Trenggiling (Tenggiling) / Pangolin

Trenggiling (Tenggiling) / Pangolin

Trenggiling, atau dikenal juga sebagai pangolin, adalah mamalia unik yang menjadi perhatian dunia karena bentuk tubuhnya yang khas dan status konservasi yang memprihatinkan. Hewan ini memiliki sisik keras dari keratin, bahan yang sama dengan kuku manusia, dan merupakan satu-satunya mamalia bersisik di dunia. Artikel ini menyajikan penelusuran ilmiah mengenai trenggiling dari berbagai sudut pandang, mulai dari taksonomi, biologi, ekologi, hingga konservasi dan peranannya dalam budaya serta tantangan yang dihadapinya di abad ke-21.

Taksonomi dan Klasifikasi Ilmiah

Trenggiling Sunda (Manis javanica)
Trenggiling termasuk dalam ordo Pholidota dan famili Manidae. Terdapat delapan spesies trenggiling yang diakui secara ilmiah, yang tersebar di Asia dan Afrika. Di Indonesia, spesies yang paling dikenal adalah Manis javanica, atau trenggiling Sunda.
  • Kingdom: Animalia
  • Filum: Chordata
  • Kelas: Mammalia
  • Ordo: Pholidota
  • Famili: Manidae
  • Genus: Manis
  • Spesies: Manis javanica (contoh di Asia Tenggara)

Karakteristik Morfologi

Trenggiling memiliki karakteristik morfologi yang sangat unik dan merupakan adaptasi khusus untuk gaya hidupnya sebagai pemakan serangga (insektivora), khususnya semut dan rayap. Berikut adalah ciri-ciri morfologi utama trenggiling:

Sisik Keratin Pelindung

Ini adalah ciri paling menonjol dari trenggiling. Seluruh tubuhnya (kecuali bagian perut, bagian dalam kaki, dan wajah tertentu) ditutupi oleh sisik-sisik besar, keras, dan tumpang tindih yang terbuat dari keratin. Keratin adalah bahan yang sama dengan kuku, rambut, dan cula badak. Sisik ini berfungsi sebagai perisai pelindung yang sangat efektif dari predator. Saat terancam, trenggiling akan menggulung tubuhnya menjadi bola rapat, sehingga hanya sisik kerasnya yang terekspos. Sisik ini juga dapat mencuat tajam ke atas.

Bentuk Tubuh Memanjang

Trenggiling memiliki tubuh yang ramping dan memanjang, dengan ekor yang juga relatif panjang. Panjang total tubuh (dari kepala hingga ujung ekor) bervariasi antar spesies, bisa mencapai 30 cm hingga lebih dari 100 cm. Ekornya sendiri bisa mencapai setengah dari panjang tubuhnya. Beberapa spesies trenggiling pohon bahkan memiliki ekor prehensil (dapat menggenggam) yang kuat untuk bergelantungan di dahan pohon.

Kepala Kecil dan Moncong Lancip

Kepala trenggiling relatif kecil dibandingkan dengan tubuhnya, dan memiliki bentuk moncong yang panjang dan lancip. Adaptasi ini memungkinkan mereka untuk masuk ke dalam lubang semut dan rayap yang sempit.

Tidak Bergigi

Trenggiling tidak memiliki gigi sama sekali. Mereka menelan mangsanya (semut dan rayap) secara utuh. Proses pencernaan dibantu oleh kerikil kecil yang sengaja mereka telan dan otot perut yang kuat untuk menggiling makanan di dalam lambung.

Lidah Sangat Panjang dan Lengket

Ini adalah salah satu adaptasi paling luar biasa. Lidah trenggiling sangat panjang (bahkan bisa lebih panjang dari tubuhnya sendiri, mencapai 40 cm atau lebih pada spesies besar) dan dilapisi lendir yang sangat lengket. Pangkal lidah mereka tidak melekat pada tulang hyoid seperti mamalia lain, melainkan menempel jauh di dalam rongga dada, antara tulang dada dan trakea. Hal ini memungkinkan mereka menjulurkan lidahnya jauh ke dalam sarang serangga untuk menangkap mangsanya.

Cakar Kuat dan Tajam

Kaki depan trenggiling dilengkapi dengan cakar yang sangat kuat dan tajam, terutama cakar pada jari ketiga. Cakar ini digunakan untuk menggali sarang semut dan rayap di tanah atau pada batang pohon.

Penglihatan Buruk, Penciuman dan Pendengaran Tajam

Trenggiling memiliki penglihatan yang sangat buruk, tetapi indra penciuman dan pendengaran mereka sangat tajam. Mereka sangat bergantung pada indra ini untuk menemukan makanan dan mendeteksi predator.

Penutup Hidung dan Telinga

Trenggiling memiliki otot yang kuat yang memungkinkan mereka menutup lubang hidung dan telinga mereka saat menggali atau berburu di sarang serangga, mencegah serangga masuk ke dalam organ tersebut.

Secara keseluruhan, karakteristik morfologi trenggiling adalah serangkaian adaptasi yang sangat spesifik dan efisien untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sebagai pemakan serangga di habitatnya.

Habitat dan Sebaran

Trenggiling mendiami berbagai jenis habitat mulai dari hutan hujan tropis, hutan sekunder, hingga lahan pertanian dan perkebunan. Secara umum, trenggiling dapat ditemukan di dua benua utama: Asia dan Afrika.Mereka tersebar di Afrika (4 spesies) dan Asia (4 spesies), termasuk di Indonesia, Malaysia, Thailand, India, dan Tiongkok.

Habitat Trenggiling

Trenggiling menunjukkan fleksibilitas dalam memilih habitat, meskipun preferensi spesifik dapat bervariasi antar spesies. Secara umum, habitat trenggiling meliputi:

  • Hutan Hujan Tropis: Ini adalah habitat yang paling umum bagi banyak spesies trenggiling, baik di Asia maupun Afrika. Mereka ditemukan di hutan primer maupun sekunder.
  • Sabana dan Padang Rumput: Beberapa spesies trenggiling Afrika, terutama trenggiling tanah, menghuni area sabana dan padang rumput.
  • Lahan Pertanian dan Perkebunan: Meskipun bukan habitat ideal, trenggiling terkadang ditemukan di sekitar lahan pertanian, perkebunan (misalnya kelapa sawit), atau lahan campuran semak belukar. Namun, keberadaan di area ini seringkali menunjukkan fragmentasi habitat alami mereka.
  • Daerah Berbukit dan Pegunungan: Beberapa studi menunjukkan bahwa trenggiling memilih habitat dengan kelerengan curam hingga sangat curam sebagai strategi anti-predator. Mereka juga dapat ditemukan di ketinggian yang bervariasi, tergantung pada spesiesnya.
  • Persembunyian: Trenggiling adalah hewan nokturnal dan pemalu. Pada siang hari, mereka beristirahat di:

  1. Lubang atau Liang Tanah: Digali sendiri dengan cakar kuatnya.
  2. Celah Pohon atau Rongga Batang: Terutama bagi spesies trenggiling pohon.
  3. Tumpukan Batuan atau Kayu Mati.

Karakteristik habitat yang disukai trenggiling biasanya memiliki sumber daya pakan (semut dan rayap) yang melimpah, serta kondisi yang mendukung strategi anti-predator mereka.

Persebaran Trenggiling

Terdapat delapan spesies trenggiling yang masih hidup, dibagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan sebaran geografis:

1. Trenggiling Asia (Genus Manis)

Empat spesies trenggiling Asia adalah:

  • Manis javanica (Trenggiling Sunda/Jawa): Ini adalah spesies yang paling umum di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Lombok, Bali), Malaysia, Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam.
  • Manis crassicaudata (Trenggiling India): Ditemukan di India, Sri Lanka, Nepal, dan sebagian Pakistan.
  • Manis pentadactyla (Trenggiling Cina): Tersebar di Cina bagian selatan, Taiwan, Bangladesh, Bhutan, Nepal, dan sebagian India.
  • Manis culionensis (Trenggiling Filipina): Endemik di Filipina, terutama di Pulau Palawan.

2. Trenggiling Afrika (Genus Phataginus dan Smutsia)

Empat spesies trenggiling Afrika adalah:

  1. Phataginus tricuspis (Trenggiling Pohon): Tersebar luas di Afrika Barat dan Tengah.
  2. Phataginus tetradactyla (Trenggiling Berekor Panjang): Ditemukan di hutan hujan Afrika Barat dan Tengah.
  3. Smutsia gigantea (Trenggiling Raksasa): Spesies trenggiling terbesar, ditemukan di sebagian besar Afrika sub-Sahara, dari Afrika Barat hingga Afrika Timur.
  4. Smutsia temminckii (Trenggiling Tanah): Tersebar di sebagian besar wilayah Afrika bagian selatan dan timur, di habitat sabana dan padang rumput.

Semua spesies trenggiling saat ini masuk dalam kategori terancam punah dalam berbagai tingkatan (Vulnerable, Endangered, hingga Critically Endangered) oleh IUCN, terutama karena perdagangan ilegal (untuk daging dan sisiknya) dan hilangnya habitat.

Perilaku dan Pola Hidup

Trenggiling merupakan hewan nokturnal dan soliter. Mereka lebih aktif di malam hari dan menghabiskan waktu untuk mencari makanan berupa serangga, khususnya semut dan rayap. Dengan indera penciuman yang sangat tajam, trenggiling mampu melacak koloni semut di balik tanah atau batang kayu. Sepanjang siang hari, mereka umumnya beristirahat atau tidur di dalam lubang atau sarang yang mereka gali sendiri. Aktivitas mencari makan baru dimulai saat malam tiba dan bisa berlangsung hingga pagi hari.

Trenggiling adalah pemakan serangga (insektivora), dengan menu utamanya adalah semut dan rayap. Karena itu, mereka sering disebut anteater (pemakan semut). Cara mereka makan sangat unik di mana Trenggiling memiliki lidah yang sangat panjang, bahkan bisa mencapai sepertiga hingga lebih dari panjang tubuhnya (sampai 40 cm). Lidah ini dilapisi air liur lengket yang berfungsi untuk menangkap semut dan rayap dalam jumlah besar.

Meskipun memiliki lidah yang sangat panjang, Trenggiling tidak memiliki gigi. Makanan yang tertelan akan dihancurkan di dalam perut dengan bantuan kerikil kecil yang sengaja mereka telan. Dengan indra penciuman yang tajam, trenggiling menemukan sarang semut atau rayap. Mereka menggunakan cakar kuatnya untuk menggali sarang tersebut.

Salah satu perilaku paling ikonik dari trenggiling adalah cara mereka melindungi diri dari predator adalah dengan cara menggulung diri. Saat merasa terancam, trenggiling akan menggulung tubuhnya hingga membentuk bola. Sisik keras yang menutupi seluruh tubuhnya berfungsi sebagai perisai, melindungi bagian tubuh yang rentan.

Selain menggulung diri, trenggiling juga dapat mengeluarkan cairan berbau tajam dari kelenjar anal di bawah ekornya, mirip seperti sigung, untuk mengusir predator. Sisik trenggiling terbuat dari keratin, bahan yang sama dengan kuku manusia. Sisik ini sangat kuat dan efektif sebagai pelindung.

Reproduksi

Trenggiling adalah mamalia soliter yang bereproduksi secara seksual dengan cara melahirkan (vivipar). Beberapa spesies trenggiling, seperti trenggiling Tiongkok, Indian, dan Tanjung, memiliki musim kawin tertentu, biasanya dari April hingga Juni atau Mei hingga Juli. Namun, untuk trenggiling Sunda (Manis javanica), tidak ada musim kawin atau melahirkan yang spesifik, dan mereka dapat berkembang biak sepanjang tahun.

Trenggiling jantan dan betina hanya bertemu untuk kawin. Jantan seringkali menandai wilayahnya dengan urin atau feses yang mengandung feromon, dan betina akan menemukannya menggunakan indera penciuman yang tajam. Jika ada lebih dari satu jantan yang memperebutkan betina, mereka bisa bertarung menggunakan ekor bersisiknya sebagai senjata.

Proses perkawinan biasanya berlangsung singkat dan sering terjadi pada malam hari. Sisik trenggiling yang keras dapat menjadi tantangan dalam proses ini, sehingga mereka mungkin memerlukan waktu berjam-jam untuk menemukan posisi yang pas.

Masa kehamilan trenggiling bervariasi tergantung spesiesnya, umumnya berkisar antara 70 hingga 180 hari. Trenggiling Sunda memiliki masa kehamilan sekitar 6 bulan (sekitar 180 hari), Trenggiling India: sekitar 165 hari sedangkan Trenggiling Tanjung sekitar 139 hari. Trenggiling betina umumnya hanya melahirkan satu anak per kelahiran. Beberapa spesies trenggiling Asia bisa melahirkan satu hingga tiga anak, namun kasus dua atau tiga anak jarang terjadi.

Bayi trenggiling yang baru lahir memiliki sisik yang lunak dan putih, yang akan mengeras dan menggelap menyerupai sisik dewasa dalam beberapa hari. Berat bayi trenggiling saat lahir berkisar antara 80 hingga 450 gram, dengan panjang rata-rata 150 mm. Induk trenggiling sangat protektif terhadap anaknya. Saat merasa terancam, induk akan menggulung tubuhnya menjadi bola rapat dengan anaknya di dalam. Anak trenggiling akan menempel pada ekor atau punggung induknya saat bergerak. Mereka menyusu selama sekitar tiga bulan dan mulai memakan serangga di samping ASI.

Anak trenggiling mulai mandiri dan mencapai kematangan seksual sekitar usia satu hingga dua tahun, setelah itu mereka akan ditinggalkan oleh induknya. Reproduksi trenggiling yang lambat dan jumlah anak yang sedikit menjadi salah satu faktor yang membuat hewan ini sangat rentan terhadap kepunahan, terutama dengan adanya perburuan ilegal yang masif.

Status Konservasi

Para ahli konservasi dan peneliti satwa liar menaruh perhatian serius terhadap trenggiling, mamalia bersisik unik yang nasibnya kini berada di ujung tanduk. Seluruh dari delapan spesies trenggiling yang tersebar di Asia dan Afrika menghadapi ancaman serius, menempatkan mereka dalam kategori rentan hingga sangat terancam punah dalam Daftar Merah Spesies Terancam Punah IUCN (International Union for Conservation of Nature).

Ancaman Utama

Penyebab utama menurunnya populasi trenggiling adalah perburuan ilegal dan perdagangan satwa liar secara besar-besaran. Trenggiling diburu karena dua alasan utama:

  1. Dagingnya: Di beberapa budaya, daging trenggiling dianggap sebagai makanan lezat dan simbol status.
  2. Sisiknya: Sisik trenggiling, yang terbuat dari keratin (bahan yang sama dengan kuku manusia), diyakini memiliki khasiat obat dalam pengobatan tradisional, meskipun tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim ini.

Perdagangan ilegal ini telah mendorong trenggiling menjadi salah satu mamalia yang paling banyak diperdagangkan secara ilegal di dunia. Jaringan perdagangan yang terorganisir dengan baik memindahkan ribuan trenggiling, hidup maupun mati, dari habitat aslinya ke pasar gelap.

Selain perburuan, kehilangan habitat juga menjadi faktor penting. Perambahan hutan untuk pertanian, pembangunan infrastruktur, dan aktivitas manusia lainnya mengurangi ruang hidup trenggiling dan memecah populasi mereka, membuat mereka lebih rentan terhadap ancaman lain.

Upaya Konservasi

Meskipun menghadapi tekanan besar, berbagai upaya konservasi terus dilakukan untuk menyelamatkan trenggiling dari kepunahan. Ini termasuk:

Penegakan hukum: Peningkatan patroli anti-perburuan, penangkapan pelaku perdagangan ilegal, dan hukuman yang lebih berat bagi pelanggar.

Edukasi dan kesadaran publik: Kampanye untuk menginformasikan masyarakat tentang pentingnya trenggiling bagi ekosistem dan dampak negatif dari perburuan serta perdagangan ilegal.

Penelitian: Studi tentang ekologi dan perilaku trenggiling untuk memahami kebutuhan mereka dan mengembangkan strategi konservasi yang lebih efektif.

Perlindungan habitat: Penetapan kawasan lindung dan restorasi habitat yang terdegradasi.

Pengembangan mata pencarian alternatif: Memberikan opsi ekonomi bagi masyarakat lokal agar tidak bergantung pada perburuan trenggiling.

Dengan status konservasi yang begitu genting, masa depan trenggiling sangat bergantung pada efektivitas upaya-upaya ini dan komitmen global untuk menghentikan perdagangan ilegal serta melindungi habitat mereka. Tanpa tindakan tegas dan berkelanjutan, makhluk pemalu ini mungkin hanya akan tinggal cerita.

Pentingnya Trenggiling bagi Ekosistem

Di balik sisiknya yang unik dan perilakunya yang misterius, trenggiling (Manis spp.) memegang peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Seringkali luput dari perhatian, atau bahkan terancam punah karena perburuan liar, mamalia nokturnal ini adalah penjaga kebersihan alam yang tak tergantikan. Keberadaan mereka menjadi indikator vital bagi kesehatan hutan dan lahan, serta berkontribusi langsung pada keberlangsungan hidup banyak spesies lainnya.

Pengendali Hama Alami yang Efektif

Trenggiling adalah pemangsa serangga ulung. Dengan lidah mereka yang panjang dan lengket, mereka mampu melahap ribuan semut dan rayap setiap harinya. Bayangkan saja, seekor trenggiling dewasa bisa mengonsumsi hingga 70 juta serangga dalam setahun! Peran ini sangat penting dalam mengendalikan populasi serangga, terutama rayap yang dapat menyebabkan kerusakan signifikan pada pohon dan tanaman. Tanpa trenggiling, populasi serangga ini bisa meledak, mengganggu siklus alami ekosistem dan berpotensi merusak hutan secara masif. Mereka adalah pestisida alami yang bekerja tanpa henti, menjaga kesehatan vegetasi tanpa meninggalkan jejak kimia berbahaya.

Penyelamat Kesehatan Tanah

Aktivitas makan trenggiling juga memiliki dampak positif yang besar pada kesehatan tanah. Saat mereka mencari makan, trenggiling menggali tanah dengan cakarnya yang kuat, menciptakan lubang-lubang kecil dan terowongan. Proses ini secara alami menggemburkan tanah, meningkatkan aerasi, dan memungkinkan air serta nutrisi terserap lebih baik. Penggalian ini juga membantu dalam mendistribusikan biji-bijian dan spora jamur, mendukung pertumbuhan vegetasi baru. Dengan kata lain, trenggiling berperan sebagai "petani" alami yang menjaga kesuburan tanah, mendukung keanekaragaman hayati mikroorganisme di dalamnya, dan memastikan siklus nutrisi berjalan optimal.

Indikator Kesehatan Lingkungan

Keberadaan trenggiling di suatu area sering kali menjadi indikator kuat akan kesehatan dan integritas ekosistem tersebut. Mereka membutuhkan lingkungan yang relatif tidak terganggu dengan sumber makanan yang melimpah. Penurunan populasi trenggiling di suatu wilayah bisa menjadi tanda peringatan adanya degradasi habitat, peningkatan perburuan, atau penggunaan pestisida yang berlebihan. Oleh karena itu, melindungi trenggiling bukan hanya tentang melestarikan satu spesies, tetapi juga tentang menjaga seluruh jaringan kehidupan yang saling terkait dalam ekosistem.

Singkatnya, trenggiling adalah arsitek ekosistem yang bekerja diam-diam namun efektif. Dari menjaga populasi serangga, menggemburkan tanah, hingga menjadi barometer kesehatan lingkungan, peran mereka tak bisa diremehkan. Kehilangan trenggiling berarti kehilangan salah satu fondasi penting bagi keseimbangan alam. Jadi, sudah saatnya kita lebih menghargai dan berupaya keras melindungi "penjaga" yang luar biasa ini demi masa depan bumi yang lebih sehat.

Daftar Bacaan

  • Challender, D., Waterman, C., & Baillie, J. (2014). Pangolins: Science, Society and Conservation. Academic Press.
  • Gaudin, T. J., & Wible, J. R. (2006). The Phylogeny of Living and Extinct Pangolins (Mammalia, Pholidota) and Associated Taxa: A Morphology-Based Analysis. Journal of Mammalian Evolution, 13(2), 77-120.
  • Hua, L. et al. (2015). Captive Breeding of Pangolins: Current Status and Problems. ZooKeys, 507, 99–114.
  • Wu, S., Ma, G., Chen, H., Xu, Z., & Li, Y. (2002). The status and conservation of pangolins in China. Traffic Bulletin, 19(1), 9–19.
  • Lim, N. T.-L., & Ng, P. K. L. (2007). Home range, activity cycle and natal den usage of the Sunda pangolin Manis javanica in Singapore. Endangered Species Research, 4, 233–240.
  • Nowak, R. M. (1999). Walker's Mammals of the World (6th ed.). Johns Hopkins University Press.
  • Heath, M. E. (1992). Manis pentadactyla. Mammalian Species, 414, 1-6.