Peradaban Mesir Kuno (3150-332 SM)
Peradaban Mesir Kuno adalah salah satu peradaban tertua di dunia terdapat di Benua Afrika. Di Benua Afrika peradaban tertua dapat ditemukan di Lembah Sungai Nil. Peradaban Lembah Sungai Nil yang kini terpusat di Negara Mesir, muncul oleh disebabkan kesuburan tanah di sekitar Lembah Sungai Nil yang mana kesuburan ini diakibatkan oleh adanya banjir yang membawa lumpur. Ternyata lumpur yang dibawa oleh luapan air Sungai Nil ini telah mendorong manusia untuk membangun dan mengembangkan peradaban.
Peradaban Lembah Sungai Nil disebut juga dengan sebutan Peradaban Mesir Kuno. Kebesaran dan kejayaan Peradaban Mesir Kuno ini masih dapat dilihat dari bangunan-bangunan bersejarah yang banyak terdapat di Mesir saat ini seperti Piramida, Sphinx, dan Obelisk.
Letak Geografis Peradaban Lembah Sungai Nil
Secara geografis, Mesir merupakan sebuah wilayah yang terletak di Afrika bagian Utara dan memiliki letak yang strategis karena berada di jalur pertemuan antara tiga benua, yakni Asia, Eropa, dan Afrika. Sungai Nil yang mengalir di Mesir ini merupakan sungai terpanjang di dunia dengan panjang mencapai 6400 Km. Sungai Nil mengalir dari Afrika tengah melewati Mesir dan bermuara di Laut Tengah. Sungai Nil bersumber dari mata air yang terletak di dataran tinggi di Afrika Timur yaitu dari Gunung Kilimanjaro.
Di antara gurun-gurun yang mengelilinginya, terdapat banyak oase seperti Kharga, Bahariya, Dunqul, dan Daqla. Kondisi iklim di daerah Mesir Kuno serupa dengan wilayah Afrika lainnya, yaitu kering dan jarang hujan. Kekeringan ini terlihat jelas karena Mesir Kuno dikelilingi oleh padang pasir di sisi timur, barat, dan selatan.
Masyarakat Mesir Kuno hidup di sepanjang aliran Sungai Nil, yang dikenal sebagai salah satu sungai terpanjang di dunia. Secara geografis, Mesir Kuno terbagi menjadi tiga bagian utama: lembah di bagian hulu sungai, delta di hilir sungai, dan gurun yang luas, yang mengisolasi Mesir Kuno di sisi timur, barat, dan selatan. Mesir Kuno berbatasan dengan Laut Tengah di utara dan Laut Merah di timur.
Perlu diketahui bahwa hari ini terdapat empat negara yang dilewati oleh Sungai Nil, yaitu Uganda, Sudan, Ethiopia, dan Mesir. Berdasarkan catatan yang diberikan oleh Herodotus, Heredotus menjuluki Mesir sebagai Hadiah dari Sungai Nil. Rupanya apa yang diucapkan oleh Heredotus itu berdasarkan kenyataan dari fakta bahwa Peradaban Mesir Kuno tumbuh dan berkembang karena kesuburan daerah-daerah di sekitar Sungai Nil.
Hujan turun dengan intesitas yang kecil dan jarang terjadi, membuat hanya sedikit jenis tumbuhan yang tumbuh di Mesir Kuno. Meskipun kekeringan menjadi hal yang biasa, namun tidak berdampak pada masyarakat Mesir Kuno, mereka hidup di Sungai Nil yang tidak pernah kehabisan air. Oleh karenanya Masyarakat Mesir Kuno dapat membangun pemukiman, ladang-ladang, berkebun anggur, dan berternak.
Setiap tahunnya, Sungai Nil selalu mengalami banjir yang mana banjir itu membawa lumpur ke daratan Mesir. Banjir tersebut mengubah padang pasir yang gersang menjadi lembah-lembah yang subur dan tentunya amat cocok untuk melakukan aktivitas bercocok tanam.
Lebar dari Lembah Sungai Nil yang subur itu berkisar antara 15-50 km yang berarti dengan radius selebar itu dapat mendorong tumbuhnya sebuah peradaban dengan memanfaatkan hasil produksi pangan untuk menunjang pertumbuhan penduduk. Pentingnya Sungai Nil bagi perkembangan Peradaban Mesir Kuno dapat terlihat dari kota-kota besar yang didirikan seperti Kairo, Iskandaria, Abusir, dan Rosetta yang mana kota-kota itu terletak di delta-delta muara Sungai Nil yang tanahnya sangat subur.
Sungai Nil yang besar dan panjang bukan hanya digunakan untuk sumber pertaniaan semata, melainkan juga digunakan untuk lalu lintas perdagangan dari dan keluar Mesir, serta jalur penghubung antara Laut Tengah dan daerah pedalaman di Benua Afrika.
Sistem Pemerintahan Peradaban Mesir Kuno
![]() |
Ilustrasi penguasa Mesir Hulu dan Mesir Hilir |
Kerajaan-kerajaan yang berkembang di Mesir melewati beberapa tahap perkembangan, yaitu sebagai berikut;
Zaman Kerajaan Mesir Tua (3400-2160 SM)
Diperkirakan semenjak 5000 SM, berbagai perkampungan kecil telah didirikan di sekitar Lembah Sungai Nil. Seiring perkembangan waktu, perkampungan itu lambat laun mulai berubah menjadi sebuah kerajaan yang disebut mones. Pada perkembangan selanjutnya mones berkembang menjadi dua kerajaan besar yaitu Mesir Hilir dan Mesir Hulu. Raja-raja yang memerintah di Mesir selalu dipanggil dengan sebutan Firaun atau Pharaoh. Firaun berarti “Rumah Besar”. Firaun merupakan pusat kehidupan sosial, politik, dan kepercayaan bangsa Mesir Kuno.
Pharaoh memiliki kekuasaan yang luas untuk mengatur seluruh bidang kehidupan masyarakat. Rakyat Mesir mempercayai bahwa Firaun adalah Dewa Horus anak dewa Osiris. Kemampuan Firaun untuk memobilisasi massa yang banyak dapat dilihat dari kemegahan piramida di Mesir yang jumlahnya sangat banyak. Pada masa Kerajaan Mesir Tua terdapat banyak raja yang memerintah di Mesir, antara lain sebagai berikut;
Menes
Menes merupakan pemimpin yang dapat berhasil mempersatukan Mesir Hulu dengan Mesir Hilir. Usahanya yang berhasil mempersatukan dua kerajaan itu menyebabkan dia mendapat julukan Nesutbiti (Raja bermahkota kembar). Kerajaan yang dipimpin oleh Menes ini berpusat di Kota Thinis.
Melalui serangkaian perang saudara, Menes berhasil menyatukan dua kerajaan dan menguasai seluruh wilayah Mesir Kuno di sepanjang Sungai Nil. Setelah penyatuan tersebut, pusat kerajaan dipindahkan ke wilayah tengah, antara Fayum dan delta Sungai Nil. Meskipun Menes menaklukkan seluruh Mesir Kuno dan menghancurkan pasukan dari hilir, ia tetap mempertahankan kegiatan pertanian serta kehidupan masyarakat agar berjalan seperti sediakala. Dari peristiwa inilah, kehidupan di Mesir Kuno kemudian terformalisasi menjadi sebuah dinasti yang berlangsung selama ratusan tahun.
Untuk memperingati kemenangannya, Menes mendirikan ibu kota di Memphis, yang menjadi pusat kekaisaran yang baru. Kota ini dibangun 32 kilometer di selatan bagian delta paling hulu, dekat pertemuan antara Mesir Kuno hilir dan hulu. Memphis kemudian berkembang menjadi kota terbesar di seluruh negeri dan tetap menjadi ibu kota Mesir Kuno selama 400 tahun.
Chufu, Chepren, dan Menkaure
Pada masa kekuasaan Chufu, Chepren, dan Menkaure muncul tradisi untuk mengawetkan mayat dengan cara dibalsem (Mumi). Upaya mengawetkan mayat itu didasarkan pada keyakinan bahwa orang akan hidup terus selama jasadnya masih utuh. Mumi tersebut dimakamkan di mastaba yang berupa makam yang berudak-undak yang disebut dengan piramida. Di hampir setiap piramida selalu terdapat patung berbentuk manusia berkepala singa yang disebut Sphinx.
Pepi I
Pada masa pemerintahan Pepi I, Kerajaan Mesir berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah Sudan (Nubia) dan Abissyinia.
Pepi II
Pada masa pemerintahan Pepi II dapat dikatakan kekuataan dan pengaruh dari Kerajaan Mesir melemah, sehingga Kerajaan Mesir yang beribu kota di Memphis mengalami disintegrasi dan berubah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Perpecahan yang terjadi diinternal Kerajaan Mesir sebagian besar diakibatkan oleh adanya perpecahan di antara kalangan bangsawan yang berdampak pada instabilitas Kerajaan Mesir.
Zaman Kerajaan Mesir Pertengahan (2160-1788 SM)
Zaman Kerajaan Mesir Pertengahan diawali oleh dipersatukannya kembali kerajaan-kerajaan kecil yang terpecah pada masa pemerintahan Pepi II. Penyatuan kembali kerajaan-kerajaan ini dimulai dari keberhasilan yang dicapai oleh Sesotris III. Di bawah ini adalah raja-raja yang memerintah di Kerajaan Mesir Pertengahan;
Sesotris III
Sesotris III berhasil mempersatukan Mesir kembali dari perpecahan yang dialami pada masa Raja Pepi II. Selain berhasil mempersatukan Mesir, dia juga berhasil memperluas wilayah kekuasaan Mesir sampai ke Sudan, Palestina, dan ke daerah Sichem (Shechem). Pada masa pemerintahan Sesotris III, perekonomian rakyat Kerajaan Mesir semakin berkembang dan ramai dan itu semua disebabkan oleh kemampuan yang dimiliki oleh Sesotris III untuk berhubungan dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada disekitaran Laut Tengah dan Laut Merah.
Perdagangan yang ramai itu pada akhirnya berdampak pada meningkatnya taraf kesejahteraan penduduk. Kestabilan di bidang ekonomi ini tentunya juga akan berdampak pada kestabilan di bidang politik, apalagi dengan berhasilnya Sesotris III dalam mempersatukan Kerajaan Mesir yang sebelumnnya mengalami perpecahan.
Selain berhasil membangun dan mengembang ekonomi Kerajaan Mesir, Sesotris III juga berhasil membangun kekuatan politik dan militer yang kuat sehingga ketiga pillar ini dapat menjadi kekuatan untuk menstabilkan kekuasaan. Hal unik yang terjadi pada masa pemerintahan Sesotris III adalah raja-raja yang meninggal tidak dimakamkan di piramida, melainkan dimakamkan di Gua Karang karena dirasakan apabila dimakamkan di Piramida tentu tidak aman. Sebab, di dalam piramida, selain terdapat mayat-mayat para Firaun, juga disimpan kekayaan dari raja itu sebagai simbol kebesaran dan keagungan raja selama ia masih hidup.
Amenemhet III
Pada masa Raja Amenemhet III, perekonomian Kerajaan Mesir mengalami kemajuan yang pesat terutama dalam bidang pertanian. Bangsa Mesir yang mengandalkan Sungai Nil selain sebagai sarana transportasi, perdagangan, juga digunakan dan dimanfaatkan untuk pertanian. Sungai Nil yang selalu meluap sekali dalam setahun dimanfaatkan oleh para petani Mesir Kuno untuk menyuburkan lahan pertaniannya.
Banjir Sungai Nil selalu membasahi padang pasir berkilo- kilo panjangnya. Para petani dengan dibantu para pendeta, selalu mempersiapkan tempat untuk menampung banjir dari Sungai Nil tersebut, sehingga ketika banjir telah surut, maka petani menggunakannya untuk ditanami dengan tanaman.
Kemajuan dan kesuburan Kerajaan Mesir ternyata mengundang petaka, di mana malapetaka ini muncul pada tahun 1750 SM ketika bangsa Hykos menyerang Mesir. Hal tersebut menyebabkan Kerajaan Mesir mengalami kemunduran. Bangsa Hykos berkuasa di Mesir, dan menjadikan Kota Awiris sebagai ibu kotanya. Dari Awiris ini Bangsa Hykos melancarkan serangan lagi ke beberapa daerah di Mesir, Palestina dan Syria.
Bangsa Hykos adalah bangsa yang berasal dari Jazirah Arab, mereka adalah bangsa nomaden yang terus berkelana untuk mencari daerah subur. Kedatangan bangsa Hykos ke Mesir menyebabkan terjadinya tukar-menukar kebudayaan. Bangsa Hykos seperti bangsa-bangsa yang lain juga menyerap kebudayaan Mesir, sementara bangsa Mesir berhasil juga menyerap kebudayaan bangsa Hykos yaitu keterampilam untuk membuat alat-alat pertanian dan senjata yang terbuat dari perunggu. Keterampilan dalam membuat peralatan tersebut menyebabkan Mesir pada zaman Mesir baru menjadi kerajaan yang semakin kuat dan pertanian mereka menjadi semakin maju dengan teknologi yang baru tersebut.
Zaman Kerajaan Mesir Baru (1500-1100 SM)
Kerajaan Mesir yang dikuasai oleh bangsa Hykos sejak 1750 SM berupaya melakukan konsolidasi untuk mengusir bangsa Hykos. Bangsa Mesir yang berada di bawah Kerajaan Thebe menyerang bangsa Hykos di ibu kotanya yaitu Awiris, dan bangsa Hykos berhasil dikalahkan. Dengan demikian, sejak itu ibu kota Awiris dikuasai oleh raja-raja Thebe, dan mendirikan Kerajaan Mesir Baru. Raja-raja yang memerintah pada periode Kerajaan Mesir Baru antara lain sebagai berikut;
Ahmosis I
Ahmosis adalah Firaun yang berasal dari kerajaan Thebe yang memimpin langsung penyerangan terhadap Kerajaan Hykos. Dia berhasil mengusir bangsa Hykos dan membangun peradaban baru bangsa Mesir di ibu kota Awiris.
Thutmosis I
Pada masa pemerintahan Thutmosis I Kerajaan Mesir Baru berhasil melakukan perluasan kekuasaan Kerajaan Mesir Baru ke daerah Asia Barat.
Thutmosis III (1500-1447 SM)
Pada masa Kerajaan Mesir di bawah pimpinan Firaun Thutmosis II, maka sikap ekspansif dan agresif sangat melekat pada diri Thutmosis III. Kerajaan Mesir mulai melakukan penyerangan terhadap negara-negara tetangganya seperti Kerajaan Babilonia, Asyyria, Cicilia, Cyprus, dan lain-lain.
Amenhotep II (1447-1430 SM)
Pada masa pemerintahan Amenhotep II stabilitas politik dan ekonomi sangat baik bagi Kerajaan Mesir. Kehidupan penduduknya pun relatif aman meskipun pada masa pemerintahan Amenhotep II. Kerajaan Mesir tidak begitu agresif seperti pendahulunya, Thutmosis III. Meskipun begitu Amenhotep II tetap dapat mempertahankan wilayah kekuasaan Kerajaan Mesir yang telah memiliki wilayah yang luas.
Thutmosis IV
Sebagaimana masa pemerintahan Amenhotep II, Thutmosis IV pun berupaya untuk menjaga stabilitas yang ada pada Kerajaan Mesir. Beberapa upaya yang dilakukan oleh Thutmosis IV untuk mempertahankan kekuasaan Mesir dengan melakukan beberapa tindakan politik yaitu:
a. menjalin persahabatan dengan raja Babilonia;
b. menjalin hubungan dengan Firaun Mitanni;
c. melakukan perkawinan politik antara Thutmosis IV dengan Putri Firaun Artatama.
Amenhotep IV
Pada masa Amenhotep IV, di Kerajaan Mesir, telah terjadi revolusi di bidang kepercayaan dan keyakinan, hal ini disebabkan oleh Amenhotep IV menentang ajaran Politheisme untuk menyembah Amon, dan dia mengajarkan ajaran monotheisme. Kebijakan yang dilakukan oleh Amenhotep IV tersebut telah menyebabkan terjadinya pertentangan antara golongan pendeta dengan pihak kerajaan. Untuk menghindari konflik itu, maka ibu kota kerajaan dipindahkan dari Thebe ke El-Amarna.
Tutankhamun
Pada masa pemerintahan Tutankhamun, golongan pendeta sangat berkuasa, dan kekuasaan pharaoh pun dirongrong oleh para pendeta Amon di Thebe. Krisis kepemimpinan dan politik tersebut mengakibatkan Kerajaan Mesir mulai mengalami kemunduran dan perpecahan kembali. Sehingga Kerajaan Mesir terpecah menjadi kerjaan-kerajaan kecil yang saling berperang.
Ramses I
Pada masa pemerintahan Ramses I, Kerajaan Mesir mulai melakukan ekspansi kembali ke daerah Palestina, dan berhasil menguasai seluruh daerah Palestina serta mengalahkan bangsa Hittit di Asia Barat. Hal ini dilakukan oleh Ramses I yang bertujuan untuk mengembalikan kejayaan bangsa Mesir.
Ramses II
Pada masa pemerintahan Ramses II, bangsa Yahudi yang bermigrasi ke Mesir mendapat perlakuan yang kejam. Dia menindas dan memperlakukan bangsa Yahudi sebagai budak. Mereka dipaksa untuk membangun gedung-gedung serta piramida yang megah. Firaun ini mendirikan sebuah kuil yang diberi nama Ramsessum. Makam firaun ini terletak di Abu simbel. Masa pemerintahan Ramses II diperkirakan sezaman dengan kehidupan Nabi Musa.
Ramses III
Pada masa pemerintahan Ramses III, Kerajaan Mesir mengalami kemunduran dan dapat dikuasai oleh bangsa-bangsa Asing seperti Libya, Abyssinia, dan Assyria. Kerajaan Mesir ditaklukkan oleh Kerajaan Assyria pada tahun 670 SM dan pada tahun 525 SM Kerajaan Mesir menjadi bagian dari Imperium Persia. Setelah Persia, Mesir dikuasai oleh Iskandar Zulkarnaen dan para penggantinya dari Yunani dengan dinasti terakhir Ptolemeus. Salah satu keturunan Dinasti Ptolemeus ialah Ratu Cleopatra dan sejak tahun 27 SM Mesir menjadi wilayah Kekaisaran Romawi. Di bawah ini adalah bangsa-bangsa yang pernah melakukan ekspansi ke daerah Mesir Kuno antara lain:
- bangsa Nubia (selatan Mesir);
- bangsa Eropa, yang menguasai Mesir dari 1750 SM – 1580 SM;
- bangsa Assyria, pada tahun 670 SM berhasil merebut kota Memphis dan Thebe;
- bangsa Persia, yang merebut Mesir (525 SM – 404 SM);
- Alexander Agung dari Macedonia, yang menguasai Mesir pada tahun 332 – 323 SM;
- bangsa Romawi, yang menguasai Mesir dari mulai Ptolemeus sampai Cleopatra (44 – 30 SM).
Peninggalan Peradaban Mesir Kuno
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi
Bangsa Mesir Kuno terkenal memiliki teknologi dan kebudayaan yang tinggi. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui berbagai bangunan monumental yang terdapat di Mesir. Selain itu, bangsa Mesir juga terkenal dengan berbagai penemuannya sebagai berikut;
- Kemampuan untuk membuat alat-alat rumah tangga, senjata, dan peralatan hidup lainnya dari tanah liat dan logam.
- Sistem penanggalan kalender yang sudah berdasarkan perhitungan perputaran bumi mengitari matahari. Sistem kalender yang seperti itu membagi 1 tahun menjadi 12 bulan dan satu bulan terdiri atas 30 hari.
- Bangsa Mesir Kuno juga telah mengamati peredaran bulan selama 29 1/2 hari. Karena dianggap kurang tetap, kemudian mereka menetapkan kalender berdasarkan kemunculan bintang anjing (Sirius) yang muncul setiap tahun. Mereka menghitung satu tahun adalah 12 bulan, satu bulan 30 hari, dan lamanya setahun adalah 365 hari, yaitu 12×30 hari lalu ditambahkan 5 hari. Mereka juga mengenal tahun kabisat. Penghitungan ini sama dengan kalender yang sebagian besar digunakan sekarang yang disebut Tahun Syamsiah (sistem solar).
- Kemampuan membuat perhiasan dari logam mulia dan gading
- Masyarakat Mesir mengenal bentuk tulisan yang disebut hieroglyph berbentuk gambar. Tulisan Hieroglyph ditemukan di dinding piramida, tugu obelisk, maupun daun papirus. Huruf Hieroglyph terdiri atas gambar dan lambang berbentuk manusia, hewan, dan benda-benda. Setiap lambang memiliki makna. Tulisan Hieroglyph berkembang menjadi lebih sederhana kemudian dikenal dengan tulisan hieratik dan demotis. Tulisan hieratik atau tulisan suci dipergunakan oleh para pendeta. Demotis adalah tulisan rakyat yang dipergunakan untuk urusan keduniawian misalnya jual beli.
Seni Arsitektur
Piramida
Piramida adalah tempat yang digunakan untuk makam raja-raja Mesir yang terbuat dari batu yang disusun secara rapi dan menggunakan model punden berundak-undak. Di Kota Gizeh terdapat piramida yang berukuran tinggi 137 meter.
Sphinx
Sphinx adalah patung manusia berkepala singa. Sphinx biasanya selalu ada di dekat dengan piramida. Sebab, Sphinx diyakini sebagai penjaga dari piramida tersebut.
Obelisk
Obelisk adalah tiang batu yang ujungnya runcing sebagai lambang pemujaan kepada roh. Obelisk juga dipakai sebagai tempat mencatat kejadian-kejadian.
Kuil
Untuk pemujaan terhadap dewa Amon-Ra, dibangunlah Kuil Karnak yang sangat indah pada masa Raja Thutmosis III.
Sistem Kepercayaan Peradaban Mesir Kuno
Tidak ada catatan pasti mengenai kapan agama mulai menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Mesir Kuno. Akan tetapi, bangsa Mesir Kuno dapat dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang hidup di zaman neolitikum. Bangsa-bangsa pada masa itu menyadari adanya kekuatan di luar kemampuan fisik mereka yang tidak bisa mereka kendalikan, seperti mengatur musim kemarau atau hujan, menahan terjangan angin, atau menentukan pasang dan surut air laut.
Kondisi ini turut memengaruhi kepercayaan masyarakat Mesir Kuno. Mereka memandang agama sebagai proyeksi kekuatan gaib yang memengaruhi kehidupan mereka, yang mana agama itu sendiri dipengaruhi oleh sungai dan kekuatan alam di sekitar mereka. Simbolisme kemudian muncul sebagai dampak dari proyeksi yang dilakukan oleh masyarakat Mesir Kuno terhadap apa yang mereka lihat. Misalnya, mereka memproyeksikan burung sebagai simbol kemampuan untuk terbang, singa sebagai lambang kekuatan, atau ular sebagai lambang kecerdasan dan sesuatu yang misterius.
Hal ini turut memengaruhi penggambaran dewa-dewa dalam kepercayaan politeisme bangsa Mesir Kuno. Para dewa digambarkan sesuai dengan simbolisme yang mereka representasikan, contohnya Sekhmet yang berwujud wanita berkepala singa, atau Sobek yang berwujud wanita berkepala buaya. Bangsa Mesir Kuno mengenal banyak dewa dan dewi. Dewa-dewi ini terbagi menjadi dua kategori: dewa-dewi yang bersifat nasional, yang berarti disembah oleh seluruh rakyat Mesir Kuno, dan dewa-dewi yang bersifat lokal, yang berarti hanya disembah oleh kelompok dan wilayah tertentu di Mesir Kuno.
Masyarakat Mesir Kuno menyembah beberapa dewa (politheisme) yaitu sebagai berikut;
- Dewa matahari yang disebut Amon (Mesir Selatan) dan Ra (Mesir Utara). Namun pada perkembangannya dewa matahari itu disebut Amon-Ra.
- Dewa peradilan di akhirat yaitu Dewa Osiris.
- Dewa Sungai Nil, yaitu Dewi Horus yang merupakan dewa kecantikan (Dewi Isis).
- Dewa Anubis, yaitu dewa kematian.
- Dewa Aris sebagai dewa kesuburan.
Kepercayaan bangsa Mesir Kuno turut memengaruhi cara pandang mereka terhadap penguasa mereka, yaitu Firaun. Firaun dianggap sebagai keturunan dari dewa tertinggi, yang menjadi alasan utama mengapa rakyat Mesir Kuno sangat memujanya. Sebagai bentuk penghormatan, mereka membangun piramida yang berfungsi sebagai makam bagi Firaun. Selain itu, bangsa Mesir Kuno percaya bahwa dengan mengawetkan jasad Firaun, roh mereka akan terus hidup dan berada di tengah-tengah masyarakat Mesir Kuno seperti sedia kala.
Masyarakat Mesir Kuno sudah mempercayai tentang kehidupan sesudah mati. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya mumi. Di balik mumi terkandung kepercayaan bangsa Mesir Kuno tentang kehidupan setelah mati. Masyarakat Mesir Kuno berkeyakinan bahwa selama jasadnya masih utuh, maka dia akan tetap hidup. Oleh karena itu, masyarakat berusaha untuk mengawetkan mayat agar dia tetap hidup abadi. Alasan masyarakat membuat mumi adalah bahwa manusia tidak dapat menghindar dari kehendak dewa maut. Tetapi tidak semua masyarakat Mesir mayatnya diawetkan, biasanya mereka yang yang diawetkan adalah para bangsawan dan raja.
Mayat-mayat yang diawetkan itu disimpan di dalam piramida. Wujud kepercayaan yang berkembang di Mesir didasarkan pada pemahaman sebagai berikut:
- Penyembahan terhadap dewa berangkat dari ide/gagasan bahwa manusia tidak berdaya dalam menaklukkan alam. Hal ini disebabkan oleh pengamatan manusia terhadap gejala-gejala dan perilaku yang ditunjukkan oleh alam di mana itu tidak akan mampu dilakukan oleh manusia.
- Dewa yang disembah adalah dewa/dewi yang menakutkan seperti Dewa Anubis atau yang memberi sumber kehidupan. Dengan taat menyembah pada dewa, masyarakat Lembah Sungai Nil mengharap jangan menjadi sasaran maut.
Kehidupan Masyarakat Peradaban Mesir Kuno
Peradaban Mesir Kuno tumbuh dan berkembang di sepanjang tepian Sungai Nil, yang memiliki panjang aliran sekitar 6.400 kilometer. Pada mulanya, wilayah Sungai Nil bukanlah lokasi ideal untuk menetap dan menjalani kehidupan. Setiap tahunnya, curah hujan tinggi di pegunungan sebelah selatan Mesir Kuno menyebabkan aliran air deras dari hulu ke hilir Sungai Nil, mengakibatkan daerah aliran sungai di sekitarnya sering dilanda banjir.
Aktivitas Pertanian
Sungai Nil terbentuk dari pertemuan dua sungai besar; yang pertama bermata air di Ethiopia, dan yang kedua berasal dari aliran di Uganda. Kedua sungai ini bertemu di Khartoum, membentuk Sungai Nil yang sebenarnya. Walaupun Herodotus menyatakan bahwa Sungai Nil adalah anugerah bagi bangsa Mesir Kuno, ia juga mencatat, "Jika Nil merendam tanah tersebut, seluruh Mesir Kuno menjadi lautan." Banjir yang dahsyat ini menyebabkan wilayah tersebut menjadi tidak layak huni.
Pada masa ketika Mesir Kuno belum memungkinkan untuk dihuni, kehidupan sudah ada di sepanjang pesisir Laut Merah. Orang-orang inilah yang kemudian menjadi pemukim pertama di Mesir Kuno. Mereka lalu bermigrasi ke Sahara, yang saat itu memiliki iklim lembab. Kondisi iklim ini memungkinkan Sahara ditumbuhi rumput, tumbuh-tumbuhan lain, dan memiliki sumber air. Sekitar tahun 5000-4000 SM, terjadi perubahan pola iklim yang menyebabkan daratan Mesopotamia menjadi kering, yang juga berdampak pada wilayah Sahara.
Akibat perubahan iklim, penduduk dari Sahara kemudian bermigrasi ke timur, menuju lembah Sungai Nil yang subur. Para pengungsi ini kemudian mendirikan pemukiman pertama di lembah Sungai Nil dan menjadi penduduk awal wilayah tersebut. Guna mengatasi banjir tahunan yang melanda daerah sekitar Sungai Nil, mereka membangun penampungan air untuk mengurangi dampak banjir. Penampungan ini juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan air yang akan digunakan untuk mengairi ladang pertanian, memenuhi kebutuhan air minum manusia dan hewan ternak selama musim kemarau, mengingat musim hujan tidak berlangsung sepanjang tahun.
Pada saat musim hujan tiba dan menyebabkan banjir di area pemukiman, masyarakat Mesir Kuno biasanya menebang pohon palem untuk dijadikan perahu. Perahu-perahu ini kemudian digunakan oleh mereka untuk beraktivitas dan bepergian di antara rumah-rumah yang tergenang air.
Lembah Sungai Nil yang subur mendorong masyarakat untuk bertani. Air Sungai Nil dimanfaatkan untuk irigasi dengan membangun saluran air, terusan-terusan, dan waduk. Air sungai dialirkan ke ladang-ladang milik penduduk dengan distribusi yang merata. Untuk keperluan irigasi, dibuatlah organisasi pengairan yang biasanya diketuai oleh para tuan tanah atau golongan feodal. Hasil pertanian Mesir yaitu gandum, sekoi atau jamawut, dan jelai yaitu padi-padian yang biji atau buahnya keras seperti jagung.
Masyarakat Mesir Kuno terdiri dari tiga ras utama: Mediteran, Negroid, dan Cromagnoid. Mereka mendirikan permukiman di sepanjang kedua sisi Sungai Nil, dari hulu hingga hilir. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka bercocok tanam biji-bijian, gandum, dan anggur setelah banjir surut, memanfaatkan tanah subur di tepi sungai.
Selain bercocok tanam, berburu juga merupakan bagian penting dari kehidupan mereka. Berbagai jenis ikan dan burung menjadi target buruan. Awalnya, mereka berburu sapi liar dan kambing, tetapi kemudian mulai beternak hewan-hewan tersebut. Sungai Nil menyediakan hampir semua kebutuhan pokok mereka, termasuk hewan buruan, ikan, emas, tembaga, rami, dan papirus.
Walaupun kebutuhan dasar mereka sudah terpenuhi, bangsa Mesir Kuno juga aktif berdagang untuk memperoleh barang-barang tersier yang mereka butuhkan. Mereka melakukan perdagangan ke arah barat untuk mendapatkan gading, ke timur untuk mencari kerang, dan ke barat untuk memperoleh batuan berharga yang digunakan sebagai perhiasan.
Struktur Sosial Masyarakat Mesir Kuno
Kehidupan sosial masyarakat Mesir Kuno dikenal sangat teratur dengan adanya pembagian tugas yang jelas. Pembagian tugas ini kemudian membentuk tingkatan sosial atau strata dalam masyarakat Mesir Kuno.
Masyarakat Peradaban Mesir Kuno terdiri atas beberapa lapisan masyarakat. Lapisan pertama terdiri atas para bangsawan, raja, dan pendeta mempunyai hak-hak istimewa. Golongan kedua yaitu masyarakat kelas menengah yang umumnya terdiri atas pedagang kaya dan pemilik tanah, dan lapisan ketiga terdiri atas rakyat biasa, yaitu para petani dan buruh serta budak. Dengan demikian, sebutan Mesir merupakan berkah Sungai Nil tidak sepenuhnya dapat dinikmati oleh rakyat Mesir, karena rakyat kecil kekayaannya banyak habis untuk membayar pajak.
Stratifikasi sosial di Mesir Kuno didasarkan pada jenis pekerjaan. Meskipun sebagian besar masyarakat Mesir Kuno berprofesi sebagai petani, pekerjaan ini tidak menempati tingkatan tertinggi. Seniman dan pengrajin patung memiliki status yang lebih tinggi daripada petani. Di atas keduanya, juru tulis merupakan kelas tertinggi dalam masyarakat Mesir Kuno. Mereka termasuk dalam kelas yang disebut "kulit putih," yang ditandai dengan penggunaan linen berwarna putih sebagai simbol status mereka.
Daftar Bacaan
- Allen, James P. 2000. Middle Egyptian: An Introduction to the Language and Culture of Hieroglyphs. Cambridge: Cambridge University Press.
- Bauer, Susan Wise. 2010. Sejarah Dunia Kuno: Dari Cerita-Cerita Tertua sampai Jatuhnya Roma. Terj. Aloysius Prasetya. Jakarta: Elex Media Komputindo
- Bonnet, Charles. 2006. The Nubian Pharaohs. New York: The American University in Cairo Press.
- Casson, Lionel. 1972. Mesir Kuno: Abad Besar Manusia. Terj. Murad. Jakarta: Tira Pustaka
- Cerny, J. 1975. “Egypt from the Death of Ramesses III to the End of the Twenty-First Dynasty”. In I.E.S. Edwards (ed.). The Cambridge Ancient History: Volume II, Part 2. History of the Middle East and the Aegean Region, c. 1380–1000 B.C (third ed.). Cambridge: Cambridge University Press
- Clayton, Peter A. 1994. Chronicle of the Pharaohs. London: Thames and Hudson.
- Emberling, Geoff. 2011. Nubia: Ancient Kingdoms of Africa. New York: Institute for the Study of the Ancient World.
- Daldjoeni, N. 1995. Geografi Kesejarahan I Peradaban Dunia. Bandung: Penerbit Alumni
- Ehret, Christopher. 20 June 2023. Ancient Africa: A Global History, to 300 CE. Princeton: Princeton University Press.
- Gombrich, Ernst. H. 2015. Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda. Tangerang Selatan: Marjin Kiri
- Holland, Julian. 2009. Ensiklopedia Sejarah dan Budaya: Sejarah Dunia Jilid I. Terj. Nino Oktorino. Jakarta: Lentera Abadi
- Toynbee, Arnold. 2007. Sejarah Umat Manusia. Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar