Australopithecus Africanus

Australopithecus Africanus

Australopithecus africanusAustralopithecus africanus adalah salah satu spesies hominidae awal yang diperkirakan hidup sekitar 2-3 juta tahun yang lalu pada era Pliosen. Berdasarkan fosil yang ditemukan menunjukan bahwa Australopithecus africanus lebih memiliki kemiripan dengan manusia modern jika dibandingkan dengan Australopithecus afarensis. Australopithecus africanus ditemukan di empat situs di Afrika Selatan diantaranya Taung (1924), Sterkfontein (1935), Makapansgat (1948) dan Gladysvale (1992).

Penemuan Australopithecus Africanus

Pada tahun 1923 seorang ahli anatomi dari Australia yang bernama Raymond Dart mulai bekerja di Afrika Selatan. Pada tahun 1924, salah seorang murid Raymond Dart yang bernama Josephine Salmons melaporkan bahwa seorang penembak yang bernama M.G. de Bruyn telah menemukan sebuah fosil monyet di sebuah tambang batu kapur yang dioperasikan oleh Northern Lime Company dan terletak di Taung, Afrika Selatan.

Raymond Dart yang juga mengetahui terdapat seorang ahli geologi dari Skotlandia yang bernama Robert Burns Young tengah melakukan penggalian disekitar Taung untuk mencari sisa-sisa manusia purba seperti Homo rhodesiensis yang sebelumnya telah ditemukan di Kabwe, Zambia pada tahun 1921. Kedatangan Robert Burns Young ke tambang batu kapur di Taung adalah permintaan dari Northern Lime Company sendiri menyikapi telah ditemukan fosil kera di area penambangan itu.

Pada tanggal 24 November 1924, Raymond Dart menerima dua kotak berisi fosil yang dikumpulkan oleh M.G. de Bruyn. Di dalamnya terdapat fosil yang dapat teridentifikasi berusia 2,8 juta tahun, sebuah tengkorak remaja yang dianggap sebagai fosil transisi antara kera dan manusia. Pada bulan Januari 1925, Raymond Dart kemudian memberi nama pada fosil itu Australopithecus africanus.

Penggalian dan harapan mereka menemukan sisa-sisa dari fosil Homo rhodesiensis justru menemukan tengkorak remaja yang diperkirakan berasal dari 2,8 juta tahun yang lalu. Fosil itu kemudian mereka beri nama “Anak Taung” yang merupakan fosil transisi antara kera dan manusia dengan volume otak yang kecil namun menunjukkan tanda-tanda bipedal. Raymond Dart kemudian menamai fosil itu dengan Australopithecus africanus.

Klasifikasi dan Evolusi

Awal Penemuan dan Penolakan Ilmiah

Pada awal abad ke-20, kera besar diklasifikasikan ke dalam famili Pongidae (kera non-manusia) dan Hominidae (manusia dan leluhurnya). Saat Raymond Dart menemukan fosil "Anak Taung", ia merasa spesimen ini tidak cocok dengan keduanya sehingga ia mengusulkan nama baru, yaitu Australopithecus pada tahun 1929.

Awalnya, klaim Dart bahwa fosil ini adalah "mata rantai yang hilang" antara kera dan manusia ditolak keras oleh komunitas ilmiah. Para ahli saat itu, seperti Sir Arthur Keith, lebih mempercayai bukti palsu dari "Manusia Piltdown" di Inggris yang mengeklaim bahwa manusia berevolusi dengan otak besar terlebih dahulu sebelum bisa berjalan tegak. Penemuan Homo erectus di Cina juga membuat para ahli yakin bahwa asal-usul manusia berada di Asia, bukan Afrika. Akibatnya, Australopithecus africanus sempat dikesampingkan sebagai sekadar kerabat gorila atau simpanse.

Perubahan Paradigma dan Budaya Osteodontokeratik

Pandangan dunia mulai berubah setelah Perang Dunia II. Melalui kerja keras Robert Broom dan monografi rinci tahun 1946, serta dukungan dari Sir Wilfrid Le Gros Clark, Australopithecus africanus akhirnya diakui secara luas sebagai leluhur manusia. Hal ini secara otomatis mengungkap bahwa penemuan "Manusia Piltdown" adalah sebuah penipuan.

Di sisi lain, Dart juga sempat mencetuskan teori kontroversial yang disebut "budaya osteodontokeratik". Ia mengamati tumpukan tulang hewan di gua-gua pemukiman Australopithecus dan menyimpulkan bahwa mereka adalah pemburu haus darah yang menggunakan tulang, gigi, dan tanduk sebagai senjata. Namun, penelitian modern membuktikan bahwa tumpukan tulang tersebut sebenarnya dikumpulkan oleh hyena, bukan oleh aktivitas perburuan manusia purba.

Penemuan Spesimen Penting dan Keragaman Spesies

Seiring waktu, berbagai fosil penting ditemukan di Afrika Selatan, seperti tengkorak "Mrs. Ples" (Sts 5) yang sangat lengkap dan kerangka "Little Foot" (StW 573) yang mencapai 90% keutuhan. Namun, penemuan-penemuan ini memicu perdebatan baru mengenai pembagian spesies.

Beberapa ahli ingin memisahkan spesimen tertentu menjadi spesies baru, seperti A. prometheus atau Plesianthropus. Namun, pada 1950-an, banyak ilmuwan setuju untuk menyatukan mereka di bawah nama Australopithecus africanus demi kesederhanaan. Meski begitu, perdebatan kembali muncul pada 2008 dan 2018 ketika teknologi penanggalan baru menunjukkan bahwa beberapa fosil, seperti Little Foot, ternyata berusia jauh lebih tua (3,67 juta tahun) daripada yang diperkirakan sebelumnya.

Hingga saat ini, posisi Australopithecus africanus dalam pohon keluarga manusia masih menjadi bahan diskusi yang kompleks. Meskipun secara umum diakui sebagai kerabat dekat manusia, para ahli masih belum sepakat apakah ia merupakan leluhur langsung dari genus Homo, ataukah ia lebih dekat dengan garis keturunan Paranthropus (kera purba yang lebih kekar).

Singkatnya, genus Australopithecus kini dianggap sebagai kelompok transisi yang menunjukkan betapa beragamnya evolusi manusia di Afrika, meskipun hubungan kekerabatan antar spesiesnya masih terus diteliti lebih lanjut.

Persebaran Australopithecus africanus

Australopithecine di Afrika Selatan diketahui mendiami wilayah dengan habitat yang sangat bervariasi. Temuan fosil kayu liana Dichapetalum cf. mombuttense di Sterkfontein memberikan petunjuk kuat mengenai hal ini. Mengingat spesies tersebut saat ini hanya tumbuh di hutan hujan Kongo, kehadirannya di masa lalu menunjukkan bahwa wilayah "Cradle of Humankind" kemungkinan besar merupakan perpanjangan dari hutan hujan yang lembap.

Secara keseluruhan, wilayah tersebut diperkirakan berupa hutan galeri yang dikelilingi oleh padang rumput. Hal ini didukung oleh temuan semak Anastrabe integerrima yang mengindikasikan curah hujan yang jauh lebih tinggi pada periode Plio-Pleistosen dibandingkan saat ini. Dari sisi iklim, Australopithecus dan Homo awal tampaknya lebih menyukai lingkungan yang sejuk. Mereka cenderung menghuni daerah dataran tinggi (di atas 1.000 mdpl) dengan fluktuasi suhu harian yang berkisar antara 25 °C pada siang hari hingga 5 °C pada malam hari.

Keberadaan fosil Australopithecus africanus di dalam gua-gua Afrika Selatan memicu berbagai teori mengenai penyebab terkumpulnya fosil spesies ini di dalam gua. Pada tahun 1983, paleontolog Charles Kimberlin Brain berhipotesis bahwa tulang-tulang tersebut terkumpul akibat aktivitas karnivora besar yang menyeret bangkai mangsanya ke dalam gua.

Terdapat beberapa teori mengenai interaksi ini:

  1. Aktivitas Predator: Kucing besar, hyena, dan serigala diyakini sebagai agen utama yang mengumpulkan fosil di situs Sterkfontein.
  2. Perilaku Berlindung: Mirip dengan babun modern, Australopithecus afarensis mungkin menggunakan gua sebagai tempat perlindungan dari cuaca dingin, meskipun mereka diduga bermigrasi secara musiman ke wilayah yang lebih hangat (Bushveld) saat musim dingin.
  3. Predator: Bukti spesifik ditemukan pada fosil "Anak Taung", di mana bekas luka dan tusukan pada tengkoraknya menunjukkan bahwa individu tersebut dibunuh oleh burung pemangsa besar, seperti elang mahkota.

Sekitar 2,07 juta tahun yang lalu, Australopithecus africanus dinyatakan punah di wilayah Cradle of Humankind. Kepunahan ini terjadi tepat sebelum kemunculan P. robustus dan H. erectus. Afrika Selatan yang dulunya merupakan tempat perlindungan (refugium) bagi spesies ini akhirnya tidak lagi mampu menopang populasi mereka akibat dua faktor utama: volatilitas iklim yang ekstrem serta persaingan sumber daya dengan spesies Homo dan Paranthropus yang lebih maju.

Ciri-Ciri Australopithecus africanus

Karakteristik Otak dan Adaptasi Fisik Australopithecus africanus

Berdasarkan analisis terhadap empat spesimen, Australopithecus africanus memiliki volume otak rata-rata berkisar antara 420–510 cc. Dengan merujuk pada tren pertumbuhan primata modern, ukuran otak saat lahir (neonatal) diperkirakan sekitar 165,5–190 cc. Angka ini menunjukkan bahwa Australopithecus africanus lahir dengan kondisi otak mencapai 38% dari ukuran dewasa, sebuah proporsi yang lebih menyerupai kera besar (40%) dibandingkan manusia (30%). Selain itu, struktur telinga bagian dalamnya menunjukkan perpaduan unik: saluran setengah lingkaran yang lebar khas kera, namun memiliki lilitan koklea yang longgar layaknya manusia. Kombinasi ini mengindikasikan bahwa spesies ini memiliki sistem keseimbangan (vestibular) yang mampu beradaptasi baik untuk memanjat pohon maupun berjalan tegak secara rutin.

Fitur Wajah, Gigi, dan Variasi Spesies

Secara anatomi wajah, Australopithecus africanus memiliki rahang yang menonjol (prognatik), wajah yang agak cekung dengan pipi menggembung, serta tulang alis yang terlihat jelas. Pada bagian tengkorak, terdapat garis temporal yang membentuk puncak kecil di kedua sisinya. Meskipun gigi taringnya telah mengecil dibandingkan kera non-manusia, ukurannya tetap lebih besar daripada manusia modern. Gigi pipinya berukuran besar dengan enamel tebal, di mana pertumbuhan giginya berlangsung cepat seperti kera. Menariknya, terdapat variasi fitur tengkorak yang mencolok antarindividu; hal ini kemungkinan disebabkan oleh dimorfisme seksual, di mana individu jantan memiliki fisik yang jauh lebih kuat dibandingkan betina. Sebagai perbandingan, kerabatnya yang lebih tua, A. prometheus, dibedakan melalui gigi seri dan taring yang lebih besar serta struktur wajah yang lebih menonjol.

Estimasi Ukuran Tubuh dan Postur Australopithecus africanus

Berdasarkan penelitian antropologi selama beberapa dekade, ukuran fisik Australopithecus africanus menunjukkan variasi yang signifikan. Pada tahun 1992, Henry McHenry memperkirakan berat rata-rata pria sekitar 40,8–52,8 kg dan wanita 30,2–36,8 kg. Namun, studi terbaru oleh William L. Jungers (2015) terhadap 19 spesimen menunjukkan rata-rata berat yang lebih ringan, yaitu 30,7 kg. Dari segi tinggi badan, pria diperkirakan mencapai 138 cm dan wanita 125 cm. Temuan Manuel Will (2017) mendukung data ini dengan estimasi tinggi rata-rata 124,4 cm, meski beberapa spesimen seperti spesimen StW 573 bisa mencapai 130 cm.

Struktur Tulang Belakang dan Adaptasi Pergerakan

Secara anatomi, Australopithecus africanus memiliki susunan tulang belakang yang mirip dengan manusia, terdiri dari 7 tulang leher, 12 tulang toraks, dan 5 tulang lumbar yang fleksibel. Namun, detail pada tulang atlas (tulang leher pertama) menunjukkan karakteristik campuran:

  1. Karakteristik Kera: Spesimen StW 573 memiliki tulang atlas yang memungkinkan mobilitas vertikal yang besar, memudahkan mereka memanjat pohon (arboreal).
  2. Karakteristik Manusia: Spesimen StW 679 menunjukkan evolusi yang lebih maju dengan kemiripan pada atlas manusia.

Menariknya, terdapat perbedaan struktur lumbar berdasarkan jenis kelamin. Seperti pada manusia modern, tulang lumbar (L3–L5) pada spesimen wanita (StS 14) cenderung melengkung ke luar untuk menopang beban saat hamil, sementara pada spesimen pria (StW 431) cenderung lebih lurus.

Anatomi Panggul dan Mekanisme Kelahiran

Struktur panggul Australopithecus africanus memiliki kemiripan dengan spesimen "Lucy" (A. afarensis), di mana sakrum cenderung datar dan rongga panggul berbentuk lebar (platypelloid). Bentuk ini memungkinkan proses kelahiran yang lebih sederhana (non-rotasi) dibandingkan manusia modern, karena jalan lahir yang relatif luas dibandingkan ukuran kepala bayi.

Postur Berdiri

Meskipun mampu berjalan tegak, postur Australopithecus africanus belum sepenuhnya tegak seperti manusia modern. Hal ini terlihat dari sudut antara sakrum dan tulang belakang lumbar yang mencapai 148,7°. Angka ini jauh lebih mendekati anatomi simpanse (154,6°) dibandingkan manusia (118,3°), menunjukkan bahwa postur berdiri mereka masih memiliki kemiripan dengan kera besar.

Anggota gerak atas Australopithecus africanus memiliki anatomi "mosaik", yaitu perpaduan ciri fisik antara kera dan manusia. Sebagian besar fitur tubuhnya menunjukkan adaptasi untuk kehidupan di atas pohon (arboreal), bahkan lebih menonjol dibandingkan spesies A. afarensis. Hal ini terlihat dari jari-jari yang melengkung, lengan yang relatif panjang, serta posisi bahu yang cenderung terangkat. Secara khusus, struktur bahunya mirip dengan orangutan yang sangat stabil saat menahan beban di atas kepala. Selain itu, tulang lengannya didukung oleh otot-otot kuat yang ideal untuk memanjat.

Namun, di sisi lain, Australopithecus africanus juga memiliki ciri-ciri modern yang mendekati manusia. Sebagai contoh, tulang selangka (klavikula) memiliki bentuk kurva "S" (sigmoid) yang berfungsi menstabilkan bahu, mirip dengan anatomi manusia modern. Indeks brakialisnya—rasio panjang lengan bawah terhadap lengan atas—juga menunjukkan pemendekan jika dibandingkan dengan hominin yang lebih purba seperti Ardipithecus ramidus.

Perubahan paling signifikan terlihat pada bagian tangan; ibu jari dan pergelangan tangannya memiliki kemampuan genggaman presisi (precision grip). Kemampuan ini menandakan adanya pergeseran evolusi untuk mulai menggunakan alat, meskipun konsekuensinya adalah berkurangnya efisiensi dalam memanjat dan beraktivitas di pepohonan.

Struktur tulang kaki Australopithecus africanus memberikan bukti kuat bahwa spesies ini terbiasa berjalan tegak (bipedal). Hal ini terlihat dari sudut pertemuan antara tulang tibia (tulang kering) dan kaki yang menyerupai manusia—sebuah adaptasi penting untuk menopang berat tubuh saat berjalan dua kaki. Selain itu, susunan tulang trabekular pada sendi pinggulnya sangat mirip dengan manusia, menunjukkan bahwa pinggul mereka tidak dirancang untuk menahan beban berat yang biasanya terjadi pada aktivitas memanjat pohon (arboreal) dalam durasi lama. Akibatnya, pergelangan kaki mereka tidak lagi selincah kera dalam hal memanjat.

Meski demikian, terdapat beberapa ciri transisi yang unik. Walaupun beberapa bagian tulang pergelangan kaki masih menyerupai kera dan mungkin memengaruhi efisiensi berjalan mereka, hal ini tidak serta merta berarti mereka pemanjat yang buruk. Sebagai perbandingan, suku Twa di Kongo modern tetap mampu memanjat pohon dengan sudut pergelangan kaki ekstrem layaknya simpanse berkat otot betis (gastrocnemius) yang fleksibel, bukan karena struktur tulangnya.

Pada bagian telapak kaki, Australopithecus africanus memiliki karakteristik campuran:

  1. Kemiripan Manusia: Memiliki bagian tengah kaki yang kaku dan jempol kaki yang sudah sejajar (teradduksi), sehingga tidak bisa menggenggam seperti kera. Spesimen StW 573 adalah bukti tertua dari evolusi jempol kaki bipedal ini.
  2. Perbedaan Mekanis: Meski jempolnya sudah sejajar, mereka diduga belum mendorong tubuh menggunakan jempol kaki saat berjalan, melainkan menggunakan sisi samping kaki.
  3. Ciri Primitif: Ditemukan pada spesimen StW 355 (tulang jari kaki) yang sangat melengkung, menyerupai orangutan dan siamang, yang menunjukkan sisa-sisa kemampuan memanjat.

Dari segi proporsi tubuh, spesimen StW 573 memiliki lengan sepanjang 53,4 cm dan kaki 61,5 cm. Ini berarti panjang lengannya mencapai 86,9% dari panjang kaki. Angka ini memposisikan Australopithecus africanus di titik transisi: lengannya hampir sepanjang kaki, namun proporsi ini secara keseluruhan tetap lebih mendekati manusia (64,5–78%) dibandingkan kera besar seperti simpanse (100%) atau orangutan yang memiliki lengan jauh lebih panjang (hingga 150%).

Berdasarkan pada temuan Australopithecus africanus di empat tempat di Afrika Selatan, Australopithecus africanus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Diperkirakan memiliki volume otak sebesar 420-510 cc.
  2. Dianggap telah memiliki keseimbangan yang baik untuk dapat berjalan di atas tanah meskipun, Australopithecus africanus juga tetap lincah diantara pepohonan.
  3. Memiliki alis yang tegas, rahang yang menonjol dengan tulang pipi yang agak mengembung dan tulang hidung yang agak ke bawah. Gigi taringnya memiliki ukuran yang lebih kecil jika dibandingkan dengan manusia modern, tetapi lebih besar jika dibandingkan dengan kera.
  4. Menurut perkiraan memiliki tinggi 110-142 cm.
  5. Memiliki lengan yang menyerupai perpaduan antara kera dan manusia. Akan tetapi, Australopithecus africanus dianggap memiliki tungkai yang lebih mirip dengan kera dibandingkan Australopithecus afarensis.
  6. Memiliki bahu yang menyerupai orangutan dengan otot kuat yang berguna saat memanjat.

Diet dan Kemampuan Adaptasi

Pada awalnya, pakar paleoantropologi seperti Robinson (1954) dan Frederick E. Grine (1981) menduga adanya perbedaan tajam antara kedua spesies ini. Mereka berteori bahwa Australopithecus africanus adalah pemakan segala (omnivora) yang mengonsumsi makanan lunak seperti buah dan daun. Sebaliknya, P. robustus dianggap sebagai pemakan tumbuhan (herbivora) yang khusus mengonsumsi makanan keras seperti kacang-kacangan.

Namun, temuan terbaru memberikan gambaran yang lebih kompleks. Meskipun anatomi wajah Australopithecus africanus kuat untuk memecah biji-bijian, analisis mikropemakaian pada gigi menunjukkan bahwa makanan keras tersebut kemungkinan besar hanya menjadi makanan cadangan saat masa sulit.

Berdasarkan analisis isotop karbon, diet Australopithecus africanus ternyata sangat bervariasi. Mereka mengonsumsi tanaman sabana (C4) seperti rumput, rimpang, dan umbi-umbian, atau bahkan hewan kecil seperti belalang dan rayap. Menariknya, analisis isotop nitrogen terbaru menunjukkan bahwa daging mamalia besar bukanlah bagian utama dari diet mereka.

Perbedaan gaya hidup juga terlihat dari kesehatan gigi mereka:

  1. Gigi Berlubang: A. africanus jarang memiliki gigi berlubang dibandingkan P. robustus. Hal ini menunjukkan bahwa mereka jarang memakan makanan tinggi gula atau sering memakan makanan berpasir yang secara alami "membersihkan" gigi.
  2. Erosi Asam: Ditemukan bukti erosi asam pada beberapa spesimen, yang menandakan bahwa individu tersebut sering mengonsumsi makanan asam seperti buah jeruk purba atau umbi-umbian tertentu.
  3. Penggunaan Alat: Meskipun mungkin membutuhkan batu untuk memecah kacang keras (seperti kacang marula), hingga saat ini belum ditemukan bukti penggunaan alat batu yang berhubungan langsung dengan A. africanus.

Penelitian terhadap endapan barium pada gigi memberikan petunjuk tentang masa kecil mereka. A. africanus diperkirakan mulai berhenti menyusu (penyapihan) pada usia sekitar 6 hingga 12 bulan, pola yang mirip dengan manusia modern.

Namun, terdapat temuan unik berupa endapan siklis barium, litium, dan stronsium yang muncul kembali setiap tahun hingga usia 4–5 tahun. Pada primata modern seperti orangutan, pola ini merupakan tanda kelaparan musiman, di mana anak primata kembali bergantung pada ASI atau makanan cadangan karena kelangkaan sumber pangan utama di alam.

Memprediksi dinamika kelompok Australopithecine secara akurat merupakan tantangan besar bagi para peneliti. Namun, sebuah studi isotop stronsium tahun 2011 terhadap gigi A. africanus di Lembah Sterkfontein memberikan gambaran penting mengenai pola hidup mereka.

Berdasarkan perbandingan ukuran gigi—dengan asumsi gigi kecil adalah betina dan gigi besar adalah jantan—ditemukan bahwa kelompok ini cenderung bersifat patrilokal. Artinya, individu betina biasanya meninggalkan tempat kelahiran mereka untuk bergabung dengan kelompok baru, sementara individu jantan menetap di wilayah asal.

Pola ini menunjukkan beberapa karakteristik unik:

  1. Struktur Sosial: Mirip dengan manusia modern, mereka kemungkinan memiliki masyarakat berbasis kekerabatan multi-jantan, bukan sistem "harem" seperti yang terlihat pada gorila.
  2. Tingkat Agresi: Meskipun hidup dalam kelompok multi-jantan, ukuran gigi taring jantan yang relatif kecil mengindikasikan bahwa tingkat agresi antar-pejantan jauh lebih rendah dibandingkan primata non-manusia lainnya.
  3. Wilayah Jelajah: Individu jantan tampaknya jarang menjelajah keluar dari lembah. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka memiliki wilayah jelajah yang sempit atau sangat bergantung pada lanskap dolomit, kemungkinan karena ketersediaan gua sebagai perlindungan atau faktor vegetasi tertentu di area tersebut.

Kondisi Kesehatan dan Kelangsungan Hidup A. africanus

Dari sepuluh spesimen A. africanus yang diteliti, tujuh di antaranya menunjukkan tanda-tanda penyakit periodontal tingkat ringan hingga sedang. Kondisi ini menyebabkan pengikisan pada tulang alveolar, yaitu bagian tulang yang berfungsi menopang gigi.

Salah satu temuan yang paling menonjol terdapat pada spesimen remaja STS 24a. Individu ini menderita penyakit periodontal ekstrem di sisi kanan mulutnya, yang memicu pertumbuhan tulang abnormal (patologis) di area tersebut. Infeksi bakteri yang terjadi secara berulang mengakibatkan peradangan parah, hingga menyebabkan pergeseran pada dua gigi geraham (molar) pertamanya. Akibat rasa sakit tersebut, individu ini cenderung hanya mengunyah menggunakan sisi kiri rahangnya.

Kondisi kesehatan yang buruk ini diperkirakan sangat menghambat kemampuan mengunyah, terutama di tahun-tahun terakhir hidupnya. Hal ini memunculkan kemungkinan bahwa individu tersebut dapat bertahan hidup berkat bantuan atau dukungan dari anggota kelompoknya.

Analisis Cedera Fisik: Jatuh dari Pohon atau Kerusakan Fosil?

Pada tahun 1992, antropolog Geoffrey Raymond Fisk dan Gabriele Macho meneliti tulang pergelangan kaki kiri spesimen Stw 363. Mereka menemukan indikasi adanya bekas patah tulang yang telah sembuh pada tulang tumit (calcaneus), meskipun bagian tulang tumit itu sendiri tidak terawetkan dalam fosil.

Para peneliti menduga cedera ini disebabkan oleh jatuh dari pohon—sebuah insiden yang sering tercatat terjadi pada primata arboreal (penghuni pohon) maupun manusia. Jika teori ini benar, maka individu tersebut mampu bertahan hidup dalam waktu yang lama meski fungsi kaki kirinya sangat terbatas.

Namun, terdapat penjelasan alternatif: kerusakan pada tulang tersebut mungkin bukan disebabkan oleh cedera semasa hidup, melainkan akibat tekanan endapan sedimen atau proses kristalisasi kalsit selama masa fosilisasi jutaan tahun di dalam tanah.


Daftar Bacaan

  • Berger, L. R.; McGraw, W. S. 2007. “Further evidence for eagle predation of, and feeding damage on, the Taung child”. South African Journal of Science. 103 (11–12): 496–498.
  • Tobias, P. V. 1998. “Ape-Like Australopithecus After Seventy Years: Was It a Hominid?”. The Journal of the Royal Anthropological Institute. 4 (2): 283–308.