Sejarah VOC Di Indonesia 1602-1799

Sejarah VOC Di Indonesia 1602-1799

VOC di Indonesia didirikan pada tahun 1602 di Ambon. VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) adalah kongsi dagang milik Belanda yang bertugas untuk melaksanakan aktivitas monopoli perdagangan di Asia terutama di India Timur. Sebagai sebuah kongsi dagang, sebagian besar aktivitas VOC di Indonesia berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Namun, VOC sebagai sebuah kongsi dagang juga memiliki hak istimewa yang membuat kongsi dagang itu layaknya sebuah negara.

Sejarah Terbentuknya VOC

Setelah terjadinya Renaissans di Eropa sepanjang abad ke-15, bangsa Eropa mulai melakukan penjelajahan samudra untuk mencari Dunia Timur. Penjelajahan samudra yang dilakukan oleh bangsa Eropa nampaknya mulai membuahkan hasil pada abad ke-16 dengan mengontrol dan menguasai aktivitas perdagangan di dunia Timur, terutama oleh Portugis dan Spanyol yang telah menguasai pelayaran ke Asia serta menguasai perdagangan rempah-rempah antara Asia dengan Eropa, khususnya perdagangan rempah.

Di dalam perkembangan selanjutnya di Eropa, Raja Portugal memiliki kekuasaan tunggal atas pengangkutan dan pembelian hasil bumi dari Asia. Semua aktivitas jual-beli hasil bumi ditentukan harganya oleh Raja Portugal. Orang-orang Belanda yang dikenal sebagai pedagang merasa dirugikan oleh tindakan Portugal tersebut, dan akhirnya berusaha mencari jalan sendiri untuk menghindari monopoli perdagangan Portugal.

Atas inisiatif yang dikeluarkan oleh Dewan Rakyat (Staten-Generaal) pada tanggal 20 Maret 1602 didirikan perusahaan dagang yang diberi nama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Amsterdam, yang kemudian berkembang di berbagai kota lainnya di negeri Belanda. Sebagai perusahaan dagang, Saham VOC dipegang oleh Para pedagang besar Belanda dan juga masyarakat yang membeli saham perusahaan tersebut. Dalam waktu hanya lima tahun setelah didirikan, VOC telah berhasil memiliki 15 armada yang terdiri dari 65 kapal dan dapat memulai pelayarannya dari pelabuhan-pelabuhan Rotterdam, Amsterdam, Middelburg, Vlissingen, Veere, Delft, Hoorn dan Enkhuizen.

Lokasi galangan kapal VOC di Oostenburg, Amsterdam

Sebelum terbentuknya VOC, ekspedisi Belanda pertama ke Asia telah melakukan tiga kali pelayaran antara tahun 1594 – 1596 namun dapat dikatakan mengalami kegagalan. Para pelaut banyak yang jatuh sakit karena keracunan makanan yang telah membusuk. Kapal pertama Belanda mendarat di Banten pada tahun 1596, akan tetapi tidak mendapatkan rempah-rempah seperti yang diharapkan. Pelayaran selanjutnya adalah menuju Maluku (kapal “De Houtman” dan “Van Beuningen”) mengalami kegagalan juga. Hal ini dikarenakan terjadi bentrokan fisik antara awak kapal dengan penduduk setempat sehingga banyak pelautnya yang tewas. Pada tahun 1597 tiga dari empat kapal kembali ke Belanda dan dari 249 awak kapal hanya tinggal 90 orang saja yang masih hidup.

Ekspedisi kedua dilakukan pada tahun 1598 dengan delapan buah kapal dibawah komando kapten kapal Jacob van Neck dan Wybrand van Warwijk yang telah berhasil sampai ke Pelabuhan Banten dan berhasil kembali ke negeri Belanda dengan membawa rempah-rempah dalam jumlah besar dari kepulauan Maluku terutama dari Kepulauan Banda, Ambon dan Ternate.

Keberhasilan Jacob van Neck dan Wybrand van Warwijk telah memotivasi perusahaan-perusahaan di Belanda untuk ikut serta memberangkatkan armadanya menuju Kepulauan Nusantara. Setidaknya dalam periode menjelang tahun 1600 telah terdapat 14 perusahaan Belanda yang telah memberangkatkan sebanyak 62 armadanya menuju Kepulauan Nusantara untuk mencari rempah-rempah.

Menyadari bahwa telah muncul benih-benih persaingan antara perusahaan-perusahaan Belanda, Johan van Oldenbarnevelt mengusulkan untuk membentuk sebuah perusahaan gabungan yang disebut dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada tanggal 20 Maret 1602. Tujuan pembentukan VOC adalah untuk menghindarkan persaingan antar-perusahaan (pengusaha) Belanda serta mampu menghadapi persaingan dengan bangsa lain terutama Spanyol dan Portugis.

Hak Oktroi VOC

Kepemimpinan VOC dipegang oleh dewan yang beranggotakan 17 orang yang berkedudukan di Amsterdam. Tujuh belas Dewan yang memimpin VOC ini disebut juga Heeren Zeventien (Heeren XVII). Oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, VOC diberikan hak istimewa (Ooctroi). Di bawah ini adalah hak oktroi yang diberikan kepada VOC antara lain:

  1. Dianggap sebagai wakil Pemerintah Kerajaan Belanda di Asia;
  2. Melaksanakan monopoli perdagangan;
  3. Mencetak dan mengedarkan uang sendiri;
  4. Mengadakan perjanjian;
  5. Melakukan perang dengan negara lain;
  6. Menjalankan kekuasaan kehakiman;
  7. Pemungutan pajak;
  8. Memiliki angkatan perang sendiri; dan,
  9. Mengadakan pemerintahan sendiri.

VOC merupakan perusahaan multinasional yang pertama di dunia yang tersebar di banyak negara, dan dalam melaksanakan kegiatan perdagangannya tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan yang tidak beradab, termasuk pembunuhan terhadap penduduk dan memperlakukan penduduk asli sebagai budak tanpa rasa perikemanusiaan khususnya di Indonesia.

Persaingan di dalam aktivitas perdagangan rempah-rempah yang terjadi antara Belanda dan Portugis di kepulauan Maluku berakhir ketika VOC berhasil membangun permukiman tetap dengan mengusir Portugis pada tgl 23 Februari 1605. Secara umum dapatlah dikatakan bahwa Belanda berhasil menggantikan posisi Portugis mendapatkan sumber hasil bumi dari kepulauan Nusantara. Selama dua abad menguasai bumi Indonesia, VOC telah bertindak dan memerintah dengan menggunakan kekuasaan militer menekan dan mengadu-domba (devide et impera) kerajaan-kerajaan setempat, memberlakukan hukumnya sendiri di seluruh Indonesia, memiliki pengadilan sendiri dan melakukan perdagangan monopoli yang sangat merugikan rakyat.

Keberadaan VOC telah memberikan nilai tambah yang sangat besar kepada rakyat Belanda, dan karena alasan itu Kementerian Pendidikan Belanda memprakarsai peringatan dan perayaan 400 tahun VOC yang pelaksanaannya dilakukan oleh swasta di seluruh negeri. Selain itu, VOC juga dianggap telah membawa kemakmuran serta kekayaan bagi negara Belanda secara ekonomi ataupun kultural, bahkan dianggap membawa cakrawala baru karena berhasil “menguasai” kawasan-kawasan dunia baru. VOC dinilai berhasil mendorong berbagai perkembangan kemasyarakatan, dan dengan mengarungi lautan telah memperkaya bangsa Belanda belajar tentang bangsa-bangsa lain. Untuk itu generasi muda Belanda harus mengetahui tentang apa arti dan bagaimana perwujudan VOC sebagai bagian dari karya nyata dan kejayaan bangsa Belanda di masa lalu.

Peringatan dan perayaan 400 tahun VOC akan dilakukan di 6 kota dan dipusatkan di Ridderzaal melalui pameran dan penyediaan informasi tentang VOC sepanjang tahun 2002. Pihak Belanda juga telah melakukan pendekatan kepada pemerintah Afrika Selatan, Sri Lanka dan India agar ikut serta mengambil bagian memperingat dan merayakan 400 tahun VOC. Karena dianggap akan mengandung kepekaan politik, panita VOC tidak mengajak Hindia-Belanda (Indonesia), walaupun Belanda menyadari bahwa sebagian besar kegiatan dan keuntungan yang diraup VOC justru berasal dari Hindia-Belanda.

Kekuasaan VOC Di Indonesia

Gerrit Knaap di dalam tulisannya yang berjudul “Dutch Perception of Indonesian History, Anno 2001” mengatakan:

“…kenyataan bahwa VOC di Indonesia tidak lebih dan tidak kurang dari sebuah negara kolonial. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan di dalam piagam ketika VOC didirikan pada tahun 1602, di mana ditetapkan oleh pemerintah bahwa perusahaan ini tidak hanya menjadi organisasi yang aktivitasnya untuk berdagang di daerah antara Tanjung Harapan dan Tanjung Hoorn, tetapi juga memiliki hak untuk berperang, berdamai dan membangun benteng di daerah itu. Menyatakan Perang, membuat perdamaian, dan membuat benteng adalah atribut-atribut sebuah negara, bukan pedagang”.

Gerrit Knaap

Jadi dapatlah dikatakan bahwa VOC adalah sebuah negara bukan sekedar sebuah perusahaan dagang. Lebih ekstrim lagi dapat dikatakan bahwa VOC adalah negara di dalam negara. Selanjutnya Knaap menambahkan di dalam tulisan yang sama bahwa:

“… VOC adalah organisasi dengan dua wajah, di satu sisi adalah sebagai pedagang di sisi lain adalah negarawan”.

Gerrit Knaap

Bahkan Knapp pun mengkhawatirkan tentang adanya sikap orang-orang di Belanda bahwa seolah-olah VOC hanya melaksanakan aktivitas perdagangan saja di Indonesia, ternyata yang dilakukan oleh VOC ternyata lebih dari sekedar berdagang. VOC telah berubah menjadi sebuah negara kolonial yang mengurusi berbagai macam persoalan layaknya sebuah negara.

Peran VOC Di Indonesia

Sementara ilmuwan Belanda maupun Indonesia cukup banyak yang memiliki kesimpulan sama tentang peran VOC di Indonesia pada abad ke-16 dan 17 yaitu tidak terlepas dari politik kolonialisme Belanda, namun di pihak lain sampai sekarang masih cukup banyak pihak-pihak di Belanda yang beranggapan bahwa kolonialisme Belanda di Hindia-Belanda (Indonesia) memiliki misi khusus, yang mereka sebutkan sebagai “misi suci” antara lain:

  1. men-civilized-kan orang-orang Hindia-Belanda (Indonesia) yang masih primitif;
  2. memberi kemakmuran kepada orang-orang Hindia-Belanda (Indonesia) yang masih terbelakang,
  3. mempersatukan orang-orang Hindia-Belanda (Indonesia) yang selalu bertikai antar-mereka,
  4. memberi pendidikan dan kemajuan rakyat Hindia-Belanda (Indonesia), dan
  5. kedatangan VOC ke Hindia-Belanda (Indonesia) semata-mata hanya untuk berdagang.

Cara VOC Mendapatkan Monopoli Perdagangan Di Indonesia

Bagaimana cara VOC memperoleh monopoli perdagangan di Indonesia? Berikut ini adalah cara yang dilakukan VOC untuk memonopoli perdagangan di Indonesia:

  1. Melakukan pelayaran hongi (hongi tochten) untuk memberantas penyelundupan. Tindakan yang dilakukan VOC adalah merampas setiap kapal penduduk yang menjual langsung rempahrempah kepada pedagang asing seperti Inggris, Perancis dan Denmark. Hal ini banyak dijumpai di pelabuhan bebas Makasar.
  2. Melakukan Ekstirpasi (Extirpatie) yaitu penebangan tanaman, milik rakyat. Tujuannya adalah mepertahankan agar harga rempah-rempah tidak merosot bila hasil panen berlebihan;
  3. Perjanjian dengan raja-raja setempat terutama yang kalah perang wajib menyerahkan hasil bumi yang dibutuhkan VOC dengan harga yang ditetapkan VOC. Penyerahan wajib yang disebut dengan Verplichte Leverantie;
  4. Rakyat wajib menyerahkan hasil bumi sebagai pajak, yang disebut dengan istilah Contingenten.
  5. Seiring dengan perubahan permintaan dan kebutuhan di Eropa dari rempah-rempah ke tanaman industri yaitu kopi, gula dan teh maka pada abad 18 VOC mengalihkan perhatiannya untuk menanam ke tiga jenis barang komoditi tersebut. Misalnya tanaman tebu di Muara Angke (sekitar Batavia), kopi dan teh yang dilaksanakan di daerah Priangan.

Di dalam melaksanakan pemerintahan VOC banyak mempergunakan tenaga Bupati pribumi. Sedangkan VOC mempercayai orang-orang Tionghoa untuk melakukan pemungutan pajak dengan cara menyewakan desa untuk beberapa tahun lamanya.

Kemunduran VOC

Pada pertengahan abad ke 18 VOC mulai mengalami kemunduran. Di bawah ini adalah faktor penyebab kemunduran VOC;

  1. Banyak pegawai VOC yang curang dan melakukan korupsi;
  2. Banyak pengeluaran untuk biaya peperangan di Kepulauan Nusantara;
  3. Banyaknya gaji yang harus dibayar karena kekuasaan yang luas membutuhkan pegawai yang banyak dan gaji yang besar;
  4. Pembayaran devident (keuntungan) bagi pemegang saham turut memberatkan setelah pemasukan VOC mengalami kekurangan;
  5. Bertambahnya saingan dagang di Asia terutama Inggris melalui EIC (East India Company) dan Perancis (Compagnie francaise pour le commerce des Indes orientales).
  6. Perubahan politik di negeri Belanda dengan berdirinya Republik Bataaf pada tahun 1795 yang demokratis dan liberal menganjurkan perdagangan bebas.
  7. Berdasarkan faktor-faktor diatas VOC kemudian secara resmi dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799 dengan meninggalkan warisan hutang sebanyak 136,7 juta gulden. Sedangkan kekayaan yang ditinggalkan berupa kantor dagang, gudang, benteng, kapal serta daerah kekuasaan di Hindia-Belanda (Indonesia).

Timeline Aktivitas VOC Di Indonesia

Di bawah ini adalah timeline aktivitas VOC di Indonesia sejak abad ke-17 sampai dengan akhir abad ke-18:

Abad Ke-17

  1. Maret 1602 – Belanda berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah dengan membentuk suatu kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).
  2. 1602 – Sir James Lancaster kembali ditunjuk oleh Kerajaan Inggris untuk memimpin pelayaran yang armadanya berisi orang-orang The East India Company dan tiba di Pelabuhan Aceh untuk selanjutnya menuju Pelabuhan Banten.
  3. 1603 – VOC telah membangun pusat perdagangan pertama yang tetap di Pelabuhan Banten. Namun hal ini tidak menguntungkan kerena persaingan dengan para pedagang Tionghoa dan Inggris.
  4. 1604 – Pelayaran yang ke-2 maskapai Inggris yang dipimpin oleh Sir Henry Middleton, Pelayaran ini berhasil mencapai Ternate, Tidore, Ambon dan Banda. Akan tetapi kedatangan mereka mendapatkan perlawanan yang keras dari VOC.
  5. Februari 1605 – Armada VOC bersekutu dengan Hitu menyerang kubu pertahanan Portugis di Ambon dengan imbalan VOC berhak sebagai pembeli tunggal rempah-rempah di Hitu.
  6. 1609 – VOC membuka kantor dagang di Sulawesi Selatan namun niat tersebut dihalangi oleh raja Gowa. Raja Gowa tersebut telah menjalin kerjasama dengan pedagang-pedagang dari Inggris, Prancis, Denmark, Spanyol dan Portugis.
  7. 1610 – Ambon dijadikan pusat VOC dan dipimpin oleh seorang-gubernur jendral. Akan tetapi selama kepemimpinan 3 orang gubernur-jendral, Ambon tidak begitu memuaskan untuk dijadikan markas besar karena jauh dari jalur-jalur utama perdagangan Asia.
  8. 1611 – Inggris berhasil mendirikan kantor dagangnya di bagian Indonesia lainnya, di Sukadana (Kalimantan barat daya), Makassar, Jayakerta, Jepara, Aceh, Priaman, Jambi.
  9. 1618 – Kerajaan Banten mengambil keputusan untuk menyerang Jayakarta dan VOC dan memaksa Inggris untuk membantu mereka. Kekuatan Inggris ini dipimpin oleh laksamana Thomas Dale.
  10. 1619 – Ketika VOC akan menyerah kepada Inggris, secara tiba-tiba muncul tentara Banten untuk menghalangi tujuan Inggris. Karena Banten tidak menginginkan pos VOC di Batavia diisi oleh Inggris. Akibatnya Thomas Dale melarikan diri dengan kapalnya yang menyebabkan Banten berhasil menduduki kota Batavia.
  11. 12 Mei 1619 – Pihak Belanda mengambil keputusan untuk memberi nama baru bagi Jayakarta sebagai Batavia.
  12. Mei 1619 – Jan Pieterszoon Coen, melakukan pelayaran ke Banten dengan kekuatan 17 kapal.
  13. 30 Mei 1619 – Setibanya Jan Pieterszoon Coen di Banten, ia melakukan penyerangan terhadap Banten dan berhasil memukul mundur tentara Banten. Jan Pieterszoon Coen membangun Batavia sebagai pusat militer dan administrasi yang relatif aman bagi pergudangan dan pertukaran barang-barang, karena dari Batavia cenderung mudah mencapai jalur-jalur perdagangan ke Indonesia bagian timur, timur jauh, dan dari Eropa. Hal ini sangat bertolak belakang dengan posisi di Ambon.
  14. 1619 – Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi gubernur-jendral VOC yang berpusat di Batavia. Jan Pieterszoon Coen menggunakan kekerasan, untuk memperkuat kekuasaannya dan menghancurkan semua yang dapat menghalanginya. Jan Pieterszoon Coen menjadikan Batavia sebagai tempat bertemunya kapal-kapal dagang VOC.
  15. 1619 – Jan Pieterszoon Coen melakukan kebijakan untuk menghidupkan perekonomian di Batavia dengan cara mendatangkan orang-orang Tionghoa ke Batavia. VOC mendatangkan sebanyak mungkin pedagang-pedagang Tionghoa yang ada di berbagai pelabuhan seperti Banten, Jambi, Palembang dan Malaka ke Batavia. Bahkan ada juga yang langsung datang dari Tiongkok. Di sini orang-orang Tionghoa sudah menjadi suatu bagian penting dari perekonomian di Batavia. Mereka aktif sebagai pedagang, penggiling tebu, pengusaha toko, dan tukang yang terampil.
  16. 1620 – Berdasarkan perkembangan kondisi politik yang terjadi di Eropa, VOC terpaksa bekerjasama dengan pihak Inggris dengan memperbolehkan Inggris mendirikan kantor dagangnya di Ambon.
  17. 1620 – Dalam rangka mengatasi masalah penyeludupan di Maluku, VOC melakukan pembuangan, pengusiran bahkan pembantaian seluruh penduduk Pulau Banda dan berusaha menggantikannya dengan orang-orang Belanda pendatang dan mempekerjakan tenaga kerja kaum budak.
  18. 1623 – VOC melanggar kerjasama dengan Inggris, dengan membunuh dua belas agen perdagangan Inggris, sepuluh orang Inggris, sepuluh orang Jepang, sedangkan terdapat satu orang Portugis dipotong kepalanya.
  19. 1630 – Belanda telah mencapai banyak kemajuan dalam meletakkan dasar-dasar militer sebagai modal untuk mendapatkan hegemoni perniagaan laut di Indonesia.
  20. 1637 – VOC yang telah cukup lama di Maluku tidak mampu memaksakan monopoli atas produksi pala, bunga pala, dan yang terpenting, adalah monopoli terhadap cengkeh. Penyeludupan cengkeh semakin berkembang, selain itu muncul kelompok-kelopmpok yang anti dengan VOC. Gubernur-Jendral Antonio van Diemen melakukan serangan terhadap para penyeludup dan pasukan-pasukan Ternate di Hoamoal.
  21. 1638 – Antonio Van Diemen datang kembali ke Maluku untuk membuat perjanjian dengan raja Ternate dimana VOC bersedia mengakui kedaulatan raja Ternate atas wilayah Seram dan Hitu serta menggaji raja sebesar 4.000 real/tahun dengan imbalan bahwa penyeludupan cengkeh akan dihentikan dan VOC diberi kekuasaan de facto atas Maluku. Akan tetapi persetujuan ini gagal.
  22. 1643 – Arnold de Vlaming mengambil kesempatan kekalahan Ternate dengan memaksa raja Ternate Mandarsyah ke Batavia dan menandatangani perjanjian yang melarang penanaman pohon cengkeh di semua wilayah kecuali Ambon atau daerah lain yang dikuasai VOC. Hal ini disebabkan pada masa itu Ambon mampu menghasilkan cengkeh melebihi kebutuhan untuk konsumsi dunia.
  23. 1656 – Seluruh penduduk Ambon yang tersisa dibuang. Semua tanaman rempah-rempah di wilayah Hoamoal dimusnahkan dan akibatnya daerah tersebut tidak didiami oleh manusia kecuali jika ekspedisi Hongi melintasi wilayah itu untuk mencari pohon-pohon cengkeh liar yang harus dimusnahkan.
  24. 1660 – Armada VOC yang terdiri dari 30 kapal menyerang kerajaan Gowa dan menghancurkan kapal-kapal Portugis.
  25. Agustus-Desember 1660 – Sultan Hasanuddin, raja Kerajaan Gowa dipaksa untuk menerima persetujuan perdamaian dengan VOC, namun persetujuan ini tidak berhasil mengakhiri permusuhan diantara mereka.
  26. 18 November 1667 – Atas bantuan Raja Bone, Aru Palaka untuk menggempur Kerajaan Gowa, VOC memaksa Sultan Hasanuddin untuk menandatangani perjanjian Bongaya, akan tetapi Sultan Hasanuddin kembali mengobarkan pertempuran.
  27. April 1668 dan Juni 1669 – VOC yang dibantu oleh Bone kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Kerajaan Gowa dan setelah pertempuran ini perjanjian Bongaya benar-benar dilakukan.
  28. 1669 – Kondisi keadaan Kepulauan Nusantara bagian timur semakin memprihatinkan, kehidupan ekonomi dan administrasi tidak terkendalikan lagi.
  29. 1670 – VOC berhasil menancapkan kekuasaannya di wilayah Indonesia Timur dan mulai melakukan konsolidasi untuk memperkuat pengaruhnya. Meskipun begitu VOC masih tetap menghadapi pemberontakan-pemberontakan tetapi dengan kekuatan yang tidak begitu besar.
  30. 1670 – VOC melakukan kebijakan ekstirpasi (pemangkasan) tanaman rempah-rempah yang tidak dapat diawasi, Hoamoal tidak dihuni lagi, Orang Bugis dan Makassar mulai meninggalkan kampung halamannya. Banyak orang-orang Eropa dan sekutu-sekutu VOC yang tewas, semata-mata hanya untuk mencapai tujuan VOC untuk memonopoli rempah-rempah.
  31. 1674 – Pulau Jawa berada dalam kondisi yang memprihatinkan, kelaparan merajalela, berkembangnya wabah penyakit, Gunung Merapi meletus, gempa bumi, gerhana bulan, dan hujan yang tidak turun pada musimnya.
  32. 1680 – Di Jawa Barat, kerajaan Banten pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa mengalami masa kejayaannya, Banten memiliki suatu armada yang dibangun menurut model Eropa. Kapal-kapalnya berlayar memakai surat jalan untuk melakukan perdagangan yang aktif di Nusantara. Atas bantuan Inggris Denmark, dan juga Tiongkok, orang-orang di Banten dapat berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Tiongkok, Filipina dan Jepang. Banten merupakan penghasil lada yang sangat kaya.
  33. 1680 – VOC pada dasarnya hanya terbatas menguasai dataran-dataran rendah tertentu saja di Pulau Jawa. Sedangkan untuk daerah pedalaman seperti daerah pegunungan seringkali tidak berhasil dikuasai dan daerah ini dijadikan tempat persembunyian bagi kelompok-kelompok yang anti-VOC. Tidak dapat dihindarkan lagi perlawanan-perlawanan yang dilakukan itu dapat mengakibatkan kesulitan dan menguras dana VOC.
  34. 1682 – Pasukan VOC yang dipimpin Francois Tack dan Isaac de Saint Martin berlayar menuju pelabuhan Banten untuk menguasai perdagangan di Banten. VOC merebut dan memonopoli perdagangan lada di Banten. Orang-orang Eropa yang merupakan saingan VOC diusir. Orang-orang Inggris melarikan diri ke Bengkulu dan Sumatera Selatan yang merupakan satu-satunya pos mereka yang masih ada di Indonesia.
  35. 1683-1710 – VOC mengalami permasalahan keuangan yang sangat berat di wilayah Asia. Di antara 23 kantornya hanya tiga yang mampu memberikan keuntungan; sembilan diantaranya menunjukkan kerugian setiap tahun termasuk Ambon, Banda, Ternate, Makassar, Banten, Cirebon dan wilayah pesisir Jawa. VOC telah mengeluarkan dana yang sangat besar akibat perlawanan yang dilakukan diberbagai tempat. Di samping pengeluaran pribadi VOC yang tidak efesien, kebejatan moral, korupsi yang merajalela. VOC juga menuntut semakin banyak kepada rakyat Jawa, yang mengakibatkan pemberontakan yang terus berlanjut dan pengeluaran VOC bertambah tinggi.
  36. 1684 – Gubernur Jendral Speelman meninggal. Terbongkarlah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Speelman memerintah tanpa mempertimbangkan nasihat Dewan Hindia dan banyak melakukan pembayaran dengan uang VOC yang pada dasarnya tidak pernah ada untuk pekerjaan yang tidak pernah dilakukan. Selama masa kekuasaan Speelmen jumlah penjualan tekstil menurun 90%, monopoli candu tidak efektif. Speelman juga banyak melakukan penggelapan uang negara dan pada 1685 semua penunggalan Speelman disita negara.
  37. 8 Februari 1686 – Dengan kelihaian dari Surapati berhasil membunuh Francois Tack dalam suatu pertempuran. Tack tewas dengan dua puluh luka di tubuhnya.
  38. 1690 – Belanda berusaha membalas kekalahan yang dialami Tack tetapi gagal karena Surapati menguasai teknik-teknik militer Eropa dengan baik.

Abad Ke-18

  1. 1702 – Jumlah kekuatan serdadu militer VOC berkebangsaan Eropa di Hindia-Belandahanya tinggal sedikit. Administrasi VOC semakin memburuk.
  2. 1706 – Di dalam melakukan perlawanan terhadap VOC, Surapati tewas di Bangil.
  3. 1721 – VOC mengumumkan apa yang dinamakan dengan komplotan orang-orang Islam yang bermaksud melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Eropa di Batavia dan juga orang-orang Tionghoa.
  4. 1722 – Perlakuan terhadap orang-orang Tionghoa bertambah kejam. Walaupun demikian jumlah orang Tionghoa semakin meningkat. VOC melakukan sistem kuota untuk membatasi penduduk yang masuk, tetapi kapten-kapten kapal Tionghoa mampu menghindarinya dengan bantuan dari para pejabat VOC yang korup. Orang-orang Tionghoa pendatang yang tidak mendapatkan pekerjaan sebagian besar dari mereka bergabung menjadi gerombolan-gerombolan penjahat di sekitar Batavia.
  5. 1727 – Posisi ekonomi orang Tionghoa semakin penting di satu pihak dan sering terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh orang Tionghoa, Hal ini telah menimbulkan perasaan tidak senang terhadap orang Tionghoa. Rasa tidak senang menjadi semakin tebal di kalangan penduduk di Batavia, Orang-orang Belanda mulai tidak dapat menandingi kekuatan ekonomi orang-orang Tionghoa. Atas dasar hal ini kemudian muncul rasa permusuhan dan sikap rasial terhadap orang-orang Tionghoa.
  6. 1727 – VOC mengeluarkan peraturan bahwa semua orang Tionghoa yang telah tinggal 10 – 12 tahun di Batavia dan belum memiliki surat izin akan dikembalikan ke Tiongkok.
  7. 1729 – VOC memberikan kesempatan selama 6 bulan kepada orang Tionghoa untuk mengajukan permohonan izin tinggal di Batavia dengan membayar 2 ringgit.
  8. 1730 – VOC mengeluarkan larangan bagi orang Tionghoa untuk membuka tempat penginapan, tempat pemadatan candu dan warung-warung baik di dalam maupun di luar Batavia.
  9. 1736 – VOC mengadakan pendataan bagi semua orang Tionghoa yang tidak memiliki surat izin tinggal.
  10. 1740 – Berdasarkan pendataan yang dilakukan pemerintah telah terdapat 2.500 rumah orang Tionghoa di dalam tembok Batavia sedangkan jumlah orang Tionghoa di kota dan di daerah sekitarnya diperkirakan mencapai angka 15.000 jiwa. Jumlah ini setidak-tidaknya merupakan 17% dari keseluruhan penduduk di Batavia. Ada kemungkinan bahwa orang-orang Tionghoa sebenarnya merupakan penduduk yang cukup besar. Ada pula orang-orang Tionghoa di kota-kota pelabuhan Jawa dan Kartasura walaupun jumlahnya jauh lebih sedikit.
  11. 1740 – Terjadi penangkapan terhadap orang-orang Tionghoa, yang dilakukan pemerintah dan tidak kurang dari 1.000 orang Tionghoa dipenjarakan. Dengan kejadian ini, orang-orang Tionghoa menjadi gelisah lebih-lebih setelah sering terjadi penangkapan, penyiksaan, dan perampasan hak milik Tionghoa.
  12. 4 Februari 1740 – Segerombolan orang Tionghoa melakukan perlawanan dan penyerbuan terhadap pos penjagaan untuk membebaskan orang-orang yang ditahan.
  13. Juni 1740 – VOC mengeluarkan lagi peraturan bahwa semua orang Tionghoa yang tidak memiliki izin tinggal akan ditangkap dan diangkut ke Sailan (Sri Lanka). Peraturan ini dilaksanakan oleh VOC dengan sewenang-wenang.
  14. September 1740 – Tersiar kabar bahwa sekelompok orang Tionghoa di daerah pedesaan sekitar Batavia bergerak mendekati pintu gerbang Batavia.
  15. 7 Oktober 1740 – Pasukan bantuan yang dikirim ke Tangerang oleh VOC diserang oleh orang-orang Tionghoa, sebagian besar dari pasukan tersebut tewas.
  16. Oktober 1740 – Berdasarkan bukti yang didapatkan oleh VOC dapat ditarik kesimpulan bahwa orang-orang Tionghoa sedang merencanakan sebuah pemberontakan.
  17. 8 Oktober 1740 – VOC mengeluarkan maklumat, antara lain perintah menyerahkan senjata kepada kompeni. Selain itu VOC juga mengeluarkan kebijakan Jam malam diadakan.
  18. 9 Oktober 1740 – Dimulainya penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang Tionghoa secara besar-besaran. Pembunuhan ini dilakukan oleh orang-orang Eropa dan para budak. Dan pada akhirnya diperkirakan sekitar 10.000 orang Tionghoa yang tewas. Perkampungan orang Tionghoa dibakar selama beberapa hari. Kekerasan yang dilakukan terhadap orang Tionghoa ini berhenti setelah orang Tionghoa memberikan uang premi kepada serdadu-serdadu VOC.
  19. 10 Oktober 1740 – Pertahanan VOC di Tangerang diserang oleh sekitar 3.000 orang Tionghoa.
  20. Mei 1741 – Orang-orang Tionghoa yang berhasil lolos dari pembantaian di Batavia melarikan diri ke daerah timur menyusuri sepanjang daerah pesisir. Mereka melakukan perebutan pos di daerah Juwana. Selain itu Markas besar VOC dikepung dan pos-pos lainnya juga terancam.
  21. Juli 1741 – Pos VOC di Rembang dihancurkan oleh orang-orang Tionghoa dan membunuh seluruh personel VOC.
  22. Juli 1741 – Prajurit Kesultanan yang berada di Kartasura menyerang pos garnisun VOC. Komandan VOC di Kartasura, yaitu Kapten Johannes van Velsen dan beberapa serdadu VOC tewas. Serdadu yang selamat ditawari pilihan beralih ke agama Islam atau mati dan banyak yang memilih untuk pindah agama.
  23. November 1741 – Pakubuwana II mengirimkan pasukan artileri ke Kota Semarang. Pasukan tersebut bersatu dengan orang-orang Tionghoa untuk mengadakan pengepungan terhadap pos VOC. Pos VOC di Semarang ini dikepung oleh 20.000 orang Jawa dan 3.500 orang Tionghoa dengan 30 buah meriam. Orang Jawa dan Tionghoa bersatu melawan VOC.
  24. Desember 1741 – awal 1742 – VOC merebut kembali daerah-daerah yang terancam.
  25. 13 Februari 1755 – VOC menyepakati Perjanjian Giyanti yang isinya VOC mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I, sebagai penguasa separuh wilayah Jawa Tengah.
  26. September 1789 – VOC menerima kabar bahwa raja-raja Jawa akan melakukan penangkapan dan juga pembunuhan terhadap orang-orang Eropa. VOC kemudian mengutus Andries Hartsick dengan menggunakan pakaian adat Jawa untuk menghadiri pertemuan rahasia di Istana Jawa.
  27. 1 Januari 1800 – VOC secara resmi dibubarkan, kemudian didirikan sebuah dewan untuk urusan jajahan Asia. di Eropa, setelah meletusnya Revolusi Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte telah menyebabkan Belanda kalah perang dan dikuasai Perancis. Wilayah-wilayah yang dimiliki oleh Belanda pun menjadi milik Perancis.

Sistem Perdagangan VOC Di Indonesia

Bagaimana Sistem Perdagangan VOC di Indonesia?. Sistem perdagangan VOC di Indonesia mulai dilakukan sejak VOC (secara resmi didirikan pada tahun 1602 sebagai kongsi dagang Belanda yang berada di Dunia Timur. Sistem perdagangan VOC di Indonesia ini segera diterapkan diberbagai wilayah di Indonesia yang telah berada di bawah pengaruh VOC, setidaknya praktik dari sistem ini berlaku hingga runtuhnya VOC pada tahun 1799.

Praktik Sistem Perdagangan VOC Di Indonesia

Seperti apa yang juga dilakukan oleh bangsa Portugis, memasuki masa Modern Awal, bangsa Belanda pun juga mengaitkan aktivitas perdagangan (ekonomi) dan juga politik (kekuasaan). Namun, perlu diketahui, bahwa bangsa Belanda berbeda dengan bangsa Portugis dalam menerapkan aktivitas tersebut. Bangsa Belanda melaksanakan perdagangan antar benua melalui suatu badan dagang yang dibentuk secara khusus untuk melaksanakan aktivitas tersebut. Badan dagang ini dilengkapi dengan modal yang disetor oleh warga negaranya. Dengan demikian, meskipun berada dalam perdagangan antar-benua, perusahaan perdagangan dari bangsa Belanda tetaplah mendapat perlindungan politik. Sehingga perusahaan perdagangan itu bukan menjadi milik negara Belanda, melainkan milik warga negara Belanda.

Sejak berhasil melepaskan diri dari penjajahan bangsa Spanyol, pada tahun 1581 bangsa Belanda membentuk suatu Republik Belanda Serikat yang dinamakan De Republiek der Verenigde Nederlanden yang terdiri atas tujuh negara bagian. Setiap negara bagian memiliki penguasanya sendiri yang dilengkapi dengan dewan perwakilan masing-masing (Staten). Pada masa awal pembentukan republik ini di Belanda belum ada raja, tetapi pengaruh dari keluarga Oranye berfungsi sebagai alat pemersatu diantara tujuh negara bagian itu. Selain itu, ada pula sebuah dewan perwakilan yang mencakup semua negara bagian yang dinamakan dengan Staten-Generaal.

Sistem Perdagangan Belanda

Sistem perdagangan Belanda yang memadukan unsur politik dan keterlibatan swasta itu berkaitan dengan perkembangan masyarakat Belanda. Pada periode Republik Belanda ini, ekonomi pada umumnya (khususnya berkaitan dengan perdagangan) berada dalam pengaruh kaum bourgeoisie (borjuis), sedangkan politik masih berada dalam tangan aristokrat. Kerja sama yang baik antara kedua golongan sosial itulah (borjuis dan aristokrat) yang memungkinkan diselenggarakannya perdagangan antar-benua bagi Belanda.

Aktivitas awal yang dilakukan oleh bangsa Belanda dalam pelayaran menjelang akhir abad ke-16 adalah dengan mengunjungi Venesia di Italia untuk mencari informasi Jalan laut ke arah Timur (Asia). Di Venesia inilah bangsa Belanda berhasil memperoleh peta-peta dan informasi menuju ke Timur. Sebelum bangsa Belanda, bangsa Portugis telah terlebih dahulu mendapatkan informasi-informasi ini dan oleh karenanya bangsa Portugis terlebih dahulu-lah yang melakukan pelayaran ke Dunia Timur.

Setelah berhasil mendapatkan informasi terkait Dunia Timur, bangsa Belanda mulai melakukan pelayaran ke Dunia Timur pada dekade akhir abad ke-16. Sejak tahun 1595 kapal-kapal niaga Belanda mulai berdagang di Pelabuhan Banten dan Sunda Kelapa. Perdagangan tersebut dipelopori oleh para pedagang kota Amsterdam yang mendapat lisensi dari wali kotanya untuk memegang monopoli perdagangan antara Amsterdam dan Asia. Daerah Zeeland di selatan juga membentuk perusahaan pelayaran niaganya. Tidak lama kemudian kota-kota lainpun mulai membentuk perusahaan pelayaran niaga dengan lisensi dari walikota masing-masing.

Banyaknya perusahaan pelayaran niaga yang mengklaim memegang monopoli perdagangan antara kota masing-masing dengan Asia dengan sendirinya menimbulkan persaingan ketat antara para pedagang Belanda. Persaingan ini terutama terjadi pada penentuan harga jual rempah-rempah yang diangkut dari Asia, khususnya yang berasal dari Kepulauan Indonesia (Nusantara). Persaingan itu mengakibatkan merosotnya keuntungan dan menyebabkan pihak Amsterdam dan Zeeland memutuskan untuk menyatukan semua perusahaan pelayaran niaga itu dalam satu perusahaan saja.

Usulan dari Amsterdam dan Zeeland yang disertai dengan bantuan pemerintah masing-masing, dan intervensi keluarga Oranye, melalui Pangeran Mauritz, pada tanggal 20 Maret 1602 Staten Generaal mengeluarkan sebuah surat izin (Octrooi) pada sebuah perusahaan yang dinamakan Verenigde Oostindische Compagnie (Serikat Perusahaan Perdagangan di Asia Timur). Octrooi tersebut berlaku selama 21 tahun dan dapat diperbarui seterusnya.

Serikat perusahaan dagang itu dikelola oleh sebuah badan (Bewindhebbers) yang berjumlah sekitar 70 orang yang mana mereka mewakili perusahaan-perusahaan lokal yang telah ada sebelumnya. Selanjutnya, mereka memilih 17 orang yang menjadi direksi (Heeren XVII). Modal perusahaan disetor oleh setiap pengurus perusahaan-perusahaan lokal ditambah dengan saham yang dapat dibeli oleh siapa saja (Partiesipient). Sampai VOC dibubarkan pada tahun 1799, modal dasar yang pertama itu tidak pernah ditambah sehingga tambahan modal hanya bergantung pada penjualan saham. Hambatan modal itu sangat terasa ketika VOC meningkatkan intensitas perdagangannya pada abad ke-18. Kekurangan dana ini tidak memungkinkan VOC untuk menutup biaya penyediaan kapal dan modal dagang di Asia dari keuntungannya.

Jika orang Belanda mendapat peta dan keterangan mengenai jalan laut ke Asia dari Venesia, sistem perdagangan di Asia banyak mengikuti Portugis yang sudah berada di Asia sejak abad ke-16. Namun, sampai tahun 1619 VOC belum memiliki pusat perdagangan di Asia. Selama itu pula Gubernur Jenderal VOC yang sudah diangkat sejak 1602 selalu berkantor di sebuah kapal VOC yang berada di perairan Kepulauan Indonesia.

Perdagangan Yang Didasari Oleh Birokrasi Dan Tentara

Permasalahan pusat kantor dagang VOC baru berhasil dipecahkan pada tahun 1619, ketika Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen berhasil merebut Jayakarta beserta “dalem” dari Pangeran Wijayakrama yang memerintah sebagai wakil dari kerajaan Banten. Dengan keberhasilan menaklukkan Jayakarta, VOC menyatakan bahwa ia telah menduduki “kerajaan Sunda” yang membentang dari Teluk Jakarta hingga Samudra Hindia. Di bekas “dalem” itulah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen membangun sebuah benteng yang diberi nama Batavia dan sebuah kota di bagian selatan Benteng Batavia.

Batavia (1780) sebagai pusat dari pemerintahan dalam penerapan sistem perdagangan VOC di Indonesia

Selain itu, seperti halnya yang dilakukan oleh Portugis, VOC juga memiliki suatu jaringan birokrasi dan persenjataan. Cara berdagang yang tidak lazim di Asia itu (kecuali Cheng He) dapat disebut sebagai beaucratic and amred trade (berdagang yang didasari birokrasi dan tentara). Wujudnya adalah benteng-benteng dengan pegawai dan tentaranya serta suatu hubungan surat-menyurat yang aktif dan laporan-laporan yang panjang dan lengkap antara berbagai pejabat di daerah dengan pusat VOC yang terletak di Batavia. Wilayah-wilayah yang dikuasai VOC untuk kepentingan dagangnya dikoordinasi oleh seorang goeverneur (gubernur), sedangkan di wilayah-wilayah lain yang tidak memiliki ikatan politik ditempatkan seorang opperhoofd (kepala) atau seorang gezaghebber (penguasa).

Sebelum VOC membangun Benteng Batavia, VOC telah berhasil merebut beberapa benteng Portugis (sebagian besar di Kepulauan Maluku) dan membangun sejumlah benteng baru di tempat-tempat yang dipandang strategis. Seluruh sistem benteng yang saling dihubungkan dengan armada-armada VOC itu bertujuan menjamin monopoli VOC atas produksi rempah-rempah yang ada di Kepulauan Indonesia.

Partnership (Kemitraan)

Suatu ciri khas lain dari Sistem perdagangan VOC di Indonesia adalah yang dinamakan dengan partnership (kemitraan). VOC mengupayakan suatu sistem monopoli atas rempah-rempah dengan cara membina kemitraan dengan para penguasa lokal. Sampai sekitar pertengahan abad ke-16 kemitraan itu berhasil dibangun karena para penguasa lokal di Indonesia membutuhkan VOC untuk memerangi bangsa Portugis. Pihak VOC juga berkepentingan secara ekonomis (dagang) maupun secara politis untuk memerangi bangsa Portugis. Hal ini disebabkan adanya kepentingan bersama dalam menghadapi Portugis, walau pada pihak VOC ada tambahan kepentingan dagang sedangkan pada pihak penguasa lokal praktis unsur ekonomi itu hampir dapat dikatakan tidak ada.

Setelah negara-negara tradisional di Kepulauan Indonesia berhasil menyingkirkan dominasi Portugis karena bantuan VOC, sejak sekitar pertengahan abad ke-17 kemitraan dengan penguasa-penguasa lokal itu mulai dibangun oleh VOC dengan memihak salah satu pihak yang bertikai dalam suatu kerajaan tertentu. Sistem kemitraan yang dilakukan oleh VOC itu didukung oleh sistem perbentengan dan armada.

Praktik Monopoli VOC Di Indonesia

Sistem perdagangan VOC di Indonesia terlihat dengan jelas pada praktik monopoli VOC di Indonesia terutama yang dilakukan dibeberapa wilayah di Indonesia seperti di Banda, Maluku Utara dan Ambon.

Praktik Monopoli VOC Di Ambon

Praktik monopoli VOC di Ambon adalah salah satu praktik dari sistem perdagangan VOC di Indonesia. Sebelum VOC berhasil menerapkan praktik monopolinya terhadap Ternate, sistem monopoli VOC di Kepulauan Ambon telah dilakukan lebih awal. Sebagaimana diketahui, bahwa praktek dari sistem monopoli VOC adalah melalui kemitraan dan yang paling pertama dilakukan oleh VOC adalah terhadap Kepulauan Ambon.

Kemitraan awal yang dibangun oleh VOC di Indonesia adalah terhadap Kepulauan Ambon. Sebagaimana diketahui, bahwa VOC telah lebih dahulu berkuasa di Ambon daripada di Ternate. Persaingan Hitu dengan Portugis yang telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-16 itu semakin memanas menjelang akhir abad ke-16. Sejak saat itu pula kapal-kapal dagang Belanda mulai muncul di Hitu dengan tujuan mengambil keuntungan yang maksimal dari perdagangan cengkeh. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau Hitu mencoba menjalin persahabatan dengan Belanda untuk menghadapi Portugis.

Ketika di Hitu muncul berita bahwa di Pelabuhan Banten telah muncul armada Belanda yang sangat kuat, dikirimlah utusan-utusan untuk meminta agar Belanda mau bergabung dengan Hitu menghadapi Portugis. Laksamana Steven van der Hagen yang memimpin armada VOC tersebut segera memanfaatkan kesempatan baik itu karena ditawari monopoli cengkeh sebagai imbalan kerja sama. Pada tahun 1606 armada VOC dengan dibantu oleh pihak Hitu berhasil merebut benteng Portugis di Ambon itu dan mengganti namanya menjadi Fort Victoria.

Keinginan VOC di Ambon untuk menjalankan sistem perdagangan monopoli cengkeh di kepulauan ini mendapat perlawanan dari wakil Ternate yang berkedudukan di Luhu, Hoamoal. Perlawanan itu menjalar juga ke negeri-negeri (desa-desa) yang penduduknya beragama Islam di Pulau Haruku dan Pulau Saparua. Tidak lama kemudian, Hitu, sekutu VOC juga mengangkat senjata melawan VOC di Ambon.

Perjanjian VOC dengan Sultan Mandar Syah pada tahun 1652 tersebut mengakhiri perlawanan Hoamoal dan Hitu. Di mana berdasarkan perjanjian itu, VOC berkuasa atas Hoamoal dan Hitu. Namun, pertarungan untuk menguasai perdagangan cengkeh di kepulauan Ambon itu terus berlangsung hingga 1658. VOC akhirnya unggul karena teknologi perangnya jauh lebih baik daripada teknologi perang penduduk lokal. Bantuan dari Makassar dan dari Jawa tidak dapat menahan armada yang sangat kuat dari Batavia dengan pimpinan seorang laksamana VOC yang sangat berpengalaman, yaitu Arnold de Vlaming.

Setelah berhasil memadamkan perlawanan, dengan demikian, VOC di Ambon mulai secara bebas membangun suatu sistem monopoli cengkeh di Maluku. Sehingga dimulailah sistem monopoli VOC di Kepulauan Ambon. Sebenarnya sudah sejak tahun 1652 Gubernur VOC di Ambon memerintahkan penduduk untuk menanam cengkeh. Namun, kebun-kebun cengkeh itu hanya dibatasi pada empat pulau, yaitu Pulau Ambon, Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut. Di pulau-pulau lainnya yang pernah menghasilkan cengkeh ketika masih dikuasai Ternate, yaitu di Jazirah Hoamoal dan pulau-pulau kecil di sekitarnya berlaku pelarangan seperti tertera dalam perjanjian dengan Sultan Mandar Syah (extierpatie dan hongitochten).

Pada umumnya setiap keluarga di Kepulauan Ambon diharuskan menanam sejumlah pohon cengkeh yang setiap tahunnya dipanen menjelang akhir tahun. Akan tetapi, ketika jumlah produksi cengkeh berlebihan di pasar Eropa yang menyebabkan harganya merosot, VOC di Ambon melakukan kebijakan hongitochten dan menebas (extierpatie) sejumlah pohon cengkeh yang ada di setiap negeri. Kebijakan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1692. Ketika pasar dunia kekurangan persediaan cengkeh, pada tahun 1727 VOC memerintahkan penduduk untuk menambah lagi jumlah pohon cengkeh. Pada tahun 1770 muncul lagi perintah untuk mengurangi produksi cengkeh. Selama pendudukan Inggris di Kepulauan Ambon antara 1796 dan 1817 penanaman dan produksi cengkeh sangat mundur karena Inggris tidak mementingkannya.

Cengkeh yang ditanam masyarakat keempat pulau tersebut (Pulau Ambon, Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut) dijual kepada VOC di benteng-benteng milik VOC dengan harga 56 ringgit setiap bahar (di Maluku sama dengan sekitar 110 kg) atau f168. Diperkirakan bahwa sekitar 1680-an setiap tahun setiap dati (keluarga) dengan panen yang normal dapat menjual kepada VOC kurang dari 1 bahar dan memperoleh rata-rata 25,2 realen (ringgit atau uang Spanyol). Namun, dari jumlah itu masih ada berbagai potongan, di antaranya bagian yang terbesar untuk para penguasa desa belum lagi manipulasi alat timbang oleh pegawai VOC (menambahkan batu pada cengkeh yang ditimbang). Dalam masa jatuhnya harga cengkeh seperti dalam abad-abad berikut, dengan sendirinya pendapatan penduduk di Kepulauan Ambon menjadi jauh lebih rendah.

Uang yang diterima penduduk itu digunakan untuk membeli barang-barang “mewah”, seperti berbagai macam kain cita (chitzen) yang diimpor VOC dari India, perabot yang terbuat dari besi dan beras yang dijual para pedagang Makassar, dan lain sebagainya. Kemewahan itu tidak dapat dinikmati oleh penduduk yang dilarang menanam cengkeh, seperti di Pulau Seram dan Pulau Buru.

Sistem monopoli VOC di Kepulauan Ambon tersebut sesungguhnya tidak benar-benar terkendali. Lautan yang luas dan demikian banyaknya pulau-pulau kecil yang dapat digunakan oleh perahu-perahu dagang itu untuk bersembunyi menyebabkan banyak terjadi kebocoran. Para pedagang dari Makassar dan Jawa berlomba-lomba menerobos blokade kapal-kapal VOC untuk mendapatkan cengkeh. Makassar ketika itu (sampai tahun 1667) merupakan pelabuhan bebas yang masih tetap dikunjungi para pedagang dari Eropa dan Asia Tenggara yang membeli cengkeh yang berhasil diperoleh para pedagang tersebut.

Pengelolaan wilayah perkebunan cengkeh yang meliputi empat pulau itu (Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut) membuat VOC membangun suatu birokrasi yang berpusat di kota Ambon yang direbutnya dari Portugis pada tahun 1606. Pusat administrasi yang dipimpin oleh seorang gubernur itu terdapat dalam Fort Victoria. Di sekitar benteng itu muncul sebuah kota yang hingga kini dinamakan kota Ambon. Wilayah administrasi keempat pulau tersebut, ditambah dengan pulau-pulau Seram dan Buru dalam masa VOC, dinamakan Gouvernement van Amboina (Pemerintah Amboina).

Di pulau-pulau Haruku dan Saparua ditempatkan residen, masing-masing bertempat di benteng-benteng pula. Seperti dikemukakan diatas, di setiap pulau terdapat paling kurang dua benteng yang masng-masing dikawal oleh tentara VOC yang terdiri dari orang Belanda. Di Pulau Ambon terdapat empat benteng besar (fort), yaitu Victoria (di Ambon), Amsterdam (di Hila), Leiden (di Hitulama), dan Rotterdam (di Larike), dan lima benteng kecil (vestiging), yaitu Haarlem (di Negerilima), Vlisseingen (di Pulau Tiga), Hoek van Hulung (di Seit), Amesfoort (di Waai), dan Middelburg (di Baguala). Di Pulau Haruku terdapat dua benteng besar (fort), yaitu Zeelandia (di Haruku) dan Hoorn (di Kariu); di Pulau Saparua terdapat satu benteng besar, yaitu Fort Duurstede (di Saparua), dan empat benteng kecil (vestiging) Delft (di Porto), Huis te Velzen (di Itawaka), dan Hollandia (di Sirisori); di Pulau Nusalaut terdapat satu benteng kecil (vestiging), yaitu Beverwijk. Di Hoamoal terdapat tiga benteng besar (fort), yaitu Overburg (Luhu), dan Dwingland (di Loki) dan du benten kecil (vestiging), yaitu Wentelberg (di Nuahatu) dan Kalenberg (di Lesidi).

Untuk menjamin produksi monopoli, VOC menata negeri-negeri (desa-desa) di keempat Pulau kecil itu (Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut). Pemukiman yang sebelumnya terletak di pegunungan, terutama yang memberi perlawanan kepada VOC selama bagian pertama abad ke-17, diharuskan membangun negerinya di pesisir. Dalam abad ke-17 jumlah penduduk keempat pulau tersebut diperkirakan sekitar 100.000 jiwa.

Dalam keempat pulau tersebut (Pulau Ambon, Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut) pemisahan negeri-negeri Islam dan Kristen mengikuti pola budaya tertentu. Di wilayah yang pola budayanya dikategorikan sebagai Patalima pada umumnya terdapat negeri-negeri Islam, seperti di bagian utama Pulau Ambon (Hitu), di bagian utama pulau-pulau Haruku dan Saparua. Di wilayah yang pola budayanya dikategorikan sebagai Patasiwa terdapat negeri-negeri yang penduduknya menganut Kristen. Hanya Nusalaut yang seluruh penduduknya beragama Kristen. Pola itu tetap bertahan di masa VOC, dan terus bertahan hingga kini. Hanya satu desa yang dalam abad ke-17 beralih dari Islam ke Kristen, yaitu negeri Hulaliu di Pulau Haruku.

Negeri-negeri di Kepulauan Ambon diatur sedemikian rupa agar produksi cengkeh berjalan lancar. Pemimpin negeri berasal dari keluarga-keluarga tertentu secara turun temurun. Para pemimpin negeri itu dianggap sakral dan memiliki karisma. Bahkan para pemimpin negeri dianggap mewakili suatu alam pikiran kosmologis-tradisional yang membagi alam raya dalam dua bagian atau empat bagian yang berada dalam keseimbangan.

Penduduk negeri dibagi lagi dalam beberapa bagian (soa) masing-masing dengan pemimpinnya sendiri (kepala soa), dan soa dibagi dalam famili (keluarga) yang melaksanakan produksi cengkeh. VOC yang menguasai kepulauan itu berdasarkan kemenangan dalam perang, membagi lahan-lahan terbaik bagi penduduk untuk ditanami cengkeh (tanah dati). Di mana Setiap keluarga wajib menanam 80 pohon cengkeh.

Selain lahan perkebunan cengkeh dan lahan tanaman konsumtif, terbentang hutan yang luas dan tidak berpenghuni. Hutan yang tidak berpenghuni itu merupakan bagian integral dari negeri yang dinamakan “pertuanan negeri”. Hutan luas yang tidak berpenghuni, tetapi merupakan sumber makanan itu menjadi tanggung jawab “kepala kewang” (kepala hutan) dan anggotanya. Pelaksanaaan pengelolaan negeri-negeri produsen cengkeh itu dapat dipelajari dalam laporan-laporan para residen dan gubernur serta para pemimpin negeri dari abad ke-17 dan ke-18.

Tidak lama setelah VOC menguasai Kepulauan Ambon, gereja-gereja di negeri Belanda meminta izin kepada VOC untuk mengadakan pekabaran injil di wilayah yang penduduknya telah beragama Katolik. Sejak awal abad ke-17 secara berangsur semua negeri yang penduduknya beragama Katolik beralih menjadi penganut ajaran Protestan. Di setiap negeri yang penduduknya beragama Kristen dibangun gereja yang diasuh oleh para pendeta Belanda yang sekali-kali datang dari Ambon.

Selain gereja, juga terdapat sekolah yang tujuannya untuk menambah pengetahuan keagamaan. untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru, dibangun juga seminari di Ambon dengan murid-murid yang dipilih dari kalangan keluarga penguasa negeri. Inilah yang kemudian dikenal dengan “sekolah midras”. Para pengajar dalam institusi pendidikan tersebut dikenal dengan istilah guru “madras”

Guru Madras ini dipilih dari putra-putra terbaik di setiap desa dan dibina sebagai guru dalam seminari-seminari di Kota Ambon yang diselenggarakan oleh para pendeta Belanda. Para guru tersebut tidak saja mengajar di sekolah, tetapi juga melayani kebaktian di gereja dan memimpin kegiatan keagamaan lainnya. para “guru madras” inilah yang merupakan faktor utama dalam penyebaran ajaran agama Kristen di Kepulauan Ambon pada masa kekuasaan VOC. Di luar wilayah Kepulauan Ambon penataan pemukiman maupun pembinaan kehidupan agama Kristen baru dimulai pada abad ke-19 (setelah runtuhnya VOC).

Praktik Monopoli VOC Di Banda

Sistem monopoli VOC di Kepulauan Banda dimulai setelah VOC berhasil menaklukan Kepulauan Banda pada tahun 1621. Perlu diketahui Kepulauan Banda terdiri dari dua pulau besar; Pulau Banda dan Banda Besar (Lontor). Selain dua pulau besar, juga terdapat pulau kecil seperti Pulau Run dan Pulau Rosenggaing. Memasuki awal abad ke-17 diperkirakan jumlah penduduk Kepulauan Banda sekitar 15.000 jiwa yang terbagi menjadi beberapa desa-desa kecil yang tersebar di Kepulauan Banda.

Di Kepulauan Banda tidak muncul institusi kerajaan yang mengikat desa-desa itu menjadi satu kesatuan politik layaknya Ternate, Tidore dan Bacan. Setiap desa di Kepulauan Banda berdiri sendiri dengan dipimpin oleh seorang Orangkaya. Kepulauan Banda pada saat itu adalah satu-satunya daerah penghasil buah pala. Pada abad ke-16 Portugis berhasil menjalin hubungan dagang dengan orang-orang di Kepulauan Banda dan juga mendapatkan izin untuk mendirikan benteng yang kemudian setelah dikalahkannya Portugis oleh VOC, benteng portugis itu dibangun kembali oleh VOC pada abad ke-17 dan diberi nama Fort Nassau.

Memasuki awal abad ke-17 telah terjadi persaingan dagangan antara Inggris dan Belanda untuk memonopoli perdagangan lada yang ada di Kepulauan Banda. Persaingan antara keduanya semakin menjadi setelah Inggris membentuk EIC (East India Company) pada tahun 1600 sedangkan Belanda membentuk VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1602. Di Kepulauan Banda ini, VOC membuka kantor dagangnya di Banda Neira sedangkan EIC menguasai Pulau Run dan Pulau Ai yang dianggap sebagai koloni Inggris pertama di Asia.

Kedua perusahaan dagang itu (EIC dan VOC) menganggap bahwa perdagangan di Asia harus dilakukan dengan kekuataan senjata. Di kalangan VOC pendapat itu terutama dianut oleh Jan Pieterszoon Coen yang sebanyak dua kali menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC di Batavia (1619-1623 dan 1627-1629). Pada tahun 1614 J. P. Coen mengatakan kepada Dewan Heeren XVII :

….tuan-tuanlah seharusnya mengetahui dari pengalaman, bahwa perdagangan di Asia harus dilaksanakan dan dipertahankan dengan perlindungan senjata dan bahwa senjata harus bisa dibiayai melalui keuntungan dari perdagangan itu. Jadi, kita tidak bisa berdagang tanpa perang dan tidak bisa berperang tanpa dagang.

J.P. Coen

Pada tahun 1609 VOC mengirimkan armadanya di bawah pimpinan Laksamana Verhoeven untuk menggunakan kekuatan senjata di Kepulauan Banda. Kedatangan Laksamana Verheoven ini awalnya membuat sebuah perjanjian dagang dengan para orangkaya di Kepulauan Banda untuk mendapatkan hak monopoli. Pada awalnya, perjanjian dagang ini disetujui oleh para orangkaya, namun hubungan itu dirusak oleh VOC dengan membangun kembali benteng Portugis dan menamainya Fort Nassau. Pembangunan Fort Nassau itu menimbulkan anggapan dari para orangkaya bahwa VOC tidak berniat baik.

Sejak pembangunan Fort Nassau itu, hubungan antara orang-orang Kepulauan Banda dan VOC semakin memburuk. Permusuhan itu pada akhirnya menyebabkan Laksamana Verheoven beserta beberapa pasukannya dibunuh. Sedangkan penduduk Kepulauan Banda lebih senang berdagang dengan Inggris. Hal ini tentu sangat mencemaskan bagi VOC. Untuk mempertahankan posisinya di Kepulauan Banda, VOC selanjutnya membangun benteng kedua di Pulau Banda yang diberi nama Fort Belgica.

Pada tahun 1621 J. P. Coen, Gubernur Jenderal VOC di Batavia memutuskan untuk memimpin sendiri penaklukan terhadap Kepulauan Banda dan mencegah penduduk Kepulauan Banda berdagang dengan Inggris. Armada VOC yang dipimpin oleh J. P. Coen berkekuatan 13 kapal besar, sejumlah kapal pengintai dan sekitar 40 sekoci. Tentara VOC ini berjumlah 1.600 orang Belanda yang diperkuat oleh 250 orang yang sebelumnya telah ada di Banda. Selain itu diikutsertakan pula sekitar 300 orang Jawa yang berstatus sebagai narapidana, sekitar 100 orang samurai Jepang serta sejumlah bekas budak belian.

Armada VOC itu tiba di Banda Neira pada bulan Februari 1621. Armada itu segera melakukan penyerangan terhadap Pulau Lontor dan berhasil menguasai pulau itu dalam tempo satu bulan. J. P. Coen kemudian mengumpulkan seluruh orangkaya Lontor untuk membuat sebuah perjanjian. Di dalam perjanjian itu disebutkan apabila penduduk Pulau Lontor menyerahkan semua senjata mereka, mereka tidak akan ditindak dan diperbolehkan hidup damai di desa masing-masing. Akan tetapi, sebelum surat perjanjian itu ditandatangani, J.P. Coen telah memerintahkan pembangunan sebuah benteng yang diberi nama Fort Hollandia.

Tindakan J. P. Coen itu pun membuat rakyat Pulau Lontor menjadi curiga akan maksud J. P. Coen melalui perjanjian damai. Sehingga banyak penduduk Pulau Lontor yang melarikan diri dan membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan gerilya melawan VOC. Pada tanggal 16 Mei 1621 J. P. Coen kembali menuju Batavia dan Pulau Lontor diserahkan kepada Kapten t’Snock. Sebelum benteng dibangun, Kapten t’Snock menjadikan rumah-rumah rakyat sebagai rumah bagi para perwira VOC dan masjid dijadikan sebagai markas mereka.

Pada 21 April 1621 lentera di dalam masjid itu dengan tidak sengaja terjatuh sehingga menimbulkan kebakaran. Kapten t’Snock kemudian menuduh bahwa kebakaran itu disengaja oleh penduduk Pulau Lontor dan menjadi awal perlawanan penduduk Pulau Lontor terhadap VOC. Pada malam hari tentara VOC dikerahkan untuk mengejar penduduk yang melarikan diri ke hutan dan puncak gunung.

Di dalam pengejaran itu, banyak penduduk yang tewas tertembak dan banyak pula yang mati kelaparan. Penduduk yang ditemukan di desa-desa dibunuh dan rumah-rumah serta perahu-perahu dibakar. Mereka yang dapat melarikan diri mencari perlindungan kepada Inggris atau menyebar ke Pulau Kei dan Aru. Jumlah penduduk yang melarikan diri sebanyak 300 orang. Namun yang meninggal tidak kurang dari 2.500 orang. Diperkirakan bahwa penduduk yang berjumlah sekitar 15.000 orang di Kepulauan Banda hanya tersisa 1.000 orang.

J. P. Coen kemudian mengunjungi Pulau Ai beserta pasukannya. Di Pulau Ai J. P. Coen memerintahkan untuk membangun sebuah benteng yaitu Fort Rvenge. Selain itu, J. P. Coen juga berniat menyerang Pulau Run, namun niatannya tidak terlaksana oleh sebab Pulau Run telah dikuasai oleh Inggris. Pulau Run dikuasai Inggris hingga tahun 1667. Pada tahun 1667 terjadi perjanjian damai antara Inggris dan Belanda. Di dalam perjanjian itu, diserahkan Pulau Run oleh Inggris kepada Belanda sedangkan Belanda menyerahkan Pulau Manhattan kepada Inggris.

Orang-orang Kepulauan Banda yang menyerahkan diri kemudian diangkut ke Batavia. Sedangkan 44 orangkaya pada 8 Mei 1821 dihukum mati di dalam Fort Nassau dengan cara dipenggal oleh para samurai Jepang. Setelah melenyapkan penduduk di Pulau Banda dan Pulau Lontor, VOC menyatakan bahwa kebun-kebun pala menjadi milik VOC. VOC kemudian memberi hak pakai atas kebun-kebun itu kepada bekas tentara dan pegawai VOC. Tenaga kerja di kebun-kebun itu diusahakan oleh VOC melalui tenaga budak.

Kebun-kebun pala dengan hak pakai itu dibagi dalam 68 perken (kapling) dengan ukuran masing-masing 12-30 hektare. Di Pulau Lontor terdapat 34 perken, di Pulau Ai 31 perken, dan di Pulau Banda 3 perken. Seluruhnya dikelola oleh 34-68 perkenier (pengelola perken). Dengan demikian maka seluruh wilayah Kepulauan Banda berada dalam kekuasaan VOC.

Praktik Monopoli VOC Di Kepulauan Maluku Utara

Sistem monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara diawali dari lenyapnya dominasi Portugis di daerah Maluku Utara, terutama setelah Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis pada tahun 1570. Dengan lenyapnya pengaruh dan dominasi Portugis, maka VOC mulai secara leluasa menerapkan sistem monopolinya di Kepulauan Maluku Utara. Salah satu upaya dari sistem monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara adalah menerapkan sistem partnership (kemitraan). Di bawah ini akan dijelaskan tentang sistem monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara.

Sebagaimana diketahui, bahwa sejak tahun 1570 Sultan Baabullah dari Kerajaan Ternate berhasil mengusir dominasi Portugis di Kepulauan Maluku Utara. Di sisi lain, pada tahun 1580 Raja Spanyol, Raja Filip II berhasil merebut takhta Portugis dan memerintah dua kerajaan (Portugis dan Spanyol) sekaligus. Langkah yang diambil oleh Spanyol selanjutnya adalah memerintahkan Gubernur Jenderal Spanyol yang ada di Manilla, Dom Pedro da Cunha, bersama dengan Kerajaan Tidore yang menjadi sekutu Spanyol untuk mengerahkan pasukannya menyerang Kerajaan Ternate.

Pasukan koalisi Kerajaan Tidore dan Spanyol itu berkekuatan 3095 orang. Dalam penyerangan itu, Sultan Said dari Kerajaan Ternate berhasil melarikan diri bersama sejumlah pejabat kerajaan, sementara Dom Pedro da Cunha meneruskan ekspedisi ke wilayah-wilayah milik Kerajaan Ternate lainnya serta Bacan. Sultan Said akhirnya berhasil dibujuk untuk kembali ke Ternate dan menandatangani sebuah perjanjian dengan Spanyol yang antara lain menetapkan bahwa kerajaan Ternate mengakui kekuasaan dan memberi hak monopoli cengkeh kepada Spanyol. Sebelum kembali ke Manila, Dom Pedro da Cunha menempatkan pasukannya di Benteng Gamalama (yang dibangun oleh Portugis, tetapi sejak 1575 Benteng Gamalama digunakan oleh sultan-sultan Ternate), Sultan Said bersama sejumlah bangsawan Ternate dibawa pula ke Manila sebagai sandera.

Sementara itu, pihak-pihak yang menolak kekuasaan Spanyol di Kerajaan Ternate mengetahui bahwa di Banten telah tiba sebuah armada Portugis dari negeri Belanda. Seorang bangsawan dikirim sebagai utusan untuk meminta bantuan Belanda mengusir Spanyol dari Ternate dengan imbalan diberikan hak untuk monopoli cengkeh. Laksamana Cornelis Matelieff menyetujui permintan itu dengan syarat Kerajaan Ternate harus menyertakan 1.500 pasukan untuk membantu armadanya.

Karena bantuan yang diberikan oleh Kerajaan Ternate hanya beberapa ratus orang, Laksamana Matelieff memutuskan untuk tidak menyerang Benteng Gamalama, tetapi membangun benteng baru di pantai Malayu berseberangan dengan benteng Spanyol tersebut. Benteng VOC itu kemudian dikenal dengan nama Fort Oranye. Matelieff mengharuskan Sultan Muzafar Syah menandatangani sebuah perjanjian (kontrak) yang antara lain menetapkan bahwa VOC akan menjaga keamanan Ternate terhadap Spanyol dengan imbalan monopoli cengkeh di seluruh kerajaan Ternate.

Untuk kepentingan pertahanan itu dalam waktu singkat VOC membangun benteng-benteng lain kecuali Fort Oranye. Di Pulau Moti dibangun Fort Nassau, di Pulau Ternate dibangun benteng kedua di Takome, yaitu Fort Willemstad. Benteng Spanyol di Pulau Bacan direbut dan diberi namaFort Barnevelt. Dalam waktu dua tahun VOC berhasil membangun tembok-tembok pertahanan (fortification) selain benteng-benteng tersebut yang dipertahankan oleh 500 tentara, yaitu di Taloko, Takome dan Kalamata di Pulau Ternate, Tapasoho, Ngofakiaha dan Tabalola di Pulau Makian, dan beberapa lagi di Jailolo (Halmahera) dan Pulau Tidore.

Kebijakan monopoli cengkeh VOC di Maluku mengalami perubahan di sekitar tahun 1650-an. Perubahan itu sudah tampak sejak Sultan Hamzah (1627-1648), adik Sultan Baabullah, masih muda. Ketika Gubernur Jenderal Spanyol Dom Pedro da Cunha menyandera Sultan Said ke Manila, Hamzah termasuk dalam rombongan itu. Ia baru kembali ke Ternate sekitar 1627 dan langsung dipilih oleh Dewan Kerajaan sebagai Sultan. Selama berada di Manila rupanya Sultan Hamzah tertarik pada cara Spanyol memerintah di Filipina, yaitu mencoba menerapkan sistem pemerintahan tangan besi itu dan mengabaikan kebiasaan para sultan sebelumnya yang senantiasa bermusyawarah dan bermufakat dengan para bangsawan di Ternate.

Salah satu hambatan yang dihadapi Hamzah untuk melaksanakan cara pemerintahan yang otoriter itu adalah perlawanan dari keluarga Tomagola yang sejak abad ke-16 telah diberi hak untuk berkuasa di Jazirah Hoamoal di Seram dan di pulau-pulau sekitarnya, termasuk di Jazirah Hitu (di Pulau Ambon). Pusat kekuasaan Tomagola di Hoamoal itu terletak di negeri Luhu yang juga merupakan pelabuhan ekspor cengkeh utama di masa itu. Keluarga Tomagola adalah salah satu dari empat keluarga bangsawan yang menentukan politik kerajaan Ternate. Tiga keluarga lainnya adalah Tomaitu, Marsaoli, dan Lumatau yang disebut sebagai “Fala Raha” (empat rumah) yang berpengaruh dalam politik Kerajaan Ternate. Sultan Ternate selalu dipilih dari salah satu “rumah” itu dan Sultan Hamzah sendiri adalah seorang Tomagola.

Untuk menghilangkan otonomi dari keluarga Tomagola di Hoamoal dan Hitu, Sultan Hamzah mengatakan bahwa mereka dibutuhkan di Ternate sebagai penasihat sultan. Namun, keinginan Sultan Hamzah itu selalu ditolak oleh keluarga Tomagola. Oleh karena itu, Sultan Hamzah mencari jalan lain untuk mematahkan kekuasan Tomagola dengan cara meminta gubernur VOC yang berada di Ambon untuk memerintah di Hoamoal dan Hitu atas namanya.

Atas tindakan Sultan Hamzah itu, membuat VOC mendapatkan kesempatan untuk memperkuat monopolinya di Kepulauan Ambon. Sebab daerah Hoamoal dan Hitu selalu menjadi titik lemah sistem monopoli VOC di Kepulauan Ambon. Para pedagang Eropa yang berasal dari Pelabuhan Makassar selalu mengirim para nakhoda Bugis dan Makassar untuk membeli cengkeh secara tersembunyi di kedua wilayah itu untuk dijual kembali kepada para pedagang Eropa. Hal itu juga dilakukan oleh para pedagang dari kepulauan Banda.

Sepeninggal Sultan Hamzah pada tahun 1648, Dewan Kerajaan Ternate memilih Mandar Syah, putra tertua Sultan Hamzah sebagai sultan Ternate yang baru. Berbeda dengan ayahnya, Sultan Mandar Syah adalah seorang sultan yang sangat lemah. Untuk mempertahankan diri ia harus menjalin kerja sama yang sangat erat dengan VOC. Sikap yang ditunjukkan oleh Sultan Mandar Syah itu mendapat kecaman dari para anggota Dewan Kerajaan, dan pada tahun 1650 Dewan Kerajaan Ternate menurunkan Mandar Syah dan menggantikannya dengan adiknya, Kaicili Manilha, yang oleh pihak VOC dianggap “tidak sanggup mengendalikan pikirannya” .

Pihak-pihak yang menentang Sultan Mandar Syah adalah Kaicili (gelar bangsawan keluarga sultan) Said dan Hukum (kadi atau pemimpin agama) Laulata dari keluarga Tomagola, Kimelaha (kepala distrik atau sama dengan bupati) Terbile dari keluarga Tomaitu, Jougugu (menteri utama) Kaicili Musa dan Kimelaha Marsaoli dari keluarga Marsaoli. Sultan Mandar Syah melarikan diri ke Fort Oranye dan meminta perlindungan VOC, dan dengan bantuan VOC ia dapat dipulihkan kembali sebagai sultan Ternate pada tahun 1655.

Sementara itu, pada tanggal 31 Januari 1652 Sultan Mandar Syah harus menandatangani sebuah perjanjian (kontrak) dengan VOC dalam Fort Oranye. Di dalam perjanjian itu Kerajaan Ternate menerima keinginan VOC agar di Kerajaan Ternate tidak diperdagangkan cengkeh. Untuk mengawasi pelaksanaan ketentuan itu, VOC diizinkan setiap tahun melaksanakan patroli dengan sebuah armada yang terdiri dari kontingen VOC dan kontingen Ternate. Ekspedisi pemeriksaan cengkeh itulah yang dikenal dengan nama hongitochten (Pelayaran Hongi). Pohon cengkeh (yang berbuah maupun tidak) akan ditebang oleh tentara ekspedisi itu. Penebangan pohon-pohon cengkeh itu dikenal dengan sebutan extierpatie.

Pelaksanaan administrasi dari praktik monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara itu dilakukan oleh sebuah birokrasi yang berpusat di kota Ternate. Berbeda dengan di Ambon dan di Banda, di Maluku Utara, VOC tidak memiliki administrasi yang tersebar di seluruh wilayah itu. Pemerintahan yang dilakukan oleh aparat tradisional dari ketiga kerajaan (Ternate, Tidore dan Bacan), yang sultannya masing-masing dalam awal abad ke-17 menjadi sekutu VOC, kemudian berubah status menjadi vasal. Sistem pemerintahan VOC di Maluku Utara itu dinamakan Gouvernement der Molukken (Pemerintah Maluku).

Dengan demikian, VOC mengharapkan dapat mengendalikan perdagangan cengkeh secara tuntas dengan menghilangkan para penyelundup cengkeh yang umumnya adalah orang Jawa, Melayu, dan Banda. Selain itu, ekstirpasi pohon cengkeh setiap tahun yang dilakukan di Kepulauan Maluku Utara memberikan keuntungan bagi VOC. Pada pertengahan abad ke-17 sudah terjadi kelebihan produksi cengkeh sehingga harganya di Eropa mulai merosot. Pengurangan produksi cengkeh di Kepulauan Maluku Utara itu akan dapat menormalkan kembali harga cengkeh di pasaran dunia.

Pada Perjanjian 1652 yang dilakukan antara VOC dan Sultan Mandar Syah ditentukan juga harga beli cengkeh. Selanjutnya di dalam perjanjian itu VOC akan membayar 50 ringgit (realen) bagi setiap bahar cengkeh yang berukuran 625 pon. Namun, di kemudian hari VOC menghentikan pembayaran dengan ringgit (realen), tetapi dengan bahan-bahan kebutuhan untuk setiap bahar cengkeh. Kebijakan itu diambil karena para pedagang yang mendatangi Ternate lebih tertarik pada ringgit (realen).

Ketentuan lain dari Perjanjian tahun 1652 itu juga memberikan dampak politik. Dalam perjanjian itu VOC berjanji akan menyerahkan recognitie penningen (pembayaran atas jasa-jasa yang diberikan) pada setiap tahun pada sultan dan para bangsawan. Pembayaran itu merupakan ganti rugi atas penerimaan sultan dan bangsawan Ternate selama itu atas perdagangan cengkeh. Ditentukan bahwa setiap tahun sultan akan menerima 12.000 ringgit dan para bangsawan harus membagi 1.500 ringgit dari total jumlah mereka.

Sekalipun dengan para bangsawan tersebut telah dibuat juga sebuah perjanjian pada tanggal 28 Maret 1653 yang mengandung ketentuan itu, dalam kenyataannya VOC menyerahkan seluruh jumlah itu (1500 ringgit) kepada sultan agar bagian dari para bangsawan dibagikan sesuai keinginan sultan (jadi, sultan menerima 13.500 ringgit). Dengan cara itulah VOC melumpuhkan kekuasaan “Fala Raha” dan memperkuat kedudukan otoriter dari sultan.

Sesungguhnya sejak pertengahan abad ke-17 sultan Ternate (dan Bacan serta Tidore) dapat dikendalikan oleh VOC. Keadaan politik itu diformalkan setelah Gubernur Ternate Padtbrugge berhasil mengatasi pemberontakan para bangsawan yang bernama Sultan Sibori pada tanggal 17 Juli 1683. Pada tahun itu sultan dan para bangsawan menandatangani sebuah perjanjian lagi. Dalam perjanjian itu kerajaan Ternate dinyatakan sebagai daerah kekuasaan Belanda karena direbut melalui perang, tetapi para sultan dan bangsawan diperkenankan memerintah terus sebagai vassal dari VOC. Bahkan, VOC mendapat hak untuk mengangkat sultan baru.

Dengan pengubahan status politik dari sekutu menjadi bawahan itu, recognitie penningen juga dihapus. Selanjutnya sultan Ternate akan menerima 6.400 ringgit setahun untuk pengeluarannya, para pejabat kerajaan Ternate bersama-sama menerima 600 ringgit, para pemimpin Pulau Makian bersama-sama menerima 2.000 ringgit dan para penguasa dari Pulau Moti bersama-sama menerima 150 ringgit. Walau jumlah uang itu tidak diberikan untuk penganti penghasilan dari penjualan cengkeh, patut dikatakan disini bahwa kedua pulau itu pernah menjadi produsen cengkeh terbesar di Maluku Utara.

Ketentuan lain dalam Perjanjian 1652 itu adalah bahwa wilayah keluarga Tomagola di Hoamoal dan Hitu dialihkan sepenuhnya dari Kerajaan Ternate kepada VOC di kepulauan Ambon. Sejak itu wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Kerajaan Ternate sepenuhnya menjadi wewenang VOC.

Sejak tahun 1695 dapat dikatakan bahwa Portugis sudah terusir dari kepulauan Maluku, meskipun masih menimbulkan kekhawatiran penguasa lokal. Hal ini dikarenakan Portugis masih memiliki kedudukan di Pulau Timor yang sewaktu-waktu dapat mengancam kerajaan-kerajaan di Maluku. Demikian pula dengan keberadaan Spanyol di Tidore. Namun oleh VOC keberadaan Spanyol ini tidak terlalu membahayakan kedudukan Belanda di Maluku. Spanyol pun pada akhirnya juga terusir dari Tidore pada tahun 1663. Sedangkan Inggris di Maluku gagal menghadapi VOC. Dengan kegagalan Inggris di Maluku menghadapi VOC, maka semakin mantaplah penerapan sistem monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara.

Pembubaran VOC

Faktor penyebab VOC Dibubarkan pada tahun 1799 dapat diketahui dari perkembangan VOC di Indonesia sepanjang abad ke-17 sampai dengan abad ke-18. VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) adalah perusahaan dagang milik Belanda yang didirikan pada awal abad ke-17. Hal ini tidak terlepas dari upaya para pengusaha Belanda untuk memaksakan hegemoni atas monopoli perdagangan yang ada di Kepulauan Indonesia dan berupaya memperlemah kekuasaan negara-negara tradisional.

Meskipun memasuki abad ke-18 nyatanya VOC telah berhasil mencapai puncak kejayaannya dan berhasil memaksakan hegemoninya terhadap negara-negara tradisional, namun pada saat yang bersamaan pula VOC mengalami fase kemundurannya hingga akhirnya beberapa kejadian sepanjang abad ke-18 menjadi faktor yang menyebabkan VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799.

Faktor Penyebab Kemunduran VOC

Memasuki abad ke-18 VOC telah mulai mantap kedudukannya atas monopoli perdagangan di Kepulauan Indonesia dengan berbagai kebijakan yang diberlakukan oleh VOC terhadap berbagai wilayah di Kepulauan Indonesia. Negara-negara tradisional yang ada di Indonesia pada saat itu dengan sangat terpaksa mengakui kedaulatan VOC sebagai sebuah kongsi dagang yang bertindak layaknya sebuah negara. Kedaulatan VOC itu bahkan mengungguli kedaulatan negara-negara tradisional yang ada di Indonesia.

Negara-negara tradisional di Indonesia dengan terpaksa menganggap VOC sebagai atasannya dan telah menjadi pelayan bagi kepentingan VOC. Namun, di masa puncak kejayaannya ini pula, VOC harus mengalami keruntuhannya sebagai sebuah lembaga. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal terutama adalah korupsi, penyalahgunaan wewenang jabatan dan nafsu dari para pejabat VOC akan kemewahan. Hal inilah yang menyebabkan VOC mengalami kemunduran dan dinyatakan bangkrut pada akhir 1799. Kebangkrutan VOC ini ternyata meninggalkan beban utang sebesar 20 kali dari modal yang telah dikeluarkan.

Ketiga faktor (korupsi, penyalahgunaan wewenang dan nafsu keserakahan) terjadi secara bersamaan. Dengan semakin luasnya kekuasaan VOC di Indonesia, menyebabkan biaya untuk mempertahankan daerah taklukan harus ditanggung oleh VOC dan mengeluarkan biaya yang sangat besar. Situasi politik di negeri Belanda pun tidak dapat disingkirkan dan menjadi penyebab utama dari kemunduran VOC.

Raja Willem IV Sebagai Penguasa Tertinggi VOC

Situasi yang terjadi di negeri Belanda sejak VOC berdiri pada tahun 1602 sampai dengan 1749, anggota pengurus VOC di Belanda (de bewindhebbers atau yang lebih dikenal dengan nama de Heeren XVII) dipilih oleh parlemen (staten) provinsi pemegang saham, kecuali provinsi Holland. Di dalam de Heeren XVII anggota dipilih oleh walikota (burgemeester) tempat kamar dagang pemegang saham berada. Namun, sejak 27 Maret 1749 Parlemen Belanda (Staten Generaal) mengeluarkan undang-undang yang menjadikan Raja Willem IV sebagai penguasa tertinggi VOC.

Dengan dijadikannya Raja Willem IV sebagai penguasa tertinggi VOC menjadikan hak memilih anggota de Heeren XVII menjadi otoritas Raja Willem IV. Selain itu, Raja Willem IV juga dijadikan sebagai panglima tertinggi tentara VOC. Meskipun awal mulanya tujuan ini bermaksud untuk menjaga stabilitas kepengurusan VOC, nyatanya perubahan ini telah menimbulkan persekutuan erat antara usaha dagang dan pengusaha negara Belanda sendiri. Dengan demikian, VOC dan Negara Belanda bergabung di bawah kekuasaan yang bersifat oligarki.

Persoalan Saham

Ketika mandat VOC (octrooi) yang ke dua pada tahun 1622, pertanggungjawaban keuangan tidak lagi berada ditangan seluruh pemegang saham, sebagaimana yang tertera pada awal mula VOC didirikan. Melainkan hanya 17 orang saja yang diangkat dari kalangan pemegang saham kepala atau yang disebut dengan hoofdparticipanten yag di sumpah bersama dua anggota parlemen.

Seluruh pemegang saham mengharapkan mereka akan memberikan laporan yang jelas terhadap keberlangsungan keuangan VOC yang telah berjalan selama 20 tahun. Sejak 13 Maret 1623, pertanggung jawaban atas keuangan VOC semakin sulit karena hoofdparticipanten yang disumpah itu langsung ditentukan oleh pengurus VOC. Di samping itu, mereka sendiri diam-diam berambisi menjadi pengurus VOC dan mulai mengabaikan kepentingan pemegang saham.

Pada tahun 1647, ketika diumumkannya mandat VOC untuk yang ketiga kalinya, pertanggungjawaban itu tidak lagi diberikan kepada hoofdparticipanten, tetapi pada kedelapan komisaris yang diajukan oleh pemegang saham dan parlemen. Imbalan kepada pengurus pun berubah, tidak lagi mendapat bonus satu persen dari perdagangan VOC setelah dikurangi biaya transportasi, melainkan mereka diberi gaji tetap. Akibatnya, hilanglah sifat jabatan partikelir suatu perseroan dan kemudian memunculkan sifat jabatan pemerintahan Negara.

Selama keuntungan dibagikan setiap kaum (12 persen) dan gaji memuaskan pengurus tidak ada protes yang terjadi selama ratusan tahun. Semua informasi yang berkaitan dengan VOC di Hindia-Belanda (Indonesia) merupakan sesuatu yang rahasia. Apabila menengok pada arsip, pengurus harus mendapatkan izin terlebih dahulu. Karyawan VOC tidak boleh menyimpan dokumen dan peta Hindia-Belanda, serta mengungkapkan urusan pekerjaannya kepada siapapun, kecuali kepada de Heeren XVII. Surat-menyurat karyawan dengan keluarganya di Belanda di sensor.

Pada tahun 1673, keuntungan sempat merosot, sehingga VOC tidak mampu membayar keuntungan bagi pemilik saham. Dalam situasi kemerosotan keuntungan seperti ini, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh oleh VOC adalah melalui anticipatiepenningen. Yaitu berupa uang muka yang diberikan dari pedagang yang mengharapkan bunga dan hak membeli rempah-rempah secara langsung dari lelang yang dilakukan oleh VOC.

Perang Belanda-Inggris 1778

Pada tahun 1778 pecah perang antara Belanda dengan Inggris yang menyebabkan seluruh kantor VOC yang terdapat di pantai India berhasil direbut oleh EIC (East India Company). Selama tiga tahun (1778-1781) VOC tidak dapat mengirim rempah-rempah ke Belanda. Pada 6 Februari 1781, para pemegang anticipatipenningen menuntut pembayaran mereka, namun VOC tidak dapat mampu membayar. Meskipun pada periode selanjutnya terjadi perang antara Perancis dan Inggris di mana Belanda berupaya untuk bersikap netral, namun hal ini tidak sepenuhnya berhasil mengatasi permasalahan keuangan VOC.

Peperangan yang terjadi antara dua kekuatan besar Eropa itu sejak 1783-1795 menyebabkan kapal-kapal VOC yang berani untuk melakukan pelayaran semakin berkurang. Karena terus-menerus merugi, VOC tidak sanggupp membayar deviden dari saham-saham yang dibeli rakyat. Oleh sebab itu, dari tahun ke tahun perushaan itu harus berhutan pada negara untuk melakukan kewajibannya. Namun, pada tahun 1795 negara memutuskan untuk mengambil alih seluruh kekayaan VOC sebagai pelunasan dari utang-utang tersebut. Untuk melaksanakan hal itu, negara membentuk sebuah panitia. Pada akhirnya tahun 1799 VOC dinyatakan failite dan bubar.

Seluruh aset-aset VOC yang tidak bergerak, seperti benteng-benteng dan daerah-daerah produksi rempah-rempah di Kepulauan Indonesia diambil alih oleh negara. Itulah aset Kerajaan Belanda yang menjadi dasar dari Negara Kolonial Hindia Belanda yang berdiri tahun 1817.

Pegawai VOC Dan Korupsi

Selain permasalahan persaingan dengan EIC, VOC juga harus menghadapi kenyataan dari perilaku para pejabatnya yang melakukan korupsi. Dalam hal ini dapat terlihat dari kekayaan yang dimiliki oleh seorang Gubernur Jenderal VOC. Gubernur Jenderal van Hoorn diyakini memiliki harta sebesar 10 juta gulden ketika kembali ke Belanda pada tahun 1709, padahal gaji seorang gubernur jenderal resminya hanya 700 gulden sebulan. Gubernur VOC di Maluku saja dapat menumpuk 20.000-30.000 gulden hanya dalam jangka waktu 4-5 tahun, padahal gaji seorang gubernur hanya sekitar 150 gulden sebulan.

Berdasarkan dua kejadian tersebut, maka dapat lah diketahui bahwa korupsi dilakukan oleh para pejabat VOC tanpa pernah mendapatkan tindakan hukum, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang yang ingin menjadi karyawan VOC rela menyogok.Pada tahun 1719-1723 pengurus VOC memasang tarif suap sebesar 3.500 gulden bagi yang ingin menjadi onderkoopman (gaji resmi 40 gulden perbulan), tarif untuk menjadi jabatan kapitein sebesar 2000 gulden dan tarif 120 gulden untuk menjadi seorang kopral. Pada tahun 1720 jumlah karyawan VOC hanya berjumlah 1900 orang dan hanya 30 orang saja yang memiliki gaji resmi 1.200 per tahun.

Memasuki akhir abad ke-18, praktik korupsi berubah dari sebelumnya, dar uang kas dan anggaran VOC di korupsi menjadi praktik pemerasan terhadap penduduk yang berada di bawah kekuasaan VOC. Penduduk dipaksa pula menyerahkan upeti diluar kewajiban menjual barang-barang perkebunan kepada VOC.

Sebenarnya telah ada upaya untuk mencegah terjadinya korupsi itu, namun tindakan yang dilakukan ternyata sia-sia, seperti harta pejabat yang bertugas di Hindia-Belanda (Indonesia) wajib disetor ke kas VOC, dan ketika pulang ke Belanda mereka mendapat surat kuasa untuk menukarnya di Belanda. Peraturan ini sebenarnya dilakukan dan dituruti oleh para pejabat VOC, namun hanya sebagian harta saja yang disetorkan ke kas VOC, sebagian yang lain tetap di bawa pulang dengan menyuap kapten kapal dengan memberikan barang berharga seperti emas, intan dan berlian.

Pada tahun 1743-1750, van Imhoff diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC. Gubernur Jenderal van Imhoff diperintahkan untuk mencegah korupsi. Ternyata Gubernur Jenderal van Imhoff hanya dapat melegalkan sebagian korupsi agar dapat memberantas sisanya. Misalnya van Imhoff menyerahkan perdagangan candu kepada Amfioen-societeit yang merupakan koperasi karyawan. Dengan demikian diharapkan karyawan terdorong untuk memberantas perdagangan candu ilegal. Hasilnya, dari kebijakan ini perdagangan candu tetap berjalan.

Kebijakan van Imhoff ini tetap tidak dapat menghapuskan perdagangan candu ilegal. Perdagangan candu ilegal ini terus berlanjut berlanjut dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1760). Perdagangan candu ilegal tetap dilakukan hingga VOC dinyatakan bangkrut pada 1799.

VOC Dibubarkan Pada Tanggal 31 Desember 1799

Sebagai lembaga dagang, VOC tidak dapat lagi menutupi bobroknya kondisi keuangannya. Setelah pemegang anticipatiepenningen mengalami kepanikan akan kondisi ini, pada 6 Februari 1781 Pemerintah Belanda segera turun tangan. Pinjaman baru diberikan melalui penerbitan obligasi sehingga VOC memiliki utang sebesar 55 juta gulden. Sementara itu, peperangan di Eropa mulai meluas dimana Belanda bersekutu dengan Prancis untuk menghadapi Inggris. Untuk keperluan dagang dan pertahanan di Kepulauan Indonesia, dari 1781-1795 VOC terpaksa menambah utang mereka dari 55 juta menjadi 137 juta gulden.

Situasi berubah di Eropa setelah dimulainya Revolusi Prancis 1789 yang membuat Belanda kini harus berhadapan dengan Prancis. Dalam menggeloranya Revolusi Prancis itu telah memaksa Raja Willem V mengungsi ke Inggris, sebab Belanda dikuasai oleh Prancis di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte. Raja Willem V yang kehilangan kekuasaannya di Belanda terpaksa mencari perlindungan kepada Inggris. Dengan mengungsinya Raja Willem V ke Inggris, sehingga tidak ada alasan lagi untuk mempertahankan VOC.

Berdasarkan pada pasal 249 Undang-Undang Dasar Republik Bataaf (Belanda), pada 17 Maret 1799, dibentuklah suatu badan untuk mengambil alih semua tanggungjawab atas milik dan utang VOC. Bada itu bernama Dewan Penyatuan Hak Milik Belanda di Asia (de Raad van Aziatische Bezittingen en Etabilisementen). Pengambil alihan itu secara resmi diumumkan di Batavia pada 8 Agustus 1799. Pada 31 Desember 1799, VOC secara resmi dinyatakan bangkrut dan seluruh aset VOC berada di bawah kekuasaan Negara Belanda.

Berdasarkan deskripsi diatas maka dapat diketahui faktor penyebab VOC dibubarkan adalah:

  1. Banyaknya pegawai VOC yang melakukan tindakan kecurangan seperti suap dan juga praktik korupsi;
  2. Banyaknya pengeluaran VOC untuk biaya peperangan untuk menerapkan praktik monopolinya di berbagai wilayah di Asia, terutama di Indonesia sebagai contoh peperangan yang paling banyak menguras keuangan VOC adalah perang melawan Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa;
  3. Banyaknya gaji yang harus dibayar karena kekuasaan yang luas membutuhkan pegawai yang juga banyak;
  4. Pembayaran devident (keuntungan) bagi para pemegang saham turut memberatkan keuangan VOC setelah pemasukan VOC telah banyak berkurang;
  5. Persaingan dagang di Asia terutama Inggris dengan East India Company dan Perancis dengan Compagnie française des Indes orientales;
  6. Perubahan politik di Belanda dengan berdirinya Republik Bataaf pada tahun 1795 yang bersifat demokratis dan liberal yang menganjurkan perdagangan bebas.

Daftar Bacaan

  • Kartodirjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Ricklefs, M. C. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200- 2004. Jakarta: Serambi.