Candi Muara Takus: Jejak Kemegahan Kerajaan Sriwijaya di Riau

Candi Muara Takus: Jejak Kemegahan Kerajaan Sriwijaya di Riau

Candi Muara Takus terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini berada sekitar 135 km dari Kota Pekanbaru. Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh dinding 74 x 74 meter yang terbuat dari batu putih dengan tinggi ± 80 cm. Di luar area dinding tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer mengelilingi kompleks sampal ke pinggir Sungai Kampar Kanan. Kompleks ini memiliki beberapa candi: Candi sulung atau tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa, dan Palangka.

Kompleks Candi Muara Takus

Candi Muara Takus adalah salah satu sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya. Hingga saat ini belum ada yang mengetahui secara pasti kapan situs candi ini didirikan. Menurut beberapa sumber, candi ini didirikan pada abad ke-4, abad ke-7, atau bahkan abad ke-11. Namun, beberapa sejarawan menganggap lokasi ini sebagai pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya pada puncak keemasannya.

Sejarah Penemuan Candi Muara Takus

Gugusan Candi Muara Takus pertama kali ditemukan oleh Cornet de Groot pada tahun 1860. Hasil penemuannya dituangkannya dalam sebuah tulisan yang berjudul Koto Candi. Tulisan tersebut dimuat dalam Tijdschrift voor lndische Taal, Land en Volkenkunde. Kemudian G. du Ruy van Best Holle menulis dengan judul Beschrijving van de Hindoe, cudheden te Moeara Takoes (Lukisan Bangunan Purbakala dari Zaman Hindu di Muara Takus) yang juga dimuat dalam Tijdschrift voor lndische Taal, Land en Volkenkunde, sehingga Muara Takus banyak menarik perhatian para ahli.

Penelitian Candi Muara Takus

Penelitian Candi Muara Takus di awali pada tahun 1880 hingga saat ini. Di bawah ini adalah beberapa perkembangan tentang penelitian Candi Muara Takus;

W. P. Groeneveld

Pada tahun 1880 seorang berkebangsaan Belanda yang bemama W. P. Groeneveld mengadakan penelitian terhadap gugusan Candi Muara Takus. Hasil penelitian tersebut merupakan kunci dari tulisan singkat Verbeek dan Van Deiden.

R. D. M. Veerbeek & E.Th. van Deiden

Kemudian pada tahun 1880 Verbeek dan Van Delden berdasarkan hasil tulisan W. P. Groeneveld mengatakan bahwa bangunan purbakala tersebut adalah bangunan bercorak Buddha yang terdiri dari biara dan beberapa candi. Ekspedisi yang dipimpin oleh Verbeek dan van Delden membuat jalan dari Payakumbuh ke Muara Takus yang terletak di sebelah Barat sungai Kampar Kanan.

Pada tahun 1881 Verbeek dan Van Delden menulis pendapatnya tentang keberadaan Candi Muara Takus dengan judul De Hindoe Ruinen bij Moeara Takoes Aan de Kampar Rivier dengan sebuah gambar oleh W. P. Groeneveld yang dimuat dalam Verhandelingen van hat Bat, Genootschap, dimana lukisan/gambar yang dimuat dalam buku tersebut dikerjakan oleh Ir. Pertambangan TH.A.F. Delprat dan Opziter (sinder) HL Leijdie Melville. Mereka juga menemukan tembok keliling yang mengelilingi komplek percandian Muara Takus.

J. W. Yzerman

Pada tahun 1889 J. W. Yzerman melakukan pengukuran, dibantu oleh Ir. TH.A.F. Delprat dan Opziter (sinder) H.L. Leijdie Melville yang juga bertugas sebagai juru foto. Ekspedisi mereka mendapat bantuan dari kontelir J. Van Zon yang berkedudukan di Payakumbuh untuk mengangkut beban sampai ke tempat tujuan. Namun demikian, perjalanan ekspedisi J. W. Yzerman tidak menempuh jalan seperti dahulu, yaitu dari Lubuk Lipmpatu melewati Lembah batu karang Harau, tetapi dari Sari Lamak terus ke Lembah Air Putih yang memiliki pemandangan yang indah sampai ke Lubuk Bangkuan, sedangkan dari Ulu Air dijumpai jalan lama menuju ke Koto Baru tempat kedudukan Kontelir.

Kompleks Candi Muara Takus

Candi Muara Takus adalah situs candi tertua yang berada di Sumatra. Candi Muara Takus merupakan satu-satunya situs peninggalan sejarah yang berbentuk candi di wilayah Riau. Candi yang diidentifikasi bercorak Buddhis ini merupakan bukti bahwa ajaran agama Buddha pernah berkembang di kawasan ini.

Batu pasir, batu sungai, dan batu bata adalah bahan yang digunakan untuk membuat candi ini. Tidak seperti candi di Jawa yang terbuat dari batu andesit yang ditemukan di gunung. Desa Pongkai, yang terletak sekitar 6 km di sebelah hilir lokasi Candi Muara Takus, adalah tempat ditemukan sumber tanah liat yang digunakan untuk membuat Candi Muara Takus. Nama Pongkai mungkin berasal dari bahasa Tionghoa, di mana “Pong” berati “lubang” dan “Kai” berarti “tanah”. Oleh karena itu, nama ini mungkin berarti lubang tanah yang ditemukan saat membangun Candi Muara Takus. Sekarang lubang galian itu telah tenggelam oleh waduk PLTA Koto Panjang, namun kata “Pongkai” dalam Bahasa Siam berarti “Pangkali”, yang berarti “sungai”, dan pada kenyatannya situs candi ini berada di tepian sungai.

Candi Mahligai (Stupa Mahligai)

Stupa Mahligai, juga dikenal sebagai Candi Mahligai, adalah struktur candi yang dianggap paling utuh. Kaki, badan, dan atap membentuk struktur ini. Fondasi stupa berbentuk persegi panjang dan berukuran 9,44 m x 10,6 m. Itu memiliki alas candi dengan pintu masuk di sebelah Selatan, yang memiliki ornamen lotus ganda di atasnya. Di tengahnya, ada menara silindrik dengan 36 sisi berbentuk kelopak bunga di bagian dasarnya. Bangunan ini memiliki bagian atas berbentuk lingkaran. Menurut Snitger, ada empat arca singa duduk yang terbuat dari batu andesit di keempat sudut fondasi.

Selain itu, menurut penelitian Yzerman, batu dengan lukisan daun oval dan relief di sekitarnya pernah berada di bagian puncak menara. Bangunan ini dibangun dalam dua tahap. Profil kaki bangunan lama yang ditemukan sebelum pembangunan di dalam kaki bangunan saat ini mendukung dugaan ini.

Candi Tua

Di situs Candi Muara Takus, Candi Tua, juga dikenal sebagai Candi Sulung, adalah bangunan terbesar. Struktur ini terdiri dari tiga bagian: kaki, badan, dan atap. Ada dua bagian kaki. Ketinggian kaki pertama adalah 2,37 m, sedangkan kaki kedua adalah 1,98 m. Di sisi Timur dan Barat tangga masuk terdapat arca singa. Tangga dengan lebar 3,08 m dan 4 m masing-masing. Bagian dasar bangunan berbentuk lingkaran dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Candi ini memiliki ukuran 31,65 m x 20,20 m dan memiliki 36 sisi yang mengelilingi bagian dasar. Bundaran adalah bagian atas bangunan ini.

Di dalam Candi Sulung, tidak ada ruang kosong sama sekali. Bangunan terbuat dari susunan bata dengan batu pasir. Batu pasir hanya digunakan untuk membuat sudut, pilaster, dan pelipit yang membatasi perbingkaian bawah kaki dan perbingkaian atas kaki candi. Studi tahun 1983 menunjukkan bahwa candi ini paling tidak telah dibangun dalam dua tahap. Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat dari adanya profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang bentuk profilnya berbeda.

Candi Bungsu

Bentuk Candi Sulung dan Candi Bungsu sama. Hanya berbentuk segi empat di bagian atasnya. Candi Bungsu berukuran 13,20 x 16,20 meter dan terletak di sebelah barat Candi Mahligai. Di sebelah timur terdapat stupa kecil dan tangga dari batu putih. Sebagian dari fondasi bangunan memiliki dua puluh sisi, dan ada satu bidang di atasnya. Bidang tersebut memiliki teratai. Yzerman melakukan penelitian dan menemukan sebuah lubang di pinggiran padmasana stupa yang berisi tanah dan abu. Dia menemukan tiga keping potongan emas di dalam tanah, dan di dasar lubang ada keping yang digores dengan gambar trisula dan tiga huruf Nagari.

Di bawah lubang ditemukan sepotong batu persegi dengan gambar trisula dan sembilan huruf di sisi bawahnya. Menurut jenis bahan yang digunakan, struktur ini dibagi menjadi dua bagian. Separuh bagian utara bangunan terbuat dari batu pasir, sedangkan separuh bagian selatan terbuat dari bata. Batas antara kedua bagian mengikuti bentuk profil batu pasir, menunjukkan bahwa bagian batu pasir telah selesai dibangun dan kemudian ditambahkan bata.

Candi Palangka

Bangunan candi ini terletak di sisi timur Stupa Mahligai dengan ukuran tubuh candi 5,10 m x 5,7 m dengan tinggi sekitar dua meter. Candi ini terbuat dari batu bata, dan memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa lampau diduga digunakan sebagai altar.

Arsitektur Candi Muara Takus

Candi Muara Takus merupakan salah satu bangunan suci agama Budha yang ada di Riau. Ciri yang menunjukkan bangunan suci tersebut merupakan bangunan agama Budha adalah stupa. Bentuk stupa sendiri berasal dari seni India awal, hampir merupakan anak bukit buatan yang berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan bata atau timbunan dan diberi puncak meru. Stupa adalah ciri khas bangunan suci agama Budha dan berubah-ubah bentuk dan fungsinya dalam sejarahnya di India dan di dunia Budhisme lainnya. Berdasarkan fungsinya stupa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

  1. Stupa yang merupakan bagian dari sesuatu bangunan.
  2. Stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tetapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.
  3. Stupa yang menjadi pelengkap kelompok selaku candi perwara.

Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan di kompleks Candi Muara Takus menduduki fungsi yang kedua, yaitu stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tetapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.

Bangunan stupa Candi Muara Takus memiliki arsitektur yang luar biasa dan tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Bentuk stupa ini mirip dengan stupa Budha di Myanmar, Vietnam, Sri Lanka, atau India kuno dari zaman Ashoka, dengan ornamen roda dan kepala singa yang mirip dengan arca yang ditemukan di kompleks Candi Muara Takus.

Secara filosofis, patung singa adalah elemen hiasan candi yang melambangkan aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat, atau aspek “terang” yang dapat mengalahkan aspek “jahat”. Dalam ajaran Budha, motif singa dapat dikaitkan dengan sang Budha, seperti yang ditunjukkan oleh julukannya sebagai “singa dari keluarga Sakya” dan ajarannya digambarkan sebagai “suara” (simhanada), yang terdengar kuat di seluruh angin.

Dalam naskah Silpa Prakasa dituliskan bahwa terdapat empat tipe singa yang dianggap baik, antara lain:

  1. Viraja: singa yang digambarkan di atas kedua kaki belakang, badannya dalam posisi membalik dan melihat ke belakang. Sikap ini disebut simhavalokana.
  2. Jagrata: singa yang digambarkan dengan wajah yang sangat buas (mattarupina). Ia bersikap duduk dengan cakarnya diangkat ke atas. Sering disebut khummana simha.
  3. Udyata: singa yang digambarkan dalam sikap duduk dengan kaki belakang dan biasanya ditempatkan di atas suatu tempat yang tinggi. Terkenal dengan sebutan jhmpa-simha.
  4. Gajakranta: singa yang digambarkan duduk dengan ketiga kakinya di atas raja gajah. Satu kaki depannya diangkat di depan dada seolah-olah siap untuk menerkam. Singa ini disebut simha kunjara.

Dua candi di kompleks Candi Muara Takus memiliki patung singa: Candi Sulung memiliki arca singa di depan atau di tangga masuknya, dan Candi Mahligai memilikinya di keempat sudut pondasinya. Berdasarkan gagasan yang berasal dari kebudayaan India, penempatan patung singa ini dimaksudkan untuk melindungi bangunan suci dari kekuatan jahat. Ini karena singa merupakan simbol kekuatan terang atau baik.

Daftar Bacaan

Soekmono, R. 2002. Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius