan sistem pemerintahan kerajaan. Bangsa Sumeria mencapai masa kejayaannya saat dipimpin oleh Raja Ur-nammu. Namun, sekitar tahun 2300 SM, Bangsa Sumeria dapat dutaklukan oleh bangsa Akkadia dibawah pimpinan Raja Sargon.

Dinasti Awal Sumeria

Abad-abad dari sekitar tahun 2900 hingga 2334 SM dikenal sebagai periode Dinasti Awal, yang dibagi menjadi tiga fase: Dinasti Awal I, Dinasti Awal II, dan Dinasti Awal III. Masa perubahan besar ini menyaksikan transformasi Mesopotamia selatan menjadi peradaban bersejarah. Meskipun Dinasti Awal I masih diselimuti oleh legenda dan hampir seluruhnya bergantung pada bukti arkeologi, pada akhir Dinasti Awal III kita berhadapan dengan lanskap sejarah yang terpisah-pisah di mana individu-individu yang dikenal melakukan tindakan-tindakan bersejarah. Pada abad-abad berikutnya merupakan campuran dari legenda, sejarah, dan informasi arkeologi, yang perlahan-lahan mulai terlihat.

Survei di berbagai bagian Mesopotamia selatan menunjukkan bahwa perubahan lanskap utama terjadi sekitar 3000–2800 SM, mengurangi jumlah aliran air yang berukuran kecil dan memusatkan air di saluran sungai utama. Meskipun persediaan air masih melimpah, pekerjaan yang cukup besar harus dilakukan untuk membangun dan memelihara kanal untuk mengairi tanaman selama musim tanam.

Banjir besar tampaknya mungkin melanda Mesopotamia selatan secara berkala, menghancurkan ladang dan desa, merobohkan bendungan, dan meluapkan kanal. Banjir seperti itu, baik yang melanda berbagai daerah pada waktu yang berbeda atau terakumulasi menjadi banjir dahsyat yang membanjiri seluruh wilayah sekitar 2900 SM, seperti yang diungkapkan oleh beberapa sarjana, ditandai secara arkeologis oleh akumulasi lumpur steril yang tebal di kota-kota seperti Kish, dan memasuki ingatan orang-orang Mesopotamia sebagai Banjir besar yang tercatat dalam literatur-literatur mereka selanjutnya.

Legenda tentang Banjir juga menggambarkan pertumbuhan populasi yang signifikan di Mesopotamia selatan. Pemukiman mulai terkonsentrasi di tanah subur di sepanjang jalur air utama, menciptakan negara-kota yang dikenal dari sejarah Mesopotamia selanjutnya. Sekitar tahun 2500 SM, sekitar 80 persen populasi Mesopotamia selatan tinggal di kota-kota yang “berjajar seperti mutiara di sepanjang aliran air utama” – sebagian besar merupakan cabang Sungai Efrat dan Diyala, bukan Sungai Tigris. Budidaya tanaman difokuskan di tanah di sekitar pemukiman besar, produktivitasnya yang tinggi mampu mendukung kota-kota dengan populasi yang diperkirakan mencapai puluhan ribu. Hal ini menjadi fokus bagi layanan, industri, dan kendali politik, dan, semakin meningkat, pertahanan.

Legenda-legenda Sumeria menyebutkan pembangunan tembok kota pertama terjadi pada periode Uruk Akhir, seperti halnya yang ditunjukkan oleh bukti-bukti arkeologis, yang paling awal berasal dari Abu Salabikh. Setiap kota mengendalikan wilayah sekitarnya; di luar wilayah tersebut terdapat edin, tanah yang tidak diolah atau dihuni, zona penyangga antara wilayah negara-kota yang menyediakan padang rumput bagi hewan-hewan kelompok penggembala, baik yang berafiliasi dengan kota-kota maupun mereka yang independen.

Bukti peperangan semakin terlihat pada Dinasti Awal II. Seiring bertambahnya ukuran kota, maka konflik tak terelakkan terjadi di antara kota-kota tersebut atas tanah, hak atas air, dan kekuasaan politik. Sumber-sumber arkeologi dan sejarah menunjukkan semakin pentingnya otoritas sekuler di dalam kota-kota tersebut karena kebutuhan akan pertahanan menempatkan kekuasaan di tangan para pemimpin perang—yang mungkin awalnya ditunjuk oleh dewan untuk memimpin tindakan militer defensif atau agresif terhadap kota-kota tetangga yang bermusuhan, tetapi seiring waktu menjadi otoritas permanen, meskipun masih memerintah atas nama dewa kota dan didukung oleh otoritasnya.

Daftar Raja Sumeria dan literatur epik seputar Gilgamesh dan keluarga Uruk mencerminkan perkembangan dalam periode ini, meskipun ditulis pada tanggal kemudian dan dipengaruhi oleh propaganda dan anakronisme dari waktu penulisan dan kompilasi (Ur III hingga zaman Babilonia Kuno). Satu rangkaian puisi menceritakan upaya Raja Enmerkar dari Uruk dan putranya Lugalbanda untuk mengendalikan perdagangan dengan negeri-negeri jauh dalam barang-barang penting dan mewah.

Dengan menggunakan ancaman militer dan intimidasi agama, Enmerkar membujuk raja Aratta (di suatu tempat di Iran timur, sekarang diidentifikasi dengan peradaban Jiroft yang baru-baru ini ditemukan di Sungai Halil di provinsi barat daya Kerman) untuk menukar logam mulia dan “batu gunung” dengan biji-bijian. Dalam puisi lain, cucu Enmerkar, Gilgamesh, yang mungkin hidup sekitar tahun 2600 SM, berkonflik dengan Agga, raja Kish, dan berhasil muncul sebagai pemenang.

Reruntuhan Kota Sumeria di Kish

Gilgamesh dianggap berjasa merenovasi dan memperluas tembok kota Uruk, yang secara tradisional dibangun sebelumnya oleh Tujuh Orang Bijak. Batu bata plano-cembung, yang merupakan ciri khas periode Dinasti Awal, digunakan di bagian-bagian tembok dan menara Uruk yang telah digali, yang menegaskan usianya yang sebenarnya.

Gilgamesh dan Agga termasuk di antara raja-raja yang tercantum dalam Daftar Raja-Raja Sumeria. Daftar ini mencantumkan penguasa masing-masing kota seolah-olah mereka memerintah secara berurutan, para dewa memberikan perintah bahwa satu kota harus memegang otoritas tertinggi sampai sanksi ilahi mendukung konflik manusia untuk mengalihkan hegemoni ke negara-kota lain. Ini adalah anakronisme dari periode selanjutnya ketika wilayah tersebut disatukan di bawah satu garis kekaisaran; pada kenyataannya banyak dinasti di kota-kota ini memerintah secara bersamaan

Meskipun lamanya masa pemerintahan masing-masing raja tidak dapat dinilai berdasarkan nilai nominal—banyak yang sangat panjang, khususnya pada periode sebelum adanya Banjir—informasi silsilahnya sering didukung oleh potongan-potongan bahan tertulis kontemporer. Misalnya, Agga dari Kish adalah putra Enmebaragesi dalam Daftar Raja Sumeria. Sebuah mangkuk dengan prasasti persembahan membuktikan keberadaan Mebaragesi secara historis (en—gelar yang berarti penguasa—secara keliru ditambahkan ke namanya oleh juru tulis berikutnya). Beberapa raja lain yang muncul dalam Daftar Raja juga keberadaannya dibuktikan dengan ditemukannya prasasti mereka, termasuk sejumlah prasasti di Pemakaman Kerajaan di Ur.

Sisi “Perdamaian” dari Panji Ur, mungkin kotak kecapi, ditemukan di makam terbesar di Pemakaman Kerajaan di Ur. Kotak ini menunjukkan barang-barang dan hewan yang dibawa untuk melengkapi perjamuan kerajaan yang digambarkan di bagian atas

Sejumlah kota telah menyerahkan segel yang memuat nama beberapa kota lain, sejak Dinasti Awal I dan seterusnya, dan telah disarankan bahwa ini menunjukkan keberadaan liga kota yang kooperatif. Teks yang ditemukan dari Shuruppak, tampaknya ditulis dalam enam bulan terakhir sebelum kehancurannya yang dahsyat di awal Dinasti Awal IIIa, berulang kali merujuk ke kota Adab, Lagash, dan Umma di cabang timur Efrat dan Uruk dan Nippur di cabang barat yang sama dengan Shuruppak. Mereka juga menyebutkan sejumlah besar gurush, laki-laki dan pejabat dari kota-kota di luar Shuruppak, tampaknya direkrut untuk melakukan berbagai layanan, baik militer maupun sipil.

Meskipun kita tidak tahu bentuk kerja sama antara negara-negara ini, kemungkinan besar termasuk ekspedisi militer bersama dan kerja sama pada perusahaan publik besar, seperti mendirikan kuil dan bangunan publik besar lainnya, menggali kanal, dan membangun bendungan. Ketika Shuruppak dijarah, kemungkinan besar itu dilakukan oleh Ur, bukan anggota persekutuan ini.

Ur, yang terletak di Efrat di hulu Teluk dan karenanya merupakan lokasi yang ideal untuk perdagangan di selatan dan timur, telah dihuni sejak periode Ubaid dan pada masa Dinasti Awal berkembang menjadi kota besar. Pada awal Dinasti Awal IIIa, kekayaan dan kekuasaannya tercermin dalam serangkaian enam belas makam spektakuler di dalam pemakaman besar di selatan kompleks sucinya. Beberapa makam ini telah menghasilkan bahan bertulis, yang menghubungkannya dengan informasi sejarah yang lemah dari Daftar Raja.

Sebuah helm emas yang luar biasa dalam bentuk wig bertuliskan nama Raja Meskalamdug; sebuah lubang kuburan besar, dilengkapi dengan perabotan mewah, berisi segel milik seorang ratu, Puabi, dan di makam di bawahnya terdapat sisa-sisa seorang raja yang diidentifikasi sebagai Akalamdug, penerus Meskalamdug. Semua itu berasal dari periode sebelum kekuasaan raja diserahkan ke Ur, menurut daftar raja.

Dinasti Pertama Ur yang tercantum di sini dimulai dengan Mesanepada, putra Meskalamdug, dan putranya A-anepada, keduanya dikenal dari bahan prasasti kontemporer. Makam yang diperaboti secara spektakuler itu mencakup perhiasan indah dan artefak berharga seperti kecapi kayu dengan kepala banteng atau sapi yang dihiasi emas dan lapis lazuli, yang mencerminkan hubungan dagang yang berkembang baik dan luas yang membentang hingga sejauh Badakhshan di Afghanistan dan Gujurat di India.

Mesanepada, raja Ur dalam Daftar Raja, diidentifikasi pada stempelnya sebagai Raja Kish. Kish adalah kota besar pada milenium ketiga SM, yang diperintah pada Dinasti Awal II oleh Mebaragesi dan Agga. Sejumlah penguasa milenium ketiga menyandang gelar “Raja Kish”—selain Mesanepada dari Ur, mereka termasuk Mesalim yang mungkin telah memerintah Der, Eannatum dari Lagash, dan mendiang raja Dinasti Awal Lugalzagesi dari Umma.

Keberadaan gelar tersebut seharusnya memberikan gambaran tentang organisasi politik. Apakah gelar tersebut merupakan penaklukan fisik Kish dan hegemoni politik atas sebagian besar wilayah Sumeria, atau, lebih mungkin, pengakuan atas keunggulan dalam arti lain dari penguasa yang menyandang gelar tersebut? Raja Kish tampaknya dihormati oleh penguasa kota lainnya dan setidaknya pada satu kesempatan bertindak sebagai penengah dalam sengketa perbatasan antara kota-kota yang saling bersaing.

Puisi Gilgamesh yang membahas konflik Uruk dengan Kish menyiratkan bahwa Gilgamesh pada awalnya menerima Agga sebagai penguasanya. Ensis Adab dan Lagash mengakui otoritas Mesalim, lugal Kish, dan keberadaan mangkuk di Khafajeh yang dipersembahkan oleh Mebaragesi juga menyiratkan bahwa Khafajeh mengakui hegemoni Kish.

Meskipun aksi militer terjadi antara negara-negara bagian sejak awal masa Dinasti Awal, selama sebagian besar periode tersebut tampaknya lebih merupakan pertempuran kecil daripada penaklukan besar-besaran, dengan pemenang menerima penyerahan diri daripada kesetiaan dari yang kalah. Negara-kota mempertahankan kemerdekaan teritorial mereka, meskipun, seperti Shuruppak, mereka mungkin dijarah. Baru pada akhir Dinasti Awal III ada bukti tentang pemisahan wilayah yang lebih besar.

Titik kekuatan terakhir pada masa Dinasti Awal adalah kota Nippur, yang menjalankan otoritas spiritual alih-alih sekuler. Pendapat terbagi mengenai seberapa awal hal ini berkembang, mulai dari 3000 SM (misalnya, Reade) hingga akhir Dinasti Awal III (misalnya, Leick). Setiap kota Sumeria mengidentifikasi dirinya sebagai milik dewa pelindungnya—Uruk milik Inanna, Ur milik dewa bulan Nanna (Sin), Eridu milik Enki. Kemakmuran kota bergantung pada kehadiran dan dukungan dewa kota, dan pada gilirannya dewa atau dewi bergantung pada layanan warga.

Nippur adalah kota dewa Enlil, yang diakui sebagai kepala para dewa pada akhir Dinasti Awal III. Pada saat itu, atau mungkin lebih awal, Nippur dianggap sebagai tempat kedudukan dewan para dewa, tempat para raja awal juga bertemu dalam dewan, dan kuil Enlil di Nippur, Ekur, diakui sebagai pusat keagamaan Sumeria.

Detail yang menunjukkan prajurit Sumeria dari “Stele of the Vultures” yang didirikan oleh Raja Eannatum dari Lagash sekitar tahun 2450 SM untuk merayakan kemenangannya atas negara saingan Umma.

Persetujuan Enlil merupakan prasyarat keberhasilan bagi penguasa kota mana pun, dan dukungannya diminta oleh para raja yang ingin memperluas wilayah kekuasaan mereka atau menyerang musuh-musuh mereka. Oleh karena itu, imamat Enlil memainkan peran yang kuat dalam politik kekuasaan di wilayah tersebut pada abad kedua puluh empat SM, meskipun sebuah cerita apokrif dari masa pemerintahan raja Naram-Sin kemudian menunjukkan bahwa Nippur tidak kebal terhadap serangan jika dekrit dewa tersebut dianggap tidak dapat diterima.

Negara-Negara Yang Mengagungkan

Menjelang akhir periode Dinasti Awal, sumber-sumber sejarah menjadi lebih informatif, mengungkapkan bahwa beberapa negara sedang mengembangkan ambisi teritorial. Teks kontemporer substansial pertama yang mencerminkan situasi politik berasal dari Lagash. Kota Lagash adalah ibu kota negara bagian yang memiliki nama yang sama di Sungai Efrat: Pada pertengahan milenium ketiga SM, kota lain, Girsu, telah mengambil alih kota Lagash sebagai pusat utama di negara bagian Lagash. Girsu terletak hanya 30 kilometer di selatan Umma, ibu kota negara bagian lain di cabang sungai yang sama, dan seiring dengan bertambahnya ukuran kota dan meningkatnya wilayah pengaruhnya, tak pelak mereka pun terlibat konflik atas kepemilikan dan hak guna tanah di sepanjang perbatasan bersama mereka.

Masalah ini dibawa ke upaya arbitrase oleh Mesalim, Raja Kish sekitar tahun 2550 SM: Ia mendirikan sebuah prasasti yang menandai batas wilayah dan memberikan hak bertani di tanah yang disengketakan kepada Umma, dengan pembayaran tahunan kepada Lagash dari hasil panennya. Sengketa perbatasan kembali terjadi selama pemerintahan Ur-Nanshe dari Lagash (sekitar tahun 2494–2465 SM), yang juga membangun kuil dan tembok kota: Ia menjadi Raja Kish dan mengklaim telah mengalahkan bukan hanya Umma tetapi juga Ur. Cucunya Eannatum (sekitar tahun 2450 SM) juga terlibat dalam sengketa ini: Ia mengalahkan Umma dan juga mengklaim telah mengalahkan Uruk, Ur, Mari, dan Akshak, serta Elam dan Susa di timur dan Subartu di utara.

Monumen yang didirikannya, yang sekarang dikenal sebagai Prasasti Burung Nasar, menggambarkan dengan jelas infanterinya yang bersenjata lengkap dan disiplin serta pemimpin mereka yang gagah berani, musuh yang terbunuh diserang burung nasar, dan tawanan yang dijebak dalam jaring oleh Ningirsu, dewa Girsu. Konflik antara Umma dan Lagash berlangsung selama lebih dari satu abad, dengan beberapa kali upaya arbitrase.

Eannatum tidak mungkin benar-benar menaklukkan negeri-negeri yang jauh, tetapi kemenangan-kemenangannya di dekat kampung halamannya mungkin merupakan upaya awal untuk menguasai negara-negara tetangga daripada sekadar mengalahkan mereka—upaya-upaya seperti itu menjadi semakin umum selama abad berikutnya. Keponakan Eannatum, Enmetena, membuat perjanjian dengan Lugal-kineshe-dudu, raja Uruk, yang juga menguasai Ur dan Umma dan menyandang gelar Raja Kish. Sekitar tahun 2350 SM

Uru-inim-gina menjadi raja Lagash dan membawa serangkaian reformasi dalam negeri yang bertujuan untuk memperbaiki nasib warga biasa, menghapuskan penyalahgunaan yang dilakukan oleh pejabat, dan memulihkan kekuatan kuil yang terkikis. Ia berselisih dengan Lugalzagesi, gubernur (ensi) Umma, yang menjarah Girsu, sebuah bencana yang dicatat dengan pahit oleh Uru-inim-gina. Menurut prasastinya sendiri, Lugalzagesi kemudian menjadi penguasa Ur, Uruk, dan kota-kota lain di Mesopotamia selatan dan menguasai tanah “dari Laut Bawah” (Teluk) “sepanjang Tigris dan Efrat hingga Laut Atas” (Mediterania). Ia memperingati kemenangannya dengan mendedikasikan lebih dari lima puluh bejana batu di Ekur (kuil Enlil) di Nippur. Dalam prasastinya, ia mengagungkan kedamaian dan kemakmuran yang telah ia bawa ke wilayah yang berada di bawah kekuasaannya.

Namun, hal ini tidak berlangsung lama. Beberapa tahun kemudian, Lugalzagesi kembali ke Ekur—tetapi kini ia menjadi tawanan Sargon dari Akkad yang berhasil menyatukan wilayah tersebut menjadi kekaisaran teritorial pertama yang bertahan lama.

Penduduk Dan Masyarakat Sumeria

Daerah-daerah di sekitar Mesopotamia didiami oleh Bangsa-bangsa yang termasuk rumpun bangsa Semit, kehidupanya bersifat semi-nomaden. Aktivitas perdagangan melalui sungai Eufrat dan Sungai Tigris. Sekitar tahun 3000 SM daerah Mesopotamia didiami oleh Bangsa Sumeria. Bangsa Sumeria lebih banyak bertempat tinggal pada kota-kota besar dan terutama sekali pada ibu kotanya yaitu Uruk (Ur).

Sebelum Bangsa Sumeria, di daerah yang berjuluk “The Fertile Crescent” tersebut sudah terlebih dahulu didiami oleh sebuah Bangsa Ubaid. Bangsa Ubaid ini adalah bangsa pertama yang mendiami daerah tersebut pada tahun 5000 SM dengan ditandai munculnya kota Kish, Eridu, dan Ur. Kedatangan Bangsa Sumeria pada tahun 3000 SM membaur dengan bangsa Ubaid, lalu membangun sebuah kota dengan rumah-rumah yang dibuat dari lumpur.

Perkembangan Peradaban Sumeria

Mesopotamia adalah peradaban besar di zaman kuno yang sangat maju. Di bawah ini adalah beberapa perkembangan yang dicapai oleh Peradaban Sumeria;

Sistem Pemerintahan Bangsa Sumeria

Kehidupan suatu bangsa tidak mungkin berjalan dengan baik tanpa dipimpin oleh pemerintahan yang teratur. Bangsa Sumeria mengembangkan pemerintahan yang berpusat dikota Ur dekat muara Sungai Eufrat. Para penguasa memiliki kekuasaan yang sangat besar selain sebagai kepala pemerintahan, Raja juga sebagai kepala agama sehingga Raja disebut Patesi (pendeta raja). Raja bertanggungjawab terhadap kehidupan masyarakat baik lahir maupun batin. Seorang raja juga harus mampu mengatur kehidupan ekonomi, keamanan atau ketentraman, hukum dan peradilan serta kehidupan keagamaan.

Negara-kota (polis) pada masa Mesopotamia yang paling awal diorganisasikan secara ekonomi dan keagamaan dalam bentuk komunitas-komunitas yang dikepalai oleh seorang pendeta, di mana pendeta inilah yang dianggap mewakili atau melambangkan Dewa penolong atau Dewa-dewa kota. Majelis politik warga negara juga telah dibentuk dan diatur.

Pada abad ke-9 kombinasi dari sistem Teokrasi dan Demokrasi primitif, dikota-kota kekuasaan dipegang oleh seorang Ensi atau Gubernur, dia memegang baik kekuasaan politik atau keagamaan, atau diperintah oleh seorang Raja atau Lughal, suatu sebutan superior yang sering dipakai karna kedaulatannya yang luas. Pada masa Imperium, kekuasaan politik berkembang dalam bentuk monarki yang sangat sentralitik.

Salah seorang Patesi (pendeta-raja) bernama Ur Nanshe ia adalah raja yang membangun kota Lagash sekitar tahun 2500 SM. Tindakan Ur Nanshe diikuti oleh Patesi Gudea yang memerintah kira-kira 2400 SM. Dialah yang menjadikan kota Lagash jadi kota yang paling berarti di Sumeria.

Ekonomi Bangsa Sumeria

Bangsa Sumeria mengembangkan kehidupannya dengan mengusahakan pertanian. Untuk mengairi tanah pertaniannya dibuatlah saluran air dari kedua sungai itu pengolahan tanah dilakukan dengan membajak menggunakan tenaga hewan yaitu keledai dan lembu. Untuk mengangkut hasil panen dan keperluan yang lain mereka membuat kereta atau gerobak yang diberi roda. Hasil utama pertanian Bangsa Sumeria ini adalah gandum kemudian jemawut dan jelai. Konon Bangsa Sumeria adalah bangsa yang telah mengenal teknologi roda dan menanam gandum yang pertama kali di dunia.

Satu hal yang perlu diketahui bahwa Orang-orang Sumeria yang berhasil menjinakan rawa- belantara ini bukan lah penduduk asli di Mesopotamia, karena sebelum dijinakan rawa liar tersebut tidak bisa ditempati manusia. Sebagian pemukiman masyarakat Sumeria paling awal adalah Ur, Uruk, dan Eridu yang semuanya berada diujung barat daya rawa besar ini yang bersebelahan dengan Jazirah Arab walaupun berdekatan dengan Jazirah Arab, orang-orang Sumeria bukanlah berasal dari Jazirah Arab, karena bahasa mereka tidak memiliki Afinitas dengan Bahasa-bahasa keluarga Semitik mereka berbeda dengan para migran berurutan yang berasal dari Arab kedaerah daerah Asia dan Afrika yang semuanya berbahasa Semitik.

Disamping pertanian, Bangsa Sumeria mengembangkan perdagangan. Hal ini didasarkan pada temuan berupa ribuan materai tanah liat yang antara lain berisi perjanjian dagang, perhitungan pesanan Barang-barang.

Perkembangan Peradaban Sumeria Dalam Bidang budaya

Dalam bidang budaya, orang-orang Sumeria sudah mengenal abjad yang berupa huruf paku. Huruf-huruf paku itu antara lain ditemukan pada sebuah prasasti yang berisi tentang hukum dan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum itu disebut undang-undang Hammurabi (Codex Hammurabi).

Selain undang-undang Hammurabi, perkembangan budaya Mesopotamia juga terjadi dalam tradisi kesusteraan Epik Gilgamesh, kisah falsafah dan cara hidup masyarakatMesopotamia. Tentang kepahlawanan Gilgamesh, ada sifat dua pertiga Tuhan, satu pertiga manusia, wajah tampan, ada kekuatan dan keberanian. Telah memerintah dan memberi perlindungan kepada kota Uruk. Menceritakan juga kehidupan yang kekal kesaktian.

Orang-orang Sumeria sudah mengenal system penanggalan atau system kalender, yang dimaksudkan untuk mengenal perputaran waktu dan musim. Pengetahuan tentang perputaran waktu dan musim berguna untuk menentukan saat yang tepat dalam melaksanakan aktivitas kehidupanya, baik untuk bercocok tanam, perdagangan dan sebagainya. Sebagai upaya mempermudah memahami pengetahuan tentang perputaran waktu dan musim, Bangsa Sumeria membagi dan mempersingkat waktu ke dalam jam, menit, dan detik. Pembagian waktu terus dikembangkan ke dalam bentuk yang lebih khusus melalui sistem penanggalan di mana 24 jam menjadi 1 hari, 30 hari menjadi 1 bulan, dan 12 bulan menjadi 1 tahun.

Sistem Kepercayaan Bangsa Sumeria

Kemunculan sistem kepercayaan di Bangsa Sumeria tentu juga dipengaruhi oleh peran sentral iklim yang ada di Mesopotamia dalam kehidupan sehari-hari. Bangsa Sumeria mengetahui akan adanya bahaya kelaparan dan kehancuran yang bisa datang dari banjir secara tiba-tiba, badai, dan juga angin. Bangsa Sumeria mulai memikirkan dan membayangkan bahwa masing-masing kekuatan alam sebagai dewa yang di mana dewa itu dipahami layaknya seperti seorang raja atau ratu dari manusia, yang mana dewa ini haruslah senang dan ditenangkan hatinya. 

Oleh sebab itulah, Bangsa Sumeria mulai percaya bahwa untuk dapat bertahan hidup mereka harus terus-menerus menunjukkan sikap tunduk mereka kepada para dewa yang mana sikap tunduk ini ditunjukkan melalui ritual. Ritual itu sendiri acap kali dipahami bahwa para dewa perlu diberi sesembahan agar selalu senang hatinya dan apabila para dewa senang maka kehidupan Bangsa Sumeria akan nyaman dan tenang serta terhindar dari bahaya apapun. Sesembahan itu sendiri seringkali berbentuk suatu upacara pengorbanan baik berupa hasil panen, hewan ternak bahkan tidak menutup kemungkinan upacara pengorbanan itu juga melibatkan manusia yang dijadikan sebagai bahan sesembahan kepada para dewa.

Diyakini secara umum bahwa pertumbuhan kota-kota Sumeria adalah hasrat untuk memenuhi keinginan dewa-dewa yang diyakini eksistensinya, terutama melalui upacara pengorbanan. Kebutuhan untuk memenuhi kewajiban spiritual semacam itu tentu membutuhkan biaya yang mahal, sehingga menyebabkan Bangsa Sumeria mengembangkan pengaturan ekonomi dan sistem politik yang kompleks di mana kedua sistem inilah yang merupakan keunggulan dari peradaban Sumeria. 

Sistem ekonomi yang kompleks ditunjukkan dengan sebagian besar hasil dari aktivitas perekonomian dari masing-masing kota dikirimkan kepada orang-orang yang menjaga dan memelihara altar-altar pemujaan dan juga adanya bukti kawanan hewan yang hendak dijadikan sebagai kurban. Setiap hari di altar pemujaan ini, para pendeta melakukan sesembahan berupa makanan mewah yang ditujukan untuk patung-patung para dewa. 

Diyakini bahwa dewa akan mengkonsumsi “esensi immaterial” dari sesembahan itu, dan kemudian para pendeta dan petugas kuil akan memakan sisa-sisa makanan yang telah dipersembahkan kepada para dewa. Dengan melakukan ritual yang tepat dan memberikan persembahan yang tepat kepada para dewa, Bangsa Sumeria berharap bahwa dewa akan menjawab doa-doa yang telah mereka lakukan.

Perlu kiranya dipahami bahwa setiap kota Sumeria dilindungi oleh satu dewa atau dewi . Kuil dari dewa dijadikan sebagai pusat kota dan pusat dari kehidupan beragama. Di Uruk , misalnya yaitu Ziggurat didedikasikan untuk Inanna (juga dikenal sebagai Ishtar), dewi cinta dan perang dan sebagai simbol khusus kota. Semua kota Sumeria memiliki kuil serupa yang menjulang tinggi di atas kota, di mana ini bertujuan untuk mengingatkan semua penduduk bahwa dewa ada di mana-mana dan dewa-lah yang menguasai nasib mereka. 

Bangsa Sumeria percaya bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta berasal dari dewa terkuat di mana dari para dewa yang ada mereka meyakini kekuatan ilahi-lah yang membentuk alam semesta. Bangsa Sumeria beranggapan, bagaimanapun juga, bahwa para dewa menyerupai bentuk manusia. Sedangkan diantara para dewa terdapat Raja dari segalanya yang disebut dengan ‘Anu’, Anu adalah ayah dari para dewa, di mana ia memerintah dari langit dan sebagai personifikasi dari langit itu sendiri. 

Sedangkan di bawah Anu terdapat Enlil adalah penguasa dari angin dan udara di mana Enlil inilah yang menjadi dewa utama dari Bangsa Sumeria. Enki adalah penguasa bumi, sungai dan pengetahuan. Inanna adalah dewi cinta, seks, kesuburan , dan peperangan. Ninhursaga , dianggap sebagai dewa yang melahirkan para raja. Bangsa Sumeria juga menyembah dewa-dewa yang jumlahnya hingga ratusan lebih yang statusnya lebih rendah jika dibandingkan dengan dewa-dewa utama. Dewa-dewa yang berjumlah ratusan ini terdapat di rumah-rumah di seluruh kota dan juga di pedesaan.

Peninggalan Bangsa Sumeria

Bangsa Sumeria memiliki ciri fisik berwarna kulit kecoklatan dengan hidung yang mancung. Mereka menggunakan tulisan paku yang kini telah berhasil diterjemahkan, dan bahasa mereka kini pun telah diketahui. Bangsa Sumeria telah berhasil mengolah perunggu dan juga membangun menara seperti kuil- kuil dari batu bata yang dikeringkan dengan memanfaatkan sinar dan panas matahari. Lempung (tanah liat) dinegeri ini sangat bagus. Tanah liat itu mereka gunakan untuk menulis, dan prasasti-prasasti yang mereka buat masih bertahan hingga saat ini. Mereka memelihara sapi, domba dan kambing. Mereka bertempur dengan berjalan kaki, dalam formasi yang rapat, membawa tombak dan perisai yang terbuat dari kulit sedangkan pakaian mereka terbuat dari wol.

Masing- masing kota Sumeria secara umum tampaknya merupakan negara merdeka, dengan dewa dan pemimpinnya sendiri-sendiri. Tetapi, terkadang suatu kota menegakkan kekuasaannya terhadap kota-kota lain dan meminta upeti dari penduduknya. Sebuah prasasti yang sangat kuno di Nippur mencatat imperium (imperium pertama yang tercatat) kota Erech, Sumeria. Dewa dan raja/pemimpinnya mengklaim otoritas kekuasaannya mulai dari Teluk Persia hingga Laut Merah.

Pada mulanya, tulisan hanyalah metode pencatatan berupa gambar yang dipersingkat. Bahkan sebelum zaman Neolitik, manusia sudah mulai menulis. Gambar- gambar yang dibuat manusia di dinding-dinding gua pada era mesolitikum adalah proses dari munculnya tradisi menulis dikemudian hari. Banyak diantaranya mencatat tentang perburuan dan ekspedisi, dan sebagian besar menggambar tokoh-tokoh  manusia ataupun hewan secara sederhana. Di Sumeria tulisan dibuat diatas tanah liat dengan sebuah tongkat yang terbuat dari kayu.

Selain itu Bangsa Sumeria memiliki peninggalan diantaranya adalah sebagai berikut:

Peninggalan Bangunan Bangsa Sumeria

Pada umumnya peninggalan arsitektur dari Bangsa Sumeria adalah berupa kuil untuk pemujaan yang disebut dengan Ziggurat. Ziggurat berasal dari kata Zagaru yang artinya bangunan tinggi seperti gunung karena merupakan menara bertingkat yang makin lama makin kecil. Pada masing-masing puncak Zigurat berdiri kuil atau tempat suci sebagai tempat dewa-dewa kota. 

Para pemimpin tinggal di tempat yang sangat bagus dengan halaman gedung yang luas. Sementara itu, masyarakat pada umumnya tinggal di rumah-rumah berukuran kecil yang rapat satu sama lain dan hanya mempunyai jalan dan lorong-lorong yang sempit. Para tukang batu, pedagang, tukang tenun maupun tukang kayu, tinggal dan bekerja di jalanan yang sama. Jalan-jalan dengan deretan toko inilah yang pada akhirnya membentuk sebuah pasar. 

Tulisan Bangsa Sumeria

Pada sekitar tahun 3200 SM Bangsa Sumeria diketahui sudah mengenal tulisan. Tulisan tersebut sering disebut dengan Cuneiform Writing atau tulisan paku. yaitu sistem tulisan yang kira-kira sejaman dengan Hieroglyphics yang merupakan hasil kebudayaan masyarakat Mesir kuno. Orang-orang Sumeria menggunakan alat yang ditunjukkan secara jelas, yang disebut dengan Stylus, untuk menuliskan karakter-karakter yang terbentuk dari penggalan kecil pada lempengan tanah liat yang lembut, yang kemudian diperkeras dengan membakarnya.

Membaca dan menulis tulisan Cuneiform adalah sulit, karena alpabhetnya terdiri dari 550 karakter. Para juru tulis Sumeria harus melalui beberapa tahun pendidikan dengan tekun untuk mendapatkan kemahiran menulis. Meskipun begitu, Cuneiform digunakan secara luas di Timur Tengah selama ratusan tahun.

Pengetahuan Dan Sastra Bangsa Sumeria

Bangsa Sumeria memberikan sumbangan yang penting bagi dunia dalam bidang matematika. Mereka mengembangkan hitungan dengan dasar 60 (disebut sixagesimal) Penemuan mereka tentang hitungan lingkaran adalah 360 derajat, satu jam adalah 60 menit, 1 menit adalah 60 detik di mana sistem ini masih digunakan sampai sekarang. 

Pengetahuan di atas menjadi dasar untuk penghitungan waktu untuk satu hari adalah 24 jam, satu bulan adalah 30 hari, satu tahun adalah 12 bulan. Penghitungan waktu disebut dengan sistem penanggalan yang nanti dikembangkan oleh bangsa Babilonia. Penghitungan kalender Babilonia berdasarkan pada peredaran Bulan (disebut sistem lunar atau kalender Komariah).

Di samping itu orang-orang Sumeria juga sudah mengembangkan sastra. Syair Orang-orang Sumeria yang berbentuk cerita, yang sering disebut dengan The Epic of Gilgamesh, adalah satu karya yang tertua dari bentuk sastra di dunia ini. Syair kepahlawanan ini adalah koleksi cerita tentang seorang pahlawan yang disebut Gilgamesh. Gilgamesh inilah yang diyakini oleh Bangsa Sumeria sebagai perintis Peradaban Mesopotamia Kuno.

Bahasa Bangsa Sumeria

Bahasa yang digunakan oleh Bangsa Sumeria adalah bahasa Sumeria. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, Sebagian dari pemukiman Bangsa Sumeria yang paling awal adalah Ur, Uruk, dan Eridu yang semuanya berada di daerah wilayah ujung barat daya rawa besar yang bersebelahan dengan Jazirah Arab. Walaupun daerah tersebut begitu berdekatan dengan wilayah Jazirah Arab, Bangsa Sumeria itu sendiri bukanlah bangsa yang berasal dari Jazirah Arab, karena bahasa aktivitas sehari-hari dari Bangsa Sumeria tidak memiliki aktivitas dengan menggunakan bahasa-bahasa keluarga Semitik. Bangsa Sumeria berbeda dengan para pendatang yang berasal dari Jazirah Arab ke daerah-daerah Asia dan Afrika yang semuanya termasuk rumpun bahasa Semitik.

Keruntuhan Peradaban Bangsa Sumeria

Keruntuhan peradaban Sumeria disebabkan oleh adanya ancaman dan beragam ekspedisi militer yang dilakukan oleh bangsa Semit. Memasuki 2000 SM Sargon mendirikan Kerajaan Akkadia di mana sejak periode itulah orang-orang Semit secara besar-besaran mulai menghuni kawasan Mesopotamia dan masuk ke dalam kota-kota Sumeria. Peradaban Sumeria runtuh setelah Sargon menaklukan kota-kota Sumeria dan dengan begitu penguasa di Mesopotamia telah beralih dari Bangsa Sumeria ke tangan Kerajaan Akkadia.

Daftar Bacaan

  • Allan, Keith. 2013. The Oxford Handbook of the History of Linguistics. Oxford: Oxford University Press
  • Ascalone, Enrico. 2007. Mesopotamia: Assyrians, Sumerians, Babylonians. Berkeley: University of California Press.
  • Finer, Samuel Edward; Finer, S. E. 1997. The History of Government from the Earliest Times: Ancient monarchies and empires. Oxford University Press.
  • Potts, D. T. 1999. The Archaeology of Elam: Formation and Transformation of an Ancient Iranian State. Cambridge: Cambridge University Press.