Invasi Barbar
"Invasi barbar" memainkan peran krusial dalam sejarah Eropa, bahkan bisa dibilang menjadi titik awalnya. Hampir semua sejarah negara di Eropa memiliki akar dari kelompok barbar yang pernah menyerbu atau bermigrasi ke wilayah tersebut. Contohnya adalah Anglo-Saxon di Inggris, Goth dan Lombard di Italia, Frank dan Burgundia di Prancis, Visigoth di Spanyol, serta Scots di Skotlandia.
Para tokoh yang dianggap sebagai pendiri sejarah nasional di banyak negara barat adalah penulis dari abad pertengahan awal. Mereka dianggap telah menyajikan sejarah 'nasional' atau 'etnis' dari bangsa-bangsa yang bermigrasi ini. Misalnya, Bede di Inggris menulis Ecclesiastical History of the English People pada tahun 730-an, Paul the Deacon di Italia menulis History of the Lombards pada tahun 780-an, dan Isidore dari Seville menulis History of the Goths, Sueves and Vandals di Spanyol pada awal abad ketujuh. Gregory dari Tours, yang menulis Ten Books of Histories pada akhir abad keenam, dianggap telah menulis History of the Franks. Meskipun sebenarnya, sebutan itu diberikan kepada ringkasan enam buku anonim yang berasal dari abad ketujuh dari karya Gregory yang hanya mencakup materi tentang Frank, namun hal ini membuatnya dikenal sebagai 'Bapak Sejarah Prancis'.
Kesadaran nasional di dunia Barat dapat ditelusuri kembali ke gagasan tentang invasi atau migrasi bangsa barbar, meskipun gagasan ini seringkali membingungkan. Bangsa barbar dianggap telah menghancurkan dunia 'klasik' kuno, yaitu dunia Romawi, dan memulai Abad Kegelapan. Namun, pandangan ini tidak selalu dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Sejarawan Jerman dan Inggris, misalnya, cenderung menggambarkan bangsa barbar sebagai pihak yang membersihkan peradaban Mediterania yang dianggap telah lemah, dan mengalami kemerosotan, lalu menggantinya dengan peradaban Nordik yang lebih kuat dan tangguh.
Bahkan penulis yang tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan ekstrem ini sering kali menggambarkan Kekaisaran Romawi sebagai kekuatan politik yang telah lemah dan sedang mengalami kemunduran. Di sisi lain, sejarawan Prancis dan Italia cenderung melihat bangsa barbar sebagai 'pihak yang jahat', yang menghancurkan peradaban yang hidup dan membawa Abad Kegelapan yang barbar. Para sejarawan ini menggunakan istilah yang merendahkan (les invasions barbares) untuk menyebut invasi barbar. Sementara itu, sejarawan Jerman dan Inggris lebih memilih istilah 'migrasi' atau pengembaraan bangsa-bangsa (Volkerwanderungen).
Secara khusus, bangsa barbar Jerman—yang mencakup sebagian besar kelompok yang bermigrasi dan sering dianggap bersatu karena memiliki etos atau kebangsaan proto-Jerman—bermigrasi melalui rute yang berliku-liku dan kompleks. Rute ini sering digambarkan dalam atlas sejarah sebagai kumpulan panah berwarna yang rumit, menuju tujuan akhir mereka, seolah-olah perjalanan yang mereka lakukan ini memang sudah ditakdirkan.
Sampai saat ini, para sejarawan sepakat pada dua hal: bahwa bangsa barbar, terlepas dari penilaian positif atau negatif, adalah pihak yang mengakhiri Kekaisaran Romawi; dan bahwa bangsa barbar ini sebagian besar berasal dari suku-suku 'Germanik'. Kejatuhan Kekaisaran Romawi, dari sudut pandang manapun, disebabkan oleh invasi atau migrasi bangsa barbar.
Hal ini memunculkan pandangan 'Germanis' pada abad ke-19, yang berpendapat bahwa semua hal baru dan berbeda pada abad kelima, keenam, ketujuh, dan seterusnya, harus dikaitkan dengan pengaruh 'Germanik'. Akibatnya, karya-karya penulis Romawi seperti Gregory dari Tours, Cassiodorus, dan Venantius Fortunatus diterbitkan dalam seri 'Monumen Bersejarah Jerman', Monumenta Germaniae Historica.
Pandangan Germanis juga menyebabkan kode hukum pasca-Romawi disebut sebagai hukum Germanik. Dalam bidang arkeologi, jenis permukiman pedesaan baru yang menggantikan desa-desa Romawi kuno disebut 'Germanik', dan bentuk pemakaman baru, seperti penguburan dengan perlengkapan (barang-barang kuburan), juga dianggap sebagai pengaruh Germanik.
Perubahan dalam kehidupan perkotaan, seperti penyusutan atau ditinggalkannya kota-kota Romawi, serta berakhirnya urbanisme klasik, dikaitkan dengan bangsa Jerman dan kecenderungan primitif, destruktif, atau kebiadaban mereka. Alternatifnya, hal ini juga dikaitkan dengan kepatuhan mulia mereka pada cara hidup pedesaan yang lebih murni. Bangsa Germanik dipandang seolah membanjiri atau menenggelamkan provinsi-provinsi melalui migrasi seluruh suku atau bangsa.
Pandangan yang berfokus pada pengaruh 'Germanis' ditentang oleh pandangan 'Romanis' atau 'kontinuitas'. Pandangan ini berpendapat bahwa bangsa barbar Germanik tidak menciptakan banyak hal baru. Dalam pandangan ini, migrasi lebih dilihat sebagai pergerakan kelompok elit prajurit kecil (bahkan ada versi ekstrem yang hampir menyangkal adanya pergerakan orang sama sekali). Oleh karena itu, migrasi tersebut dianggap tidak mungkin membawa perubahan besar.
Menurut pandangan Romanis, administrasi wilayah bekas provinsi pada dasarnya masih mengikuti sistem Kekaisaran Romawi. Wilayah-wilayah ini dijalankan oleh penduduk provinsi Romawi untuk penguasa barbar mereka yang baru. Kerajaan-kerajaan barbar sebagian besar meniru ide-ide kekaisaran Romawi Kristen. Pola permukiman juga berlanjut, meskipun bentuknya mungkin berubah. Kota-kota hanya melanjutkan proses perubahan yang sudah dimulai sejak abad ketiga, dan seterusnya. Argumen Romanis ini bahkan digunakan di Inggris, meskipun ada keyakinan kuat bahwa situasi di yang terjadi di Kepulauan sangat berbeda dari yang terjadi di benua Eropa.
Pertama-tama, kita harus bertanya apa itu orang barbar?. Bangsa Romawi memiliki jawaban yang cukup jelas: pertama-tama, yang dimaksud dengan orang barbar adalah orang yang tinggal di luar perbatasan Kekaisaran. Ada berbagai jenis orang barbar, berdasarkan tradisi etnografi dan pandangan geografis Romawi. Di utara, di mata orang Romawi, ada bangsa Celtic dan Germanik yang heroik tetapi biadab, yang tinggal di komunitas pedesaan dan tidak tahu kehidupan perkotaan; di selatan ada orang Afrika atau Etiopia yang licik dan gesit; di timur laut ada 'Sychtians', orang-orang nomaden yang, seperti yang dilihat orang Romawi, hidup di atas kuda; di timur ada orang Persia, kejam dan lalim, tetapi bagaimanapun juga mereka eksis sebagai sebuah peradaban (Ammianus Marcellinus, sejarawan hebat abad keempat, bahkan tidak pernah menyebut Persia Sasanid sebagai orang barbar sama sekali); dan akhirnya adalah orang Arab, yang liar dan bejat.
Pandangan dunia pada masa itu diperkuat oleh semacam geo-biologi. Di wilayah utara yang beku, yang menurut bangsa Romawi jauh dari matahari, darah manusia menjadi lebih kental. Akibatnya, darah tertarik ke bawah melalui tubuh, membuat orang Germanik menjadi kuat dan berani, meskipun kurang memiliki pemahaman tentang taktik atau strategi. Sementara itu, di Afrika yang lebih dekat ke matahari, darah menjadi lebih encer dan tertarik ke kepala, sehingga orang Afrika dianggap pengecut namun cerdas dan berbahaya.
Tentu saja, di zona beriklim sedang—tempat bangsa Romawi berada—semuanya dianggap ideal, baik secara sosial maupun politik. Namun, tidak semua orang Romawi dianggap sama. Etnografi Romawi juga mencakup pandangan stereotip tentang berbagai wilayah di Kekaisaran. Misalnya, orang Gaul dianggap lebih berani daripada orang Italia karena mereka tinggal lebih jauh ke utara dan merupakan keturunan bangsa Celtic. Hal ini penting untuk dibahas lebih lanjut karena menimbulkan pertanyaan tentang apa sebenarnya identitas orang Romawi. Stereotip etnografi tidak hanya membedakan antara orang Romawi di dalam Kekaisaran dan orang barbar di luar.
Pandangan dunia bangsa Romawi, yang menempatkan diri mereka sebagai pusat peradaban dan dikelilingi oleh bangsa barbar dengan ciri-ciri stereotipikal, memberi mereka sumber ide yang kaya dan mudah digunakan untuk tujuan retorika. Hal ini sangat penting. Sering kali dilupakan bahwa ketika penulis Romawi berbicara tentang bangsa barbar, mereka sebenarnya tidak sedang berdialog dengan bangsa barbar itu sendiri. Ini bukanlah perbandingan langsung seperti "kami begini, tetapi kalian begitu," dan juga bukan laporan etnografi yang netral. Gagasan bangsa Romawi tentang bangsa barbar pada dasarnya adalah alat retoris yang digunakan untuk mempengaruhi sesama bangsa Romawi.
Bangsa barbar, karena mereka bukan bangsa Romawi, dapat digunakan sebagai "pihak lain" dalam berbagai konteks untuk menyampaikan pesan apa pun. Seorang jenderal Romawi dapat dipuji atas kemenangannya melawan bangsa barbar dengan menyoroti keberanian dan keganasan mereka yang liar, serta jumlah mereka yang sangat besar—terlepas dari, atau mungkin karena, fakta bahwa pasukan barbar jarang sekali lebih banyak daripada pasukan Romawi.
Sebaliknya, bangsa Romawi juga dapat dikritik dengan menggunakan sosok bangsa barbar. Karya terkenal Tacitus, Germania, yang ditulis pada abad pertama, sebenarnya adalah kritik panjang terhadap masyarakat Romawi. Kadang-kadang, Tacitus menyampaikan maksudnya dengan memuji pandangan "orang liar yang mulia" tentang orang Jerman, yang dalam beberapa hal merupakan penyesalan atas apa yang telah hilang (menurut Tacitus) dalam proses mencapai peradaban. Namun, di lain waktu, Tacitus menggambarkan orang Jerman dan perilaku mereka sebagai contoh tipikal bangsa barbar, memperingatkan bangsa Romawi untuk memperbaiki diri agar tidak meniru sifat-sifat tersebut atau kehilangan superioritas mereka atas bangsa barbar. Meskipun demikian, beberapa sejarawan dan arkeolog masih terus menganggap karya Tacitus sebagai sumber fakta tentang masyarakat "Jermanik".
Gambaran positif tentang bangsa barbar terus digunakan oleh para penulis Romawi pada masa akhir. Salvian, seorang imam di Marseilles pada tahun 440-an, bahkan mengecam masyarakat Romawi karena dianggap kurang adil, kurang jujur, dan lebih berdosa dibandingkan masyarakat barbar. Salvian bertanya, betapa buruknya keadaan saat itu, sampai-sampai orang-orang lebih memilih melarikan diri ke bangsa barbar karena merasa lebih bebas di bawah pemerintahan mereka daripada di bawah pemerintahan Romawi.
Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Orosius dalam Seven Books of History against the Pagans. Bahkan, St. Augustine dalam The City of God menyatakan bahwa bangsa barbar yang menjarah Roma pada tahun 410 lebih penyayang dan tidak sekejam orang Romawi terhadap musuh-musuh mereka yang telah dikalahkan.
Etnografi klasik menyediakan berbagai contoh yang bisa digunakan untuk menggambarkan berbagai hal. Seseorang bisa membahas kelebihan dan kekurangan kehidupan kota dibandingkan dengan kehidupan desa dengan merujuk pada stereotip orang Jerman yang 'bebas' dan tidak terikat pada kehidupan perkotaan. Kelebihan dan kekurangan sistem monarki bisa dibahas dengan merujuk pada orang Persia. Kelebihan dan kekurangan kehidupan pertanian menetap bisa dikaitkan dengan orang Sychtia. Moralitas seksual atau kehidupan keluarga bisa dibandingkan dengan orang Arab, dan seterusnya.
Oleh karena itu, istilah 'barbar' adalah kategori yang mengambang dan sulit didefinisikan, bahkan mungkin memang tidak pernah dimaksudkan untuk memiliki definisi yang pasti. Jadi, akan keliru jika kita mencoba mencari tahu 'pandangan tentang orang barbar' dari seorang penulis tertentu. Orang-orang barbar bisa digambarkan secara 'positif' dalam banyak hal, namun hal ini tidak mengubah fakta bahwa, sebagai orang Romawi, para penulis ini tetap memandang orang barbar dengan rasa takut tertentu, sebagai sesuatu hal yang sulit dikendalikan.
Poin ini semakin jelas jika kita mempertimbangkan penggunaan kata barbarus dalam sumber-sumber setelah masa Romawi, ketika orang-orang barbar justru memegang kendali atas Kekaisaran Barat.
Setelah kita mencoba untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan orang barbar, kini kita menuju pada pertanyaan, Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan 'orang Romawi'? Jika orang barbar hanya didefinisikan sebagai mereka yang bukan Romawi, dan jika penulis Romawi seperti Ammianus Marcellinus bisa memiliki pandangan stereotipikal terhadap penduduk provinsi kekaisaran tertentu, lalu apa yang membuat seseorang menjadi orang Romawi? Pertanyaan ini memang sulit dijawab. Pada periode akhir Romawi, tampaknya identitas Romawi tidak lagi sekadar soal kewarganegaraan atau tinggal di dalam wilayah kekaisaran.
Menjadi orang Romawi—yang oleh sejarawan disebut sebagai Romanitas, istilah yang jarang muncul dalam sumber-sumber kuno dan mungkin baru muncul pada abad ketiga M—lebih bergantung pada konsep civilitas. Ini adalah cara berperilaku tertentu, yang terutama menekankan pendidikan, kebebasan, dan hidup sesuai dengan hukum. Di mata orang Romawi, orang barbar dianggap tidak memiliki hukum, baik yang berasal dari penguasa maupun yang mereka terapkan sendiri. Dengan kata lain, mereka kurang memiliki pengendalian diri. Akibatnya, mereka dianggap tidak bebas: menjadi budak bagi penguasa mereka dan budak bagi nafsu mereka. Orang barbar, dalam pandangan ini, adalah mereka yang tidak patuh.
Karena identitas Romawi didefinisikan secara budaya, bukan berdasarkan bahasa atau etnis, kategori 'orang Romawi' bisa jadi fleksibel seperti kategori 'orang barbar'. Seorang barbar bisa saja berperilaku lebih seperti orang Romawi daripada orang Romawi itu sendiri, dan sebaliknya. Inilah mengapa Salvian mengeluhkan bahwa orang-orang merasa lebih baik hidup bebas di bawah kekuasaan orang barbar daripada menjadi budak di bawah orang Romawi. Perampas kekuasaan atau pemberontak Romawi sering kali digolongkan sebagai orang barbar; garis keturunan barbar mereka diungkit ketika mereka menentang pemerintahan pusat yang sah dari kaisar.
Selain aturan dan hukum, tindakan latrocinium (perampokan) juga dianggap sebagai musuh, dan perampokan ini secara halus dikaitkan dengan barbarisme dalam pandangan bangsa Romawi. Di dalam Kekaisaran Romawi, wilayah-wilayah yang sulit dikendalikan, seperti pegunungan Alpen, Pyrenees, pegunungan Atlas di Afrika Utara, atau Isauria di Asia Kecil, seringkali juga diasosiasikan dengan orang-orang barbar.
Akibatnya, seseorang bisa dianggap telah meninggalkan identitas Romawinya bukan hanya dengan meninggalkan Kekaisaran atau bergabung dengan orang barbar, tetapi juga karena dianggap menolak norma-norma tertentu. Secara teoritis, Kekaisaran Romawi bisa menjadi barbar tanpa perlu orang-orang barbar menaklukkan wilayahnya sedikit pun. Inilah yang tampaknya dipikirkan oleh Zosimus, seorang sejarawan Romawi Timur dari abad keenam.
Orang-orang di dalam Kekaisaran Romawi bisa bertingkah laku dengan cara yang dianggap barbar, sementara orang-orang dari luar Kekaisaran, dari wilayah yang disebut Barbaricum pada abad keempat, bisa bertingkah laku dengan cara yang mencerminkan perilaku orang Romawi sejati. Singkatnya, seseorang tidak harus menjadi orang barbar untuk bertindak barbar, meskipun menjadi orang barbar tentu saja bisa "membantu" untuk menegaskan identitas tersebut.
Kategori yang tidak jelas antara "Romawi" dan "barbar" membawa kita pada topik identitas etnis. Identitas Romawi sebagai sebuah identitas etnis bersifat fleksibel dan tidak didasarkan pada faktor-faktor bawaan yang dapat diukur secara objektif; melainkan, itu adalah sebuah keadaan pikiran. Seorang jenderal yang berasal dari kelompok "barbar" bisa dengan sengaja diterima ke dalam kelompok Romawi, bahkan dipuji sebagai seorang Romawi sejati. Sebaliknya, seorang Romawi bisa saja ditolak identitasnya sebagai orang Romawi.
Di dalam Kekaisaran, dalam kondisi tertentu, identitas daerah seperti Galia atau Pannonia bisa lebih menonjol daripada identitas Romawi secara umum, terutama dalam interaksi dengan "orang Romawi" dari daerah lain. Etnisitas itu berlapis-lapis, fleksibel, bersifat kognitif (berdasarkan keadaan pikiran), dan situasional (digunakan ketika menguntungkan). Semua poin ini sangat penting untuk memahami bagaimana provinsi-provinsi dan penduduk Kekaisaran Barat kemudian menjadi bagian dari kelompok Frank, Gothik, atau Anglo-Saxon.
Akhir Kekaisaran Romawi Barat
Antara tahun 235 dan 284, Kekaisaran Romawi mengalami berbagai kemunduran yang meliputi krisis politik, perang saudara, ancaman dari luar, serta gangguan sosial dan ekonomi. Rangkaian peristiwa ini secara kolektif dikenal sebagai 'krisis abad ketiga'. Meskipun krisis ini muncul pada waktu yang berbeda dan dengan tingkat keparahan yang berbeda di berbagai wilayah, bahkan ada wilayah yang tidak terdampak sama sekali.
Sifat Kerajaan Romawi 'akhir', yang muncul dari 'krisis' ini di bawah kepemimpinan kaisar reformis Diocletian dan Constantine. Namun, kita perlu meninjau kembali aspek-aspek tertentu untuk memahami sepenuhnya sifat migrasi yang terjadi.
Kita akan melihat bagaimana hubungan antara pemimpin lokal, masyarakat, dan pemerintah pusat membentuk jaringan kompleks yang melibatkan kelompok-kelompok perang Jermanik. Inilah konteks yang melatarbelakangi dominasi bangsa barbar Jermanik di wilayah Barat pada masa itu.
Pertama-tama kita harus mengetahui bahwa Kekaisaran Romawi adalah wilayah yang sangat luas, membentang dari Tembok Hadrian hingga Sahara, dan dari Samudra Atlantik hingga Sungai Efrat. Wilayah yang begitu besar ini juga sangat beragam secara geografis, meliputi gurun, daerah semi-gurun, pegunungan, rawa, hutan, dan lain-lain.
Geografi fisik membagi Eropa Barat menjadi banyak wilayah kecil. Hal ini disebabkan oleh zona pegunungan seperti Pegunungan Apennine yang membentang di Italia dan memisahkan wilayah barat dari timur, dataran tinggi seperti Massif Central di Prancis atau Meseta di Spanyol, serta sungai-sungai besar seperti Loire atau Rhone yang menjadi jalur komunikasi sekaligus pemisah.
Lantas, bagaimana mungkin sebuah negara pra-industri, tanpa transportasi atau komunikasi yang cepat dan dengan kemampuan terbatas untuk mengumpulkan informasi, dapat mengatur wilayah yang begitu luas dan beragam? Bagaimana kekaisaran yang begitu besar dapat bersatu, padahal kaisar hampir tidak mungkin mengetahui semua kejadian, dan masyarakat setempat dapat memanipulasinya untuk kepentingan mereka sendiri?.
Gibbon pernah berkata bahwa hal yang aneh dari Kekaisaran Romawi bukanlah kejatuhannya, melainkan keberhasilannya bertahan begitu lama. Bisa dikatakan, periode awal Romawi, bukan periode akhir, yang sebenarnya tidak biasa dan memerlukan penjelasan yang lebih mendalam.
Kekaisaran awal sangat bersatu dan dijalankan oleh birokrasi yang relatif kecil. Hal ini karena di dalam masyarakat setempat di seluruh wilayah barat, persaingan untuk mendapatkan otoritas lokal dilakukan dengan cara mengikuti budaya Romawi: berpartisipasi dalam pemerintahan lokal Romawi, bersaing dalam membangun fasilitas kota bergaya Romawi, menunjukkan status dengan membangun desa-desa Romawi, serta berusaha mencapai status kewarganegaraan Romawi.
Secara ekonomi, barang-barang mewah diproduksi di atau dekat pusat Kekaisaran dan didistribusikan ke provinsi-provinsi. Kekaisaran membentuk sistem ekonomi yang kurang lebih terpadu, setidaknya hingga pertengahan abad kedua. Jadi, Kekaisaran Romawi terikat oleh partisipasi aktif dan antusias dari banyak masyarakat setempat dalam kehidupan budaya, politik, dan ekonominya.
Setelah abad ketiga, terjadi perubahan besar. Dunia Romawi mengalami perpecahan ekonomi. Meskipun wilayah Mediterania masih terhubung sebagai satu sistem ekonomi, produksi barang-barang Romawi mulai bergeser ke berbagai provinsi, menciptakan ekonomi-ekonomi regional yang lebih kecil. Keadaan ini diperburuk oleh kesulitan ekonomi pada abad ketiga, yang menyebabkan seringnya penggunaan sistem barter dan pembayaran pajak dalam bentuk barang.
Setelah tahun 212, ketika Caracalla memberikan kewarganegaraan kepada semua orang, konsep "menjadi orang Romawi" pun kehilangan daya tariknya. Situasi di mana masyarakat lokal bersemangat untuk menjadi bagian dari Roma karena keuntungan politik dan sosial yang didapat sudah tidak ada lagi. Para sejarawan telah lama mencatat betapa mahalnya menjadi seorang curialis (anggota dewan kota) di akhir masa Romawi. Banyak keluhan dan ratapan dari orang-orang pada masa itu mencerminkan hal ini.
Namun, beban jabatan curialis mungkin tidak jauh lebih berat dari sebelumnya. Perbedaan utamanya adalah, dulunya orang bersedia membayar harga tersebut. Sekarang, keuntungan yang didapat tidak lagi sebanding dengan pengorbanan yang harus diberikan. Keanekaragaman geografis dan regional di wilayah Barat pun mulai muncul kembali.
Pada masa awal Romawi, monumen-monumen perkotaan didirikan oleh pemerintah kota atau tokoh-tokoh terkemuka setempat. Hal ini dilakukan sebagai bentuk persaingan untuk menunjukkan niat baik dan kemurahan hati kepada masyarakat, sehingga penggunaan dana pribadi pun juga digunakan untuk membangun fasilitas publik.
Namun, pada periode selanjutnya, pembangunan semacam itu mulai berkurang. Pembangunan yang ada cenderung berupa pemeliharaan daripada pembangunan baru, dan dilakukan bukan oleh pejabat lokal, melainkan oleh perwakilan dari birokrasi kekaisaran dengan menggunakan dana publik. Dana pribadi lebih banyak digunakan untuk pembangunan pribadi, seperti rumah-rumah kota dan vila-vila di pedesaan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, birokrasi Romawi pada masa itu sangat besar, dengan sekitar 25.000–35.000 orang yang bekerja dalam sistem jabatan yang kompleks. Setiap jabatan memiliki gelar kehormatan sosial dan hak istimewa tertentu, dan biasanya hanya dipegang dalam waktu singkat. Dengan hanya menunggu, setiap orang hampir pasti akan mendapatkan gilirannya.
Di beberapa wilayah Barat, seperti di Gaul utara dan dataran rendah Inggris, ketergantungan pada jabatan kekaisaran dan patronase mungkin menjadi faktor terpenting dalam membentuk masyarakat setempat. Di wilayah ini, tidak banyak bukti keberadaan latifundia besar atau perkebunan aristokrat yang biasanya digarap oleh para budak maupun pekerja sewaan.
Di wilayah lain, seperti Gaul selatan, Italia, dan Spanyol, perkebunan besar menciptakan kekayaan yang melimpah dan lapisan sosial penguasa yang kurang bergantung pada partisipasi dalam pemerintahan kekaisaran untuk mempertahankan posisi mereka dalam masyarakat. Orang-orang kaya ini tetap bersaing dengan sesamanya untuk memimpin kelompok mereka. Variasi lokal ini sangat penting untuk dipahami.
Gambaran tentang betapa sulitnya situasi Kekaisaran Romawi dapat diringkas dalam satu kisah. Afrika Utara Romawi pada abad keempat adalah wilayah yang makmur, sebuah fakta yang seringkali mengejutkan mahasiswa zaman sekarang. Di sinilah kisah Count Romanus terjadi. Kisah ini mungkin tidak sesederhana yang diceritakan oleh Ammianus Marcellinus, tetapi inti permasalahannya adalah sebagai berikut.
Pada tahun 363–364, penduduk Lepcis Magna, di Tripolitania, mengalami gangguan akibat serangan dari suku Austoriani, sebuah suku lokal. Serangan ini dipicu oleh insiden pembakaran salah seorang anggota suku tersebut hingga tewas, yang tampaknya terkait dengan perampokan. Warga Lepcis Magna meminta bantuan Romanus, Count of Africa, yang datang bersama pasukannya. Namun, Romanus meminta sejumlah besar perbekalan dan 4000 unta sebagai imbalan.
Penduduk setempat menolak permintaan ini, sehingga Romanus meninggalkan mereka dan wilayahnya menjadi sasaran suku Austoriani. Warga Tripolitania kemudian mengirim utusan kepada Kaisar Valentinian I untuk menyampaikan keluhan mereka. Akan tetapi, Romanus memiliki seorang kerabat di istana yang berusaha membelanya.
Pada akhirnya, kaisar mendengarkan keluhan para utusan dan pembelaan dari pendukung Romanus. Karena tidak mempercayai kedua belah pihak, Valentinian menjanjikan penyelidikan menyeluruh. Namun, penyelidikan ini tertunda, dan sementara itu, penduduk Afrika Utara kembali menjadi korban serangan serius yang diduga dibiarkan terjadi oleh Romanus. Valentinian sangat tidak senang ketika mendengar berita tentang serangan ini dan mengirim seorang bernama Palladius untuk melaporkan situasi tersebut dan membayar gaji tentara di Afrika.
Romanus kemudian meyakinkan para perwiranya untuk mempercayakan sebagian besar gaji mereka kepada Palladius. Namun, ketika dua warga kota setempat menunjukkan kepada Palladius kerusakan yang terjadi serta tingkat kelalaian yang dilakukan oleh Romanus, Romanus justru mengancam akan melaporkan Palladius kepada Valentinian atas tuduhan korupsi dan menggelapkan uang yang dipercayakan kepadanya.
Untuk melindungi dirinya sendiri, Palladius membuat kesepakatan dengan Romanus. Mereka berdua melaporkan kepada Valentinian bahwa warga Tripolitania tidak memiliki alasan untuk mengajukan keluhan. Dua warga kota yang sebelumnya memberi tahu Palladius dihukum dengan cara lidah mereka dipotong karena dianggap berbohong, tetapi mereka berhasil melarikan diri.
Valentinian, yang benar-benar tertipu dalam masalah ini dan dikenal tidak kenal ampun, memerintahkan eksekusi terhadap duta besar sebelumnya dari provinsi tersebut, serta gubernur provinsi. Namun, salah satu dari mereka yang dituduh berhasil bersembunyi dan menghilang.
Pada akhirnya, sejumlah pihak yang bersalah (menurut catatan Ammianus) terdorong untuk bunuh diri, dan beberapa kaki tangan Romanus dieksekusi oleh Count Theodosius ketika ia memimpin ekspedisi militer pada tahun 373 yang berhasil menenangkan kerusuhan suku-suku di Afrika Utara. Anehnya, Romanus, meskipun sempat dipenjara sebentar, berhasil lolos dari hukuman yang setimpal.
Memang benar bahwa kisah ini lebih dari sekadar mencari siapa yang bersalah. Kisah dari sudut pandang Romanus mungkin akan memberikan gambaran yang berbeda. Namun, cerita ini dengan jelas menunjukkan betapa sulitnya para kaisar mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi 'di lapangan' di wilayah kekaisaran mereka yang sangat luas, dan bagaimana kesulitan ini dimanfaatkan oleh orang-orang di daerah tersebut.
Kisah Romanus, alih-alih hanya menjadi cerita tentang korupsi dan penipuan, justru menggambarkan bagaimana Kekaisaran Romawi pada masa akhir itu sebenarnya bersatu. Semua tokoh lokal yang bersaing untuk mendapatkan kekuasaan berusaha untuk ikut serta dalam administrasi kekaisaran, demi mendapatkan legitimasi dan dukungan dari kekaisaran yang bisa mereka manfaatkan. Mereka juga berusaha mendapatkan akses kepada kaisar dan kekuasaan yang bisa ia berikan, agar mereka bisa memerintah wilayah mereka.
Masa akhir Kekaisaran Romawi menyaksikan perubahan besar dari sistem sebelumnya. Dalam bersaing untuk kekuasaan di daerah, orang tidak lagi bertanya 'apa yang bisa saya lakukan untuk Kekaisaran?', melainkan 'apa yang bisa Kekaisaran lakukan untuk saya?'. Di masa akhir Kekaisaran, ratusan kelompok lokal yang mengatur diri sendiri yang membentuk Kekaisaran tidak lagi bersatu secara alami. Sebaliknya, mereka terikat bersama oleh birokrasi kekaisaran yang sangat besar, yang melapisi masyarakat lokal. Birokrasi ini pada dasarnya adalah sistem patronase besar yang perlu dikelola dengan efektif. Jika tidak, Kekaisaran tidak akan bisa lagi memberikan manfaat apa pun kepada penduduk setempat, dan semua kelompok lokal itu akan terpecah belah.
Dengan kata lain, di masa awal Kekaisaran, semua jalan menuju Roma; tetapi di masa akhir Kekaisaran, semua jalan mengarah keluar dari Roma. Para kaisar barat pada abad keempat berhasil mengelola situasi ini dengan cukup baik. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mereka memposisikan diri di perbatasan Kekaisaran, seperti di Rhine (Trier) atau di sepanjang Danube. Dari sana, mereka bisa mengawasi patronase mereka dan secara aktif melibatkan penduduk provinsi – Pannonia di bawah Valentinian, Gaul di bawah Gratian – dalam menjalankan Kekaisaran. Menguasai Rhine berarti menguasai Gaul; menguasai Gaul berarti menguasai wilayah Barat. Mereka sangat menyadari hal itu. Tetapi sistem ini sesungguhnya sangat-lah rapuh.
Masyarakat Dan Politik Bangsa Barbar Pada Abad Keempat
Kita seringkali mendapatkan kesan bahwa ada peningkatan tekanan di wilayah perbatasan pada akhir masa Kekaisaran Romawi. Secara tradisional, tekanan ini dijelaskan dengan adanya dugaan peningkatan jumlah orang barbar akibat pertumbuhan populasi. Terkadang, kita juga mendapatkan kesan bahwa bangsa-bangsa Jerman memiliki semacam dorongan alami untuk bergerak menuju wilayah Mediterania.
Penjelasan lain yang umum adalah 'teori domino'. Pada kuartal ketiga abad keempat, bangsa yang dikenal sebagai Hun pertama kali disebut oleh penulis Romawi, dan sering dianggap telah bermigrasi dari wilayah Timur Jauh. Bangsa Hun ini dianggap telah 'mendorong' bangsa Goth ke wilayah Kekaisaran Romawi, yang kemudian 'mendorong' suku-suku Jerman lainnya, dan seterusnya, hingga akhirnya perbatasan Romawi dibanjiri oleh orang-orang barbar Jerman yang melarikan diri.
Daripada terpaku pada kisah-kisah dramatis, gambaran tentang meningkatnya tekanan di perbatasan Romawi mungkin lebih tepat dijelaskan oleh perkembangan politik di antara bangsa barbar itu sendiri. Pada abad ketiga, saat Kekaisaran Romawi mengalami krisis abad ketiga, perubahan signifikan terjadi di wilayah yang disebut Barbaricum.
Alih-alih hanya terdiri dari suku-suku lokal yang dicatat oleh Tacitus, muncul beberapa konfederasi yang lebih besar. Konfederasi ini memiliki nama-nama klasik, seperti Alamanni ('Semua Manusia') di barat daya Jerman, suku Frank ('Orang-Orang Ganas') di sepanjang wilayah tengah dan hilir Sungai Rhine, Saxon di utara Jerman, Pict ('Orang-Orang yang Dilukis') di utara Inggris, dan Goth ('Manusia') di sekitar Carpathia timur dan hilir Sungai Danube. Di Afrika Utara dan Arabia juga muncul konfederasi suku besar lainnya. Konfederasi yang lebih kuat ini mampu memberikan tekanan yang lebih besar pada wilayah Romawi.
Bagaimana konfederasi-konfederasi ini terbentuk, dan bagaimana cara mereka memerintah serta diperintah? Pertanyaan pertama memang sulit dijawab, tetapi kemungkinan besar bangsa Romawi memiliki peran besar dalam pembentukannya. Baru-baru ini, muncul pendapat bahwa Alamanni sebenarnya adalah bentukan Romawi, yang sengaja diciptakan untuk menduduki wilayah antara Rhine Hulu dan Danube Hulu yang ditinggalkan selama perang saudara di akhir abad ketiga.
Bahkan, ada argumen yang lebih radikal yang menyatakan bahwa keberadaan 'bangsa-bangsa' baru ini sebagian besar hanya dibicarakan oleh para penulis Romawi. Mereka diduga melebih-lebihkan peran dan kehadiran kekaisaran Romawi di wilayah perbatasan, menciptakan semacam 'ancaman barbar' untuk membenarkan tindakan kekaisaran. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, tindakan ini sebagian besar bertujuan untuk menyatukan wilayah Barat.
Mungkin ada benarnya juga dalam pandangan ini. Bangsa barbar, bahkan jika bersatu dalam konfederasi, tampaknya tidak mungkin mereka dapat menjadi ancaman militer yang serius bagi keberadaan Kekaisaran Romawi, yang memiliki pasukan dengan perkiraan jumlah lebih dari 400.000 orang. Bahkan, ada pendapat yang lebih baru yang menyatakan bahwa konfederasi-konfederasi ini bahkan sesungguhnya hampir tidak pernah ada, dan perubahan dari sistem Romawi awal sangatlah kecil.
Argumen ini kurang meyakinkan, terutama karena kita jadi tidak punya pilihan lain selain menjelaskan jatuhnya Kekaisaran Romawi dengan meningkatnya tekanan di perbatasan. Sulit untuk melihat adanya peningkatan tekanan itu jika keadaannya sama saja seperti di zaman Tacitus. Analisis yang lebih meyakinkan terhadap bukti yang sama menunjukkan bahwa fragmentasi umum konfederasi adalah hasil dari upaya politik yang intensif dari pihak Romawi di luar perbatasan mereka.
Ketika bangsa Romawi sedang mengalami gangguan, biasanya karena perang saudara, suku Frank atau Alamanni akan memunculkan pemimpin yang lebih kuat dan membentuk konfederasi yang besar dan efektif. Bangsa Romawi harus berupaya keras untuk memastikan bahwa hal ini tidak terjadi.
Bagaimana cara bangsa barbar mengatur kerajaan mereka? Jika para kaisar Romawi saja mengalami kesulitan, padahal mereka memiliki sistem perpajakan, pasukan yang kuat dengan 400.000 personel, dan birokrasi yang solid dengan jumlah hingga 35.000 pegawai, bayangkan betapa beratnya masalah yang dihadapi oleh raja-raja barbar. Ada beberapa cara yang mungkin mereka lakukan.
Seringkali disebutkan kombinasi antara raja pemimpin perang, yang kekuasaannya singkat namun luas, dengan raja sakral, yang wilayah otoritasnya lebih tahan lama meski mungkin lebih terbatas. Namun, bukti formal keberadaan jenis kerajaan seperti ini sangatlah tidak pasti. Meski begitu, kedua bentuk pemerintahan ini tampaknya cukup masuk akal. Raja sakral, atau raja religius, mengendalikan aspek-aspek religius tertentu dalam kehidupan, mengikat komunitas lokal pada otoritasnya untuk berpartisipasi dalam ritual, dan mengawasi kebutuhan hidup. Sementara itu, pemimpin perang melindungi atau membantu membela komunitas saat terjadi peperangan. Jelas, jenis kekuasaan yang terakhir ini sulit dipertahankan di luar masa krisis dan bisa dicabut jika keadaan memburuk.
Bangsa Burgundi pada abad keempat mungkin memiliki kombinasi dari kedua jenis penguasa ini, meskipun sekali lagi, buktinya masih diperdebatkan. Dasar lain untuk kekuasaan tertinggi adalah arbitrasi. Komunitas lokal dapat dimasukkan ke dalam pemerintahan yang lebih besar dengan mengajukan banding ke kekuatan luar yang lebih tinggi yang dapat menengahi, atau mengadili, dalam perselisihan lokal, dengan kedua belah pihak menerima putusan tersebut. Oleh karena itu, para pemimpin konfederasi Goth di Danube hilir pada abad keempat disebut oleh bangsa Romawi sebagai 'Hakim'. Di tempat lain, seperti di konfederasi Frank dan Alamanni, kita melihat banyak raja kecil, yang kadang-kadang diperintah, ketika bangsa Romawi kehilangan kendali, oleh seorang raja-agung.
Lalu, bagaimana cara raja-raja ini mempertahankan kekuasaan mereka? Salah satu faktornya adalah kekayaan, terutama yang berasal dari bangsa Romawi. Barang-barang artefak Romawi sangat dihargai di Barbaricum, sama seperti para raja Celtic sangat menghargai barang-barang tersebut sebelum penaklukan oleh Romawi. Jika para pemimpin mampu mengendalikan perolehan dan pembagian barang-barang ini melalui sistem pertukaran hadiah, mereka memiliki cara yang efektif untuk menjaga kesetiaan di antara komunitas yang tersebar. Hal ini terutama berlaku jika mereka bisa mendistribusikan barang-barang ini di antara keluarga-keluarga lokal yang bersaing, sehingga menciptakan persaingan di antara mereka.
Bangsa Romawi memiliki kemampuan untuk memberikan sejumlah besar uang kepada sekutu mereka yang berada di wilayah perbatasan. Pemberian ini memainkan peran penting dalam membentuk kekuatan politik di kalangan bangsa barbar. Hal ini terlihat di wilayah yang oleh sejarawan dan arkeolog disebut sebagai 'Jerman Bebas', yang terletak di sebelah utara perbatasan Romawi di Sungai Rhine, serta di wilayah utara Inggris.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bangsa Romawi mungkin memiliki peran utama dalam pembentukan kelompok-kelompok atau konfederasi baru. Mereka memberikan upeti dalam jumlah besar kepada para pemimpin barbar dengan tujuan menjaga perdamaian selama masa perang saudara Romawi, yang sering terjadi pada abad ketiga dan keempat. Praktik ini membantu munculnya raja-raja tertinggi di kalangan bangsa barbar, terutama ketika bangsa Romawi sedang mengalami gangguan atau konflik internal.
Sebuah kekuasaan juga dapat dipertahankan melalui jalur perdagangan. Contohnya, pada masa akhir Romawi, dapat dilihat pendirian pos-pos perdagangan di luar wilayah perbatasan. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah Lundeborg di Fyn, yang berpasangan dengan permukiman penting di pedalaman, yaitu Gudme. Situs serupa juga ditemukan di sisi lain semenanjung Jutland, di Dankirke.
Kekuatan kelompok barbar ini ternyata cukup mengesankan. Di wilayah perbatasan, dapat dilihat terdapat para pemimpin yang mampu mengendalikan tenaga kerja untuk membangun benteng pertahanan besar. Mereka juga mengumpulkan pengrajin terampil untuk membuat barang-barang mewah dan simbol kekuasaan yang digunakan untuk memperkuat posisi politik mereka. Menariknya, barang-barang ini sering kali meniru simbol-simbol jabatan Romawi; seolah kosakata kekuasaan di kedua sisi perbatasan itu sama.
Di sepanjang perbatasan Rhine atas, di wilayah Alamanni, terdapat sejumlah Hohensiedlungen (pemukiman tinggi atau benteng bukit) yang menunjukkan adanya spesialisasi dan produksi kerajinan berkualitas tinggi. Di wilayah Inggris utara, situs serupa mungkin adalah Traprain Law. Bahkan di daerah dataran rendah, kita bisa menemukan situs-situs penting seperti di Gennep, yang terletak di wilayah Frankish, tepat di selatan Rhine. Di wilayah Frankish ini juga ditemukan bukti adanya pengolahan besi terorganisir dalam skala besar.
Di wilayah-wilayah perbatasan Kekaisaran, muncul kerajaan-kerajaan yang lebih besar dan berpotensi sangat kuat. Beberapa kerajaan ini sangat bergantung pada hubungan mereka dengan Roma. Namun, diperkirakan pada akhir abad keempat, beberapa penguasa di luar wilayah perbatasan mampu mempertahankan sistem pemerintahan yang cukup mandiri dan efisien. Suku-suku Jerman yang tinggal lebih jauh di wilayah yang disebut 'Jerman Bebas' mungkin lebih mengandalkan hadiah dari Romawi, yang diberikan sebagai imbalan atas bantuan mereka dalam mengendalikan raja-raja di wilayah perbatasan.
Pengaruh kekuasaan Romawi dalam masyarakat lokal Jerman juga terlihat dari seringnya penggunaan lencana jabatan Romawi, seperti set sabuk, yang ditemukan di kuburan-kuburan di pemakaman kremasi besar di wilayah Saxon. Hal ini juga bisa menjadi indikasi untuk gaya bros tertentu yang populer saat itu. Singkatnya, politik di kalangan bangsa barbar dipertaruhkan dengan taruhan yang tinggi, yang sering kali diperbesar oleh bangsa Romawi sendiri.
Terdapat raja-raja barbar yang kuat di wilayah perbatasan yang mampu memperluas kekuasaan mereka atas wilayah tetangga. Namun, politik di kalangan bangsa barbar juga sangat bergantung pada keberfungsian Kekaisaran Romawi secara efektif, sama halnya dengan masyarakat Romawi di provinsi-provinsi. Pertanyaannya adalah, apa yang akan terjadi jika Kekaisaran Romawi tidak lagi berfungsi dengan baik?
Keruntuhan Kekaisaran Romawi Barat
Untuk memahami migrasi bangsa barbar dan keruntuhan Kekaisaran Barat, tanggal yang paling penting bukanlah tahun 376. Pada tahun itu, sejumlah besar pengungsi Goth bermigrasi ke provinsi-provinsi Balkan karena kekacauan politik di tanah air mereka yang disebabkan oleh bangsa Hun. Bukan pula tahun 378, ketika bangsa Goth tersebut mengalahkan pasukan Romawi Timur dalam pertempuran Adrianople.
Baru-baru ini, ada argumen yang meyakinkan bahwa signifikansi pertempuran Adrianople cenderung telah terlalu dibesar-besarkan. Pada awal tahun 380-an, bangsa Goth sebenarnya sudah berhasil dikendalikan, dikalahkan, dan ditempatkan di Balkan, mirip dengan apa yang telah terjadi pada banyak bangsa lain sebelumnya.
![]() |
Pergerakan bangsa barbar di akhir Kekaisaran Romawi |
Tanggal penting dalam peristiwa ini adalah tahun 388, yaitu saat kaisar 'perebut' Magnus Maximus ditumpas. Setelah Maximus, tidak ada kaisar barat yang signifikan (bisa dikesampingkan beberapa perebut kekuasaan yang tidak jelas dan berumur pendek) yang pernah pergi ke utara Lyons. Kekalahan pasukan barat Maximus oleh pasukan timur Theodosius I, terutama jika digabungkan dengan pembantaian resimen barat yang lebih berdarah oleh pasukan Theodosius selama perebutan kekuasaan Eugenius pada tahun 394, sangat merugikan pertahanan wilayah tersebut.
Sulit untuk melihat aktivitas kekaisaran yang nyata di utara Gaul atau Inggris setelah kematian Maximus. Para aristokrat melarikan diri ke selatan. Notitia Dignitatum, daftar resmi kantor-kantor Romawi, menunjukkan bahwa pada tahun 418 sejumlah kantor di utara Galia telah ditarik ke selatan Gaul. Ibu kota Galia mundur dari Trier ke Arles, kemungkinan pada tahun 395. Dewan Galia yang dibentuk pada awal abad kelima tidak mewakili provinsi-provinsi Galia utara.
Kekaisaran tidak lagi mampu menunjukkan kehadirannya di utara Gaul dan Inggris, wilayah-wilayah di mana dukungan kekaisaran yang dikelola dengan baik tampaknya sangat penting untuk menjaga ketertiban lokal. Akibatnya, perubahan yang terjadi sangat dramatis.
Penemuan arkeologis di wilayah ini menunjukkan kemunduran yang cepat dalam kehidupan di desa-desa maupun di kota-kota Romawi. Di Inggris, industri-industri Romawi juga mengalami keruntuhan (sementara di Gaul, industri-industri tersebut mengalami stagnasi tetapi tidak sepenuhnya hilang). Bukti dari pemakaman menunjukkan bahwa otoritas lokal menjadi kurang aman. Di wilayah utara Loire, peradaban Romawi runtuh hanya dalam waktu dua generasi.
Peristiwa di atas juga berdampak pada kaum barbar. Pada hari terakhir tahun 406, Gaul diserbu oleh pasukan barbar yang sangat besar. Pasukan ini bukan berasal dari kerajaan-kerajaan di perbatasan yang rajanya tampaknya telah diperkuat oleh Romawi ketika mereka mundur dari Rhine, melainkan dari kelompok-kelompok yang lebih jauh di dalam Barbaricum: Vandal, Suevi, Alan, dan diikuti oleh Burgundia.
Kelompok-kelompok ini mungkin lebih bergantung pada hadiah dari Romawi untuk mempertahankan kekuatan politik mereka. Berakhirnya pemberian hadiah semacam itu, mungkin ditambah dengan munculnya sumber kekuatan politik baru dari timur, yaitu Hun, memaksa beberapa kelompok untuk keluar dari wilayah mereka dan memasuki Kekaisaran, dengan harapan mencari peruntungan.
Pada akhirnya, beberapa dari mereka mendirikan kerajaan Suevi di barat laut Spanyol, mungkin melalui perjanjian dengan Romawi. Sementara itu, kerajaan Vandal di Afrika Utara mungkin menjadi satu-satunya kerajaan barbar yang sepenuhnya terbentuk melalui penaklukan militer dari Kekaisaran Romawi.
Peristiwa ini juga berdampak pada kaum barbar. Pada hari terakhir tahun 406, Gaul diserbu oleh pasukan barbar yang sangat besar. Pasukan ini bukan berasal dari kerajaan-kerajaan di perbatasan yang rajanya tampaknya telah diperkuat oleh Romawi ketika mereka mundur dari Rhine, melainkan dari kelompok-kelompok yang lebih jauh di dalam Barbaricum: Vandal, Suevi, Alan, dan diikuti oleh Burgundia.
Kelompok-kelompok ini mungkin lebih bergantung pada hadiah dari Romawi untuk mempertahankan kekuatan politik mereka. Berakhirnya pemberian hadiah semacam itu, mungkin ditambah dengan munculnya sumber kekuatan politik baru dari timur, yaitu Hun, memaksa beberapa kelompok untuk keluar dari wilayah mereka dan memasuki Kekaisaran, dengan harapan mencari peruntungan.
Pada akhirnya, beberapa dari mereka mendirikan kerajaan Suevi di barat laut Spanyol, mungkin melalui perjanjian dengan Romawi. Sementara itu, kerajaan Vandal di Afrika Utara mungkin menjadi satu-satunya kerajaan barbar yang sepenuhnya terbentuk melalui penaklukan militer dari Kekaisaran Romawi.
Di dalam Kekaisaran Romawi, perang saudara pada tahun 390-an memunculkan kelompok politik berbahaya lainnya yang berpusat di sekitar keturunan barbar, yaitu Goth Alaric. Kelompok ini merasa tidak puas setelah penindasan Eugenius dan diperlakukan dengan buruk oleh tokoh-tokoh seperti Stilicho, penasihat Honorius (kaisar yang masih anak-anak). Akibatnya, mereka menjarah Roma pada tahun 410.
Pada akhirnya, bangsa Romawi menempatkan mereka di Aquitaine, tempat mereka mendirikan kerajaan. Penempatan bangsa Goth di Aquitaine telah menjadi topik perdebatan yang panjang. Mengapa bangsa Goth ditempatkan begitu jauh di dalam Gaul? Jawabannya sebenarnya tidak terlalu rumit. Setelah awal abad kelima, perbatasan efektif Gaul bukanlah Rhine, melainkan Loire. Oleh karena itu, penempatan bangsa Goth, seperti juga penempatan Burgundia di Savoy, dan Alans di Orléans, dapat dilihat sebagai penempatan di wilayah perbatasan yang efektif. Gaul Utara dan Inggris dibiarkan mengatur diri mereka sendiri.
Di sini, kita bisa kembali membahas perbedaan yang ada di dalam masyarakat Romawi di berbagai provinsi. Di Aquitaine, di mana masyarakat setempat lebih mudah diatur tanpa bantuan dari Roma, penyerahan kepada Goth berjalan relatif lancar, setidaknya sebelum tahun 450. Di wilayah ini, keluarga-keluarga yang sama tetap memegang kekuasaan, dan mungkin lebih dari tempat lain di barat, masyarakat serta budaya Romawi terus bertahan.
Namun, di utara, runtuhnya pemerintahan kekaisaran yang efektif menyebabkan terjadinya kekacauan. Tidak ada peralihan kekuasaan yang teratur, dan tidak ada cara independen atau lokal untuk membangun kembali hierarki sosial-politik yang efektif. Kekosongan politik ini kemudian diisi oleh otoritas baru. Di Gaul, Frank dan Alamanni memperluas kekuasaan mereka, sering kali bekerja sama dengan pemimpin militer Romawi setempat yang mereka dukung, hingga mencapai Loire dan Alpen.
Di Inggris, seorang kepala suku, atau mungkin seorang raja, dari wilayah dataran tinggi barat mungkin telah diberikan otoritas yang mirip dengan raja-raja perbatasan Jerman (yang basis kekuatan benteng bukit mereka sangat mirip dengan Alamannic Hohensiedlungen). Distribusi peralatan militer Romawi akhir abad keempat hanya mencakup provinsi dataran rendah. Jadi, ada kemungkinan bahwa Inggris utara dan barat telah ditinggalkan oleh pemerintah Romawi pada akhir abad keempat, mungkin di bawah kepemimpinan Magnus Maximus.
Jika ini benar, maka pertahanan lokal mungkin telah diserahkan kepada pemimpin lokal. Magnus Maximus tentu saja sangat menonjol dalam legenda asal dinasti Welsh. Mungkin saja para penguasa dataran tinggi inilah yang kekuasaannya, yang kurang terpengaruh oleh penarikan Romawi, kemudian meluas ke dataran rendah.
Bukan tidak mungkin bahwa pada akhir abad kelima, kekuasaan Frank juga telah menyebar melintasi Selat ke Kent. Inilah konteks untuk penguasa Romawi-Inggris semi-legendaris yang samar-samar diingat bernama Ambrosius Aurelianus dan Vortigern, bahkan mungkin Arthur. Ini juga merupakan konteks untuk catatan undangan sekutu Saxon ke Inggris timur, mungkin di utara muara Thames, daripada di Kent (walaupun raja-raja Kent yang mengambil alih cerita tersebut), dan untuk ekspansi Anglo-Saxon, otoritas Inggris ke arah barat melintasi dataran rendah, dalam persaingan dengan raja-raja Inggris barat.
Di Inggris, seorang kepala suku, atau mungkin seorang raja, dari wilayah dataran tinggi barat mungkin telah diberikan otoritas yang mirip dengan raja-raja perbatasan Jerman (yang basis kekuatan benteng bukit mereka sangat mirip dengan Alamannic Hohensiedlungen). Distribusi peralatan militer Romawi akhir abad keempat hanya mencakup provinsi dataran rendah. Jadi, ada kemungkinan bahwa Inggris utara dan barat telah ditinggalkan oleh pemerintah Romawi pada akhir abad keempat, mungkin di bawah kepemimpinan Magnus Maximus.
Jika ini benar, maka pertahanan lokal mungkin telah diserahkan kepada pemimpin lokal. Magnus Maximus tentu saja sangat menonjol dalam legenda asal dinasti Welsh. Mungkin saja para penguasa dataran tinggi inilah yang kekuasaannya, yang kurang terpengaruh oleh penarikan Romawi, kemudian meluas ke dataran rendah.
Bukan tidak mungkin bahwa pada akhir abad kelima, kekuasaan Frank juga telah menyebar melintasi Selat ke Kent. Inilah konteks untuk penguasa Romawi-Inggris semi-legendaris yang samar-samar diingat bernama Ambrosius Aurelianus dan Vortigern, bahkan mungkin Arthur. Ini juga merupakan konteks untuk catatan undangan sekutu Saxon ke Inggris timur, mungkin di utara muara Thames, daripada di Kent (walaupun raja-raja Kent yang mengambil alih cerita tersebut), dan untuk ekspansi Anglo-Saxon, otoritas Inggris ke arah barat melintasi dataran rendah, dalam persaingan dengan raja-raja Inggris barat.
Di Galia utara, yang situasinya sangat mirip dengan dataran rendah Britania sekitar tahun 500, persaingan kekuasaan sangat ketat hingga para rival telah berkurang akibat konflik internal dan peperangan eksternal. Akhirnya, hanya tersisa dua kekuatan utama: bangsa Frank di utara dan barat daya, serta Burgundia di tenggara.
Gambaran serupa sangat mungkin terjadi di Inggris, berbeda dengan model fragmentasi wilayah menjadi banyak kerajaan kecil yang saat ini populer. Alternatif ketiga, di mana hierarki sosial lokal sudah cukup mapan sehingga penduduk setempat dapat terus memerintah diri mereka sendiri bahkan setelah kekuasaan Romawi menghilang, seperti yang terjadi di Galia utara dan Britania, juga dapat dilihat di Spanyol.
Di wilayah tersebut, bukti menunjukkan bahwa para bangsawan setempat terus menjalankan distrik-kota mereka sendiri secara independen, tanpa campur tangan penguasa Romawi atau barbar, mungkin hingga akhir abad keenam. Oleh karena itu, proses di mana provinsi-provinsi barat berubah menjadi kerajaan-kerajaan independen bukan hanya akibat dari migrasi besar-besaran bangsa barbar yang membanjiri wilayah-wilayah tersebut.
Dalam beberapa hal, kita mungkin lebih tepat menggunakan istilah 'invasi' untuk menggambarkan pengambilalihan politik dan militer oleh kelompok-kelompok pejuang yang lebih kecil. Terkadang, di beberapa wilayah seperti Rhineland dan Inggris timur, kelompok-kelompok pejuang ini diikuti oleh sejumlah besar pengikut, istri, dan anak-anak. Namun, lebih sering terjadi bahwa bangsa barbar merebut kekuasaan ketika pemimpin mereka menjadi pusat perhatian bagi masyarakat dan politik provinsi setempat.
Masyarakat Lokal, Etnis, Dan Kaum Barbar
Pada tahun 500 Masehi, seluruh provinsi Romawi di wilayah Barat telah berubah menjadi kerajaan-kerajaan yang dikuasai oleh bangsa barbar; bangsa Frank dan Burgundia di Gaul, Ostrogoth di Italia, Sueve dan Visigoth di Spanyol, Vandal di Afrika Utara, serta Anglo-Saxon dan Briton di Inggris. Perubahan ini tidak disebabkan oleh serangan militer besar-besaran atau penaklukan wilayah secara langsung dari Kekaisaran Romawi, melainkan oleh runtuhnya struktur politik Romawi pada seperempat terakhir abad keempat, yang mengungkap kelemahan pemerintahan Romawi di tingkat lokal.
Di wilayah-wilayah yang sangat bergantung pada kehadiran negara Romawi, terjadi keruntuhan yang signifikan, dan masyarakat mencari sumber kekuasaan lokal yang baru. Pada sekitar tahun 500, meskipun banyak ungkapan kekuasaan Romawi masih bertahan, orang-orang mulai menunjukkan otoritas mereka melalui budaya material yang merujuk langsung pada sumber-sumber non-Romawi, yaitu budaya barbar, terutama budaya Gotho-Hunnic Danubia dari kekaisaran Attila yang tidak bertahan lama.
Raja Frank, Childeric, yang meninggal sekitar tahun 480, dimakamkan dengan simbol-simbol Romawi seperti bros resmi dan cincin segelnya. Namun, makamnya juga berisi ornamen emas dan garnet yang terinspirasi dari wilayah Danubia. Kekaisaran Romawi pada abad keempat sangat bergantung pada kemampuannya untuk terus memberikan dukungan bagi kekuasaan di tingkat lokal agar dapat terus eksis.
Setelah tahun 388, Kekaisaran kehilangan kemampuan ini dan tidak pernah mendapatkannya kembali, sehingga orang-orang mencari dukungan di tempat lain. Beberapa kelompok perang barbar berada di dalam Kekaisaran dan dapat memberikan fokus alternatif, terutama ketika mereka diberi pemerintahan provinsi-provinsi tertentu. Fokus lain datang dari raja-raja barbar yang kuat di perbatasan, yang memiliki kekuatan untuk memperluas wilayah ke provinsi-provinsi utara dan memberikan dukungan untuk otoritas lokal ketika tidak ada alternatif lain.
Tentu di sini kita perlu melihat dengan mengembalikan peran masyarakat provinsi dalam sejarah akhir Kekaisaran Romawi dan pembentukan kerajaan-kerajaan barbar. Tidak tepat lagi untuk melihat mereka sebagai pihak yang pasif dan tidak berdaya, atau seperti yang dipikirkan oleh A. H. M. Jones, seorang sejarawan besar Kekaisaran Romawi Akhir, sebagai pengamat yang acuh tak acuh terhadap perubahan dari otoritas politik Romawi ke barbar.
Tidak juga tepat untuk menganggap para aristokrat senatorial di selatan Gaul, Spanyol, atau Italia memegang jabatan di bawah kekuasaan bangsa barbar hanya untuk mendapatkan perlindungan. Beberapa aristokrat Spanyol mencoba, meskipun gagal, untuk mempertahankan Pyrenees dari bangsa Vandal pada awal tahun 400-an, yang menunjukkan bahwa mereka mampu mengumpulkan angkatan bersenjata. Aristokrat Galia selatan memimpin kontingen militer yang dikumpulkan dari tanah mereka, baik untuk melawan maupun mendukung bangsa Goth, dan menjadi komponen penting dari pasukan mereka. Di Spanyol selatan, para aristokrat tersebut mempertahankan kemerdekaan politik selama beberapa dekade, sehingga perlindungan semata tidak dapat menjadi penjelasan yang cukup.
Di provinsi-provinsi selatan, penjelasannya adalah bahwa para penguasa baru menyediakan apa yang telah lama dimiliki oleh para aristokrat lokal ini, dan apa yang setelah tahun 388 terancam hilang, yaitu akses ke pusat kekuasaan politik. Para pendatang memberikan sarana bagi para aristokrat senatorial untuk mempertahankan kedudukan mereka di hadapan rekan-rekan mereka, serta mempertahankan supremasi mereka di dalam wilayah mereka. Supremasi ini juga dipertahankan melalui perampasan otoritas gerejawi, tetapi pilihan non-gerejawi, baik militer maupun birokrasi, secara numerik jauh lebih signifikan dan telah diabaikan oleh para sejarawan.
Pada tahun 507, bangsa Frank mengalahkan Visigoth dalam pertempuran 'Vouille', dan dalam satu dekade atau lebih telah mengusir mereka secara definitif dari kerajaan Aquitania mereka. Hal ini menyebabkan tersingkirnya para aristokrat Galia selatan dari pusat kekuasaan politik, tetapi mereka segera mencari yang baru, dengan mengabdi pada raja-raja Franka utara untuk menjaga pilihan mereka tetap terbuka.
Di wilayah lain, seperti di Gaul utara dan Inggris, daya tarik terhadap orang luar barbar untuk mempertahankan kekuasaan di tingkat yang lebih lokal menjadi semakin penting. Di sini, masyarakat secara luas mengadopsi identitas etnis pendatang baru, seperti yang terjadi setelah kekacauan politik pada pertengahan abad keenam di semenanjung Iberia.
Pada tahun 700, hampir semua orang di utara Loire adalah orang Frank, semua orang di tenggara adalah orang Burgundia, semua orang di Spanyol adalah orang Goth, dan semua orang di dataran rendah Inggris adalah semacam Anglo-Saxon. Hanya di Italia Anda bisa menemukan orang Romawi.
Lalu, ke mana perginya orang Romawi? Pertanyaan ini sudah menjadi masalah pada tahun 700. Untuk menjelaskan hilangnya orang Romawi yang tampak jelas, para penulis Frank dan Anglo-Saxon harus mengarang cerita tentang pembantaian massal dan pengusiran penduduk asli Romawi. Masalah ini menjadi dua kali lebih rumit di Gaul, di mana mereka harus menjelaskan bagaimana orang Romawi berhasil mengajari orang Frank bahasa Latin terlebih dahulu.
Seperti yang telah kita lihat di awal dari tulisan ini, bahwa kategori "Romawi" dan "barbar" itu tidaklah tetap. Pada abad-abad setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi, hal ini menjadi semakin jelas. Di Italia yang dikuasai Ostrogoth, para penguasa Goth hampir tidak pernah disebut sebagai orang barbar. Justru, orang barbar adalah orang asing lainnya, bahkan termasuk orang Goth lainnya.
Di sisi lain, di kerajaan Burgundia, orang Burgundia justru aktif menggunakan label "barbar" untuk menggambarkan diri mereka sendiri. Di Gaul, perbedaan antara "Romawi" dan "barbar" diubah untuk menggambarkan orang Kristen Katolik yang berbeda dengan kelompok bid'ah atau pagan.
Pada abad kedelapan, seorang juru tulis Bavaria yang bosan bahkan membalikkan pandangan lama dan menulis (dalam bahasa Latin!): "Orang Romawi itu bodoh; orang Bavaria itu bijaksana."
Identitas politik baru, seperti menjadi bagian dari suku Goth, Frank, Burgundia, Angle, atau Saxon, dapat diadopsi tanpa merasa malu. Hal ini terutama disebabkan oleh keberadaan elit militer dari suku-suku tersebut, yaitu para pejuang bersenjata yang menyebut diri mereka Goth, Saxon, atau sebutan lainnya, di kerajaan-kerajaan baru. Mereka inilah yang memegang kekuasaan militer dan politik.
Seperti yang akan dijelaskan lebih lanjut, sering kali ada pembagian tugas antara dua pihak: bangsa barbar berperang, sementara orang Romawi membayar pajak. Dengan demikian, menjadi bagian dari bangsa barbar dapat memberikan keuntungan berupa pembebasan pajak. Dalam kode hukum pasca-Romawi, elemen 'barbar' dari populasi sering kali diberikan hak hukum, yang menjadi alasan lain untuk mengadopsi identitas etnis barbar.
Bahkan Gregory dari Tours, seorang aristokrat Galia selatan dari kalangan senator, memiliki paman buyut dari pihak ibu bernama Gundulf, sebuah nama barbar yang mungkin terkait dengan fakta bahwa Gundulf pernah bekerja di istana Frank Austrasia. Kembali ke komunitas lokal, kita dapat melihat bahwa mengadopsi identitas etnis baru dapat menjadi penting dalam perebutan otoritas dan kekuasaan melawan saingan, terutama dalam situasi di mana orang mencari sumber otoritas baru.
Bagaimana seseorang menjadi bagian dari bangsa barbar? Nama adalah salah satu caranya, seperti contoh Gundulf. Kita kadang-kadang menemukan catatan tentang individu dengan dua nama, satu Romawi dan satu barbar, yang menunjukkan bahwa proses perubahan identitas ini sedang berlangsung. Selain itu, budaya material juga berperan. Dalam unit-unit politik baru yang muncul di wilayah Barat pasca-Romawi, gaya berpakaian dan bentuk artefak menjadi penting dalam menunjukkan afiliasi politik seseorang. Hal ini terlihat secara arkeologis dalam mode bros dan sebagainya. Fitur lain yang kurang terlihat secara arkeologis, seperti gaya rambut, juga digunakan, seperti yang disebutkan dalam sejumlah sumber.
Namun, efek perubahan ini tidak sama di semua tempat. Di Inggris, pada tahun 700, bahasa telah berubah. Di tempat lain, pengaruh linguistik dari bangsa barbar jauh lebih sedikit, meskipun mereka mengubah afiliasi etnis orang secara dramatis. Mengapa demikian? Apakah ini hanya masalah jumlah bangsa barbar, seperti yang sering diduga? Atau apakah ini tidak signifikan? Perubahan linguistik dapat terjadi bahkan dengan sejumlah kecil imigran. Ini adalah argumen yang masuk akal, tetapi tidak dapat bertahan terhadap pengawasan ketat karena, seperti banyak teori sejarah Anglo-Saxon awal, teori ini bersifat terisolasi.
Bangsa Frank, Goth, dan Burgundia memiliki dominasi politik dan militer yang serupa, jika tidak lebih besar, tanpa mengubah bahasa lokal, kecuali di sepanjang Rhine. Namun, argumen yang menjelaskan perubahan linguistik di dataran rendah Inggris, dan fakta bahwa tidak ada perubahan serupa yang terjadi di benua itu, dengan mengacu pada sejumlah besar Anglo-Saxon yang datang juga terlalu sederhana. Kita harus mempertimbangkan sisi lain dari mata uang, yaitu kekuatan identitas provinsi.
Di daerah-daerah di mana transisi ke kekuasaan barbar paling mulus, yaitu Gaul selatan dan Italia serta Spanyol abad keenam, identitas Romawi, terutama di kalangan aristokrasi, sangat penting. Identitas ini menjadi sumber kebanggaan yang dapat digunakan untuk melawan para pendatang baru, yaitu bangsa barbar dan para pengikut mereka. Tidak mengherankan bahwa tidak ada yang mengubah bahasa mereka di sini, meskipun, seperti yang telah kita lihat, banyak yang mengubah nama mereka.
Perang dan gangguan politik pertengahan abad keenam serta penghancuran aristokrasi Romawi kuno untuk mengubah situasi di Spanyol dan Italia. Situasinya tidak pernah benar-benar berubah di Aquitaine sebelum abad kedelapan; orang Aquitaine tidak pernah menjadi Frank. Sebaliknya, dari abad ketujuh, banyak dari mereka semakin mengadopsi identitas Basque, atau 'Gascon'. Alasan untuk perubahan etnis ini mungkin serupa dengan yang dibahas di atas, untuk Inggris dan Gaul utara. Pengasingan dari, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam, politik inti di Gaul berarti akhir dari patronase yang dikelola secara teratur. Pesaing rival yang kecewa untuk kekuasaan lokal mencari dukungan, dan mengadopsi identitas, dari kekuatan yang lebih langsung dan efektif secara militer, yaitu Basque, yang telah menyerang Gaul selatan sejak setidaknya abad keenam.
Di wilayah utara, seperti yang telah kita lihat, identitas Romawi tidak begitu penting. Akibatnya, di wilayah utara Gaul, perubahan identitas etnis menjadi identitas Frank yang lebih 'menguntungkan' menjadi hal yang umum sekitar tahun 600. Di dataran rendah Britania, situasinya tampaknya lebih ekstrem, mungkin juga terjadi di sepanjang Sungai Rhine.
Sangat mungkin bahwa bahasa Latin dan identitas Romawi digantikan oleh identitas politik Britania, yang terkait dengan penguasa dataran tinggi Britania barat, serta oleh identitas Inggris yang terkait dengan pendatang baru dari timur. Budaya Latin dengan cepat menghilang setelah tahun 388 dan tidak memiliki kesempatan untuk bertahan.
Kemungkinan ada lebih banyak migran Inggris daripada orang Frank di Gaul. Di benua Eropa, ritual pemakaman dari tanah air bangsa barbar Jerman hampir tidak muncul dalam arkeologi kerajaan pasca-Romawi. Namun, ritual kremasi yang digunakan oleh orang Inggris di Jerman utara juga diadopsi di dataran rendah Britania.
Meskipun demikian, perlu diakui bahwa adopsi ritual ini juga bisa disebabkan oleh lemahnya identitas Britania setempat. Perlu dicatat bahwa banyak Anglo-Saxon (seperti rekan-rekan mereka di benua Eropa) mengadopsi ritual umum provinsi akhir dan pasca-Romawi, yaitu penguburan dengan perlengkapan mewah.
Oleh karena itu, kita tidak perlu berasumsi adanya sejumlah besar migran barbar untuk menjelaskan perubahan budaya yang dramatis. Kita harus mempertimbangkan kelemahan budaya asli serta kekuatan budaya yang masuk.
Penelitian-penelitian mendatang tentang bangsa barbar dan peran mereka dalam perubahan yang terjadi antara akhir abad keempat dan ketujuh diharapkan menggunakan pendekatan yang baru. di atas telah melihat bahwa migrasi bangsa barbar harus dipahami sebagai konsekuensi dari runtuhnya Kekaisaran Romawi, bukan sebaliknya. Pembentukan kerajaan-kerajaan pasca-Romawi sebaiknya dipandang sebagai bagian dari sejarah provinsi.
Perubahan-perubahan pada periode ini, termasuk pembentukan kerajaan-kerajaan tersebut dan identitas-identitas baru, harus dipahami sebagai hasil dari keputusan aktif dan sadar yang diambil oleh banyak orang. Keputusan ini merupakan bagian dari perjuangan dan konflik mereka dalam masyarakat lokal mereka sendiri. Dalam hal ini, seperti dalam banyak periode sejarah lainnya, kita perlu memasukkan kembali tidak hanya sejarah sosial ke dalam politik, tetapi juga politik ke dalam sejarah sosial. Yang terpenting, kita harus memasukkan kembali peran individu ke dalam sejarah mereka sendiri.