Abad Keenam Eropa: Kota, Gereja, dan Perubahan di Kekaisaran Romawi Timur

Abad Keenam Eropa: Kota, Gereja, dan Perubahan di Kekaisaran Romawi Timur

Pada awal abad keenam, Anastasius (491–518) menduduki takhta kekaisaran. Ia memerintah sebuah kekaisaran yang masih dianggap sebagai Kekaisaran Romawi, yang wilayahnya meliputi seluruh dunia Mediterania. Meskipun Anastasius memerintah dari Konstantinopel, yang disebut 'Roma Baru', atas wilayah yang dikenal sebagai 'Kekaisaran Timur', sementara Kekaisaran Barat telah terpecah menjadi 'kerajaan-kerajaan barbar', perspektif ini adalah pandangan pada hari ini bukan pandangan mereka pada masa itu.

Melalui pemberian gelar oleh kaisar dan pembelian aliansi dengan kekayaan Kekaisaran—kekayaan yang jauh melampaui sumber daya keuangan wilayah Barat selama berabad-abad; raja-raja barbar dapat dianggap sebagai raja-raja klien. Mereka mengakui kekuasaan tertinggi kaisar di Roma Baru, dan sering kali raja-raja barbar senang melihat diri mereka dalam posisi ini.

Berhentinya garis kaisar di Barat, dengan penggulingan Romulus Augustulus pada tahun 476, dianggap oleh sangat sedikit orang pada masa itu sebagai peristiwa penting. Gagasan bahwa Timur dan Barat masing-masing harus memiliki kaisar sendiri baru berusia sekitar satu abad, dan realitas kekuatan militer barbar di Barat, yang dimanipulasi dari Konstantinopel, terus berlanjut tanpa terpengaruh oleh hilangnya seorang 'kaisar' yang berbasis di Barat.

Pemerintahan Kaisar Anastasius (491-518)

Kekaisaran yang diperintah oleh Anastasius masih mencerminkan dunia Mediterania seperti pada zaman klasik, tidak hanya dalam hal politik. Kekaisaran ini terdiri dari dunia yang satuan dasarnya adalah kota. Setiap kota, bersama dengan wilayah pedalamannya (pedesaan atau chora), membentuk unit ekonomi dan bahkan budaya yang mandiri.

Meskipun negara-kota lama sudah kehilangan kekuatan politiknya, tokoh-tokoh penting di kota masih memiliki pengaruh politik yang cukup besar. Gubernur provinsi, yang berasal dari kelas sosial yang sama dengan tokoh-tokoh penting ini, sering kali merasa lebih efektif untuk mengakui pengaruh lokal daripada menentangnya.

Kota-kota, dengan forum, teater, pengadilan, dan kesempatan untuk pendidikan, menjadi tempat berkembangnya para elite terpelajar yang memegang jabatan di pemerintahan kekaisaran. Mereka sering kali kembali ke kota-kota untuk menikmati kekayaan pedesaan yang dihasilkan oleh perkebunan mereka. Semua ini akan mengalami perubahan mulai abad keenam dan seterusnya, meskipun masih banyak perdebatan mengenai seberapa cepat perubahan ini terjadi.

Kota juga merupakan unit dasar bagi gereja Kristen. Sejak akhir abad kedua, Kekristenan, yang awalnya merupakan fenomena perkotaan yang dominan, telah mengembangkan organisasi yang berbasis di kota dan wilayah sekitarnya. Organisasi ini dipimpin oleh seorang pejabat tunggal yang disebut uskup.

Dengan semakin banyaknya orang yang memeluk agama Kristen di Kekaisaran Romawi sejak abad keempat, uskup—yang diangkat seumur hidup (perpindahan dari satu kota ke kota lain dilarang oleh kanon 15 Sinode Ekumenis Pertama Nicea, meskipun ada beberapa pengecualian)—menjadi tokoh penting di antara para pemimpin kota. Ia terkadang diangkat sebagai defensor civitatis, yaitu pemimpin atau 'hakim' kota, dan ia secara rutin menjalankan fungsi jabatan ini, bahkan jika tidak diangkat secara resmi.

Meskipun kota mengalami kemunduran sebagai entitas ekonomi dan budaya, hubungan antara uskup dan kota tetap berlanjut. Kekristenan tidak pernah menjadi agama yang sepenuhnya damai. Pentingnya keyakinan yang dirumuskan dengan benar, ditambah dengan meningkatnya pengaruh sosial karena semakin sedikit penduduk Kekaisaran yang menolak tekanan untuk memeluk agama Kristen, menyebabkan keyakinan Kristen menjadi penyebab perpecahan sosial, politik, dan budaya jauh sebelum abad keenam, sekaligus menjadi sarana untuk mengungkapkannya.

Sejarawan modern cenderung enggan menganggap keyakinan dan praktik keagamaan sebagai alasan utama perpecahan sosial dan politik, dan secara umum mereka mungkin benar. Namun, tidak dapat disangkal bahwa pada periode ini, perpecahan sering kali diungkapkan dan dipahami dalam istilah-istilah agama. Seperti yang akan sama-sama selanjutnya dilihat, isu-isu perbedaan agama terjalin dalam narasi sejarah abad keenam. Penting untuk memahami dasar perbedaan-perbedaan ini sebelum mempertimbangkan penjelasan lain atas perpecahan sosial, politik, dan budaya yang diungkapkan dalam istilah-istilah ini.

Anastasius mewarisi dan memperburuk perpecahan agama yang kemudian menghantui Kekaisaran Romawi Kristen (atau Bizantium). Perpecahan agama ini bermula dari Sinode Ekumenis Keempat yang diadakan di Kalsedon (Kadikoy modern, yang terletak tepat di seberang Istanbul/Konstantinopel, dipisahkan oleh Selat Bosporus).

Sinode tersebut berupaya menyelesaikan perbedaan pendapat yang telah lama ada mengenai bagaimana keilahian dan kemanusiaan bersatu dalam diri Kristus. Paus Leo I memainkan peran penting melalui utusannya, dan para bapa sinode (yang hampir semuanya berasal dari Yunani) akhirnya menyepakati sebuah formula yang dapat diterima oleh para utusan kepausan. Mereka menganggap formula ini mendukung ajaran Patriark Agung Aleksandria, Sirilus (wafat 444), yang sangat dihormati oleh hampir semua uskup Timur.

Namun, konsesi yang diperoleh dengan susah payah kepada para utusan kepausan, yang mengakui kesatuan pribadi Kristus 'dalam dua kodrat' (frasa yang tidak ditemukan dalam tulisan Sirilus, tetapi diambil dari surat kepausan 'Kitab Suci Leo' yang diterima oleh sinode), merusak pencapaian dari Sinode Ekumenis Keempat yang diadakan di Kalsedon. Banyak umat Kristen, terutama di Suriah dan Mesir, merasa bahwa sinode telah mengkhianati ajaran Sirilus, alih-alih mendukungnya.

Penolakan terhadap keputusan Kalsedon sering kali berujung pada kekerasan. Juvenal, uskup Yerusalem, menyadari bahwa ia membutuhkan pasukan kekaisaran untuk masuk dengan aman ke kota episkopalnya ( kota yang menjadi pusat administrasi dan kedudukan seorang uskup dalam suatu keuskupan, yang merupakan wilayah kegembalaan dalam struktur gereja episkopal). Proterius, yang ditunjuk untuk menggantikan penerus Sirilus yang telah digulingkan oleh sinode, dibunuh oleh massa. Kekerasan yang sering menyertai perbedaan agama ini secara teratur dipicu oleh para biarawan, yang semakin lama menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan di Kekaisaran Romawi Kristen.

Setelah upaya yang gagal untuk menegakkan Kalsedon, pada tahun 482 Kaisar Zeno mengeluarkan pernyataan keyakinan yang bertujuan untuk mengamankan persatuan (disebut Henotikon). Pernyataan ini menyangkal Kalsedon, meskipun tidak sampai mengutuk sinode tersebut. Henotikon adalah hasil karya Acacius, patriark Konstantinopel, dan Petrus Mongos, patriark Aleksandria.

Roma, dan Barat Latin pada umumnya, tidak bersedia menyangkal apa yang mereka anggap sebagai sinode Paus Leo. Akibatnya, pengumuman Henotikon memicu skisma (perpecahan) antara Roma dan Konstantinopel, yang dikenal sebagai 'skisma Akasia', diambil dari nama patriark Konstantinopel. Skisma ini berlangsung hingga kematian Anastasius. Henotikon tetap menjadi kebijakan kekaisaran selama masa pemerintahan Anastasius, yang bahkan menganggap dekrit tersebut terlalu moderat, karena ia mendukung mereka yang menolak Henotikon karena tidak secara eksplisit mengutuk Kalsedon.

Meskipun sumber-sumber untuk abad keenam tampak banyak, masih ada kekurangan yang signifikan. Sejarah dengan model klasik masih utuh (tidak seperti sejarah abad kelima yang cenderung terfragmentasi). Karya-karya seperti Wars karya Procopius, serta History karya Agathias dan Theophylact Simocatta adalah contohnya. Kutipan penting dari The history of Menander the Guardsman juga masih ditemukan.

Sumber-sumber ini dapat dilengkapi dengan bentuk penulisan sejarah baru yang terinspirasi oleh agama Kristen, yaitu kronik. Contohnya adalah kronik yang ditulis oleh John Malalas (yang hanya bertahan dalam bentuk ringkasan) dan Marcellinus, serta Chronicon Paschale (630) dan Chronicle of Theophanes (awal abad kesembilan).

Sejarah gereja, yang berkembang dari bentuk kronik, untuk abad keenam diwakili oleh karya yang disusun oleh pengacara Antiokhia, Evagrius. Penulisan sejarah Kristen (termasuk yang telah disebutkan) menganggap tradisi kehidupan orang-orang kudus sebagai hal penting. Ada banyak materi hagiografi (biografi yang ditulis dengan tujuan menguduskan atau memuliakan tokohnya, sering kali berisi riwayat hidup dan legenda orang-orang suci, seperti dalam konteks agama Kristen dan Katolik untuk menggambarkan kehidupan para rasul dan santo) yang berkaitan dengan abad keenam, yang sebagian besar berharga untuk sejarah sosial, serta agama, pada periode tersebut. Terutama koleksi oleh Cyril dari Scythopolis dan John Moschos, bersama dengan kehidupan berbagai orang kudus individual (misalnya, dari Stylites, atau St. Theodore dari Sykeon).

Selain itu, ada juga teks-teks yang ditulis atau dilestarikan dalam bahasa Syriac, yang mencerminkan pandangan umat Kristen non-Khalsedon ("Monofisit"). Mereka dikeluarkan dari gereja kekaisaran karena adanya dorongan untuk membentuk ortodoksi Khalsedon yang dipromosikan oleh Justinian dan para penerusnya. Teks-teks ini mencakup kisah hidup orang-orang kudus oleh Zacharias dari Mytilene (awalnya ditulis dalam bahasa Yunani; Sejarah Gerejanya tidak berlanjut hingga abad keenam), serta kumpulan kisah hidup orang-orang kudus oleh John dari Efesus (yang menulis dalam bahasa Syriac) dan Sejarah Gerejanya, yang bagian ketiganya masih ada dalam satu manuskrip, sementara dua bagian pertama hanya bertahan dalam bentuk fragmen yang dimasukkan ke dalam kronik Syriac di kemudian hari.

Ada juga kronik anonim dari abad kedelapan, yang dikaitkan dengan Pseudo-Dionysius dari Tell-Mahre, dan kronik abad kedua belas dari Michael orang Suriah. Secara tradisional, sejarah 'klasik' cenderung dianggap sebagai catatan dasar yang apa adanya, yang kemudian dilengkapi dengan kronik dan sumber-sumber gerejawi dengan berbagai tingkat kehati-hatian.

Namun, tren penelitian terbaru lebih menekankan pada maksud dan bias tertentu dari para sejarawan 'klasik'. Hasilnya, kita sekarang melihat berbagai 'perspektif' yang jelas pada abad keenam dalam sumber-sumber ini, daripada catatan naratif langsung yang dapat digunakan sebagai kerangka dasar. Arkeologi adalah sumber daya penting, terutama untuk hal-hal yang sulit diukur pada periode ini, seperti penurunan (atau kelangsungan hidup) kota, kemakmuran ekonomi, dan perubahan iklim. Selain itu, kita juga dapat memperoleh informasi dari epigrafi, koin dan segel, serta memanfaatkan bukti (yang jarang digunakan secara tradisional) yang masih tertanam dalam liturgi gereja-gereja yang konservatif, tetapi terus berkembang.

Kaisar Anastasius

Catatan sejarah tentang paruh kedua pemerintahan Anastasius menunjukkan peningkatan kerusuhan di kalangan rakyat, yang tampaknya disebabkan oleh kebijakan agama yang diterapkan oleh kaisar. Di balik kerusuhan ini, mungkin terdapat kesulitan ekonomi yang meningkat dan perasaan tidak aman yang semakin meluas di Kekaisaran.

Pada awal abad keenam, perdamaian yang telah lama terjalin dengan Persia, musuh tradisional Kekaisaran Romawi dan pendahulunya, berakhir. Penolakan oleh Romawi Timur untuk membayar upeti, karena Persia tidak mengembalikan Nisibis ke Kekaisaran Romawi sesuai dengan perjanjian yang dibuat dengan kaisar Jovian pada abad keempat, menyebabkan Persia menyerbu Kekaisaran Romawi pada tahun 502. Mereka dengan cepat merebut sejumlah kota perbatasan, termasuk kota Amida.

Awalnya, perlawanan Romawi melemah karena komando yang terpecah. Butuh waktu dua tahun sebelum Romawi berhasil merebut kembali Amida pada tahun 505. Kelemahan di perbatasan Mesopotamia yang terungkap oleh perang singkat ini diperbaiki dengan pembangunan benteng Dara, yang terletak dekat perbatasan dan hanya beberapa mil dari Nisibis. Benteng ini kemudian dinamai Anastasiopolis untuk menghormati kaisar Anastasius.

Di wilayah utara juga terdapat ancaman dari penjajah pada awal abad keenam. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa benteng yang menurut Procopius dibangun di sepanjang tepi kanan sungai Danube pada masa pemerintahan Justinian (527–565) sebenarnya sudah mulai dibangun oleh Anastasius.

Kerusuhan yang menunjukkan penentangan terhadap kebijakan agama Anastasius dipicu oleh masalah liturgi. Sejak pertengahan abad kelima, sebuah nyanyian bernama Trisagion ('Allah Kudus, Allah Perkasa, Allah yang Kekal, kasihanilah kami') telah menjadi bagian populer dari liturgi di wilayah Timur.

Di Suriah, nyanyian ini dipahami sebagai ditujukan kepada Allah Putra. Untuk menegaskan keyakinan mereka yang menolak perbedaan Kalsedon antara dua kodrat dalam diri Putra yang Menjelma, frasa 'yang disalibkan untuk kita' ditambahkan ke dalam nyanyian tersebut. Hal ini menegaskan keyakinan mereka bahwa dalam Kristus, Allah sendiri telah mengalami penderitaan manusia (sebuah doktrin yang disebut 'teopaskisme').

Namun, di Konstantinopel, nyanyian tersebut, dengan bentuknya yang triadik, dipahami sebagai ditujukan kepada Tritunggal. Oleh karena itu, penambahan frasa tersebut dianggap menyiratkan bahwa kodrat ilahi itu sendiri tunduk pada penderitaan. Di balik perbedaan teks nyanyian tersebut, terdapat kesalahpahaman yang tulus, tetapi hal itu justru memperburuk rasa kesalahan di mata pihak lain.

Ketika Anastasius memerintahkan agar tambahan 'teopaskit' dimasukkan ke dalam Trisagion, hal itu memicu kerusuhan antara para biarawan non-Kalsedon yang melantunkan bentuk yang diperkuat dan para pendeta serta rakyat Konstantinopel. Hal ini menyebabkan tuntutan populer untuk menggulingkan kaisar, yang hanya diredam ketika kaisar sendiri menghadapi massa tanpa mahkotanya, dan menginspirasi sorak-sorai kesetiaan.

Pada tahun berikutnya (513), kaisar menghadapi tantangan lebih lanjut terhadap otoritasnya dari Vitalian, seorang comes militer, yang mengaku mewakili reaksi kaum ortodoks terhadap kebijakan kaisar. Meskipun tidak berhasil dalam upayanya merebut takhta, Vitalian hidup lebih lama dari kaisar.

Pemerintahan Kaisar Justin (518-527)

Anastasius meninggal pada tahun 518, meninggalkan pertanyaan suksesi yang belum terjawab. Ia digantikan oleh Justin I, seorang petani dari Iliria, yang berhasil naik pangkat menjadi Count of the Excubitors (semacam komandan pengawal). Justin I tidak berpendidikan, bahkan mungkin buta huruf. Procopius menulis bahwa kekuatan sebenarnya di balik takhta adalah keponakan Justin, Petrus Sabbatius, yang kemudian mengambil nama Justinian. Justinian dibawa oleh Justin ke ibu kota dan mendapatkan pendidikan yang mahal. Namun, sulit untuk memastikan kebenaran klaim ini karena tidak ada bukti independen yang mendukungnya.

Tindakan pertama Justin adalah menolak upaya pendahulunya untuk mencapai persatuan di antara umat Kristen dengan mengabaikan, atau bahkan secara implisit mengutuk, Sinode Kalsedon. Henotikon dicabut dan ortodoksi Kalsedon menjadi kebijakan kekaisaran. Skisma Acacian berakhir, dan Paus Hormisdas, kepada siapa Justin mengumumkan pemilihannya dan kebijakan religiusnya, mengirim utusan ke Konstantinopel. 

Di Konstantinopel, sebuah sinode diadakan untuk mengkonfirmasi berakhirnya skisma dan mengutuk mereka yang telah mempromosikannya, tidak hanya Acacius dan para penerusnya yang setuju dengannya, tetapi juga—dalam hal ini melebihi tuntutan kepausan—kaisar Zeno dan Anastasius. Tokoh-tokoh 'Monofisit' non-Kalsedon terkemuka, termasuk Severus dari Antiokhia dan Philoxenos dari Mabbug, digulingkan dan diasingkan.

Rekonsiliasi dengan Roma justru membuka kembali luka yang ingin disembuhkan oleh Henotikon. Namun, segera muncul penyempurnaan ortodoksi Kalsedon yang menjadi fokus upaya Justinian untuk mencapai persatuan agama. Sekelompok biarawan dari Scythia (Dobruja modern, wilayah pesisir Rumania), yang dipimpin oleh John Maxentius, membawa proposal mereka ke Konstantinopel. Proposal itu melibatkan penambahan definisi Kalsedon dengan penegasan bahwa 'salah satu dari Trinitas menderita dalam daging'. Penegasan ini akan menantang keyakinan Monofisit tentang kesatuan Kristus yang tidak terpisahkan, yang telah menemukan ekspresi dalam tambahan 'theopaschite' pada Trisagion.

Justinian tertarik dengan proposal ini, dan mengirim para biarawan ke Roma. Di sana, mereka gagal meyakinkan Paus Hormisdas, meskipun tokoh lain, terutama Dionysius Exiguus dan Boethius, menganggapnya dapat diterima. Proposal itu tetap tidak aktif sampai tahun 530-an, ketika upaya keagamaan Justinian dimulai dengan sungguh-sungguh.

Pemerintahan Kaisar Justinian (527-565)

Pada musim semi tahun 527, Justin jatuh sakit, dan Justinian diumumkan sebagai Augustus (kaisar) sebagai rekannya pada bulan April. Justin meninggal pada bulan Agustus, dan Justinian menggantikannya. Pemerintahan Justinian berlangsung sangat lama, hingga tahun 565, total selama tiga puluh delapan tahun, atau empat puluh tujuh tahun jika kita memasukkan masa ketika ia menjadi kekuatan di balik takhta Justin.

Peta Kekaisaran Byzantium (warna merah luas wilayah masa pemerintahan Justin I) sedangkan (warna jingga penambahan luas wilayah masa pemerintahan Justinian)

Pemerintahan yang panjang ini merupakan pencapaian tersendiri, terlepas dari hal lainnya. Namun, ada banyak hal lain yang terjadi selama masa pemerintahannya: reformasi kode hukum, penaklukan kembali wilayah Romawi di Barat (Afrika Utara, Italia, Spanyol), proyek pembangunan kembali yang megah (terutama pembangunan kembali pusat Konstantinopel, termasuk Gereja Kebijaksanaan Suci yang Agung, Hagia Sophia), penutupan Akademi Platonik di Athena, dan kebijakan agama yang mencapai puncaknya pada Konsili Ekumenis Kelima yang diadakan di Konstantinopel pada tahun 553 (atau, dari sudut pandang lain, kegagalannya dalam bid'ah di bulan-bulan terakhirnya).

Sangat menggoda untuk melihat semua peristiwa ini sebagai bagian dari teka-teki yang, jika disatukan dengan benar, akan menghasilkan sebuah desain besar. Selain itu, ada sosok Theodora, wanita yang dinikahinya, yang melanggar hukum yang melarang pernikahan antara senator dan aktris. Kecantikannya diakui bahkan oleh Procopius, meskipun ia menganggapnya sebagai iblis yang menjelma. Procopius menulis catatan jahat tentang campur tangan Theodora dalam urusan negara dalam Sejarah Rahasianya.

Ratu Theodora

Procopius juga bercerita tentang 'Kerusuhan Nika' pada tahun 532, di mana Justinian sangat ketakutan oleh kerusuhan parah terhadap pemerintahannya dan mempertimbangkan untuk melarikan diri. Theodora membujuknya untuk tetap tinggal dan menghadapi kematian atau kemenangan dengan kata-kata dramatis: 'Kekaisaran adalah kain kafan yang adil'. Semua ini membuka jalan bagi penilaian tentang Theodora yang menempatkannya sejajar dengan permaisuri Bizantium seperti Eirene atau Zoe, yang keduanya (tidak seperti Theodora) mengambil alih kekuasaan kekaisaran atas hak mereka sendiri, meskipun hanya sebentar.

Pandangan tentang pemerintahan Justinian sebagai sebuah 'rancangan agung' melihat semua tindakannya sebagai upaya yang disengaja untuk memulihkan kejayaan Kekaisaran Romawi kuno. Namun, Kekaisaran Romawi ini ditingkatkan ke tingkat kemuliaan baru sebagai Kekaisaran Kristen yang mengakui iman Ortodoks. Menurut pandangan ini, penaklukan kembali wilayah-wilayah yang hilang mengembalikan sesuatu yang mirip dengan wilayah geografis tradisional Kekaisaran. Reformasi hukum merangkum visi Kekaisaran Romawi Kristen, yang diperintah oleh kaisar sebagai wakil Tuhan. Bangunan-bangunan megah, terutama gereja-gereja di ibu kota, merayakan kemegahan istana Kristen Roma Baru. Sementara itu, bangunan pertahanan yang dijelaskan oleh Procopius bahwa bangunan-bangunan ini berfungsi untuk melestarikan dunia Romawi yang baru ditaklukkan kembali.

Pendefinisian ortodoksi Kristen, bersama dengan penindasan terhadap pandangan yang berbeda (heterodoksi), baik itu bid'ah Kristen maupun filsafat pagan, melengkapi gambaran tersebut. Sulit untuk menghindari gagasan tentang 'rancangan agung' ketika membahas pemerintahan Justinian. Hampir semua sumber sastra mencerminkan ide ini. Gagasan ini ada dalam tulisan Procopius (bahkan Secret History  melihat Justinian sebagai perancang agung, meskipun yang jahat), dalam teks-teks hukum, dan bahkan dalam teks-teks gerejawi yang ditulis oleh mereka yang mengalami penganiayaan di tangan Justinian. Kaum Monofisit, seperti halnya mereka yang menganut Kekristenan kekaisaran, memiliki visi tentang kekaisaran Kristen yang diperintah oleh seorang kaisar Kristen.

Sulit untuk menyangkal bahwa ada saat-saat ketika Justinian membayangkan bahwa dia sedang memenuhi semacam rancangan besar. Pada tahun 536, setelah penaklukan Sisilia, Justinian menyatakan, 'kami memiliki harapan yang baik bahwa Tuhan akan mengizinkan kami untuk memerintah atas sisa dari apa yang, tunduk pada bangsa Romawi kuno hingga batas kedua lautan, mereka kemudian kehilangan karena cara mereka yang santai' (Nov. 30). Namun, apakah kita harus menganggap pemerintahan Justinian sebagai pemenuhan rancangan agung yang telah dipikirkan sebelumnya secara sadar adalah masalah lain. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan yang saling terkait. Pertama, apakah semua elemen yang disebutkan di atas cocok untuk membentuk semacam rancangan agung? Dan kedua, bahkan jika mereka melakukannya, apakah Justinian benar-benar memiliki kekuatan sedemikian rupa untuk mewujudkan rancangan agung ini? Seperti yang akan kita lihat, tidak satu pun dari pertanyaan ini dapat dijawab dengan tegas tanpa memberikan kualifikasi yang berat.

Bukti paling kuat tentang adanya rencana besar dari Kaisar Justinian, terutama di awal pemerintahannya, terlihat dari bagaimana ia merevisi hukum Romawi. Justinian langsung mengerjakan revisi ini begitu ia punya kekuasaan. Dengan melakukan ini, ia memenuhi salah satu tugas penting seorang penguasa, yaitu menjadi hakim dan pembuat hukum tertinggi. Tugas ini sangat penting bagi kaisar Romawi karena bangsa Romawi bangga hidup berdasarkan hukum. Hal ini bahkan dicatat oleh sejarawan Priscus saat menceritakan tentang kunjungan ke istana Attila pada abad kelima.

Beberapa bulan setelah menjadi penguasa tunggal, Justinian mengumumkan niatnya kepada Senat untuk membuat kode hukum baru. Kode ini akan memperbarui hukum yang ada, menyelesaikan perbedaan, menghapus undang-undang yang tidak lagi relevan, dan membuatnya lebih jelas. Ia membentuk komisi yang terdiri dari sepuluh orang, dipimpin oleh Tribonian, yang menyelesaikan tugas ini dalam waktu lebih dari setahun. Kode hukum yang pertama ini sudah tidak ada lagi, tetapi lima setengah tahun kemudian, pada tahun 534, kode tersebut diterbitkan ulang dengan revisi. Kode revisi ini disusun dalam dua belas buku dan berisi undang-undang dari masa sebelumnya. Edisi inilah yang bertahan dan sangat memengaruhi hukum Eropa di masa depan.

Selain edisi kedua ini, ada juga kontribusi lain dalam revisi hukum, yaitu penerbitan Digest atau Pandects. Digest ini berisi ringkasan pendapat hukum dari para ahli hukum Romawi selama berabad-abad. Digest diterbitkan pada Desember 533. Bagian selanjutnya dari reformasi hukum adalah penerbitan Institutes, yaitu revisi dari komentar ahli hukum abad kedua, Gaius. Institutes ini menjadi buku teks resmi bagi mahasiswa hukum di dua sekolah hukum resmi, yaitu di Konstantinopel dan Berytus (sekarang Beirut). Revisi dan penjelasan hukum Romawi ini dilengkapi dengan undang-undang Justinian selanjutnya, yang disebut Novellae.

Meskipun sebagian besar pekerjaan Tribonian ditulis dalam bahasa Latin, sebagian besar Novellae ditulis dalam bahasa Yunani. Hal ini karena pemerintahan Justinian menandai perubahan besar dari Kekaisaran Romawi yang menggunakan bahasa Latin sebagai bahasa resmi menjadi Kekaisaran Bizantium, di mana bahasa Yunani menjadi bahasa utama, dan akhirnya menjadi satu-satunya bahasa resmi kekaisaran.

Tujuan dari reformasi hukum ini bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, dari sisi praktis: Kodeks dan Novellae menyediakan aturan-aturan hukum yang kemudian diinterpretasikan oleh hakim dengan bantuan Digest. Akan tetapi, fungsi ini sepertinya tidak bertahan lama setelah pertengahan abad berikutnya. Tujuan kedua adalah untuk menjelaskan pandangan dunia, melestarikan warisan peradaban Romawi, penerimaan ajaran Kristen yang ortodoks, serta posisi tertinggi kaisar. Inilah warisan yang abadi, dan intinya adalah visi tentang bagaimana kekaisaran dan keimaman saling melengkapi, basileia dan hierosynˆe, imperium dan sacerdotium. Hal ini diungkapkan dengan sangat baik dalam Novella 6 (tahun 535):

Anugerah terbesar Tuhan kepada manusia, yang diberikan dari tempat tinggi sesuai dengan kasih sayang-Nya, adalah imamat dan kekaisaran; yang satu melayani hal-hal ilahi, yang lain memerintah dan mengurus hal-hal duniawi, keduanya berasal dari sumber yang sama dan mengatur kehidupan manusia. Oleh karena itu, tidak ada yang lebih dicari oleh raja-raja selain martabat para imam, jika mereka memohon kepada Tuhan terus-menerus atas nama mereka. Sebab jika yang satu selalu tanpa cela dan memiliki akses terbuka kepada Tuhan, sementara yang lain dengan benar dan pantas mengatur bentuk pemerintahan yang diterima, maka akan ada keharmonisan yang adil, dan segala sesuatu yang baik bagi umat manusia akan dikabulkan.

Oleh karena itu, kami sangat memperhatikan dogma-dogma sejati Tuhan, serta martabat para imam, yang kami yakini memelihara mereka, karena melalui mereka anugerah-anugerah baik diberikan kepada kami dari Tuhan, sehingga apa yang kami miliki, kami miliki dengan aman, dan apa yang belum kami capai, akan kami peroleh. Dengan demikian, segala sesuatu akan dilakukan dengan benar dan pantas, jika permulaan dari segala sesuatu itu benar dan berkenan kepada Tuhan. Kami percaya bahwa ini akan terjadi, jika ketaatan pada kanon-kanon suci dipertahankan, yang telah diturunkan oleh para rasul, yang dengan tepat dipuji dan dihormati sebagai saksi mata dan pelayan Firman Tuhan, dan yang telah dijaga dan ditafsirkan oleh para bapa suci.

Aktivitas legislatif yang begitu luas dan mendalam ini sulit dilihat sebagai sesuatu yang sederhana. Sepertinya ini adalah bagian dari rencana besar pemerintahan kekaisaran. Hal penting berikutnya adalah merebut kembali wilayah-wilayah kekaisaran yang hilang. Seperti yang kita tahu, Justinian merasa sangat yakin bahwa dia adalah utusan Tuhan untuk membangun kembali Kekaisaran Romawi dalam versi Kristen. Tapi, apakah keyakinan ini kuat dan permanen, atau hanya harapan sesaat?

Memang benar Justinian berhasil merebut kembali Afrika Utara, Italia, dan sebagian Spanyol (walaupun kita tidak punya banyak informasi tentang ekspedisi ke Spanyol). Namun, menafsirkan alasan di balik tindakan ini lebih rumit. Justinian mengirim jenderalnya, Belisarius, ke Afrika Utara dengan kekuatan yang cukup besar: 10.000 tentara infanteri dan 5.000 tentara berkuda. Tapi, alasan mengapa Justinian sangat bertekad agar ekspedisi ini berhasil mungkin lebih sederhana daripada sekadar mewujudkan rencana besar untuk memulihkan kekaisaran.

Kekaisaran Byzantium Era Justinian

Saat itu, Justinian baru saja berhasil memulihkan keadaan dari kerusuhan Nika. Selain itu, Kaisar Leo pernah gagal total dalam upaya menghancurkan Vandal pada tahun 468. Jadi, ekspedisi ini harus berhasil untuk memulihkan kepercayaan publik padanya sebagai kaisar. Bahkan menurut catatan Procopius yang penuh pujian, keberhasilan cepat Belisarius tampaknya lebih karena keberuntungan.

Ekspedisi ke Italia, yang menyusul keberhasilan di Afrika Utara, tampaknya lebih sederhana. Hanya 7.000 tentara yang terlibat. Sebagai perbandingan, Justinian mengirim 6.000 tentara dengan Narses ke Alexandria pada tahun yang sama untuk melindungi patriark Monofisit Theodosius. Ini menunjukkan bahwa ekspedisi ke Italia awalnya hanya bertujuan untuk menunjukkan kekuatan, meskipun keberhasilan awal setelah mengalahkan Vandal mungkin memunculkan ide-ide tentang rencana besar di benak Justinian, seperti yang terlihat dalam Novellae pada periode itu.

Pada kenyataannya, merebut kembali Italia ternyata menjadi proses yang panjang dan menghancurkan Italia itu sendiri. Namun, pada tahun 554, Italia secara resmi dikembalikan ke pemerintahan Bizantium (dengan 'sanksi pragmatis'). Sebagian besar wilayah pesisir Mediterania sekali lagi menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi.

Program pembangunan kembali oleh Justinian itu juga kurang pas kalau dibilang sebagai rencana besar yang matang. Sumber utama informasi tentang pembangunan besar-besaran yang dilakukan Justinian adalah buku "Bangunan-bangunan" karya Procopius. Tapi, buku ini lebih kayak pujian, jadi isinya serba indah dan lengkap, tanpa ngebedain mana bangunan yang benar-benar baru, mana yang hanya diperbaiki, atau bahkan hanya perawatan rutin.

Kayak yang udah kita bahas sebelumnya, pembangunan benteng di perbatasan sepanjang Sungai Danube dan Mesopotamia itu, yang banyak diceritaksn oleh Procopius, tidak semuanya dilakukan oleh Justinian sendiri. Hasil penelitian arkeologi (dan juga sejarawan lain yang hidup di zaman yang sama, bahkan Procopius sendiri di buku "Perang-perang") menunjukkan kalau sebagian besar pembangunan itu sudah dimulai oleh Anastasius, pendahulu Justinian.

Terus, keajaiban besar yang diceritain Procopius di awal bukunya, waktu ngegambarin pembangunan kembali pusat kota Konstantinopel, itu sebenarnya akibat dari kerusakan parah karena Kerusuhan Nika tahun 532. Jadi, Justinian kayaknya tidak mungkin merencanakan itu dari awal. Tapi, meskipun kejadiannya tidak disengaja, bangunan-bangunan yang didirikan setelah kerusuhan itu hasilnya sangat megah dan abadi. Yang paling megah salah satunya adalah Gereja Kebijaksanaan Suci, Hagia Sophia. Catatan sejarah dari zaman itu juga berbicara demikian. Seperti yang dikatakan oleh Procopius:

“Gereja ini telah menjadi tontonan keindahan yang luar biasa, memukau bagi mereka yang melihatnya, tetapi bagi mereka yang hanya mengenalnya dari cerita, sungguh sulit dipercaya. Sebab, ia menjulang tinggi seolah menandingi langit, dan seakan muncul dari antara bangunan-bangunan lain, ia berdiri tegak dan memandang rendah sisa kota, menghiasinya karena ia adalah bagian darinya, tetapi juga membanggakan keindahannya sendiri, karena, meskipun merupakan bagian dari kota dan mendominasinya, ia sekaligus menjulang di atasnya sedemikian tinggi sehingga seluruh kota dapat dilihat dari sana seolah melihat dari menara pengawas.”

Seseorang juga menggambarkan tentang kubah bulat besar yang membuat bangunan ini sangat indah. Kubah ini seolah-olah tidak ditopang oleh bangunan batu yang kokoh, melainkan menggantung dari langit, menutupi seluruh ruangan dengan emasnya. Orang-orang pada masa itu sangat terkesan dengan cahaya di dalam Gereja Agung. Mereka bilang, cahaya matahari dan pantulan dari marmer sangat berlimpah. Bahkan, ada yang bilang interiornya tidak diterangi oleh matahari dari luar, tapi cahaya itu muncul dari dalam, membasahi seluruh tempat suci.

Paul the Silentiary, saat menceritakan gereja yang dibangun kembali setelah kubahnya runtuh pada tahun 558, mengatakan bahwa di malam hari, orang-orang menikmati berkas cahaya dari rumah yang bercahaya, yang membawa cahaya dari paduan suara yang gemerlap. Langit yang jernih dan tenang terbuka bagi semua orang, menghilangkan kegelapan yang menutupi jiwa. Cahaya suci menerangi segalanya. Penekanan pada cahaya sebagai gambaran dari sesuatu yang ilahi ini sangat cocok dengan tulisan-tulisan Dionysius the Areopagite, yang membuat tulisan-tulisan tersebut sangat populer.

Desain gereja yang baru, dengan kubahnya yang menggambarkan kosmos, sangat berpengaruh. Banyak gereja Bizantium kecil meniru Hagia Sophia, dan ide bahwa gereja adalah tiruan dari kosmos memengaruhi bagaimana orang menafsirkan upacara keagamaan di dalamnya. (Lihat Mystagogia dari Maximos the Confessor abad ketujuh dan komentar tentang upacara keagamaan yang dikaitkan dengan Germanos, patriark Konstantinopel abad kedelapan).

Namun, ide ini mungkin bukan hal yang baru. Penggalian terbaru di Istanbul menemukan gereja St Polyeuktos, yang dibangun oleh Anicia Juliana pada akhir tahun 520-an. Gereja ini tampaknya sudah memiliki banyak fitur yang kemudian ada di Gereja Agung Justinian.

Baik asli atau bukan, Gereja Agung Hagia Sophia, dan bangunan-bangunan lain yang dibangun oleh Justinian di ibu kota (termasuk gereja-gereja lain, istana yang diperbaiki, panti asuhan, rumah bagi pelacur yang bertobat, pemandian, dan tangki besar untuk menyimpan air), menciptakan ruang publik untuk merayakan pandangan dunia. Dalam pandangan ini, kaisar memerintah dunia dengan dukungan istana dan doa-doa gereja, untuk mendapatkan pujian dari rakyat. Menurut deskripsi Procopius tentang mosaik di gerbang perunggu besar (Chalke) yang menjadi pintu masuk ke istana, di sana, di tengah gambar kemenangan Justinian yang diraih oleh jenderalnya Belisarius, berdiri kaisar Justinian dan permaisurinya Theodora, menerima 'penghargaan yang setara dengan Tuhan' dari Senat.

Pandangan dunia yang didukung oleh pencapaian-pencapaian Justinian sangat menjunjung tinggi doa tulus yang dipanjatkan oleh para imam yang tak bercela kepada Tuhan yang sejati, yaitu Tuhan umat Kristen. Hal ini dilakukan dengan tingkat kesengajaan tertentu. Berbeda dengan agama-agama lain di akhir zaman kuno, seperti variasi paganisme atau Yudaisme (atau bahkan Islam, meskipun belum berkembang saat itu), Kekristenan menekankan bahwa 'kemurnian' tidak hanya mencakup kemurnian moral (terutama dalam hal seksual), tetapi juga kebenaran dari sistem kepercayaan yang sangat rumit.

Bagi sebagian besar umat Kristen abad keenam, sistem kepercayaan ini telah ditetapkan dalam sinode-sinode yang dianggap universal atau 'ekumenis' (berasal dari istilah oikoumene yang termasuk dalam ideologi kekaisaran). Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai apakah Sinode Kalsedon harus dianggap sebagai sinode universal keempat, Kaisar Justin menerima ortodoksi Kalsedon. Penerimaan ini telah menyembuhkan perpecahan lama antara Timur dan Roma, tetapi tidak menyelesaikan perselisihan antara mereka yang menerima Kalsedon (dengan penyempurnaan apa pun) dan mereka yang menolaknya sebagai pengkhianatan terhadap Cyril dari Alexandria, yang dianggap sebagai 'meterai para Bapa Gereja'.

Namun, semua umat Kristen, terlepas dari perbedaan mereka, menentang apa yang mereka sebut sebagai 'kebijaksanaan lahiriah', yaitu ajaran para filsuf klasik. Seperti yang diungkapkan oleh Romanos sang Melodi, seorang penyair Kristen yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Konstantinopel selama pemerintahan Justinian:

Dan mengapa orang-orang bodoh di luar sana berjuang untuk meraih kemenangan? 

Mengapa orang-orang Yunani membual dan berdengung?

Mengapa mereka tertipu oleh Aratos yang terkutuk tiga kali?

Mengapa mereka sesat seperti planet-planet yang mengembara mengikuti Plato?

Mengapa mereka mencintai Demosthenes yang lemah?

Mengapa mereka menganggap Homer sebagai khayalan?

Mengapa mereka terus membicarakan Pythagoras, yang lebih baik dibungkam saja?

Kebencian terhadap Kristen dibalas dengan cara serupa. Beberapa pengikut Neoplatonisme, sebutan yang digunakan para sarjana, meskipun bersikap acuh tak acuh terhadap ajaran baru dari 'orang Galilea pucat', mengembangkan pandangan dunia yang secara terbuka menolak agama Kristen. Mereka juga menjalankan praktik keagamaan yang bertujuan menghidupkan kembali paganisme tradisional.

Contoh penting dari Neoplatonisme ini adalah Proclus, seorang filsuf yang sangat terpelajar. Ia menjalani hidup seperti seorang pertapa, seorang suci pagan, dengan pengabdian khusus kepada matahari. Proclus mengajar selama lima puluh tahun di Athena hingga kematiannya pada tahun 485 sebagai kepala (atau diadochos) Akademi yang didirikan oleh Plato pada abad keempat SM.

Komitmen Justinian terhadap ortodoksi Kristen diwujudkan dengan menutup Akademi tersebut pada tahun 529. Namun, penutupan itu terjadi setelah sebagian besar bahasa 'pagan' dan struktur intelektual menemukan ekspresi Kristen dalam tulisan-tulisan yang dikaitkan dengan murid St. Paulus dari Athena, Dionysius Areopagite. Tulisan-tulisan ini mulai memberikan dampak pada tahun 520-an, diperkirakan segera setelah ditulis.

Pada tahun 532, para filsuf yang dipimpin oleh Damascius, diadochos terakhir, melakukan perjalanan ke Persia. Namun, setelah beberapa tahun, mereka kembali. Damascius kembali ke Emesa, di mana ia tampaknya terus mengajar. Neoplatonisme terus berkembang di Alexandria selama satu abad berikutnya, di mana ia tidak secara mencolok menunjukkan sikap anti-Kristen. Bahkan, sebagian besar, jika tidak semua, filsuf Alexandria adalah Kristen. Tetapi penutupan Akademi menandai berakhirnya setiap ekspresi kelembagaan dari opini intelektual.

Selain penindasan terhadap Neoplatonisme pagan, bentuk-bentuk heterodoksi lainnya juga mengalami perlakuan serupa. Di berbagai wilayah Kekaisaran, upaya penekanan terhadap sisa-sisa kepercayaan 'paganisme' tradisional semakin ditingkatkan. Pada tahun 540-an, Uskup Monofisit bernama John dari Efesus, dengan dukungan dari kekaisaran, memulai kampanye misionaris di wilayah Asia Minor bagian barat. Ia mengklaim telah berhasil mengkonversi 70.000 orang, menghancurkan banyak kuil, serta mendirikan sembilan puluh enam gereja dan dua belas biara. Di Mesir, penghancuran kuil-kuil juga tercatat terjadi.

Kelompok dengan opini heterodoks lainnya pun mengalami nasib yang tidak lebih baik. Manikeisme, sebuah doktrin dualistik yang didirikan oleh Mani (yang wafat di Persia pada tahun 276), telah menjadi masalah bagi gereja Kristen sejak awal perkembangannya. Penganut Manikeisme dianggap melakukan pelanggaran yang dapat dihukum mati. Pemberontakan orang Samaria (yang menganut kepercayaan yang mungkin merupakan bentuk awal dari Yudaisme) terhadap penindasan ditumpas dengan kejam pada tahun 529. Ajaran sesat Kristen kuno seperti Montanisme juga mengalami penindasan di bawah pemerintahan Justinian.

Kaum Monofisit, yang jumlahnya lebih banyak dan keyakinannya lebih dekat dengan gereja kekaisaran, adalah kasus khusus yang akan dibahas lebih lanjut nanti. Namun, orang Yahudi merupakan kelompok warga negara kelas dua yang relatif memiliki keistimewaan. Berbeda dengan kaum bid'ah dan pagan yang tidak memiliki hak dan status sipil, orang Yahudi diizinkan untuk tetap ada dan keberadaan mereka dilindungi. Mereka diizinkan untuk melakukan sunat dan merayakan Sabat. Sinagoge mereka dilindungi dari kekerasan atau penodaan (walaupun perlindungan ini tidak selalu efektif). Mereka juga mempertahankan pengadilan hukum Rabbinik mereka dan tidak boleh diganggu.

Meskipun demikian, mereka harus tetap eksis sebagai 'kesaksian hidup' tentang kebenaran agama Kristen, sebuah bukti nyata tentang penderitaan mereka karena menolak Mesias. Oleh karena itu, hukum yang melindungi keberadaan mereka juga menetapkan bahwa orang Yahudi tidak boleh menikmati keuntungan dari jabatan atau kedudukan, melainkan hanya menanggung kesulitan dan hukuman. Mereka tidak boleh berkembang, sehingga tidak ada sinagoge baru yang boleh dibangun, dan perbaikan sinagoge yang sudah ada pun sering kali dipersulit. Orang Yahudi harus didorong untuk bertobat, tetapi pertobatan itu harus berasal dari perubahan hati yang tulus, bukan paksaan. Dengan demikian, mereka diizinkan untuk eksis dengan hak dan status sipil tertentu, tetapi dalam kondisi yang secara permanen lebih rendah.

Pada tahun 530-an, seiring dengan upaya reformasi hukum, perebutan kembali wilayah, dan pembangunan kembali, Justinian berupaya mendamaikan kelompok Ortodoks Kalsedonia dan kelompok 'Monofisit' anti-Kalsedonia. Landasan rekonsiliasi ini adalah doktrin teopaskisme, yang diperkenalkan kepada Justinian oleh para biarawan Skithia sekitar satu dekade sebelumnya. Doktrin ini kemudian menjadi bagian dari gerakan teologis yang lebih luas, yang dikenal sebagai 'Neo-Kalsedonia' atau (lebih tepatnya) Kalsedonia Sirilin. Gerakan teologis ini, yang cukup independen dari Justinian, tampaknya terinspirasi oleh upaya menghadapi serangan dari teolog non-Kalsedonia terkemuka, Severus, patriark Antiokhia pada tahun 512–518, terhadap definisi Kalsedon yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Sirilus dari Alexandria. Umat Kristen Timur (yang jumlahnya tidak sedikit) menerima Kalsedon dengan keyakinan bahwa Kalsedon mendukung ajaran Sirilus.

Sirilus dari Aleksandria berusaha menafsirkan Konsili Kalsedon berdasarkan ajaran-ajarannya, dengan keyakinan bahwa penafsiran ini mewakili pemikiran para tokoh utama konsili. Paham ini didasarkan pada tiga klarifikasi definisi konsili. Pertama, bahwa 'satu pribadi' Kristus yang berinkarnasi adalah pribadi kedua dari Tritunggal. Kedua, penerimaan terhadap formula teopaskite, 'Salah satu dari Tritunggal menderita dalam daging'. Ketiga, kesepakatan bahwa salah satu cara favorit Sirilus dalam menggambarkan Kristus yang berinkarnasi ('satu kodrat inkarnasi dari Allah Sang Firman') dapat diterima dan hanya tampak bertentangan dengan doktrin satu pribadi dan dua kodrat. Frasa ini menjadi sumber istilah 'Monofisit' untuk menyebut kaum non-Kalsedon, yaitu mereka yang percaya pada satu kodrat saja. Tokoh-tokoh terkemuka pendukung pandangan ini termasuk Yohanes dari Kaisarea dan Leontius dari Yerusalem.

Kaisar Justinianus yakin bahwa pandangan ini menyediakan jalan untuk rekonsiliasi. Pada konferensi di Konstantinopel tahun 532, sejumlah besar kesepakatan teologis tercapai. Namun, percakapan gagal karena pertimbangan praktis terkait persyaratan untuk pemulihan uskup non-Kalsedon.

Setelah itu, Justinianus menggunakan penganiayaan, yang digagalkan oleh perlindungan yang diberikan kepada kaum Monofisit di istana oleh Permaisuri Theodora. Meskipun demikian, ia tidak pernah menyerah dalam usahanya untuk mempromosikan pandangan Sirilus, yang berpuncak pada sinode di Konstantinopel pada tahun 553, yang dikenal sebagai Sinode Ekumenis Kelima.

Konsili Ekumenis Kelima membahas dua isu utama: mengutuk 'Tiga Bab' dan ajaran Origenisme.

Pengutukan terhadap 'Tiga Bab' adalah bagian dari upaya Kaisar Justinian untuk mendamaikan kelompok Ortodoks dan Monofisit. 'Tiga Bab' merujuk pada tulisan-tulisan tiga uskup yang sangat tidak disukai kaum Monofisit: Theodore dari Mopsuestia, Theodoret dari Kyrrhos, dan Ibas dari Edessa. Theodore, yang meninggal pada tahun 428, dianggap sebagai sumber inspirasi Nestorius. Nestorius sendiri telah berhasil dikutuk oleh Cyril dalam Konsili Ekumenis Ketiga di Efesus pada tahun 431. Theodoret dan Ibas sebelumnya juga telah dikutuk dalam 'Sinode Perampok' di Efesus pada tahun 449, tetapi kemudian dipulihkan dua tahun kemudian oleh Sinode Chalcedon.

Pengutukan 'Tiga Bab' ini mendapat perlawanan yang cukup besar di wilayah Barat, karena dianggap sebagai upaya untuk merusak keputusan Sinode Chalcedon, yang didukung oleh Paus Leo. Paus Vigilius bahkan dipanggil secara paksa ke Konstantinopel dan ditahan di sana sampai akhirnya menerima pengutukan 'Tiga Bab'. Penggantinya pun diharuskan untuk mengikuti tindakannya (meskipun Paus Gregorius Agung hanya membahas tentang 'empat sinode'). Namun, tidak semua pihak di Barat patuh. Paus sampai diekskomunikasi oleh para uskup di Afrika Utara dan Italia utara. Perpecahan antara Roma dan Aquileia baru berakhir pada tahun 700.

Pengutukan terhadap ajaran Origenisme sering dianggap sebagai penyeimbang dari pengutukan 'Tiga Bab'. Padahal, tidak ada alasan untuk mempercayai hal ini, karena tidak ada unsur Monofisit dalam ajaran Origenisme. Pengutukan ini lebih berkaitan dengan serangan Kaisar Justinian terhadap Neoplatonisme pagan. Origenes dan para pengikutnya dianggap terlalu terpengaruh oleh Platonisme (Origenes adalah murid dari Ammonius Saccos, guru dari Plotinus). Dengan demikian, tindakan ini diharapkan mendapat dukungan dari sebagian besar umat Kristen. Meskipun begitu, gagasan-gagasan Origenis tetap populer di kalangan beberapa biarawan yang lebih tertarik pada intelektualitas.

Namun, semua usaha untuk mewujudkan rekonsiliasi di antara umat Kristen di Kekaisaran tidak berhasil. Bahkan, saat sinode masih berlangsung, perpecahan itu sudah tidak mungkin diatasi lagi. Pada tahun 542, di Konstantinopel, Theodosius, patriark Monofisit Alexandria yang diasingkan, secara diam-diam menahbiskan Jacob Bar 'Addai sebagai uskup Edessa untuk Ghassanids, sebuah kerajaan Arab yang bersekutu dengan Kekaisaran. Setelah ditahbiskan, Jacob mulai menahbiskan uskup-uskup untuk jemaat Monofisit di seluruh wilayah Timur, sehingga menciptakan hierarki yang sejajar dengan gereja Ortodoks Kekaisaran. Usaha Kekaisaran untuk menghancurkan gereja saingan ini melalui penganiayaan hanya membuahkan sedikit keberhasilan.

Sekilas, kebijakan agama Justinian mungkin terlihat seperti kegagalan total. Pendapat ini ada benarnya jika kita hanya melihat usahanya sebagai upaya untuk menyelesaikan perpecahan di dalam gereja, terutama di wilayah Timur. Akan tetapi, upaya ini juga bisa dilihat dari sudut pandang lain, yaitu sebagai cara Justinian meninggalkan jejaknya pada gereja Ortodoks Kekaisaran. Dari sudut pandang ini, keberhasilannya cukup nyata. Penerimaan Sinode Kalsedon pada abad keenam terjadi sesuai dengan arahan yang Justinian promosikan. Sejak saat itu, Kristologi sinode di wilayah Timur ditafsirkan sesuai dengan garis Kalsedonianisme Kiril, dan pemahaman teopaskit tentang Inkarnasi diterima, dengan implikasi yang meluas di luar teologi sempit. Pada abad kesembilan, sebuah himne berjudul "Putra Tunggal," yang dikaitkan dengan Justinian, menjadi bagian rutin dari Liturgi Ekaristi. Terlepas dari apakah Justinian benar-benar menulis himne itu atau bukan, teologi teopaskit yang terkandung di dalamnya ("Engkau disalibkan, Kristus Allah... menjadi Salah Satu dari Tritunggal Mahakudus") jelas merupakan teologinya. Pengabdian teopaskit semacam itu, bersama dengan perkembangan angelologi dan Mariologi, menemukan ekspresinya dalam tradisi ikonografi gereja Timur yang berkembang pesat.

Jawaban mengenai apakah pemerintahan Justinian dapat dilihat sebagai sebuah rancangan agung, tampaknya adalah negatif. Meskipun demikian, pada dekade pertama pemerintahannya seorang diri, Justinian mungkin saja memiliki gagasan semacam itu.

Namun, beralih ke pertanyaan kedua yang kita ajukan sebelumnya, bahkan jika elemen-elemen dari sebuah rancangan agung dalam pemerintahan Justinian – reformasi hukum, penaklukan kembali, pembangunan kembali, penegakan ortodoksi – telah menyatu sebaik yang sering diklaim, ada faktor-faktor lain dalam pemerintahan Justinian yang akan menghalangi terwujudnya rancangan agung tersebut.

Salah satu faktor penting saat itu adalah Persia. Mereka merupakan musuh bebuyutan Kekaisaran Romawi. Setelah sempat berdamai di paruh kedua abad kelima, peperangan kembali pecah, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pada masa pemerintahan Anastasius. Peperangan ini mendorong pembangunan benteng di Dara tak lama setelah tahun 505. Dua puluh tahun kemudian, konflik antara Romawi dan Persia kembali berkobar, salah satunya dipicu oleh keputusan Justinian untuk memperkuat benteng di Dara.

Pertempuran awal terjadi di Lazica (pesisir timur Laut Hitam, atau Georgia modern), sebuah zona penyangga yang penting bagi Romawi. Zona ini melindungi mereka dari serangan bangsa barbar di utara Kaukasus dan juga dari serangan Persia melalui Iberia. Salah satu jenderal Persia saat itu, Narses, membelot ke Romawi setelah sempat menyebabkan kekalahan bagi pihak Romawi.

Namun, bagian utama dari Perang Persia pertama pada masa Justinian terjadi di Mesopotamia. Di sinilah muncul jenderal Justinian lainnya yang sangat terkenal, yaitu Belisarius. Bangsa Romawi berhasil mempertahankan posisi mereka, dan perang diakhiri dengan perjanjian 'Perdamaian Abadi'. Perjanjian ini dinegosiasikan dengan Khosrau, yang naik takhta menjadi shah setelah ayahnya meninggal pada 13 September 531. Perdamaian inilah yang memberikan sumber daya bagi Justinian untuk melancarkan kampanye di Afrika Utara dan Italia pada tahun 530-an.

Khosrau memerintah selama hampir lima puluh tahun dan dikenal sebagai salah satu shah Sasanian terhebat dalam catatan sejarah Persia. Namun, 'Perdamaian Abadi' yang ia negosiasikan di awal pemerintahannya tidak mencerminkan hubungannya dengan negara-negara tetangga di barat. Pada tahun 540, sengketa wilayah antara dua kerajaan Arab Kristen—Lakhmid Nestorian, yang merupakan klien Persia, dan Ghassanid Monofisit, yang merupakan klien Kekaisaran Romawi—memberi Khosrau kesempatan untuk menanggapi permohonan dari Witigis, raja Ostrogoth Italia yang sedang tertekan, serta dari orang-orang Armenia yang merasa menderita karena dimasukkan ke dalam Kekaisaran Romawi akibat Perdamaian Abadi. Khosrau kemudian menyerang Kekaisaran Romawi.

Perang terjadi di beberapa front, yaitu Suriah, Mesopotamia, dan Lazica. Antiokhia berhasil direbut oleh Persia. Gencatan senjata diumumkan pada tahun 545, tetapi pertempuran di Lazica masih berlanjut hingga tahun 557. Pada tahun 561, perdamaian kembali dinegosiasikan, memulihkan status quo yang akan berlangsung selama lima puluh tahun. Dalam perjanjian ini, bangsa Romawi setuju untuk membayar upeti sebesar 30.000 nomismata emas per tahun. Persia sekali lagi menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan, dan akan terus menjadi demikian hingga negara tersebut, dan sebagian besar Kekaisaran Romawi, menyerah kepada bangsa Arab pada abad ketujuh.

Tentu saja, Persia menjadi penghalang utama bagi keberhasilan setiap inisiatif yang dijalankan oleh Kaisar Justinian. Selain itu, ada faktor lain yang lebih sulit dinilai, yaitu dampak bencana alam dan perubahan iklim. Catatan sejarah memberikan gambaran yang jelas tentang gempa bumi, kelaparan, dan wabah yang berulang, serta kejadian-kejadian yang dianggap sebagai pertanda buruk, seperti gerhana dan komet.

Sebagai contoh, Malalas mencatat sepuluh kejadian di mana Justinian memberikan bantuan untuk membangun kembali kota-kota yang hancur akibat perang atau bencana alam. Studi terbaru menunjukkan bahwa awal pemerintahan Justinian mengalami kondisi iklim yang ekstrem, yang penyebabnya belum diketahui. Pada tahun 536–537 terjadi fenomena yang disebut 'tabir debu', yang dicatat dalam sejarah sebagai semacam gerhana matahari yang berlangsung terus-menerus. Kita hanya bisa menduga dampak dari fenomena ini, tetapi kemungkinan besar menyebabkan gangguan pada pola kehidupan tradisional dan meningkatkan rasa tidak aman, belum lagi terkurasnya sumber daya yang terbatas akibat kebutuhan untuk rekonstruksi.

Dalam situasi inilah terjadi Kerusuhan Nika pada tahun 532. Ketegangan antara faksi-faksi sirkus, yaitu Biru dan Hijau, meledak menjadi kerusuhan yang hampir menggulingkan Kaisar Justinian. Sebagian besar area istana, termasuk gereja Hagia Sophia dan Hagia Eirene, hancur terbakar. Kemarahan rakyat terhadap pejabat yang dibenci diredakan dengan pemecatan prefek kota Eudaemon, quaestor Tribonian, dan prefek praetorian John dari Cappadocia. Kerusuhan berlangsung selama beberapa hari dan baru bisa dihentikan setelah pembantaian 30.000 orang yang terjebak di hippodrome. Mereka bersorak untuk Hypatios, seorang jenderal dan keponakan Kaisar Anastasius, yang kemudian dieksekusi karena dianggap merebut takhta.

Reaksi sebagian umat Kristen terhadap serangkaian bencana ini diabadikan dalam sebuah kontakion yang ditulis oleh Romanos sang Melodis, berjudul "Tentang Gempa Bumi dan Kebakaran". Kontakion ini adalah semacam khotbah berbentuk syair yang dinyanyikan sebagai bagian dari ibadah malam, dan menjadi populer di gereja-gereja non-biara. Romanos menciptakan dan membawakan kontakion ini selama masa Prapaskah, ketika Gereja Agung Hagia Sophia sedang dibangun kembali, yaitu antara Februari 532 dan 27 Desember 537. Karya ini merupakan seruan untuk bertobat setelah tiga bencana yang dianggap sebagai tiga "pukulan" dari Tuhan kepada umat manusia yang berdosa: gempa bumi (terjadi antara tahun 526 dan 530, dengan beberapa gempa tercatat di Konstantinopel dan wilayah lain), kekeringan (terjadi di Konstantinopel pada September 530), dan kerusuhan Nika pada Januari 532. Romanos menjelaskan bahwa pukulan yang berulang ini diperlukan karena ketidakpedulian masyarakat. Ia menekankan bahwa pertobatan dan permohonan belas kasihan harus dimulai dari kaisar dan permaisurinya, Theodora.

“Mereka yang takut akan Tuhan mengulurkan tangan kepada-Nya,Memohon belas kasihan dan berakhirnya bencana,Dan bersama mereka, sebagaimana mestinya, penguasa pun berdoa,Menengadah kepada Sang Pencipta, dan bersamanya istrinya,‘Anugerahkan padaku, ya Juru Selamat,’ serunya, ‘seperti kepada Daud-MuUntuk menaklukkan Goliat, karena aku berharap pada-Mu.Selamatkan umat-Mu yang setia dalam belas kasihan-Mu,Dan berikan kepada mereka Kehidupan Abadi.’Ketika Tuhan mendengar suara mereka yang berseru dan juga para penguasa,Dia menganugerahkan belas kasihan-Nya yang lembut kepada kota itu.”

Kota yang dibangun kembali, dan terutama Gereja Agung, adalah tanda perhatian Kaisar dan kemurahan Tuhan:

“Dalam waktu singkat mereka [para penguasa] membangun kembali seluruh kota Sehingga semua kesulitan mereka yang menderita terlupakan. Struktur gereja itu sendiri Didirikan dengan sangat baik Seolah meniru surga, tahta ilahi, Yang memang menawarkan Kehidupan Abadi.”

Hal ini memperkuat gambaran mengenai kesulitan yang terus berulang, yang tercatat dalam tulisan para sejarawan dan (seperti yang diperdebatkan) didukung oleh bukti astronomi serta arkeologi. Namun, hal ini juga menunjukkan bagaimana agama berupaya memenuhi kebutuhan mereka yang menderita—sebuah cara yang membangkitkan dan memperkuat pandangan dunia Bizantium tentang kosmos yang diperintah oleh Tuhan, dan oikoumene yang diperintah, atas nama-Nya, oleh kaisar.

Studi tentang kontakia Romanos juga mengungkapkan pertemuan antara perangkat agama publik (dan kekaisaran) dengan permohonan pribadi kepada Kristus yang menjelma dan Bunda Allah beserta para santo, serta pentingnya relik Salib Sejati, dan relik para santo, sebagai batu ujian rahmat ilahi.

Pada abad keenam, dapat ditemukan semakin banyak bukti popularitas—baik di tingkat publik maupun pribadi—devosi kepada Bunda Allah, dan seni religius ('ikon') sebagai perantara antara alam ilahi, yang terdiri dari Tuhan dan istana malaikat serta para santonya, dan alam manusia, yang sangat membutuhkan rahmat yang mengalir dari alam ilahi itu. Ikon menjadi objek doa dan penghormatan, serta sumber fisik penyembuhan dan peneguhan.

Meskipun dekade 530-an dipenuhi kekhawatiran akibat bencana alam dan tindakan manusia, tahun 540-an menjadi saksi awal mula epidemi penyakit pes bubonic yang berlangsung lebih dari dua abad. Menurut Procopius, penyakit ini berasal dari Mesir, tetapi kemungkinan besar menyebar dari Timur melalui jalur perdagangan, mungkin melalui Jalur Sutra. Penyakit ini pertama kali muncul di Konstantinopel pada musim semi tahun 542, kemudian mencapai Antiokhia dan Suriah pada akhir tahun yang sama. Jumlah korban jiwa sangat besar: di Konstantinopel, diperkirakan sekitar 250.000 orang meninggal, yang mungkin sedikit lebih dari setengah populasi kota tersebut. Hanya sedikit yang selamat setelah terinfeksi penyakit ini (beberapa di antaranya tampaknya termasuk Justinian sendiri), dan mereka yang meninggal melakukannya dengan cepat, dalam waktu dua atau tiga hari. Setelah itu, tingkat keganasan wabah tampaknya sedikit menurun, tetapi menurut Evagrius, seorang sejarawan gereja, banyak nyawa melayang pada tahun 553/4, 568/9, dan 583/4. Para sejarawan memiliki pendapat yang berbeda mengenai dampak wabah ini terhadap kehidupan ekonomi Kekaisaran Timur. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa dampaknya sangat serius, sementara yang lain, mengikuti revisi serupa dalam perkiraan dampak Black Death pada abad keempat belas, berpendapat bahwa efek wabah ini telah dibesar-besarkan.

Pada bulan-bulan terakhir hidupnya, Justinian justru terlibat dalam ajaran sesat yang disebut 'Julianis' atau afthartodocetisme. Ajaran ini merupakan bentuk ekstrem dari Monofisit yang diambil dari nama Julian, uskup Halikarnassos (wafat sekitar tahun 527). Justinian menyebarkan ajaran ini melalui sebuah edik. Hal ini dinyatakan oleh Theophanes dan Eustratios dalam buku "Kehidupan Eutychios," yang menceritakan tentang patriark Konstantinopel yang digulingkan karena menolak kecenderungan agama baru Justinian. Pernyataan ini umumnya diterima oleh para sejarawan.

Namun, beberapa teolog mempertanyakan hal ini. Mereka mengutip bukti bahwa Justinian tetap berpegang pada Kristologi dua kodrat. Selain itu, ada bukti bahwa ia terus berupaya mendamaikan umat Kristen yang terpecah, tidak hanya dengan kaum 'Julianis'—yang mungkin menimbulkan kecurigaan terhadap Justinian di kalangan Ortodoks—tetapi juga dengan kelompok Nestorian dari Persia. Masalah ini memang kompleks dan tampaknya masih bisa diperdebatkan.

Justinianus wafat tanpa meninggalkan keturunan pada tanggal 14 November 565, menyebabkan kekosongan kepemimpinan. Justinus, salah seorang dari tiga keponakannya, yang sebelumnya menjabat sebagai cura palatii, berhasil terpilih oleh Senat dan menggantikan pamannya. Faktor penting yang mendukungnya mungkin adalah pernikahannya dengan Sophia, keponakan Theodora. Satu-satunya pesaing berat, seorang sepupu kedua Justinianus yang juga bernama Justinus dan menjabat sebagai magistri militum, diasingkan ke Alexandria dan kemudian dibunuh, diduga atas perintah Sophia.

Justinus II melanjutkan (atau memberlakukan kembali) kebijakan ortodoksi agama yang diterapkan oleh Justinianus. Meskipun sebelumnya ia (atau setidaknya istrinya, Sophia) cenderung mendukung Monofisitism, Justinus II berusaha memulihkan keharmonisan agama antara wilayah Timur dan Barat dengan menegaskan ortodoksi yang sama. Sebagai simbolnya, ia memberikan hadiah berupa salib berenamel indah yang berisi relikui Salib Sejati kepada Ratu Frank, Radegund. Pemberian ini menginspirasi Venantius Fortunatus untuk menulis himne Latin termegah untuk menghormati salib, yaitu Pange Lingua dan Vexilla Regis. Namun, pada saat yang sama, Justinus II juga berupaya melakukan rekonsiliasi dengan kaum Monofisit. Usaha ini berakhir pada tahun 572, ketika kaum Monofisit menolak 'Henotikon kedua' yang diajukan oleh Justinus. Penolakan ini mengakibatkan penganiayaan terhadap kaum Monofisit, yang dicatat oleh Yohanes dari Efesus dalam Sejarah Gerejanya.

Justin lebih dikenal karena kebijakan luar negerinya yang cenderung arogan. Ia menolak untuk melanjutkan aliansi dengan suku-suku barbar, terutama Avar, serta tidak berupaya menjaga perdamaian dengan Persia. Tindakan ini sangat melemahkan posisi Kekaisaran. Bangsa Romawi telah lama mencemaskan keamanan perbatasan Danube. Baik Anastasius maupun Justinian telah berinvestasi besar dalam membangun benteng dan memperkuat kota-kota di sekitar perbatasan. Selain itu, Justinian menjalin aliansi dengan berbagai kelompok barbar, seperti dengan Antae (suku nomaden yang asal-usulnya tidak jelas dan kemudian menghilang dari catatan sejarah) sekitar tahun 545, dan dengan Avar pada tahun 558. Aliansi ini bertujuan untuk mengendalikan suku-suku barbar lain di utara Danube.

Kelompok barbar lain yang menjadi perhatian utama adalah Slavia. Pada pertengahan abad keenam, mereka telah menetap di tepi utara Danube dan sering melakukan serangan ke wilayah Bizantium. Sekitar tahun 560, mereka bahkan mulai menghabiskan musim dingin di wilayah Bizantium. Tak lama setelah Justin naik tahta, utusan dari Avar datang meminta upeti yang biasa mereka terima dari Justinian. Mereka mengklaim upeti itu sebagai imbalan karena tidak menyerang Kekaisaran dan bahkan melindunginya dari serangan suku barbar lain. Justin dengan sombong menolak permintaan tersebut. Namun, karena saat itu Avar lebih fokus pada konflik dengan Frank, tindakan Justin tidak memicu reaksi langsung dari mereka.

Dua tahun kemudian, Justin berhasil memanfaatkan perang antar suku barbar. Ketika Lombard dan Avar bersekutu untuk menghancurkan Gepid, suku barbar lain yang menduduki Pannonia Secunda dan menguasai kota Sirmium, Justin merebut Sirmium dan mempertahankannya dalam perang melawan Avar yang terjadi kemudian. Kejatuhan Gepid membawa konsekuensi lebih lanjut bagi Kekaisaran. Lombard, yang menduduki perbatasan Noricum, kini berbatasan langsung dengan Avar. Untuk menghindari konflik dengan Avar, mereka bermigrasi ke selatan dan menyerbu Italia utara, wilayah yang sudah mereka kenal karena pernah menjadi sekutu Narses pada tahun 552. Di bawah pimpinan raja mereka, Alboin, mereka merebut sebagian besar Venetia pada tahun 568, dan sebagian besar Liguria, termasuk Milan, pada tahun berikutnya. Pavia (Ticinum) memberikan perlawanan yang lebih kuat, tetapi akhirnya jatuh ke tangan Lombard pada tahun 572.

Di wilayah lain, bangsa barbar terus merangsek masuk ke wilayah Kekaisaran. Pemberontakan kaum Moor di Afrika Utara mengakibatkan tewasnya seorang prefek praetorian pada tahun 569, disusul dua magistri militum dalam dua tahun berikutnya. Di Spanyol, bangsa Visigoth menyerbu wilayah Bizantium, merebut Asidona pada tahun 571 dan Córdoba pada tahun 572. Oleh karena itu, tahun 572 tampaknya bukanlah waktu yang tepat untuk memancing kemarahan Persia. Namun, pada tahun itu, Justin menolak membayar upeti tahunan pertama berdasarkan Perjanjian Damai Lima Puluh Tahun yang dinegosiasikan oleh Justinian (setelah sebelumnya jelas membayar upeti selama tiga tahun yang jatuh tempo pada tahun 568).

Umat Kristen Armenia di Persia telah melancarkan pemberontakan terhadap upaya Chosroes untuk memaksakan agama Zoroaster kepada mereka. Mereka meminta bantuan Justin, yang tidak hanya menolak upeti yang jatuh tempo pada tahun 572, tetapi juga mengancam akan menyerang Persia dan menggulingkan Chosroes jika ia bersikeras memaksa orang Armenia meninggalkan agama Kristen. Pemberontakan Armenia berhasil, dan mereka bergabung dengan kerajaan Iberia. Justin kemudian memerintahkan invasi ke Persia. Sepupunya, Marcian, yang ditunjuk sebagai magister militum per Orientem pada tahun 572, menyerang Arzanene, wilayah di perbatasan selatan Armenia Persia, dan pada tahun berikutnya menyerang Nisibis.

Setelah Persia berhasil mengatasi keterkejutan mereka atas serangan Romawi, mereka memberikan balasan yang sangat menghancurkan. Mereka menyerang Suriah dan merebut Apamea, kemudian tidak hanya membebaskan Nisibis, tetapi juga mengepung dan merebut benteng Dara. Kabar jatuhnya Dara membuat Justin kehilangan akal, dan permaisurinya, Sophia, mengambil alih kendali kekuasaan. Ia menegosiasikan gencatan senjata selama satu tahun dengan Persia, yang mana pihak Romawi harus membayar 45.000 nomismata (setengah lebih banyak dari yang seharusnya). Gencatan senjata ini kemudian diperpanjang menjadi lima tahun, dengan tarif lama 30.000 nomismata per tahun.

Namun, Sophia, sebagai seorang wanita, tidak dapat memerintah sebagai wali raja seorang diri. Pada bulan Desember 574, ia membujuk Justin untuk menjadikan Tiberius, Count of the Excubitors, sebagai Caesar. Meskipun Justin masih hidup hingga tahun 578, pemerintahan sementara berada di tangan Sophia dan Tiberius. Sophia sendiri adalah seorang permaisuri Bizantium yang agak terabaikan. Ia jauh kurang terkenal dibandingkan bibinya, Theodora. Namun, tidak seperti bibinya, ia memainkan peran langsung dalam politik Bizantium, mengamankan suksesi suaminya, dan suksesi Tiberius, yang dengan sia-sia ia harapkan untuk menjadikannya suami keduanya. Ia adalah permaisuri pertama yang muncul di koin Bizantium bersama suaminya.

Theophanes the Confessor, yang jelas tidak menyukai wanita dengan ambisi kekuasaan, melukiskan gambaran buruk tentang Sophia dan campur tangannya dalam urusan kekaisaran, sama seperti yang ia lakukan terhadap Eirene, permaisuri Bizantium pertama yang memerintah atas namanya sendiri. Mungkin cukup signifikan bahwa ia relatif sedikit berbicara tentang Theodora.

Tiberius naik menjadi kaisar pada tahun 578, meskipun sebenarnya ia sudah efektif memerintah selama empat tahun sebelumnya. Dalam banyak hal, ia sangat berbeda dengan pendahulunya, Justin. Justin dikenal hemat secara finansial, bahkan cenderung pelit, tetapi sangat ambisius dalam hal militer. Sebaliknya, Tiberius membeli popularitas dengan menurunkan pajak, namun lebih berhati-hati dalam urusan militer. Ia juga menghentikan penganiayaan terhadap kaum Monofisit yang sebelumnya dimulai oleh Justin.

Tiberius dengan cepat menyadari bahwa Kekaisaran tidak memiliki cukup sumber daya untuk menghadapi musuh di semua lini. Oleh karena itu, ia berusaha mendapatkan dukungan dari Avar di perbatasan Danube dengan membayar upeti sebesar 80.000 nomismata per tahun. Langkah ini tidak hanya mengamankan perdamaian dari potensi permusuhan, tetapi juga mendapatkan dukungan Avar untuk melawan Slavia. Tanah air Slavia di tepi sungai Danube dihancurkan oleh kavaleri Avar dengan dukungan Bizantium. Sayangnya, gencatan senjata dengan Avar ini tidak bertahan lama. Pada tahun 580, mereka menyerang Sirmium, dan pada tahun 582, setelah pengepungan yang panjang, kota itu diserahkan kepada Avar. Sebagai bagian dari perjanjian, garnisun dan penduduk diizinkan untuk dievakuasi ke wilayah Romawi dengan imbalan pembayaran 240.000 nomismata, sebuah upeti yang belum dibayarkan sejak serangan Avar.

Selama pengepungan Sirmium, banyak bangsa Slavia menyeberangi Danube dan menyerbu wilayah Thrace, Macedonia, dan Yunani. Mereka kemudian menetap di seluruh Balkan, meskipun bukti pemukiman Slavia (yang disebut Sklaviniai oleh Bizantium) baru muncul pada abad berikutnya. Upaya untuk menyuap Avar dan mengamankan perdamaian di perbatasan Danube bertujuan agar Tiberius dapat berkonsentrasi pada perbatasan Persia. Di sana, tujuannya tampak sederhana: membangun kekuatan yang cukup untuk mengamankan kembali perdamaian yang telah dirusak oleh Justin. Gencatan senjata satu tahun yang dinegosiasikan oleh Sophia perlu diperpanjang, tetapi gencatan senjata lima tahun yang kemudian dinegosiasikan terasa terlalu lama bagi Tiberius. Ketika ia naik menjadi Caesar, gencatan senjata ini ditetapkan menjadi tiga tahun, dengan pemahaman bahwa para utusan akan berusaha membangun perdamaian yang lebih abadi selama periode tersebut.

Pada akhir gencatan senjata yang diperpanjang, pasukan Bizantium di Timur, yang dipimpin oleh Maurice (yang telah menggantikan Tiberius sebagai Count of the Excubitors ketika Tiberius menjadi Caesar), berada dalam posisi untuk membuat kemajuan melawan Persia dan telah menduduki Arzanene. Negosiasi sedang berlangsung untuk perdamaian yang akan mengembalikan benteng Dara kepada Bizantium. Namun, selama negosiasi pada tahun 579, Chosroes meninggal. Putranya, Hormisdas, yang menggantikannya, memutuskan negosiasi, dan perang berlanjut. Pada bulan Agustus 582, Tiberius sendiri meninggal, setelah menobatkan Maurice sebagai Augustus sehari sebelumnya.

Maurice adalah seorang jenderal yang cakap dan telah meraih keberhasilan dalam bidang militer di bawah kepemimpinan Tiberius sebelum akhirnya menjadi kaisar. Bahkan jika bukan dia yang menulis risalah militer berjudul Strategikon, penyebutan namanya dalam kaitannya dengan karya itu tetap relevan. Risalah tersebut mencerminkan praktik militer Bizantium pada akhir abad keenam, dengan menekankan pentingnya peran kavaleri dalam peperangan. Selain itu, risalah itu tampaknya menggambarkan kampanye melawan Avar dan Antae, yang sekali lagi mencerminkan realitas peperangan Bizantium pada periode tersebut.

Seperti para pendahulunya, Maurice awalnya memfokuskan upaya militernya di фронт Persia. Dia berusaha mengatasi ancaman lain terhadap Kekaisaran melalui jalur diplomasi dan pembayaran upeti. Pada awal masa pemerintahannya, ia membayar Raja Frank, Childebert, untuk menyerang Lombardia di Italia utara. Serangan ini berhasil dilakukan pada tahun 584, yang berujung pada penyerahan para pemimpin Lombardia. Hal serupa terulang pada tahun 588 dan 589.

Di perbatasan Danube, Maurice mengalami kurang keberhasilan. Dua tahun setelah naik tahta, Avar menuntut kenaikan upeti dari 80.000 menjadi 100.000 nomismata. Karena Maurice menolak, mereka merebut Singidunum (sekarang Belgrade) dan menyerang kota-kota lain di sekitarnya. Untuk merebut kembali Singidunum dan mencapai perdamaian, Maurice terpaksa membayar tambahan 20.000 nomismata.

Namun, Avar segera membiarkan bangsa Slavia menyerbu dan menghancurkan Thrace. Mereka mencapai Adrianople dan Tembok Panjang sebelum akhirnya berhasil dipukul mundur. Setelah itu, Avar sendiri menyeberangi Sungai Danube dan bergerak menuju Konstantinopel. Mereka melintasi Pegunungan Haemus setelah dengan mudah mengalahkan pasukan Bizantium sejumlah 10.000 orang yang dikirim untuk menghadang mereka, lalu menyerbu Thrace dan mengepung Adrianople. Mereka baru bisa dikalahkan oleh Droctulf, seorang pemimpin Lombardia yang datang untuk melayani Kekaisaran. Pada tahun yang sama (586), Thessalonica dikepung oleh bangsa Slavia, dan penduduk Thessalonica percaya bahwa kota itu diselamatkan berkat perantaraan santo pelindung mereka, Demetrios.

Di Persia, perang berlangsung lama tanpa hasil yang jelas. Pemberontakan terjadi di kalangan tentara karena Maurice, yang berusaha meringankan beban keuangan negara, mencoba memotong gaji mereka sebesar seperempat. Pada tahun 590, Martyropolis, di Arzanene, direbut oleh Persia. Tahun berikutnya, keadaan berubah secara drastis. Shah Persia, Hormisdas, terbunuh dalam pemberontakan yang dipimpin oleh salah satu satrapnya, Bahram. Putranya, Chosroes, melarikan diri ke Bizantium dan, dengan bantuan mereka, berhasil menumpas pemberontakan Bahram dan mengamankan takhta Persia. Sebagai imbalan atas bantuan Kaisar Bizantium, Chosroes menyerahkan klaimnya atas Armenia dan Arzanene, serta mengembalikan Martyropolis dan Dara ke Kekaisaran. Setelah dua puluh tahun, perdamaian kembali terjalin antara kekaisaran Bizantium dan Persia.

Maurice kemudian mengalihkan perhatiannya ke perbatasan Danube. Pada tahun 592, Khagan Avar menuntut kenaikan upeti yang dibayarkan kepadanya. Dengan pasukan yang dipindahkan dari фронт timur yang kini tenang, Maurice merespons dengan menghadapi Avar. Pengepungan Singidunum berhasil diatasi; meskipun demikian, Avar menyerbu Thrace, tetapi tiba-tiba pergi karena merasa tanah air mereka di Pannonia dalam bahaya (Theophylact menjelaskan ini sebagai siasat cerdik Bizantium, tetapi хронист Suriah abad kedua belas, Michael the Syrian, menyebutkan ketakutan akan ancaman Turki terhadap tanah air mereka). Namun, tujuan sebenarnya dari kebijakan militer Maurice tampaknya adalah Slavia: demi kepentingan menjaga sumber daya dan strategi militer yang efektif, Maurice memerintahkan pasukan Bizantium untuk menyerang Slavia di permukiman mereka di utara Danube. Tentara, yang terbiasa beristirahat selama musim dingin, mengancam akan memberontak.

Tahun berikutnya, langkah lain yang dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan menghemat uang diperkenalkan: alih-alih menerima tunjangan uang tunai untuk peralatan mereka, mereka akan diberikan langsung peralatan militer mereka. Kebijakan ini sangat tidak populer. Avar melakukan serangan lebih lanjut, tetapi berhasil ditolak dalam serangan mereka terhadap Singidunum dan Dalmatia. Dengan kondisi ekonomi yang sulit, Maurice mendapati dirinya tidak berdaya di ibu kota. Setelah upaya yang gagal untuk merebut ayah mertua putranya, Germanus, yang sempat ditawari mahkota oleh pasukan pada tahun 598, dan kegagalan merebut Tomi di pantai Scythia di Laut Hitam pada tahun 599, mereka kemudian mengancam Konstantinopel sendiri. Namun, epidemi wabah di kamp Avar menyebabkan Khagan untuk menarik diri dan menyetujui perjanjian yang mengakui Danube sebagai perbatasan. Maurice dengan cepat mencabut perjanjian itu, dan pada tahun 600 tentara Bizantium mengalahkan Avar. Tahun berikutnya relatif tenang, tetapi pada tahun 602 Bizantium melancarkan serangan yang berhasil terhadap Slavia di utara Danube. Maurice memberi perintah agar tentara terlibat dalam kampanye musim dingin di wilayah Slavia. Kali ini, pemberontakan terbuka terjadi; komandan tentara melarikan diri, dan di bawah komandan baru bernama Phokas, pasukan maju ke Konstantinopel.

Maurice, yang telah membuat dirinya tidak populer, mendapati dirinya menghadapi kerusuhan populer di mana istana Prefek Praetoria Timur dibakar. Maurice melarikan diri, dan Phokas diproklamasikan sebagai kaisar pada 23 November 602. Beberapa hari kemudian, Maurice dieksekusi setelah putranya dibantai di depan matanya. Kematian Maurice dan naiknya perebut takhta Phokas meninggalkan Kekaisaran dalam keadaan rapuh: perang saudara melemahkan Kekaisaran dari dalam, dan musuh eksternal mengambil keuntungan dari kelemahan yang terungkap. Saat abad ketujuh berjalan, keadaan tampak sangat suram.