Peran Tirto Adhi Soerjo Bagi Pergerakan Nasional Indonesia

Peran Tirto Adhi Soerjo Bagi Pergerakan Nasional Indonesia

Peran Tirto Adhi Soerjo bagi pergerakan nasional Indonesia adalah sebuah peran yang tidak dapat dianggap remeh. Sang Pemula, begitu panggilannya sesuai yang termaktub di dalam tulisan yang dikisahkan oleh Pramoedya Ananta Toer (1925). Tirto Adhi Soerjo merupakan seorang priyayi lulusan OSVIA yang telah memilih untuk meninggalkan dinas pemerintahan dan menjadi wartawan.

Tirto Adhi Soerjo yang tidak luput dari berseliwerannya gerakan organisasi Budi Utomo, dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh ‘jiwa zaman’ yang mendorong dirinya pada tahun 1910 untuk membentuk organisasi Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia pada tahun 1909. Hal serupa juga dilakukan untuk mendirikan organisasi yang sama di Buitenzorg (Bogor) pada tahun 1910. Kedua organisasi ini bermaksud untuk membantu pedagang-pedagang pribumi Hindia.

Pendidikan Tirto Adhi Soerjo

Mengenal sedikit lebih dalam tentang dirinya, begitu lulus sekolah dasar Belanda (Europeesche Lagere School atau ELS), Djokomono, demikian nama kecilnya, langsung masuk ke sekolah dokter STOVIA. Di STOVIA, Tirto Adhi Soerjo mengingat ia sebagai seorang Raden Mas, ketika berada di tanah Betawi, maka ia terbebas dari semua ikatan dan aturan ketat keluarga ningrat-priyayi.

Hal ini yang membawa Tirto Adhi Soerjo turut bergaul di dalam lingkungan masyarakat yang sebagian besar berdialek Melayu-Betawi, dan inilah yang menjadikan Tirto Adhi Soerjo menggunakan bahasa itu di dalam tulisan-tulisannya. Dalam tahun 1894-1895, dalam usia 14-15 tahun, ia sudah mengirimkan berbagai tulisannya ke surat kabar terbitan Betawi.

Sebelum memahami lebih jauh tentang Tirto Adhi Soerjo yang sangat erat keberadaannya tentang perkembangan pers, tentu penting pula sedikit memahami dinamika pers sebelum Tirto Adhi Soerjo berperan di dalam dunia pers Hindia-Belanda. Pers murni pribumi dikatakan belum ada sebelum memasuki tahun 1900, sekali pun menggunakan bahasa pribumi, Melayu dan terutama Jawa. Bahkan sampai tahun itu belum ada harian atau berkala berbahasa Sunda, dan masih harus menunggu beberapa tahun lagi.

Terjun Ke Dalam Dunia Pers

Tahun 1900, Tirto Adhi Soerjo dikeluarkan dari STOVIA tanpa ada sebab yang pasti. Mungkin terbesit dari karya fiksinya, Cerita Nyai Ratna (1909) seolah nampak sedikit menjawab penyebab dikeluarkannya Tirto Adhi Soerjo dari STOVIA. Kemungkinan ia lebih tertarik menulis dibandingkan untuk mengikuti pelajaran di sekolah. Oleh karena itu, Tirto Adhi Soerjo dapat dikatakan sebagai “dokter gagal”.

Tirto Adhi Soerjo mulai rutin mengirimkan berbagai tulisannya, ketika mulai ditunjuk untuk membantu surat kabar Chabar Hindia Olanda (terbit: Batavia, 1888-1897), yang dipimpin oleh Alex Regensburg selama dua tahun. Dengan matinya surat kabar itu, dan setelah ia keluar dari STOVIA, ia kemudian menjadi pembantu di surat kabar Pembrita Betawi (terbit: Batavia, 1884-1916), sebuah berkala bergambar pimpinan Overbeek Bloem.

Pada tahun 1901 ia diangkat sebagai redaktur kepala menggantikan F. Wiggers. Ia teruskan untuk tetap menghargai dan menghormati golongan penduduk Cina sebagai bangsa yang dipersamakan dengan bangsa-bangsa Pribumi, dan sebagai bangsa yang diperintah. Di surat kabar ini, ia tidak lama dan kemudian menjadi pembantu tetap di Pewarta Priangan terbitan Bandung.

Namun, ia kembali lagi menjadi pembantu di surat kabar Pembrita Betawi, karena Pewarta Priangan berumur pendek. Keterlibatan Tirto Adhi Soerjo dalam beberapa surat kabar menjadikanya tidak begitu asing dengan dunia persuratkabaran, dan percetakan, terlebih, sejak usianya yang masih tergolong muda ia sudah terbiasa dengan dunia penulisan.

Pada tahun 1902 di Pembrita Betawi ia dipercaya sebagai penanggungjawab dan pada tahun yang sama terbit Nieuws van den Dag yang dipimpin oleh Karel Wijbrands. Pertemuan Tirto Adhi Soerjo dengan Karel Wijbrands membawa diri Tirto Adhi Soerjo bergaul tidak cukup lama dengan Wijbrands namun cukup intens. Dari Wijbrands, Tirto Adhi Soerjo mendapat pengetahuan bagaimana memimpin dan mengelola terbitan dan ditunjukkan pula oleh Wijbrands bagaimana mengelola dan memimpin terbitan sendiri.

Peran Tirto Adhi Soerjo Dalam Pers Dan Pergerakan Nasional Indonesia

Wijbrands juga yang memberi tahu Tirto Adhi Soerjo sejauh mana hukum dan kekuasaan Hindia-Belanda agar dapat lebih jeli dalam menilai kekuasaan, Tirto Adhi Soerjo juga mempelajari hukum dan pemerintahan, dan untuk mengenal bangsanya, ia mempelajari Islam dan hukumnya. Memasuki bulan April 1902 Tirto Adhi Soerjo mendapat karunia kerajaan Kasusuhunan Solo sebagai pembimbing tamu agung dari kraton Solo, Raden Mas Ngabehi Prodjo Sapoetro, dalam lawatannya ke Banten untuk lebih mengenal Pulau Jawa. Berita ia menerima karunia kerajaan yang diumumkan oleh pers putih maupun Melayu menjadi perhatian para priyayi di seluruh Jawa dan Madura.

Kontroversi

Tirto Adhi Soerjo kemudian melalui karya-karya jurnalistiknya menentang orang Belanda terutama J. J. Donner yang memberhentikan Bupati Madiun, Brotodiningrat. Ketenaran Tirto Adhi Soerjo, pertama kali tercatat secara cukup lugas dalam tulisan Snouck Hugronje yang menulis:

“Tirto Adhi Soerjo gagal lulus sekolah dokter STOVIA lebih banyak karena cacat pada wataknya daripada kekurangan pada bakatnya. Dengan pendidikannya dan kepandaiannya berbicara ia meninggalkan kesan pada banyak orang sebagai lebih baik dari dirinya yang sebenarnya.”

Snouck Hugronje

Snouck Hugronje kemudian lanjut menuliskan meskipun terlepas apakah Snouck mengenalnya secara pribadi atau tidak:

“… ia (Tirto Adhi Soerjo) seorang penghasut, bahkan abangnya sendiri, R. M. Said, tidak mau tahu lagi tentang dirinya.”

Snouck Hugronje

Di dalam pengalamannya membela Brotodiningrat, yang merupakan sepupunya sendiri, di sini berarti telah dimulai babak baru di dalam pers Hindia, Pribumi versus Eropa. Perpaduan di dalam diri Tirto Adhi Soerjo yang telah lahir dari tradisi Jawa, mengenyam pendidikan Eropa dan mempelajari Islam secara otodidak, membawa perpaduan aneh dari gagasannya, yaitu pers dan dagang untuk memajukan bangsa, dengan kekuatan baru yang didapatnya dari ilmu-ilmu tersebut, serta didukung oleh keberanian yang membuat ia pada masanya sebagai pelopor di banyak bidang, baik dengan sukses maupun kegagalan total.

Beberapa waktu sebelum Tirto Adhi Soerjo mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah, Tirto Adhi Soerjo telah berhasil membuat sebuah gerakan terpenting di dalam menunjang pergerakan nasional di Hindia, terutama terlihat pada tahun 1903, Tirto Adhi Soerjo mendirikan surat kabar pertama yang didirikan, didanai, dan dijalankan oleh orang-orang pribumi Hindia, dan terbit berkala secara mingguan berbahasa Melayu yang bernama Soenda Berita, yang terletak di Cianjur.

Dari penerbitannya selama tiga tahun, Tirto Adhi Soerjo mempunyai program untuk menaikkan tingkat pengetahuan bangsanya diberbagai bidang, dan menyiapkan pembacanya untuk memasuki jaman modern yang sedang mendatangi. Hampir sedikit berbarengan dengan Soenda Berita, pada tahun 1904 terbit Kabar Perniagaan milik Hoa Siang Ing Kok, dicetak oleh percetakan Tjoe Toy Yang.

Membentuk Sarekat Prijaji Dan Memelopori Sarekat Dagang Islam

Menjelang akhir tahun 1904, Tirto Adhi Soerjo mengunjungi Maluku dan sempat melipir di Bacan dimana pada tahun 1905 Tirto Adhi Soerjo menikahi Fatimah, saudari dari Sultan terakhir Bacan yang harus menandatangani Korte Verklaring pada tahun 1910.

Pada tahun 1906, berakar dari gagasannya, Tirto Adhi Soerjo mendirikan perhimpunan Sarikat Priyayi yang disebarkan di seluruh Hindia Belanda berupa surat edaran yang di dukung oleh surat kabar Melayu di Hindia Belanda.

Surat edaran itu mendapat sambutan dengan anggota mencapai 700 orang. Sarikat Priyayi (SP) sebagai organisasi modern pribumi pertama sebagai contoh percobaan sejarah. Walaupun Sarekat Priyayi sebagai percobaan sejarah, namun telah melahirkan tokoh Thamrin Mohamad Thabrie dan R. A. A. Prawiradiredja. Antara yang dicita-citakan Sarekat Priyayi dan Budi Utomo terdapat kesamaan tujuan.

Dalam hal semangat dan tujuan, Sarekat Priyayi jauh lebih luas dibandingkan Budi Utomo, Budi Utomo merupakan organisasi kesukuan, sedangkan Sarekat Priyayi tidak. Sebagai organisasi, Budi Utomo menggunakan bahasa Jawa, sedangkan Sarekat Priyayi menggunakan bahasa Melayu. Tirto Adhi Soerjo sendiri tidak puas dengan perkembangan Budi Utomo, bukan hanya saja mengenai bantuannya yang royal tidak digubris, terutama karena setahun setelah Budi Utomo berdiri telah jatuh ke tangan “angkatan tua” terutama setelah Tjipto Mangoenkoesoemo telah mengundurkan diri dari Budi Utomo.

Sepulangnya dari Maluku, Tirto Adhi Soerjo pada tahun 1907 ia mendirikan mingguan Medan Prijaji di Batavia yang dijadikan surat kabar harian pada tahun 1910 dan menjadikan Medan Prijaji sebagai surat kabar harian pertama di Hindia-Belanda yang dikelola oleh pribumi.

Surat kabar itu merupakan isi dari seluruh gagasan Tirto Adhi Soerjo. 5 April 1909, VB (Vrije Burgers) begitu sebutnya, atau Kaum Mardika, organisasi yang terdiri dari golongan menengah yang terdiri dari pedagang, petani, pekerja, tukang, dan peladang dihimpun oleh Tirto Adhi Soerjo dengan unsur pengikatnya adalah Islam. Organisasi ini kemudian diberi nama Sarekat Dagang Islamiyah, yang hingga setahun setelah berdirinya masih belum mendapatkan pengakuan secara hukum oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Hingga pada tahun 1911 Tirto Adhi Soerjo mendorong seorang pedagang batik yang berhasil di Lawean yaitu H. Samanhudi yang telah mengembangkan organisasi Rekso Roemekso untuk dijadikan sebuah koperasi peragan batik Jawa dengan nama Sarekat Dagang Islam.

Daftar Bacaan

  • Kartodirjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
  • Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Grafiti.
  • Neil, Robert van. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia. (terj.) Zahara Deliar Noer. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia-Belanda. Jakarta: Balai Pustaka
  • Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Sang Pemula. Jakarta: Lentera Dipantara