Xiaochangliang: Penemuan Alat Batu Berusia 1,36 Juta Tahun Mengubah Sejarah Hunian Manusia di Asia

Situs Xiaochangliang 

Situs Xiaochangliang adalah sebuah situs yang menyimpan sisa-sisa Paleolitik paling awal di Asia Timur. Situs ini terletak di Cekungan Nihewan, Kabupaten Yangyuan, Hebei, Tiongkok. Xiaochangliang terkenal karena penemuan alat-alat batu yang terdapat di lokasi tersebut.

Situs Xiaochangliang ditemukan pada tahun 1978 dan kemudian diperkirakan berasal dari sekitar 1,36 juta tahun yang lalu berdasarkan magnetostratigrafi. Xiaochangliang merupakan situs arkeologi Pleistosen Awal pertama yang ditemukan di Cekungan Nihewan, sehingga dianggap sebagai tonggak penting dalam studi evolusi manusia di Tiongkok, terutama untuk memahami penyebaran hominin purba ke tingkatan yang lebih tinggi. 

Sejak penemuan awalnya pada tahun 1978, serangkaian investigasi lapangan dan ekskavasi arkeologi telah dilakukan di Xiaochangliang, yang menghasilkan penemuan fosil dan artefak batu. Terlepas dari pentingnya situs ini untuk memahami perilaku manusia purba, himpunan batu yang ditemukan belum pernah dideskripsikan secara memadai. 

Penemuan dan Ekskavasi

Situs Xiaochangliang pertama kali diekskavasi pada tahun 1978. Pada saat itu, sebanyak 804 artefak litik berhasil ditemukan dari dua area situs. Akan tetapi, artefak-artefak tersebut tidak memiliki catatan yang jelas dan deskripsinya pun kurang memadai. Selanjutnya, dari tahun 1990 hingga 1997, dilakukan lima musim ekskavasi yang didukung oleh Institute of Vertebrate Paleontology and Paleoanthropology (IVPP) dari Chinese Academy of Sciences. Sebanyak 1258 artefak tambahan berhasil dikumpulkan, meskipun tidak satu pun dari artefak tersebut yang memiliki informasi provenansi terkait unit dan level ekskavasi. Hasil dari ekskavasi ini pun tidak dipublikasikan. Pada tahun 1998, Fudan University melakukan ekskavasi dan berhasil menemukan serta melaporkan 901 artefak batu.

Ekskavasi pada tahun 1998 dilaksanakan secara sistematis dengan menerapkan pemetaan GIS, pembuatan plot tiga dimensi, fotografi digital, analisis jejak penggunaan, dan studi tafonomi. Ekskavasi tahun 1998 memperjelas karakteristik lapisan sedimen yang mengandung artefak dan fosil. Observasi lapangan menunjukkan bahwa lapisan horizontal tanah berpasir kekuningan berbentuk lingkaran, setengah lingkaran, dan garis lurus pada tampilan denah, serta terpisah dari sedimen tanah keabu-abuan di sekitarnya.

Pemetaan batu dan fauna mengindikasikan bahwa posisi material dipengaruhi oleh aliran air. Artefak kecil dan fragmen tulang terkadang memiliki kemiringan vertikal, terutama di tepi luar pasir kekuningan yang masuk. Selain itu, distribusi horizontal yang 'merata' dari artefak batuan kecil (panjang < 0,5 cm) di seluruh unit ekskavasi mengindikasikan penyebarannya oleh faktor alamiah di lapisan budaya. Pergerakan hidrologis juga didukung oleh elemen fauna yang menunjukkan bukti abrasi permukaan.

Interpretasi keseluruhan dari ekskavasi tahun 1998 adalah bahwa endapan merupakan konsekuensi dari aktivitas hominin dan terkubur segera setelah situs ditinggalkan, meskipun artefak dan fosil mengalami penataan ulang jarak pendek oleh aliran air, sebuah kondisi yang juga ditemukan di situs-situs Pleistosen Awal lainnya.

Hasil Ekskavasi

Inspeksi terhadap artefak batuan yang ditemukan di IVPP (Institute of Vertebrate Paleontology and Paleoanthropology) menunjukkan bahwa hominin Xiaochangliang umumnya memilih rijang (batu api) dengan berbagai warna (96,4%) untuk membuat alat-alat batu. Meskipun demikian, ditemukan juga sejumlah kecil batuan vulkanik, kuarsa, dan batu kapur. Artefak dari batu api tersebut berasal dari dua sumber yang memungkinkan: pertama, dari singkapan nodular atau berlapis; dan kedua, dari batuan piroklastik, terutama dengan breksi asimetris dan sub-angular yang terdiri dari rijang, dolomit, batu kapur, dan kuarsit. Beberapa artefak batu api ini masih memiliki material interstitial atau breksi, yang mengindikasikan bahwa bentuk batuan yang berasal dari letusan gunung juga dimanfaatkan.

Artefak-artefak tersebut menunjukkan bahwa beberapa area menggunakan bahan batu api berbutir halus, sementara pada bagian lain dari artefak yang sama, material interstitial dan jenis breksi lainnya masih digunakan.

Berdasarkan peta geologi, bahan mentah yang digunakan untuk pembuatan artefak batu, yaitu rijang (batu api), kuarsa, dan batuan vulkanik, dapat ditemukan di sekitar Xiaochangliang dan dalam endapan dalam radius 3 km. Rijang nodular atau berlapis terdapat pada strata Neoproterozoikum, sementara batuan piroklastik yang mengandung breksi rijang ditemukan pada batuan piroklastik Jura-Paleogen . Inspeksi lapangan terkini di Xiaochangliang menunjukkan bahwa singkapan batuan dengan rijang dapat ditemukan dalam jarak 100–200 m dari lokasi, yang mengindikasikan bahwa bahan mentah mudah diakses oleh hominin.

Pengamatan terhadap artefak batu Xiaochangliang menunjukkan adanya cacat internal pada rijang. Akibatnya, banyak kesalahan pengetaman dan pecahan bersudut tak terduga dihasilkan selama pemukulan. Bahan mentah yang halus dan homogen sering kali berupa nodul rijang kecil, sehingga teknik bipolar menjadi solusi efektif untuk mendapatkan perkakas dengan tepi tajam.

Meskipun studi sebelumnya telah mengidentifikasi nodul rijang di lokasi, yang menunjukkan bahwa nodul tersebut dibawa oleh hominin, ukurannya yang kecil (92% lebih kecil dari 40 mm), bersama dengan bukti aliran air, menunjukkan bahwa agen alami mungkin bertanggung jawab atas masuknya nodul tersebut. Oleh karena itu, alat-alat batu ini diidentifikasi sebagai alat yang tanpa proses pengetaman. kami mengkategorikannya sebagai bahan yang tidak dimodifikasi.

Sebagian besar material yang belum dimodifikasi berukuran kecil, berbutir kasar, dan memiliki bentuk yang tidak beraturan.

Sebanyak 1.468 artefak litik, yang disimpan di IVPP dan diperoleh dari kegiatan lapangan tahun 1978 serta 1990 hingga 1997. Laporan kegiatan lapangan tahun 1998, yang mencakup rangkaian 901 artefak litik, memberikan sumber informasi tambahan mengenai rangkaian artefak litik Xiaochangliang. 

Secara keseluruhan, analisis komparatif menunjukkan bahwa hominin Pleistosen Awal di Cekungan Nihewan menerapkan beragam strategi pemecahan untuk memperoleh perangkat alat batu yang sesuai dengan kebutuhan. Sebagaimana telah dikemukakan, batuan rijang yang digunakan oleh hominin Nihewan memiliki tekstur halus dan kasar. Penerapan metode freehand dan bipolar, meskipun penerapan metode bipolar tampaknya lebih sering digunakan di Xiaochangliang.

Sebagaimana telah disebutkan, ada kemungkinan bahwa, dalam beberapa kasus, kedua metode tersebut diterapkan pada inti yang sama, yaitu, bongkahan dapat dihancurkan terlebih dahulu dengan batu palu menggunakan pukulan secara langsung, dan potongan yang dihasilkan kemudian dapat direduksi lebih lanjut melalui reduksi bipolar. Dalam beberapa kasus, mungkin saja bahwa hominin dengan sengaja memilih beberapa rijang dengan kualitas terbaik dengan memberikan pukulan pada bahan untuk mendapatkan serpihan kecil yang dapat digunakan.

Untuk memahami lebih baik perilaku teknologi hominin di Cekungan Nihewan dapat diketahui berbagai kombinasi bahan dan teknik pengolahan. Hal serupa juga dilakukan di beberapa situs arkeologi tertua di Afrika, sekitar 2,3 juta tahun lalu, teknik freehand dan bipolar digunakan, seperti di Hadar dan di Omo. Hal yang sama berlaku untuk situs-situs yang lebih muda, berkisar antara 1,8 hingga 1,2 juta tahun lalu, di Koobi Fora dan di Olduvai.

Variabilitas dalam frekuensi metode freehand dan bipolar, serta variasi dalam penerapan teknik bipolar, memberikan bukti yang meyakinkan akan fleksibilitas teknis yang cukup besar pada hominin Pleistosen Awal dan Tengah. Fleksibilitas teknologi semacam itu memungkinkan manusia purba mengatasi keterbatasan bahan mentah, yang secara jelas ditunjukkan oleh hominin di Cekungan Nihewan untuk membuat alat yang sesuai dari beberapa bahan berkualitas buruk.

Himpunan alat batu di Cekungan Nihewan yang diperiksa berasal dari antara 1,4 dan 1,1 juta tahun lalu, dan sejauh yang diketahui saat ini, mendahului Alat Pemotong Besar atau industri bifasial mirip Acheulean di Cina setidaknya 300 ribu tahun. Kemunculan kumpulan Alat Pemotong Besar di Cina masih menjadi sumber perdebatan saat ini, karena beberapa penulis menganggap kemunculan kapak genggam sebagai konsekuensi dari konvergensi teknologi, sementara peneliti lain memandang kemunculan teknologi ini sebagai produk dari konvergensi dan penyebaran hominin dari tempat lain. 

Dengan perkiraan usia sekitar 1,36 juta tahun, XCL termasuk dalam jajaran situs Pleistosen Awal tertua di Tiongkok, sedikit lebih muda dibandingkan dengan situs-situs lain di Nihewan yang diperkirakan berusia antara 1,7 hingga 1,6 juta tahun. Keberadaan hominin di Cekungan Nihewan, dianggap sebagai peristiwa biogeografis yang signifikan dan ambang evolusi baru bagi hominin, mengingat lokasinya yang paling utara untuk keberadaan manusia purba di Asia Timur.

Meskipun demikian, terdapat hipotesis bahwa hominin tidak menghuni wilayah ini selama periode dingin atau musim dengan suhu di bawah titik beku. Pada periode dengan kondisi lingkungan yang lebih baik, hominin Pleistosen Awal diperkirakan telah melakukan ekspansi dan memanfaatkan Basin tersebut untuk aktivitas terkait pemenuhan kebutuhan pangan. Hal ini didukung oleh keberadaan fosil vertebrata di berbagai situs serta bukti jejak penggunaan pada artefak litik, yang mengindikasikan pengolahan tumbuhan dan hewan. 

Keberadaan hominin ke Cekungan Nihewan mungkin bersifat jangka pendek dan tidak sering, mengingat posisi wilayah yang berada di utara dan memiliki musim yang sangat ekstrem. Berdasarkan pengamatan terhadap Situs Xiaochangliang menunjukkan bahwa hominin Pleistosen Awal menunjukkan fleksibilitas teknologi yang cukup besar. Mereka memanfaatkan teknik freehand dan bipolar dengan frekuensi yang bervariasi. Secara lebih luas, bukti batuan dari Cekungan Nihewan mendukung gagasan bahwa fleksibilitas dalam pembuatan alat memegang peranan penting dalam memungkinkan kelompok hominin yang melakukan ekspansi (dan ekspansi ulang) untuk mengatasi dan beradaptasi dengan lanskap Eurasia yang belum dikenal serta habitat yang terus berubah.

Daftar Bacaan

  • Zhu RX, Hoffman KA, Potts R, Deng CL, Pan YX, Guo B et al. Earliest presence of humans in Northeast Asia. Nature. 2001; 413: 413–417.
  • Zhu RX, Potts R, Xie F, Hoffman KA, Deng CL, Shi CD et al. New evidence on the earliest human presence at high northern latitudes in Northeast Asia. Nature. 2004; 431: 559–562.
  • Deng CL, Zhu RX, Zhang R, Ao H, Pan YX. Timing of the Nihewan formation and faunas. Quaternary Res. 2008; 69: 77–90. 
  • Liu P, Deng CL, Li SH, Cai SH, Cheng HJ, Yuan BY, et al. Magnetostratigraphic dating of the Xiashagou Fauna and implication for sequencing the mammalian faunas in the Nihewan Basin, North China. Palaeogeogr Palaeocl. 2012; 315: 75–85. 
  • Dennell RW. The Palaeolithic Settlement of Asia. Cambridge: Cambridge University Press; 2009. pp. 166–185.