Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri

Lahirnya Kerajaan Kediri (Kerajaan Kadiri) berkaitan dengan adanya pembagian kekuasaan di Kerajaan Medang Mataram padaNovember 1041. Airlangga membagi kerajaan bertujuan untuk menghindari terjadinya perang saudara di Mataram. Setelah Mataram dibagi 2 oleh Mpu Bharada seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya, muncullah Panjalu dan Janggala yang dibatasi gunung Kawi dan sungai Brantas. Kerajaan barat yang bernama Panjalu diberikan pada Samarawijaya yang berpusat di kota baru dengan ibukota Daha yang meliputi Kediri dan Madiun.

Sedangkan kerajaan timur yang bernama Janggala diberikan kepada Mapanji Garasakan yang berpusat di kota lama yang meliputi daerah Malang dan delta Sungai Brantas, dengan pelabuhan Surabaya, Rembang dan Pasuruan ibukotanya Kahuripan. Padahal airlangga telah mempersiapkan putri sulungnya sebagai penggantinya, tapi tidak bersedia dan lebih memilih menjadi petapa yang bergelar Dewi Kilisuli. Sumber sejarah yang menceritakan pembagian kerajaan ada dalam Prasasti Wurara ada juga yang menyebut dengan nama Prasasti Mahaksubya (1289 M), Kitab Negarakrtagama (1365 M), Kitab Calon Arang (1540 M).

Di dalam perkembangan selanjutnya, ibukota Kerajaan Panjalu di Daha dipindahkan ke wilayah Kediri sehingga nama kerajaan lebih dikenal sebagai Kerajaan Kediri. Pada awalny, nama Panjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kediri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh Raja-raja Kediri. Bahkan nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-Chia-Lung dalam kronik Cina yang berjudul Ling Wai Tai Ta (1178).

Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Kediri

Pada tahun 1041 Saka atau 963 M Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakrtagama (1365 M), dan kitab Calon Arang (1540 M). Tujuan pembagian kerajaan menjadi dua agar tidak terjadi pertikaian.

Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta Sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, beribu kota di Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh takhta Airlangga sehingga terjadilah peperangan.

Berdirinya Kerajaan Panjalu (Daha/Kediri)

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Kisah pembagian kedua kerajaan ini tertuang di dalam Kitab Negarakrtagama:

"...Nahan tatwanikaɳ kamal/ widita deniɳ sampradaya sthiti, mwaɳ çri pañjalunatha riɳ daha te- wekniɳ yawabhumy/ apalih, çri airlanghya sirandani ryyasihiran/ panak/ ri saɳ rwa prabhu, ..." (Negarakrtagama: Pupuh 68)

Terjemahan:

"...Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya, Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah, Karena cinta raja Airlangga kepada dua puteranya, ..."

Kiranya dapat diketahui bahwa Airlangga telah membagi wilayah kekuasaannya kepada kedua puteranya. Lanjutnya di dalam pupuh 68 Kakawin Nagarakrtagama bahwa Tapal batas kedua Negara ditandai air kendi, mancur dari langit. Dari barat ke timur sampai laut; sebelah utara, selatan. Yang tidak jauh, bagaikan dipisahkan oleh samudera besar. maksud dari pernyataan ini adalah kedua kerajaan tersebut dipisahkan oleh sungai yang bermuara ke laut (Sungai Brantas).

Pembagian kekuasaan oleh Raja Airlangga nampaknya berkaitan dengan Prasasti Cane (1021) yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga.  Di dalam prasasti ini Airlangga dengan nama abhiseka Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawamça Airlangga Anãntawikramottunggadewa, dan tertulis Çrĩ Sanggrãmawijaya Dharmmaprasãdottunggadewi, sebagai Rakryan Mahamantri i Hino. Gelar Rakryan Mahamantri i Hino biasanya diberikan kepada putra mahkota yang kelak akan menjadi pengganti raja. Dengan demikian maka dapatlah diketahui bahwa pengganti Airlangga seharusnya Sri Sanggramawijaya Dharmmaprasadotunggadewi, seorang putri Airlangga dari permaisuri. 

Keterangan mengenai Sri Sanggramawijaya Dharmmaprasadotunggadewi sebagai Rakryan Mahamantri i Hino juga dimuat di dalam Prasasti Pasar Legi yang dikeluarkan tahun 1043. Namun, dalam kitab Calon Arang, Sri Sanggramawijaya Dharmmaprasadotunggadewi memutuskan untuk mundur dari jabatannya sebagai Mahamantri i Hino. Dengan mundurnya Sri Sanggramawijaya, maka Airlangga memutuskan untuk membelah kerajaannya menjadi dua bagian; bagian barat yaitu wilayah Panjalu beribukota di Daha diberikan kepada Sri Samarawijaya, kemudian wilayah bagian timur yaitu Janggala beribukota di Kahuripan diberikan kepada Mapanji Garasakan.

Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu/Kediri yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh takhta Airlangga. Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah kerajaan Kediri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra. Dan yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kediri adalah hasil karya berupa kitab sastra. Hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan Kediri/Panjalu atas Jenggala.

Perkembangan Kerajaan Kediri

Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya (1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta.

Arca Wisnu dari abad ke-12, salah satu peninggalan Kerajaan Kediri

Perselisihan antara Kertajaya dengan para brahmana kemudian berhasil dimanfaatkan oleh Ken Arok setelah mengalahkan Akuwu Tumapel, Tunggul Ameutung. Ken Arok akhirnya berhasil mengalahkan Kertajaya dari Kerajaan Kediri dan mendirikan Kerajaan Singasari. Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268-1292), terjadilah pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.

Raja-Raja Kerajaan Kediri

Sri Samarawijaya (1042-1051)

Sri Samarawijaya disebutkan di dalam Prasasti Pandan (1042) sudah menjadi Rakryan Mahamantri i Hino menggantikan nama sebelumnya yaitu Sanggramawijaya Dharmmaprasadotunggadewi yang disebutkan di dalam Prasasti Cane (1021). Ini berarti telah sekitar 21 tahun Sanggramawijaya Dharmmaprasadotunggadewi menjadi Rakryan Mahamantri i Hino memutuskan untuk tidak dinobatkan sebagai raja penerus Airlangga, sehingga Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawansa Airlangganantawikramotunggadewa (Airlangga) menunjuk putranya yang lain yaitu Sri Samarawijaya sebagai Rakryan Mahamantri i Hino.

Nama raja Samarawijaya juga tertuliskan di dalam prasasti Pamwatan (1042). Di dalam prasasti itu Rakryan Mahamantri i Hino, Sri Samarawijaya diperintahkan oleh Raja Airlangga untuk menerbitkan prasasti ini yang menegaskan ibukota Kerajaan Medang Kahuripan adalah Daha. Penobatan Sri Samarawijaya juga dituliskan di dalam Prasasti Pandan (1042) yang juga menyebutkan; rakryan mahamantri i hino śrī samarawijaya dhāmasuparṇawāhana teguh uttuṅgadewa.

Di dalam cerita Serat Calon Arang yang dituliskan pada era Kerajaan Majapahit, putri Airlangga, Sanggramawijaya Tunggadewi memilih mengundurkan diri dari takhta dan menjadi pertapa dengan nama Dewi Kili Suci. Di dalam Serat Calon Arang ini, Sanggramawijaya Tunggadewi memiliki dua orang adik laki-laki. Keterangan ini menegaskan bahwa kedua adik laki-lakinya ini memiliki potensi sebagai penggantinya sebagai Rakryan Mahamantri i Hino, tidak terkecuali juga bagi Samarawijaya. Posisi Samarawijaya sebagai Rakryan Mahamantri i Hino selain yang telah disebutkan di dalam Prasasti Pamwatan dan Prasasti Pandan juga disebutkan di dalam Prasasti Pasar Legi (1043) dan mendampingi Airlangga sebagai Maharaja. Jelas kiranya di sini bahwa Samarawijaya merupakan putera mahkota dari Kerajaan Kahuripan.

Setelah penobatan Samarawijaya sebagai Rakryan Mahamantri i Hino pada 1042 dan penegasan di tahun 1043, Airlangga di dalam Prasasti Turun Hyang B (1044) mengesahkan anugerah yang diberikan kepada Mapanji Garasakan kepada Desa Turun Hyang yang setia membantu Mapanji Garasakan melawan Kediri. Tentu penerbitan Prasasti Turun Hyang A ini menimbulkan kecurigaan dengan adanya perubahan serta gejolak politik di akhir pemerintahan Raja Airlangga.

Di dalam Prasasti Turun Hyang B tidak jelas siapa pemimpin Kediri, namun dari beberapa prasasti yang telah diterbitkan sebelumnya jelas kiranya bahwa Samarawijaya adalah penguasa Kediri dengan gelar Rakryan Mahamantri i Hino yang telah disematkan kepada dirinya. Namun, dengan adanya keterangan yang jelas bahwa Airlangga memberikan pengesahan atas anugerah Mapanji Garasakan kepada Desa Turun Hyang B yang telah membantunya melawan Kediri memberikan indikasi adanya gejolak politik di masa akhir kekuasaan Airlangga.

Dengan demikian, muncul pertanyaan mengapa Sri Samarawijaya menjadi lawan politik dari Mapanji Garasakan? Adakah upaya perebutan kekuasaan yang hendak dilakukan oleh Samarawijaya terhadap takhta yang dikuasai oleh Airlangga, sehingga Mapanji Garasakan, yang diyakini juga sebagai putra Airlangga memberikan perlawanan kepada Samarawijaya?. Jika keduanya adalah putra Airlangga, mengapa Airlangga memberikan persetujuan anugerah dalam Prasasti Turun Hyang B yang seolah memberikan isyarat adanya perlawanan kepada dirinya yang dilakukan oleh Samarawijaya?. Lalu, siapa sebenarnya Samarawijaya? Apakah ia benar-benar anak dari Airlangga?. Jika benar anak dari Airlangga mengapa Samarawijaya berada dalam posisi berlawanan dengan Airlangga sebagaimana yang diceritakan dalam Prasasti Turun Hyang B?.

Berdasarkan persoalan di atas kiranya perlu mempertimbangkan dugaan C.C. Berg. Menurutnya, pembagian Kerajaan yang dilakukan oleh Airlangga itu bukanlah suatu fakta historis, melainkan suatu cerita yang dibuat oleh pujangga pada masa Kerajaan Majapahit untuk membenarkan pembagian kerajaan yang dilakukan oleh Hayam Wuruk kepada Wirabhumi di sebelah timur dan Kerajaan Majapahit diberikan kepada anaknya yang lahir dari Parameswari, yaitu Kusumawardhani.

Jika menelisik pada  Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan, yang diyakini sebagai situs pendharmaan Airlangga. Terdapat dua arca dewi yang dianggap penjelmaan dari kedua istri Airlangga, penjelmaan itu diwujudkan dalam arca dewi laksmi dan dewi Sri. Sehingga muncul dugaan bahwa Mapanji Garasakan dan Sri Samarawijaya adalah putra dari kedua istri Airlangga tersebut. Lalu, muncul persoalan bagaimana dengan Sanggramawijaya Tunggadewi?. Berdasarkan keterangan yang diberikan dari Prasasti Cane ketika ia menjabat sebagai Rakryan Mahamantri i Hino tanpa diragukan bahwa ia adalah anak dari permaisuri Airlangga.

Bagaimana dengan Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan apakah benar Sri Samarawijaya adalah putra dari permaisuri Airlangga sehingga ia layak menjabat Rakryan Mahamantri i Hino?. Bagaimana dengan Mapanji Garasakan?. 

Prasasti Turun Hyang (1044 M) ini telah pecah berkeping-keping, tetapi direkam dalam sebuah dekrit Airlangga, memperingati pendirian desa Turun Hyang sebagai tanah bebas, sesuai dengan sumpah Airlangga untuk melakukannya ketika semua musuhnya telah dikalahkan. Prasasti ini juga memperingati pembangunan pertapaan yang disebut Śrī Vijayāśrama (gīneṣwaryya patapan maruhun śrī wījayaśrama). Dekrit ini menunjukkan bahwa Airlangga telah berhasil mengalahkan musuh-musuh politiknya.

Untuk dapat mengetahui asal-usul Mapanji Garasakan, tentu harus mengidentifikasi terlebih dahulu prasasti pertama yang menyebutkan namanya, yaitu Prasasti Turun Hyang yang terbit pada tahun 1044. Prasasti Turun Hyang ini adalah prasasti yang diisi oleh dua dekrit, dekrit Airlangga yang kemudian disebut dengan Prasasti Turun Hyang A (mengacu pada bait 1-12) dan dekrit yang dikeluarkan oleh Mapanji Garasakan (dimulai pada bait 13). Diketahui berdasarkan dari dekrit yang dikeluarkan oleh Airlangga, bahwa penduduk Desa Turun Hyan adalah pengikut Airlangga yang setia, karena telah membantu Airlangga dalam mengalahkan musuh-musuhnya sebagaimana kampanye Airlangga yang dimulai sejak 1041 (keterangan dalam prasasti batu Pucangan).

Setelah berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, Airlangga memberikan anugerah kepada Desa Turun Hyang pada tahun 1044. Namun, di tahun yang sama juga dikeluarkan dekrit oleh Mapanji Garasakan yang memberikan anugerah kepada penduduk Desa Turun Hyang yang membantu dirinya untuk memisahkan diri dari Haji Pangjalu  yang mana keterangan ini dibubuhi stempel garudamukha (stempel kebesaran Airlangga). Berdasarkan keterangan dari Prasasti Turun Hyang B ini, jelas kiranya bahwa telah terjadi pertempuran antara Haji Pangjalu dan Mapanji Garasakan.

Namun, yang menjadi persoalan dalam Prasasti Turun Hyang B adalah kata “memisahkan diri” dari Haji Pangjalu memberikan konfirmasi bahwa Haji Pangjalu adalah Samarawijaya dan juga memberikan konfirmasi bahwa Samarawijaya benar adanya sebagai Rakryan Mahamantri i Hino (Putera Mahkota) dan nampaknya telah menjadi penerus takhta Airlangga. Kata “Memisahkan diri” ini memberikan isyarat bahwa Mapanji Garasakan harus memaksa Haji Pangjalu (Samarawijaya) memberikan sebagian wilayah kekuasaannya. Dengan dibubuhkannya garudamukha (stempel kebesaran Airlangga) menunjukkan bahwa Airlangga merestui tindakan ini. 

Berdasarkan keterangan di atas Airlangga sepertinya khawatir atau ragu telah memberikan kekuasaannya kepada Samarawijaya. Mengapa Airlangga memunculkan keraguan setelah Samarawijaya dinobatkan menjadi penerusnya? Apakah Samarawijaya bukan anak Airlangga dan memberikan dugaan bahwa Mapanji Garasakan-lah yang jelas sebagai anak Airlangga? lalu mengapa Samarawijaya dinobatkan sebagai Rakryan Mahamantri i Hino?. 

Dugaan kuat bahwa sesungguhnya Mapanji Garasakan adalah putera dari Airlangga, ditunjukkan dari Prasasti Kamban Putih yang terbit pada 1050. Prasasti ini sering dikaitkan dengan pemerintahan Airlangga, berdasarkan segel garudamukha yang digunakan. Namun, nama raja, yang dibaca di dalam prasasti ini adalah Śrī Karasakan (Mapanji Garasakan). Prasasti ini memperingati pemberian dari raja kepada para tetua desa Kambaň Putih; tetapi karena sisi depannya hampir hancur total, kita tidak tahu mengapa pemberian itu diberikan kepada mereka oleh raja. Meskipun hancur total, tetapi dapat diduga pemberian anugerah ini berkaitan dengan bantuan yang diberikan oleh Desa Kamban Putih kepada Mapanji Garasakan dalam menghadapi musuh politiknya, sebagaimana ini juga tertuang di dalam Prasasti Turun Hyang B. 

Indikasi yang mungkin bahwa hubungan antara Mapanji Garasakan dan Airlangga ini adalah hubungan ayah dengan anak ditemukan dalam prasasti Sumenka (1059). Prasasti ini juga disegel dengan garudamukha dan memperingati penetapan desa Sumanka sebagai tanah bebas, sebagai hibah dari raja kepada para tetua desa yang telah mengajukan permohonan kepada raja untuk menetapkan desa mereka sebagai tanah bebas, untuk memungkinkan mereka memperbaiki sungai atau kanal, yang dibangun oleh Paduka Mpunku, sebagai tanda kesetiaan mereka kepadanya. 

Dalam bagian prasasti Sumenka yang menyatakan hubungan antara raja (Samarotsaha) dan {Paduka Mpunku}, ditemukan frasa: swabhāwa śrī mahārāja pwa suma. alyaken anugraha paduka mpǔñku. a. . n. dharma . . dī śira pinakawkā. . . srī mahārāja dewata. Pinakawka secara harfiah berarti 'dijadikan anak' atau 'dianggap sebagai anak', tetapi mungkin juga berarti 'adalah anak'. Hal menarik dari prasasti ini juga ditemukan frasa Janggalanchana yang juga terdapat garudamukha. Janggalanchana yang juga terdapat garudamukha, maka dapat disimpulkan bahwa Samarotsāha adalah putra Airlangga dan raja Jañgala. Dan jika penggunaan segel garudamukha olehnya adalah untuk menunjukkan bahwa ia adalah putra Airlangga, maka Garasakan juga adalah putra Airlangga. Bahwa Garasakan tidak mungkin menjadi raja Panjalu atau kerajaan lain dapat disimpulkan dari fakta bahwa ia telah berperang dengan raja Panjalu,

Prasasti lain menawarkan bukti adanya raja ketiga Jangala dan membuat masalah menjadi lebih rumit. Prasasti itu adalah prasasti lempengan tembaga Banjaran bertanggal 974 Saka (31 Agustus 1052 M). prasasti itu memperingati pendirian tanah bebas desa Banjaran sebagai hibah dari raja, Sri Maharaja Mapanji Alanjun Ahyes Makoputadhanu Sri Ajnajabharitamawakana Pasukala Nawanamanitaniddhita Sasatrahetajnadewati (?), kepada samya haji dari Banjaran.

Fakta yang paling menonjol dalam prasasti Banjaran adalah penyebutan garudamukha yang mungkin menunjukkan segelnya. Tetapi kemudian dapat disimpulkan bahwa Mapañji Alanjun Ahyes, atau apa pun nama aslinya, juga merupakan putra Airlangga. Dengan demikian, kita memiliki tiga raja Janggala berturut-turut yang semuanya adalah putra Airlangga, yang pertama adalah Mapanji Garasakan yang digantikan oleh Mapanji Alanjun Ahyes pada 974 Śaka, sedangkan Samarotsaha adalah yang terakhir dari mereka.

Sepeninggal Raja Airlangga dan selama kekuasaan Samarawijaya, Kerajaan Janggala dan Panjalu tidak pernah hidup berdampingan secara damai. Perebutan kekuasaan terus berlangsung hingga tahun 1042, Mapanji Garasakan dapat mengalahkan Samarawijaya. Diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042-1052 M) dalam Prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha (Wisnu Naik Garuda). Namun Mapanji tidak lama memimpin Kerajaan. Tampuk pemerintahan lalu jatuh ditangan Raja Mapanji Alanjung Ahyes (1052-1059 M) dan kemudian digantikan lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha.

Sri Jitendrakara (1051-1112)

Sri Jitendrakara/Sri Jitendra Kara, atau Sri Jitendra diidentifikasi sebagai raja dari Kerajaan Panjalu. Identifikasi ini berdasarkan pada prasasti Mataji yang ditemukan di Desa Bangle, Lengkong, Nganjuk, Jawa Timur. Prasasti ini bertanggal 973 Saka, atau 1051 Masehi, dan ditulis dalam bahasa serta aksara Jawa Kuno.

Namanya tercatat dalam prasasti Mataji yang memberikan informasi mengenai nama raja dengan gelar abhiseka yang digunakan, yaitu Sri Maharaja Jitendra Kara Paladewa Wuryyawiryya Parakrama Bhakta. Ia menjadi raja Panjalu sekitar tahun 973 Saka, atau 1051 Masehi. Jarak waktu antara penerbitan prasasti Mataji pada tahun 1051 Masehi dan penobatan Sri Samarawijaya pada tahun 1042 hanya terpaut 9 tahun. Jangka waktu yang relatif singkat ini menimbulkan dugaan bahwa Sri Samarawijaya memerintah Kerajaan Panjalu paling lama sekitar 9 tahun.

Dalam prasasti Mataji berisi penganugerahan status sima (bebas pajak) oleh Raja Jitendrakara melalui pejabatnya Sang Hadyan kepada penduduk Desa Mataji, yang telah berulangkali membantu raja dalam menumpas musuh-musuh kerajaan. Nama raja ditulis sebagai Sri Maharaja Jitendra Kara Paladewa Wuryyawiryya Parakrama Bhakta, dan juga terdapat frasa "Hajyan Panjalu". Hal ini menunjukkan bahwa Sri Maharaja Jitendrakara juga bergelar Hajyan Panjalu (Haji Panjalu).

Tidak diketahui secara pasti kapan Sri Jitendra Kara turun takhta. Namun, diduga ia memerintah hingga tahun 1112 berdasarkan prasasti Karanggayam (1112). Di dalam Prasasti Karanggayam, raja Panjalu adalah Sri Bameswara. 

Sri Bameswara (1112-1135)

Sri Maharaja Bameswara (1116-1135), namanya tercatat dalam prasasti Padeglan I (1117), Prasasti Panumbangan (1120) dan Prasasti Tangkilan (1130). Sri Bameswara adalah raja Kerajaan Kediri yang menggunakan lancana Candrakapale yaitu tengkorak yang bertaring diatas bulan sabit. Pada masa pemerintahannya banyak dihasilkan karya-karya sastra bahkan kiasan hidupnya yang dikenal dalam Cerita Panji.

Sri Bameswara adalah raja Panjalu yang memerintah pada kurun waktu sekitar tahun 1112 hingga 1135. Gelar abhiseka yang disandangnya adalah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuwana Tustikarana Sarwaniwariwirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa.

Tidak diketahui secara pasti kapan Sri Bameswara naik tahta sebagai penguasa Kerajaan Panjalu. Namun jika melihat dari beberapa prasasti yang telah ia terbitkan selama memerintah, penanggalan pada Prasasti Karanggayam (1112) yang menjadi rujukannya. Selama masa pemerintahan Maharaja Sri Bameswara, setidaknya terdapat sepuluh prasasti penting yang menginformasikan perkembangan Jawa bagian timur pada masa itu.

Sri Jayabhaya

Sri Bameswara diganti oleh Sri Maharaja Sri Jayabhaya (1135-1159) yang menggunakan lencana Kerajaan berupa lencana Narasingha yaitu setengah manusia setengah singa. Nama raja Jayabhaya sendiri tertuliskan di dalam Prasasti Ngantang (1135) dan Kakawin Bharatayudha (1157). Pada masa pemerintahannya Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan dan juga banyak dihasilkan karya sastra. Jayabhaya juga disebut sebagai penjelmaan dari Dewa Wisnu.

Sri Sareswara

Sepeninggal Jayabhaya, Kerajaan Kediri dipimpin oleh Sareswara (1159-1169). namanya tersematkan di dalam Prasasti Padeglan II (1159) dan Prasasti Kahyunan (1161). Tidak banyak yang diketahui mengenai pemerintahan Sri Sareswara ini sebab terbatasnya peninggalan yang ditemukan. Ia memakai lencana Kerajaan berupa Ganesha.

Sri Aryeswara

Sepeninggal Sareswara, berdasarkan keterangan yang diberikan di dalam Prasasti Angin (1171) bahwa Kerajaan Kediri berurut-turut dipimpin oleh Aryyeswara dan Sri Gandra. Kemudian pemerintahan Kerajaan jatuh ditangan Raja Kameswara.

Sri Gandra

Nama Sri Gandra sebagai raja Kediri tertuliskan di dalam Prasasti Angin (1171) sebagai pengganti Aryeswara dan namanya juga tersematkan di dalam prasasti Jaring (1181). Terdapat sesuatu yang menarik pada masa pemerintahannya, yaitu untuk pertama kalinya didapatkan orang-orang terkemuka mempergunanakan nama-nama binatang sebagai namanya. Beberapa nama yang digunakan antara lain seperti Kebo Salawah, Manjangan Puguh, macan Putih, gajah Kuning dan sebagainya.

Sri Kameswara

Raja Kameswara (1182-1185) masa pemerintahannya ini ditulis dalam Kitab Kakawin Smaradhana oleh Mpu Darmaja yang berisi pemujaan terhadap raja, serta Kitab Lubdaka dan Wretasancaya yang ditulis oleh Mpu Tan Akung. Kitab Lubdaka bercerita tentang seorang pemburu yang akhirnya masuk surga dan Wretasancaya yang berisi petunjuk mempelajari tembang Jawa Kuno. Selain di dalam karya sastra yang dituliskan oleh para pujangga, nama Sri Kameswara juga termuat dalam Prasasti Ceker (1182).

Kertajaya

Sepeninggal Sri Kameswara, takhta Kerajaan kediri selanjutnya pada tahun 1185-1222 adalah Kertajaya dan raja terakhir kerajaan Kediri. Kertajaya memakai lencana Garuda Mukha seperti Raja Airlangga, sayangnya ia kurang bijaksana, sehingga tidak disukai oleh rakyat terutama kaum Brahmana. Dalam masa pemerintahannya, terjadi pertentangan antara dirinya dan para Brahmana hal inilah akhirnya menjadi penyebab berakhirnya Kerajaan Kediri. Nama Kertajaya cukup populer karena termuat di beberapa prasasti dan karya sastra antara lain; Prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), Prasasti Palah (1197), Prasasti Wateskulon (1205) dan Negarakrtagama serta Pararaton.

Raja-Raja Kerajaan Kediri Di Bawah Kerajaan Singasari

Setelah Ken Angrok berhasil mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Singasari pada tahun 1222. Status Kerajaan Kediri tidak dihapuskan melainkan menjadi kerajaan bawahan dari Kerajaan Singasari. Di bawah ini adalah beberapa raja Kerajaan Kediri (Daha) di bawah kekuasaan Singasari;

  1. Mahisa Wonga Teleng (Putra Ken Arok dan Ken Dedes);
  2. Guningbhaya (adik Mahisa Wonga Teleng);
  3. Tohjaya (Putra Ken Arok dan Ken Umang);
  4. Kertanegara (Putra Ranggawuni);

Kerajaan Kediri Di Bawah Pemerintahan Jayakatwang

Jayakatwang, adalah keturunan Kertajaya yang menjadi raja Gelang-Gelang (Madiun). Sejak kekalahan Kertajaya, keturunanannya tetap mendapatkan kehormatan dengan memerintah di Gelang-Gelang. Pada tahun 1292 dengan memanfaatkan kelengahan Kertanegara yang memaksakan ekspedisi Pamalayu, Jayakatwang melakukan pemberontakan hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singasari. Jayakatwang kemudian membangun kembali Kerajaan Kediri. Namun, Jayakatwang tidak memerintah lama di Kediri. Pada tahun 1293 ia berhasil dikalahkan oleh Raden Wijaya, menantu Kertanegara dan mendirikan Kerajaan Majapahit.

Raja-Raja Kerajaan Kediri Di Bawah Kerajaan Majapahit

Sejak tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar Bhre Daha tapi hanya bersifat simbol, karena pemerintahan harian dilaksanakan oleh patih Daha. Bhre Daha yang pernah menjabat ialah:

  1. Jayanagara 1295-1309 didampingi oleh Patih Lembu Sora;
  2. Rajadewi 1309-1375 didampingi oleh Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.
  3. Indudewi 1375-1415;
  4. Suhita 1415-1429;
  5. Jayeswari 1429-1464;
  6. Manggalawardhani 1464-1474.

Kondisi Ekonomi

Kondisi Ekonomi Kerajaan Kediri dapat diketahui bahwa Kerajaan Kediri merupakan Kerajaan agraris maritim. Perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan dan pertanian untuk masyarakat yang hidup di daerah pedalaman. Sedangkan yang berada di pesisir hidupnya bergantung dari perdagangan dan pelayaran. Mereka telah mengadakan hubungan dagang dengan Maluku dan Sriwijaya. Kediri terkenal sebagai penghasil beras, kapas dan ulat sutra.

Kerajaan Kediri cukup makmur, hal ini terlihat pada kemampuan Kerajaan yang memberikan penghasilan tetap pada para pegawainya walaupun hanya dibayar dengan hasil bumi. Keterangan tersebut berdasarkan kitab Chi-fan-Chi (1225) karya Chau Ju-kua mengatakan bahwa Su-ki-tan yang merupakan bagian dari She-po (Jawa) telah memiliki daerah taklukkan. Para ahli memperkirakan Su-ki-tan adalah sebuah Kerajaan yang berada di Jawa Timur, dan yang tak lain dan tak bukan adalah Kerajaan Kediri. Mungkin juga Su-ki-tan sebagai kota pelabuhan yang telah dikenal para pedagang dari luar negeri, termasuk Cina.

Kondisi Sosial

Kondisi sosial Kerajaan Kediri dapat dikatakan bahwa masyarakatnya memiliki kondisi sosial yang cukup baik karena kesejahteraan rakyat meningkat, masyarakat hidup tenang. Dalam kitab Ling-wai-tai-ta (1178) karya Chou-Ku-fei yang menerangkan bahwa orang-orang Kediri memakai kain sampai lutut, rambutnya di urai, rumah-rumah telah teratur dan bersih, lantai ubinnya berwarna hijau dan kuning. Pertanian dan perdagangan telah maju, orang-orang yang salah didenda dengan emas.

Pencuri dan perampok dibunuh, telah digunakan mata uang perak, orang sakit tidak menggunakan obat tapi memohon kesembuhan pada Dewa atau kepada Buddha. Tiap bulan ke-5 diadakan pesta air, alat musik yang digunakan berupa seruling, gendang, dan gambang dr kayu. Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai maka seni dapat berkembang antara lain kesusastraan yang paling maju adalah seni sastra terutama Jawa kuno.

Kemaritiman Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri adalah salah satu kerajaan yang lahir dari pembagian kerajaan oleh Raja Airlangga kepada kedua putranya. Kerajaan Kediri mewarisi struktur birokrasi dan administrasi dari Kerajaan Mataram Kuno. Dalam aktivitas kemaritiman pada permulaan terbaginya kerajaan yang dilakukan oleh Raja Airlangga selalu diliputi oleh pertentangan antara Janggala dan Panjalu yang berakhir dengan kemenangan Panjalu dengan ibukota di Daha. 

Instabilitas politik ini menyebabkan tidak begitu banyak diketahui mengenai aktivitas kemaritiman Kerajaan Kediri, namun begitu setelah masa-masa perang saudara ini akan ditemukan beberapa petunjuk mengenai aktivitas kemaritiman Kerajaan Kediri. Di bawah ini akan dijelaskan tentang kemaritiman Kerajaan Kediri berdasarkan sumber-sumber prasasti maupun berita-berita asing.

Bukti kemaritiman Kerajaan Kediri dapat diperoleh dari keterangan yang terdapat di dalam prasasti Jaring

Setelah kemenangan atas Jenggala, cukup lama tidak ada prasasti yang menunjukkan adanya aktivitas kemaritiman yang dilakukan oleh Kerajaan Kediri. Meskipun begitu, bukan berarti Kerajaan Kediri tidak terlibat aktif sama sekali dan terisolasi dari aktivitas kemaritiman dan perdagangan internasional. Pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa dari Kerajaan Mataram Kuno telah diketahui bahwa wilayah yang kelak menjadi wilayah Kerajaan Kediri ini melakukan peperangan terhadap Kerajaan Sriwijaya melalui darat dan juga laut. Hal ini menunjukkan bahwa Kerajaan Kediri pun masih mewarisi hal tersebut meskipun pada awal mula kemunculannya nampaknya aktivitas maritim belum menjadi prioritas yang cukup penting.


Keterangan yang terdapat di dalam prasasti Jaring yang berangka tahun 1181 dan dikeluarkan oleh Sri Maharaja Sri Krocaryyadipa Handabhuwanamalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama Sri Gandara, menyebutkan bahwa terdapat gelar senapati sarwajala yang diartikan sebagai panglima angkatan laut. Berdasarkan keterangan ini menunjukkan bahwa Kerajaan Kediri telah menaruh minat yang cukup besar terhadap kekuatan maritimnya dengan adanya jabatan senapati sarwajala.

Tidak berlebihan jika dikatakan pada masa ini Kerajaan Kediri-lah yang pertama kali membentuk adanya kekhususan dalam masalah angkatan laut, yang mana bukan berarti sebelum Kerajaan Kediri angkatan laut kerajaan-kerajaan di Jawa tidak ada sama sekali. Pelabuhan Hujung Galuh yang berada dialiran Sungai Brantas hingga masa ini tetap dapat dilalui oleh perahu-perahu besar. Pelabuhan Hujung Galuh ini sejak masa Raja Airlangga telah dihuni oleh wargga kilalan yang terdiri dari orang Champa, Khmer, Birma, Sri Lanka, Karnnataka, Pandikira, Kalingga dan Aryya. Sehingga menunjukkan bahwa meskipun sempat terjadi instabilitas politik oleh karena perebutan kekuasaan, buka berarti Kerajaan Kediri sama sekali tidak terlibat dalam aktivitas kemaritiman.

Berdasarkan keterangan-keterangan yang diberikan oleh sumber-sumber Cina juga menunjukkan bahwa Pelabuhan Hujung Galuh ini adalah pelabuhan yang sangat ramai dan sang raja mengirimkan utusannya pada tahun 1109 dengan memberikan upeti kepada kaisar. Hal ini menunjukkan bahwa Kerajaan Kediri juga menjalin hubungan dengan negeri luar terutama dengan Cina sebagai mitra dagang maupun juga politik.

Runtuhnya Kerajaan Kediri

Kertajaya adalah raja terakhir kerajaan Kediri. Ia memakai lencana Garuda Mukha seperti Ria Airlangga, sayangnya ia kurang bijaksana, sehingga tidak disukai oleh rakyat terutama kaum Brahmana. Dalam masa pemerintahannya, terjadi pertentangan antara dirinya dan para Brahmana hal inilah akhirnya menjadi penyebab berakhirnya Kerajaan Kediri.

Pertentangan itu disebabkan Kertajaya dianggap telah melanggar adat dan memaksa kaum brahmana menyembahnya sebagai Dewa. Para Brahmana kemudian meminta perlindungan pada Ken Arok di Singosari. Kebetulan Ken Arok juga berkeinginan memerdekakan Tumapel (Singasari) yang dulunya merupakan bawahan Kediri. Tahun 1222 pecahlah pertempuran antara prajurit Kertajaya dan pasukan Ken Arok di desa Ganter. Dalam peperangan ini, pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan prajurit Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kediri, yang sejak saat itu menjadi bawahan Kerajaan Singasari. Runtuhnya kerajan Panjalu-Kediri pada masa pemerintahan Kertajaya dikisahkan dalam Kitab Pararaton dan Kitab Negarakrtagama.

Daftar Bacaan

  • Coedes, G. 1968. The Indianized States of Southeast Asia. Kuala Lumpur/Singapore: University of Malaya Press.
  • Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
  • Krom, N. J. 1954. Zaman Hindu. Djakarta: Jajasan Pembangunan.
  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.
  • van Leur, J. C. 1955. Indonesian Trade and Society. The Hague/Bandung: W. van Hoeve.