Peran Sungai Brantas Pada Masa Kerajaan Majapahit
Bagaimana peran Sungai Brantas pada masa Kerajaan Majapahit?. Kerajaan Majapahit, yang berdiri pada akhir abad ke-13, merupakan kerajaan terbesar di Pulau Jawa dan dianggap salah satu yang tersukses di dalam sejarah Nusantara. Masa kejayaan Kerajaan Majapahit diraih di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389), yang didampingi oleh Rakryan Mapatih Amangkubumi Gajah Mada. Pada masa itu, perekonomian Kerajaan Majapahit mengalami kemajuan pesat, yang juga didukung oleh perkembangan di bidang sosial, budaya, dan politik.
Menurut Kakawin Negarakretagama pupuh XIII-XV, wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit mencakup Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik, dan sebagian Kepulauan Filipina. Keberhasilan Kerajaan Majapahit dalam mendominasi di kawasan Asia Tenggara tidak hanya di dasari pada keunggulannya di bidang agraria, tetapi juga sangat kuat di bidang maritim. Mereka menjaga kedaulatan wilayahnya dengan armada laut yang tangguh dan menguasai jalur perdagangan. Salah satu upaya untuk memperkuat perdagangan terutama perdagangan domestik adalah dengan memanfaatkan aliran sungai, termasuk Sungai Brantas yang menjadi salah satu akses perdagangan terbesar pada masa itu.
![]() |
Ilustrasi aktivitas perdagangan di Sungai Brantas Pada era Kerajaan Majapahit |
Menurut berbagai bukti arkeologis, Sungai Brantas telah menjadi jalur transportasi penting dari abad ke-11 hingga abad ke-20. Sebagai contoh, Prasasti Kamalagyan yang bertarikh 1037 Masehi menyebutkan bahwa Sungai Brantas, yang dikenal dengan nama bengawan, sering kali meluap dan menyebabkan banjir besar. Lebih lanjut, piagam batu yang berlokasi di Dusun Klagen, Desa Tropodo, Sidoarjo itu juga mengindikasikan bahwa pedagang dari tempat yang jauh datang ke Pulau Jawa melalui Sungai Brantas.
Kerajaan Majapahit memiliki letak yang sangat strategis karena berada di antara dua sungai besar, yaitu Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo. Ibukota Majapahit terletak di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Pemilihan Trowulan sebagai ibukota, meskipun lokasinya terpencil, bertujuan untuk mengantisipasi ancaman keamanan dari kerajaan lain. Catatan dari pelaut Cina menyebutkan bahwa untuk mencapai Trowulan, mereka harus melewati Surabaya terlebih dahulu.
Sungai memiliki peran yang sangat penting pada masa Kerajaan Majapahit. Sebagai negara yang bercorak agraris dan maritim, Kerajaan Majapahit sangat bergantung pada sungai, baik untuk irigasi maupun sebagai sarana transportasi. Catatan Ma Huan pada tahun 1433 menyebutkan bahwa di pelabuhan-pelabuhan utama di pantai utara Jawa, banyak pedagang Islam dan Cina yang sukses dan menduduki posisi terhormat. Beberapa dari pedagang ini bahkan memegang jabatan penting di pelabuhan Tuban, Gresik, dan Surabaya.
Kerajaan Majapahit sangat piawai dalam memanfaatkan sungai. Ini terlihat dari aktivitas masyarakatnya yang meliputi pertanian, perikanan, dan perdagangan. Kegiatan produksi barang dan jasa ini sangat bergantung pada peran anak-anak sungai yang merupakan bagian dari daerah aliran Sungai Brantas. Keberadaan aliran-aliran anak sungai Brantas ini memfasilitasi distribusi barang secara efisien melalui perahu atau rakit.
Sungai Brantas, yang merupakan sungai terpanjang kedua di Jawa setelah Bengawan Solo, memiliki mata air di Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Sumber airnya berasal dariGunung Arjuno, kemudian mengalir melalui Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, dan Mojokerto. Di Kabupaten Mojokerto, sungai ini terbagi menjadi dua cabang, yaitu Kali Mas yang mengarah ke Surabaya dan Kali Porong yang mengarah ke Porong, Sidoarjo.
Dari sudut pandang geografis, wilayah Sungai Brantas sangat ideal untuk mengembangkan sistem pertanian sawah dengan irigasi yang teratur. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika daerah ini menjadi salah satu pusat kekuasaan di Jawa Timur dari segi politik. Bukti dari hal ini adalah ditemukannya Prasasti Harinjing di Pare, yang terdiri dari tiga bagian prasasti. Bagian tertua diperkirakan berasal dari tahun 726-804 M, sementara bagian termuda dari tahun 849-927 M. Prasasti ini menyebutkan pembangunan sistem irigasi, termasuk saluran bending atau tanggul yang disebut dawuhan, pada anak sungai Kali Konto, yaitu Kali Harinjing.
Dari sudut pandang geologi, dataran rendah di lembah Sungai Brantas, yang membentang dari Blitar hingga Mojokerto, dahulunya adalah sebuah teluk lautan. Seiring waktu, teluk ini terisi oleh endapan vulkanik dari gunung berapi di sekitarnya, terutama Gunung Kelud. Karakteristik tanah di sekitar Sungai Brantas ini sangat terkait dengan aktivitas vulkanik tersebut, yang memberikan dampak signifikan pada sektor pertanian.
Sungai Brantas, sebagai salah satu sungai terpanjang, memainkan peran penting dalam sektor pertanian Kerajaan Majapahit. Hal ini sejalan dengan munculnya pemukiman penduduk di sekitar daerah aliran sungai tersebut, karena daerah sepanjang alirannya subur dan cocok untuk kegiatan perniagaan. Selain itu, keberadaan Sungai Brantas memberikan keuntungan sebagai akses penghubung yang lebih cepat dan aman antara daerah pedalaman dan pesisir. Mengingat ibu kota Kerajaan Majapahit terletak di pedalaman, kerajaan ini berhasil memadukan keunggulan agraris dan memperluas kekuatan maritimnya dengan memanfaatkan Sungai Brantas sebagai penghubung ke laut lepas.
Daftar Bacaan
- Nugroho Notosusanto. Marwati Djoened Poesponegoro. 2010. Sejarah Nasional Indonesia I:Zaman Prasejarah Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
- Nugroho Notosusanto. Marwati Djoened Poesponegoro. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II:Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka
- Djoko Dwijanto. 1993. “Perpajakan pada Masa Majapahit” dalam Sartono Kartodirdjo, dkk. 700 Tahun Majapahit (1293-1993) Suatu Bunga Rampai. (edisi II). Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Tingkat I Jawa Timur.
- Darsiti Soeratman. 2000. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939.Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia
- Agus Aris Munandar. 2008. Ibu Kota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaiannya. Depok: Komunitas Bambu
- Muhammad Yamin. 1962. Tatanegara Majapahit Parwa II. Jakarta: Yayasan Prapantja
- Supratikno Rahardjo. 2011. Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir. Jakarta: Komunitas Bambu
- Titi Surti Nastiti. 1991. “Perdagangan Pada Masa Majapahit” dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi II. Jakarta: Depdikbud.